Ni Wayan Ayu
Ni Wayan Ayu
"Ayu, kelak kamu ingin menjadi apa?" tanya Ni Luh Ktut, atau lengkapnya Ni Luh Ktut Ayu, teman Ni Wayan Ayu, sejak kelas empat, dua tahun yang lalu. "Ah, Sekolah Dasar pun tiang belum selesai, apa gunanya tiang berpikir terlalu jauh?" jawab Ni Wayan Ayu, yang oleh teman-temannya dipanggil Ayu. (tiang = saya) "Kata paman, bercita-cita boleh sejak kecil. Bercita-cita menjadi orang yang berguna dan kaya sangat memotivasi. Orang yang kaya dapat melakukan banyak hal besar pada waktu yang bersamaan, sebab dia dapat mempekerjakan banyak orang pandai secara serentak pada waktu yang bersamaan. Di sisi lain, kata paman, orang pandai tidak pernah kehabisan daya pikir dan daya usaha untuk mengatasi masalah. Sedangkan orang kaya, jika uang habis maka kemampuan mempekerjakan orang juga akan lenyap." "Berarti kita harus rajin belajar dan rajin berusaha. Tidak boleh malas, dan tidak boleh takut menghadapi kesulitan atau kegagalan," kata Ayu. Tiba di pintu kelas enam mereka, mereka berdua melihat teman-temannya sedang meributkan sesuatu. "Ada apa ini?" tanya Ayu kepada I Gde Dharma, ketua kelas mereka, yang sedang berdiri di ambang pintu, seakan-akan menunggu kedatangan seseorang. "Banyak dompet hilang di kelas kita," jawab I Gde. "Dompetku hilang!" teriak seorang teman dari dalam kelas. "Dompetku juga. Pasti ada pencuri di kelas ini." "Bahkan tasku hilang juga!" Benar-benar heboh.
"Ada apa kalian sekelas ribut?" tanya wali kelas mereka, Bu Ni Made Dahayu, kepada I Gde saat mau masuk ke dalam kelas.
"Ada maling, Bu. Sebuah tas dan hampir semua dompet murid perempuan hilang," kata I Gde. "Apakah ada yang tinggal di dalam kelas tadi?" "Tidak ada, Bu. Tiang berenam tadi berdiskusi di luar kelas, tidak jauh dari pintu. Tidak ada teman atau orang luar yang masuk kelas," jawab I Gde. "Lalu, bagaimana pencuri itu dapat mencuri banyak dompet?" "Buku-buku kami tidak ada yang hilang, Bu," kata seorang murid. "Yang hilang dompet-dompet uang dan sebuah tas kosong, sebab buku-buku dalam tas sudah dibuang ke lantai," lapor I Gde. "Aneh!" kata Bu Ni Made Dahayu bingung, karena memang selama bertahun-tahun dia mengajar, tidak ada pencurian seaneh itu. "Mungkin bukan orang yang mencuri," kata Ayu yang tadi menyisir jendela. "Bukan orang? Maksudmu anak kecil?" tanya Bu Ni Made Dahayu. "Bukan, Bu. Mungkin sejenis kera, kera kecil," kata Ayu. "Apa alasanmu?" "Di ambang jendela ini ada jejaknya. Di tanah sana juga terlihat jejaknya." "Mari kita keluar kelas. Kalian jangan ikut, nanti jejaknya terhapus oleh bekas sepatu kalian," kata Bu Ni Made Dahayu kepada murid-muridnya. Saat keluar kelas, mereka berpapasan dengan Kepala Sekolah Ni Ktut Kumala. "Kalian mau ke mana?" "Lapor, Kepala Sekolah. Ada pencurian di kelas enam. Kami akan mencari dan mengikuti jejak pencuri itu," lapor Bu Ni Made Dahayu. "Kalau begitu, saya ikut kalian." Dengan dipimpin oleh Ayu, mereka bertiga mengikuti dua jejak yang menuju pagar hidup yang membatasi halaman sekolah dengan tepi jalan. Di luar sekolah, mereka menuju ke bagian pagar hidup yang diterobos pencuri itu. Ternyata dugaan Ayu betul. Ada jejak dua kera kecil. Mereka juga menemukan jejak orang dewasa dan dua puntung rokok. Bu Ni Ktut Kumala langsung minta bantuan polisi dan regu anjing pelacak. Ketika polisi datang, mereka berbagi