Noken Rahasia Martin
Pengantar
[sunting]Muhammad Fauzi. Penulis tergabung dalam forum Penulis Bacaan Anak (Paberland). Beberapa karyanya pernah dimuat di media lokal maupun nasional. Seperti Majalah Bobo, Suara Merdeka, Solopos, Lampungpost dan lain-lain. Serta beberapa kali memenangkan lomba menulis. Diantaranya lomba Gerakan Literasi Nasional (GLN) Kemendikbudristek 2022. Juga sebagai penulis terpilih Balai Bahasa Jawa Tengah 2018 dan 2022. Hingga saat ini penulis masih terus menulis cerita anak.
Lokasi Cerita
[sunting]Pedalaman Wamena, Papua.
Premis
[sunting]Martin tinggal di pedalaman Wamena, Papua, dia selalu membawa noken ke sekolah. Rupanya noken itu berisi buku yang dia pinjam dari perpustakaan di sekolahnya untuk teman-temannya yang tidak bisa ke sekolah karena harus menempuh jarak yang jauh dan penuh tantangan.
Isi Cerita
[sunting]Noken Rahasia Martin
Oleh Muhammad Fauzi
Ini hari ketigaku tinggal di pedalaman Wamena, Papua. Aku mengikuti ayah dan ibu yang ditugaskan di sini. Beruntung ayah sudah mengajariku bahasa Papua, jadi aku sudah bisa bahasa Papua meskipun belum lancar.
Saat pertama kali datang, aku heran melihat rumah orang Papua atau yang biasa disebut Honai. Dan sekarang aku pun tinggal di rumah Honai. Rumah sederhana yang atapnya terbuat dari ilalang. Rumah Honai tentu saja berbeda dengan rumah tinggalku dulu. Tetapi aku sangat senang tinggal di sini. Orang-orangnya ramah dan masih menjunjung tinggi kebudayaan nenek moyangnya.
Sayangnya, sekolahku sangat jauh dari rumahku. Untuk sampai ke sekolah aku harus menempuh jarak sekitar tiga kilometer. Melewati jalan yang berliku di tepi hutan. Juga harus menyebarang sungai menggunakan jembatan gantung. Tidak masalah bagiku, yang penting aku tetap bisa bersekolah seperti di kota. Akan tetapi, sangat sedikit anak-anak di sini yang mau bersekolah. Aku tahu itu semua dari cerita Martin. Dia yang akan menjadi teman sekelasku.
Pagi ini, setelah sarapan, aku bergegas menuju sekolah. Aku dan Martin berjanji akan bertemu di dekat pasar tradisional. Sebab Martin harus mengantar jualan ibunya ke pasar. Ternyata Martin sudah menungguku di pinggir pasar.
“Ayo, Iko! Matahari su tinggi. Kitong bisa terlambat ke sekolah,” ajak Martin sambil berjalan. Aku mengikuti di belakangnya.
Kulihat Martin membawa tas selempang dan noken, tas tradisional khas Papua yang digantungkan di kepala. Aku jadi penasaran. Untuk apa Martin membawa noken ke sekolah? Apa itu noken mamanya untuk mengangkut sayur ke pasar?
“Hei Lani, ko su besar. Kenapa ko tra sekolah?” tanya Martin pada Lani, anak perempuan seusiaku yang sedang menggiring anak babi menuju pasar.
“Sa mo bantu mama di pasar. Lagi pula sekolah jauh sudah!” jawab Lani.
“Siang nanti, ko ajak kawan-kawan ke rumah saya’e!” ucap Martin sambil terus memerhatikan Lani.
“Oke, Martin,” Lani berbalik arah sambil mengacungkan jempolnya ke arah Martin.
Aku dan Martin melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Kami melewati hutan dan bukit. Di kanan dan kiri jalan, tanaman ilalang tumbuh subur. Juga suara burung beradu dengan suara gemercik air sungai. Alam Wamena sungguh indah. Pemandangan seperti ini tidak bisa kujumpai di kota.
