Naskah Permainan Tradisional/Jamuran

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Belajar Toleran Lewat Permainan Jamuran[sunting]

Menilik fenomena permainan anak zaman sekarang tentu sangat jauh berbeda dengan ragam kegiatan yang dilakukan anak-anak 15 tahun ke belakang. Gawai kala itu bukanlah yang utama, apalagi berbagai paparan aplikasi media sosial juga belum akrab dengan keseharian anak-anak. Orang tua pun senang anak-anak lebih menikmati kebebasan di luar rumah. Namun, kini hal itu justru bertolak belakang. Gelak tawa dan canda ceria anak-anak saat bermain di luar rumah makin jarang terdengar. Tidak hanya di kota besar, melainkan mulai menular ke daerah pinggiran. Mengapa hal itu terjadi? Sedemikian langkakah kebersamaan dengan teman sebaya di luar jam sekolah?

Mungkin sebagian besar masyarakat akan berpendapat bahwa hal itu wajar saja terjadi karena kemajuan teknologi. Anak-anak telah jauh melesat mengikuti perkembangan zaman lewat berbagai media digital sehari-hari. Di sisi lain, orang tua juga banyak yang merasa lebih “aman” melihat anaknya asyik bermain gawai sendiri dalam jarak pandangan mereka, daripada membiarkan anak-anak keluar rumah hanya untuk sekadar bermain. Tak mengherankan jika benih-benih egosentris bermunculan, sementara sikap toleran mulai terpinggirkan. Menyedihkan memang, tetapi realitas ini sungguh nyata dan memprihatinkan. Terlebih paradigma tersebut makin menggerus eksistensi permainan tradisional yang notabene dimainkan di ruang terbuka dan melibatkan banyak anak.

Permainan tradisional sejatinya memiliki sarat makna dan nilai pendidikan karakter yang sangat berguna untuk perkembangan anak. Sangat disayangkan jika hal tersebut luntur hanya karena masyarakat kita merasa permainan tersebut kuno dan tidak keren dimainkan saat ini. Sementara di sisi lain, banyak orang asing tertarik mempelajarinya. Tentu tidak mencari sensasi untuk dipamerkan dalam unggahan video demi banyaknya like, tetapi lebih pada menikmati keunikan budaya bangsa lain.

Nah, sebagai orang tua dan kaum dewasa pemerhati pendidikan karakter anak, sudah selayaknyalah turut andil untuk menggalakkan permainan tradisional demi masa depan generasi penerus yang berkualitas dan menjaga kelestarian budaya bangsa. Salah satu permainan tradisional anak-anak dari Pulau Jawa yang sudah sangat jarang dimainkan adalah jamuran. Sekilas mendengar nama permainan ini mungkin akan berpikir tentang tumbuhnya jamur, padahal jamuran yang dimaksud adalah bermain peran untuk memperagakan beragam jamur. Jamuran bisa dimainkan oleh 4-12 orang anak dan biasanya diadakan di waktu sore atau saat malam bulan purnama. Anak-anak yang suka melakukan permainan ini berusia sekitar 6-12 tahun, baik itu laki-laki maupun perempuan. Bermain jamuran sebenarnya sangat mudah dan tidak membutuhkan peralatan lain, cukup dengan diri anak-anak dan ruang terbuka yang cukup luas bagi mereka untuk membentuk satu lingkaran besar. Hanya saja untuk anak-anak yang kurang terbiasa berbahasa Jawa perlu belajar lebih untuk menghafalkan lirik lagunya.

Dalam permainan jamuran diperlukan 1 anak yang akan menjadi pancer (pusat). Sebelum dimulai, seluruh pemain harus hom pim pa untuk menentukan pancer berdasarkan anak yang kalah. Anak-anak yang berhasil menang akan membentuk lingkaran untuk memagari pancer yang ada di tengah. Lalu para pemain yang menang akan berjalan bergandengan tangan untuk memutari pancer sambil menyanyikan lagu ‘jamuran’.

Lirik Lagu Jamuran[sunting]

Mengutip dari laman tirto.id, berikut arti lagu ‘jamuran’.

Jamuran ya gégé thok                         ("Jamuran"nya ya dibuat pura-pura)

Jamur apa ya gégé thok                      (jamur apa ya dibuat pura-pura)

Jamur gajih mbejijih sa ara-ara            (jamur gajih mengotori seluruh lapangan)

Sira mbadhé jamur apa                       (melesat cepat jamur apa)

Pada akhir lagu anak-anak yang mengelilingi pancer akan bertanya tentang jenis jamur yang diinginkan. Pancer boleh menyebutkan nama jamur sesuka hati. Ketika nama jamur sudah disebut, maka pemain lain harus melakukan gerakan atau menirukan gaya yang sesuai dengan jenis jamur tersebut.

Menurut laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, contoh jamur yang bisa dimainkan adalah jamur kethek menek (monyet memanjat), maka pemain harus berlomba-lomba memanjat pohon di sekitarnya. Pemain yang tidak memanjat akan dianggap kalah dan harus jadi pancer. Contoh jenis jamur lainnya adalah jamur payung. Saat pancer menyebutkan nama jamur ini, para pemain harus bergaya seperti jamur payung dengan cara berdiri tegak dan membuka tangan. Setelah itu pancer akan menggelitiki ketiak para pemain. Siapa yang tak tahan dengan rasa geli dan bergerak, dia akan kalah. Dalam permainan ini, ada banyak jenis jamur yang biasa disebutkan dan setiap jamur memiliki gerakan tersendiri. Jadi, anak-anak yang sudah terbiasa bermain jamuran akan hafal dengan gerakannya sehingga tidak mudah kalah.

Muatan Pendidikan Karakter[sunting]

Bermain jamuran menyiratkan berbagai nilai pendidikan karakter yang penting bagi perkembangan psikis anak-anak, di antaranya sebagai berikut.

  • Toleran: menghargai perbedaan gerakan atas setiap pemain
  • Kerja sama: membentuk lingkaran tidak terputus
  • Sabar: menunggu giliran untuk menjadi pemenang
  • Sportif: tidak curang
  • Tanggap: segera melakukan perintah dengan benar
  • Taat aturan: mengikuti perintah pancer.

Meskipun permainan jamuran sangat sederhana, dampaknya akan terasa bagi anak- anak khususnya pada saat mereka bersosialiasi dengan teman sebaya. Harapannya dengan menghidupi nilai-nilai tersebut dalam permainan, anak-anak akan terbiasa menghargai keberadaan orang lain.