Museum Ingatan
Tampilan
Museum Ingatan oleh Fanny Chotimah |
Seorang anak perempuan berseragam SD merah putih, mengenakan topeng Soeharto. Dia berjalan-jalan di pelataran kompleks Taman Ismail Marzuki mencari anak-anak muda untuk ditanyai siapakah topeng yang ia kenakan itu. Ada yang menjawab tidak tahu, ada yang menjawab Soeharto, namun saat ditanyakan kembali siapakah Soeharto? Jawabannya presiden pertama RI. Kejadian ini merupakan potongan adegan dari video instalasi His (Story) (a) History karya Kiky Febrianty. Karya ini merupakan bagian karya dari Museum Rekoleksi Ingatan yang digelar di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tanggal 7-12 Desember 2015.
Museum Rekoleksi Ingatan merupakan museum temporer untuk mengetahui, menggali masa lalu dengan cara memanggil kembali memori dari masa lampau dari ingatan-ingatan pelaku sejarah yang tak dicatat dalam buku sejarah. Seperti karya foto bertajuk Pemenang Kehidupan karya fotografer Adrian Mulya, mengangkat sepuluh foto potret perempuan penyintas para Gerwani. Setiap foto dilengkapi keterangan nama, dan sedikit penggalan biografi, misalnya Darminah, seorang sekretaris Cabang Gerwani yang gemar beranjangsana ke desa-desa, melakukan ceramah politik, memberi kursus menjahit dan kursus kesehatan.
Struktur bangunan museum ini berbentuk semacam persegi, terbuat dari rangka-rangka perancah, diselubungi oleh lapisan tembus pandang yang terdiri dari kawat galvanis dan kain paranet hitam. Bangunan ini merupakan hasil kolaborasi rancangan dari arsitek muda Stephanie Larassati, Gosha Muhammad dan WEN Urban Office untuk acara Rekoleksi Memori yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Partisipasi Indonesia. Rekoleksi Memori ini mencoba menerjemahkan aksi merangkai memori buram ke dalam sebuah struktur rangka tembus pandang - sebuah rangka memori.
Rangka memori ini dibagi ke dalam beberapa paviliun. Paviliun depan pengunjung disuguhkan karya foto berjudul or.de karya fotografer Sigit Pratama, foto-foto kehidupan keseharian, anak-anak, orang-orang dengan benda dan bangunan-bangunan kota. Bagi Sigit kesemuanya menyimpan kisah dan memori, ia mencoba melacak ke zaman di mana ia merupakan anak kecil yang menerima apa yang diberikan begitu saja. Tanpa mengetahui bagaimana informasi itu dibuat. Di paviliun kedua kita disuguhkan foto-foto dari potongan adegan dari film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya sutradara Arifin C Noor, juga sebuah buku berjudul Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, sebuah sejarah versi Orde Baru. Karya ini digarap oleh Elisabeth Ida, dengan judul Sejarah Siapakah? (De/Re) Construction yang terdiri dari tiga fase; fase pertama fase konstruksi dengan menampilkan sejarah versi Orba, fase kedua Dekonstruksi berupa film dokumenter para eksil di Eropa, fase ketiga berupa Rekonstruksi menampilkan kolase Indonesia Sejak Saat Itu dan video yang merekam orang-orang berkata, “bunuh... bunuh...”
Pengunjung pun dikejutkan oleh sebuah poster berjudul Wahana Loebang Maoet, karya Yovista Ahtajida sebuah instalasi video kanal ganda, 2015 di mana ia mengenakan seragam dan sepatu tentara dengan riasan muka berdarah membagikan pamflet di jalanan, banyak warga yang tertarik. Ia mencoba memosisikan ulang citra Museum Lubang Buaya bukan lagi ruang untuk pembelajaran sejarah sebagai museum, namun ruang untuk mencari sensasi-sensasi ketakutan dan ketegangan, sebagai rumah hantu. Horor yang sama ditampilkan dengan sedikit berbeda melalui karya seni instalasi berjudul Untitle karya Jompet Kuswidananto. Sekumpulan pisau-pisau yang menancap di sebuah tembok hitam, yang disusun secara sadar ataupun tidak dalam partitur tangga nada. Membuat kita bertanya-tanya sebuah lagukah itu? Ataukah simbol yang lain?
Buramnya sejarah bangsa ini membuat sekumpulan anak-anak muda ini mencoba untuk mencari, memaknai dan menarasikan sejarah diri juga sejarah bangsanya sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah film berdasarkan kisah nyata berjudul Freedom Writers (2007) karya sutradara Richard LaGravenese, yang mengisahkan seorang guru di Sekolah Menengah Atas di Amerika, di mana siswa-siswanya terdiri dari beragam etnis, kulit hitam, Asia, dan Hispanik. Mereka terlibat dalam perseteruan wilayah kekuasaan ataupun persoalan remeh temeh yang menentukan hidup dan mati. Anak-anak muda tersebut hanya mewarisi kebencian dan kekerasan dari generasi sebelumnya. Sang guru membawa mereka mengunjungi museum Holocoust, di mana sebuah genosida telah terjadi, ketika manusia tak membutuhkan alasan atau berpikir ulang bahwa pembunuhan merupakan kejahatan kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui sejarah ini. Berkaca dan merenungi peristiwa tersebut, nurani mereka tergerak untuk menghentikan kebencian dan kekerasan terhadap sesamanya dan antar etnis.
Di Indonesia, kita memiliki Omah Munir sebagai museum pertama yang mengangkat tema masalah-masalah Hak Asasi Manusia, berangkat dari sebuah agenda kerja untuk menjadikan sosok paling berharga dalam sejarah perjuangan penegakkan HAM di Indonesia, yaitu Munir Said Thalib (1965-2004), sebagai medium pendidikan HAM. Begitu pula dengan Rekoleksi Memori sebagai sebuah museum ingatan kolektif untuk menengok masa lalu dan merawat ingatan akan sejarah kekerasan dan pelanggaran HAM yang telah terjadi. Upaya ini memang pahit dan menyakitkan namun mengutip Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. (*)