Namun tiba-tiba mendung datang dan angin bertiup kencang. Martin menghentikan langkahnya.
“Kenapa ko berhenti, Martin?” tanyaku pada Martin.
Martin menunjuk jembatan gantung yang terbuat dari kayu dan tali baja. Jembatan itu bergoyang tertiup angin kencang. Di bawahnya, air sungai Baliem mengalir deras.
“Ko berani menyeberang sungai, Iko?” tanya Martin sambil menatapku.
Baru kali ini aku melihat derasnya aliran air sungai dan jembatan yang bergoyang.
“Berani! Kitong pelan-pelan saja, Martin,” jawabku.
Martin mulai berjalan di atas jembatan dan aku mengikuti di belakangnya. Selangkah demi selangkah, aku menginjakkan kaki di jembatan yang terbuat dari potongan kayu. Tanganku memegang erat tali di kedua sisi sambil terus melangkah pelan. Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Jembatan gantung bergoyang-goyang tertiup angin kencang. Kulihat Martin berhenti. Aku pun ikut berhenti dan mengucap doa.
“Iko, jang lihat ke bawah. Pegang erat-erat talinya sudah!” perintah Martin.
Aku menuruti omongan Martin. Jantungku berdegup tidak beraturan. Hampir lima menit aku dan Martin terombang-ambing di atas jembatan gantung. Beruntung jembatan tidak putus. Setelah angin tidak kencang lagi, aku dan Martin melangkah pelan hingga menuju ujung jembatan.
Ternyata Martin sudah sering merasakan sendirian terombang-ambing di atas jembatan gantung. Sebab tidak ada jalan lain menuju sekolah selain melewati jembatan gantung. Oh, pantas saja anak-anak tidak mau ke sekolah. Jalan menuju sekolah sangat jauh dan penuh tantangan.
“Besar nanti, sa mo jadi Bupati. Biar sa bisa bangun jembatan di sini,” canda Martin.
“Amin. Semoga saja doamu terkabul,” jawabku.
Aku dan Martin sudah tiba di sekolah bersamaan dengan turunnya hujan. Setelah memperkenalkan diri di kelas, aku duduk sebangku dengan Martin. Ternyata, sekolah tidak ramai seperti di sekolahku dulu. Kata Martin, di kelas ini hanya ada sepuluh murid. Itu pun kalau masuk semua. Hujan seperti ini, hanya ada lima anak yang duduk di kelas empat.
***
Lonceng pulang sekolah sudah dipukul sejak lima menit yang lalu. Namun, Martin belum juga terlihat. Tadi saat lonceng berbunyi, Martin buru-buru lari ke perpustakaan. Aku terpaksa menunggu Martin di depan gerbang sekolah. Tentu saja aku tidak berani pulang sendiri melewati jembatan gantung dan hutan.
“Hei Iko, maaf’e sa buat ko tunggu sudah,” ucap Martin sambil membetulkan letak noken di punggungnya.
“Sa bantu, Martin!” aku menawarkan bantuan pada Martin. Karena kulihat noken di punggungnya sangat berat.
“Jang, Iko. Sa bisa sendiri!”
Aku dan Martin bergegas pulang. Beruntung tidak hujan. Namun, sisa hujan tadi membuat jalan licin dan becek. Akhirnya, aku dan Martin memutuskan untuk melepas sepatu, karena sepatu itu akan kami pakai lagi besok. Kulihat, Martin menjaga nokennya sungguh-sungguh. Beberapa kali dia memastikan sesuatu di dalam nokennya tidak jatuh. Lalu apa isi noken Martin?
“Martin, apa isi ko punya noken?” tanyaku sambil menunjuk noken di punggung Martin.
“Nanti pulang sekolah ko bantu saya’e di rumah.”
Jawaban Martin tidak sesuai dengan pertanyaanku. Huh, aku semakin penasaran dengan isi noken Martin.
Beruntung tidak hujan hingga aku dan Martin tiba di pekarangan rumah Martin. Seharusnya, kami berpisah karena aku harus berjalan lagi menuju rumah. Akan tetapi, keramaian di rumah Martin membuatku penasaran.