tugas. Ada yang menanyai Bu Ni Ktut Kumala, Bu Ni Made Dahayu, dan Ayu. Ada petugas yang memotret ukuran kaki dewasa yang terlihat dan memungut kedua puntung rokok dengan memakai sarung tangan, juga ada dua petugas polisi yang mengajak dua ekor anjing berkeliling menciumi daerah itu dan juga tanah di bawah jendela kelas Ayu. Kedua anjing itu tiba-tiba berlari pergi sehingga kedua polisi yang semula menyeret anjing, sekarang diseret kedua anjing tersebut untuk mengejar sesuatu. Diam-diam Ayu tersenyum geli melihat itu. Tidak lama kemudian, dua polisi beserta dua anjing itu kembali sambil menggiring seseorang yang ditemani dua ekor kera kecil. Salah seorang polisi itu membawa sebuah tas sekolah. Akhirnya terbongkarlah pencurian yang semula dianggap aneh itu. "Bagaimana caramu tahu bahwa pencurinya bukan manusia?" tanya Kepala Sekolah Ni Ktut Kumala kepada Ayu. "Pernah seorang pegawai biang bercerita, di desanya ada orang yang dapat melatih kera kecil naik ke pohon kelapa untuk memetik buah kelapa, atau melakukan hal-hal lain. Kera-kera kecil yang sudah pandai dia jual. Suatu saat, ketika dijual, ada seekor yang lepas. Dia cepat lari bersembunyi. Beberapa hari kemudian, di dusun itu sering terjadi pencurian yang aneh tidak terpecahkan, yang kemudian ternyata dilakukan oleh kera kecil yang melarikan diri. Karena itu, tiang tadi melihat ambang jendela dan tanah di luar jendela, untuk melihat apakah ada jejak kera atau tidak. Ternyata ada jejak dua kera kecil." (biang = ibu) "Untung, kamu cepat mengetahui kemungkinan itu," kata Bu Ni Made Dahayu.
"Beberapa bulan lagi kalian akan menghadapi ujian nasional, apa saja yang sudah kalian lakukan tiap hari?" tanya Bu Ni Made Dahayu ketika memulai pelajaran setelah kehebohan yang semula terjadi reda. "Kalau saya, yang saya lakukan tiap hari tetap sama, Bu. Makan, tidur, dan bermain dengan teman," kata Mokoh atau Gendut, atau I Ktut Jendra, yang sering menjawab sesuka hati, tetapi jujur. "Yang Ibu tanyakan adalah persiapan kalian untuk ujian. Mulai sekarang, Ibu sarankan kalian untuk mulai membuat ringkasan rumus maupun ringkasan pelajaran hafalan, kalau mungkin sejak pelajaran kelas empat. Bagi yang mudah lupa, Ibu sarankan untuk menjadikan materi hafalan sebagai cerita film dan hafalkan. Bagi yang suka menyanyi, boleh tiru cara Ayu yang sering menyanyikan materi hafalan dan rumus dengan irama lagu kegemarannya. Yang belum mampu menghitung dengan cepat dan benar, hafalkan rumus perkalian, dan tambahkan lama latihan menjumlah, mengurangi, mengalikan, maupun membagi. Utamakan materi-materi yang sering muncul dalam ujian." "Baik, Bu. Matur suksma." (matur sukma = terima kasih).
Saat jam istirahat, Ayu, Ni Luh Ktut, dan beberapa teman bermain bersama. "Kita akan bermain apa?" tanya I Gde. "Seluruh halaman sekolah basah, bahkan ada yang masih tersisa genangan air. Bagaimana jika main engkeb-engkeban?" tanya I Putu. (engkeb-engkeban = petak umpet) "Aku setuju," kata Ni Luh Ketut. "Aku ikut," kata Ayu. Mereka kemudian melakukan Sut Dempul untuk menentukan siapa yang bertugas mencari saat teman-temannya sedang bersembunyi. Saat Sut Dempul, hanya Ni Wayan Ayu yang menunjukkan telapak tangan, yang lain menunjukkan punggung telapak, maka Ayu kalah dan bertugas sebagai pencari. Ayu harus menutup mata sambil menghadap sebuah pohon.
Setelah cukup lama, Ayu berbalik dan mulai mencari teman-temannya yang bersembunyi berpencaran. Ayu melihat ke permukaan tanah yang basah, di sana terlihat jejak kaki teman-temannya. Dengan petunjuk jejak kaki di tanah, Ayu dengan mudah dan cepat menemukan tempat bersembunyi teman-temannya. "Ayu, bagaimana caramu menemukan kami semua dengan cepat?" tanya Ni Made, teman sekelas Ayu yang ikut bermain. "Kalian meninggalkan jejak kaki. Lihat itu," jawabAyu. "Wah, betul juga kamu," kata Ni Made. "Wah, tidak seru kalau begini," kata I Putu. "Mengapa tidak? Jika kalian tidak meninggalkan jejak, bukankah tiang akan sulit mencari kalian?" kata Ayu. "Kita tidak dapat terbang, bagaimana mungkin kita tidak meninggalkan jejak di tanah?" kata Ni Made. "Kalau kalian sering membaca buku pengetahuan, selain buku cerita fantasi, kalian pasti dapat melakukannya," kata Ayu. "Apakah kamu dapat menghilangkan jejak kaki?" tanya Ni Luh Ktut. "Ada satu cara untuk membingungkan orang dan ada dua cara untuk hilangkan jejak kaki," jawab Ayu. Ayu kemudian menjauh dengan berjalan mundur. "Jika kalian tadi tidak melihat tiang melangkah, dan hanya melihat jejak yang ada, apa pendapat kalian?" "Kamu berjalan ke arah sini, bukan ke arah sana," jawab I Gde. "Sekarang carilah jejak kaki tiang," kata Ayu. Kemudian Ayu melangkah dengan menginjakkan kakinya secara bergantian di atas dua daun pisang kering yang diambilnya dari bawah pohon pisang. Lalu berjalan beberapa langkah lagi sambil menghapus jejak kaki yang dia tinggalkan di tanah dengan menggesek-gesekkan daun pisang di jejak kakinya. "Wah, betul, kamu tidak meninggalkan jejak kaki," seru Ni Luh Ktut. "Kamu hebat, Ayu," kata Ni Made. "Tiang tidak hebat. Ini hasil dari membaca bacaan yang mengandung ilmu pengetahuan," kata Ayu. "Ada hal seru apalagi yang kamu baca, Ayu?" tanya I Putu. "Ayo kita mencari tempat duduk dahulu," kata I Gde. "Ini tebakan. Kalian boleh coba adu kecerdasan," kata Ayu setelah mereka menemukan bangku panjang kosong di dekat tempat parkir sepeda. "Di sebuan jalan, ada anak perempuan kecil yang tampak cukup kaya berjalan kaki pulang dari sekolah. Tiba-tiba ada mobil yang menghampirinya dan berhenti di sampingnya. Dari dalam mobil keluar seorang wanita yang mengaku teman kerja ibunya. Wanita itu berkata bahwa karena ibunya sibuk maka dia diminta untuk menjemputnya. Anak itu tidak percaya, dia bertanya siapa nama ibunya dan dia biasa dipanggil apa oleh kakaknya. Padahal dia tidak punya kakak. Dia bertanya hanya untuk menjebak kebohongan wanita itu seandainya wanita itu tahu nama ibunya. Wanita itu tidak menjawab melainkan memaksa anak itu untuk ikut dia naik mobil, bahkan mengancam anak itu dengan sebuah pisau. Terpaksa anak itu ikut, tetapi tiba-tiba dia melemparkan tas sekolahnya ke atas, sehingga jatuhnya hampir mengenai seorang laki-laki yang sedang berdiri di tepi jalan sambil menelpon. Sayang orang itu tidak peduli, orang-orang lain yang ada di dekatnya juga tidak peduli. Semua orang hanya peduli pada urusan masing-masing. ‘Kamu jangan main-main dan melakukan tipu muslihat. Aku dapat menusukmu. Ayo ambil tasmu dengan berjalan biasa,’ kata wanita itu. Nah, kalian tebak, bagaimana cara anak itu