“Iko, ko jadi bantu saya’e?” tanya Martin.
Karena penasaran, aku mengangguk sambil mengikuti langkah Martin. Ada anak-anak seusiaku berkumpul di halaman rumah Martin. Ternyata juga ada Lani, yang kutemui tadi pagi. Mereka memakai kaus dan celana pendek yang lusuh, juga tidak memakai alas kaki. Kulihat wajah mereka bahagia melihat kedatangan Martin. Ketika Martin meletakkan nokennya, anak-anak ramai mengerubungi. Aku sampai tidak bisa melihat apa isi noken Martin itu.
Rupanya, Martin membawakan buku untuk anak-anak di kampungnya. Oh, jadi isi noken Martin itu buku? Aku bahagia melihat mereka antusias membaca buku. Sesekali mereka bertanya padaku dan Martin jika belum paham dengan suku kata yang ada di buku.
“Iko, ko bantu bacakan buku cerita sudah!” perintah Martin.
Aku kemudian membacakan buku cerita berjudul “Si Anak Dieng” yang diterbitkan oleh kementrian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi. Buku itu bercerita tentang ruwatan anak berambut gimbal yang ada di Dieng, Jawa Tengah. Sebelum diruwat, ada permintaan Si Anak Berambut Gimbal yang harus di penuhi. Uniknya, anak itu ingin ditanamkan seribu pohon. Bukan tanpa sebab, itu karena terjadi bencana banjir di Dieng. Dan permintaannya pun dipenuhi. Setelah cerita selesai, tepuk tangan mereka membuatku terharu.
“Jadi, kitong harus jaga hutan agar tra banjir. Betul, Kakak?” tanya bocah kecil yang membawa markisa.
“Betul, kitong harus jaga hutan. Jang ada pohon ditebang,” jawab sebuah suara dari dalam rumah Martin. “Buku cerita yang bagus. Kebetulan hutan di Wamena su banyak ditebang untuk pabrik tambang. Kitong jaga hutan sama-sama, ya!”
Seorang laki-laki dewasa mengagetkan kami. Dia keluar dari dalam rumah Martin.
“Iko, kenalin. Ini papa saya’e!”
Setelah berkenalan dengan Papa Martin, aku kembali mengajari anak-anak membaca. Tiba-tiba mataku tertuju pada papan kecil di dekat pintu rumah Martin. Ternyata Martin adalah anak Kepala Suku Lembah Baliem Wamena. Pantas saja Martin terlihat berbeda dengan anak-anak lainnya.
“Jadi, ko anak Kepala Suku, Martin?” tanyaku.
Martin tersenyum sambil mengangguk.
Menjelang sore, aku pamit pulang pada Martin. Aku berjanji, setiap pulang sekolah akan membantu Martin mengajari anak-anak membaca, menulis dan berhitung. Sesekali membacakan cerita pada mereka.
Sesampainya di rumah, aku menceritakan semua kejadian hari pertamaku di sekolah pada ayah dan ibu.
“Bagaimana kalau ayah membantu membangun taman bacaan di sini? Agar mereka bisa membaca buku juga,” kataku pada ayah.
“Besok, kita dokumentasikan kegiatan Iko dan Martin. Nanti ayah minta bantuan sama teman ayah untuk membangun taman bacaan di sini,” ucap ayah sambil mengusap rambutku.
“Wah, benarkah, Ayah? Terima kasih, Ayah!” aku memeluk ayah erat.
Ah, semoga saja suatu saat nanti ada sekolah di dekat perkampungan ini. Agar kami, anak-anak Wamena bisa bersekolah tanpa merasa ketakutan.
Glosarium
[sunting]Honai: Rumah adat pegunungan tengah, Papua. Honai menjadi tempat tinggal bagi masyarakat Wamena.
Jang: Jangan
Kitong: Kita
Ko: Kau
Mo: Mau
Noken: Tas tradisional masyarakat Papua yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kayu.
Pu: Punya
Sa: Saya
Su: Sudah
Tra: Tidak