meloloskan diri dari usaha penculikan itu?" "Bagaimana? Tidak ada yang tahu jawabannya?" tanya Ayu setelah menunggu beberapa saat. "Bagaimana cara dia meloloskan diri, Ayu?" tanya Ni Luh Ktut. "Sekarang tiang belum tahu, sebab tiang belum selesai membaca cerita itu," kata Ayu sambil tertawa lebar. "Kamu nakal, Ayu," kata Ni Made sambil tertawa juga. Akhirnya, mereka semua tertawa, setelah sebelumnya mendengarkan cerita Ni Wayan Ayu dengan wajah serius dan perasaan tegang. "Kata ibuku, menjumpai masalah apapun, kita harus tetap tenang supaya dapat berpikir dengan baik dan cepat, jika kita mudah terkejut kita akan sering mati daya, selain tidak dapat berpikir dengan jernih, kita kehilangan tenaga untuk lari atau bertindak, hanya mampu berdiri gemetaran karena takut," kata Ayu.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel, tanda jam pelajaran berikutnya akan dimulai.
"Kumpulkan tugas potongan cerita yang kalian pilih dan sudah kalian karang ulang serta menghafalnya," kata Pak Slamet, guru bahasa Indonesia, yang mengharuskan semua murid berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, tanpa dicampur kata-kata gaul atau kata-kata Inggris yang ditulis dengan ejaan sesuka hati. Setelah semua kertas tugas bertulisan tangan dikumpulkan dan diletakkan di meja guru, Pak Slamet memilih secara acak kertas tugas yang terkumpul dan memanggil nama murid yang menulis kertas tugas itu. Tidak semua murid dipanggil maju untuk menceritakan kembali secara lisan cerita yang mereka karang ulang, dengan nada dan irama yang semestinya. "Mungkin baru pertama kali ini, kalian mendapat tugas semacam ini. Nanti setiap dua minggu sekali, Bapak akan memberi tugas semacam ini karena tugas semacam ini berguna sekali bagi kalian. Pertama, dapat melatih sedikit daya kreasi kalian dengan melatih kalian menulis ulang cerita dengan menggunakan kata-kata sendiri. Kedua, untuk mawas diri, seberapa baik dan benar kalian berbahasa Indonesia. Dan yang ketiga adalah melatih daya ingat kalian, mulai dari tulisan pendek hingga tulisan panjang. Keempat, melatih keberanian kalian untuk tampil dan berbicara di depan orang banyak. Suatu ketika kelak kalian mungkin harus melakukan presentasi karya kalian, memberi pidato sambutan, atau memberi ceramah di depan umum, dengan latihan-latihan semacam yang Bapak berikan sekarang, kalian kelak tidak perlu cemas." Setelah dua jam pelajaran berlalu, mereka pulang, karena pelajaran bahasa Indonesia tersebut adalah pelajaran terakhir untuk hari itu.
"Ibu, Wayan Ayu pulang," seru Ayu ketika tidak menampak ibunya saat pulang rumah. "Sudah lapar atau belum?" tanya ibu Ayu. "Belum, Bu. Jika perut belum lapar diisi, Wayan Ayu akan gendut. Kata orang, perut gendut sulit dikecilkan kembali. Lalu, kalau tiang gendut, Ibu akan mengganti nama tiang dengan nama Ni Wayan Gendut. Wah, tidak mau. Tiang tetap ingin menjadi Ni Wayan Ayu, putri Ibu yang ayu, imut-imut, dan pintar," kata Ayu, si anak semata wayang. "Uh, memuji diri sendiri. Ingat kata Ibu dahulu, pujian dapat membuat orang sombong, dan kesombongan dapat membuat orang kehilangan sahabat dan juga kesempatan untuk dapat lebih maju." "Jangan khawatir, Bu. Wayan Ayu ingat kata-kata Ibu itu."