Olin, Si Kucing Berbulu Oren
Sinopsis
[sunting]Olin, seekor kucing kecil berwarna oren yang punya rasa ingin tahu yang besar. Suatu hari tempat tinggalnya terbakar habis. Ia juga kehilangan keluarga dan teman-temannya. Dalam kebingungannya, Olin terus berjalan ke sana kemari untuk mencari suatu tempat bagi dirinya.
Lakon
[sunting]- Olin
- Gukguk
- Kunkun
- Bapak dan Ibu Didi
- Paman Penyanyi
Cerita Pendek
[sunting]Olin adalah kucing kecil yang berwarna oren. Ketika baru lahir, ia diberi nama Oren seperti warna bulunya. Namun, anak pemiliknya yang masih balita menyebutnya Olin. Jadi ia kemudian dipanggil dengan nama itu seterusnya.
Setiap hari Olin akan meringkuk bersama ketiga saudaranya di tempat tidur mereka yang hangat atau berguling-guling di beranda depan.
Kadang Olin melihat kucing-kucing liar datang ke rumah, mengeong-ngeong meminta makanan. Olin ingin tahu mengapa mereka tidak punya rumah, tetapi ia kemudian lupa menanyakannya.
Suatu hari Olin dimasukkan ke dalam keranjang kucing dan ditaruh di dalam sebuah mobil pick up berwarna abu-abu. Dari kisi-kisi keranjang, ia melihat ranting-ranting pohon di depan rumah bergoyang pelan tertiup angin. Itulah pemandangan terakhir di rumah lamanya.
Seorang pria besar menyetir mobil itu. Olin menyebutnya Paman Penyanyi karena di sepanjang jalan ia terus bernyanyi mengikuti lagu di radio. Bahkan ia kadang menepuk-nepuk kakinya dan menggoyangkan badannya dengan gembira.
Kadang Paman Penyanyi akan berbicara kepada Olin tentang pemandangan di jalan yang mereka lalui. Antara tidur dan terjaga, ia melihat tiang-tiang lampu, bangunan tinggi, dan pepohonan. Kemudian bangunan tinggi semakin berkurang dan lebih banyak pepohonan.
Akhirnya mobil itu berhenti. Paman Penyanyi membuka pintu mobil dan membawa Olin keluar. Ia memberikan Olin kepada sepasang suami istri, yang Olin kemudian menyebutnya Bapak dan Ibu Didi.
Sebelum pergi, Paman Penyanyi melambaikan tangan kepada Olin sambil tersenyum lebar. Setelah itu, Olin tidak pernah melihatnya lagi.
Oleh Ibu Didi, Olin diperkenalkan dengan si anjing Gukguk. Mereka langsung akrab. Olin sering tidur sambil bersandar di tubuhnya dan Gukguk juga suka bercerita kepadanya.
Saat sedang tidak bermain dengan Gukguk, Olin akan menjelajahi setiap bagian di rumah itu. Ia juga suka memanjat pohon yang berada di pekarangan atau mengejar kupu-kupu yang berterbangan di antara pot-pot bunga.
Ada satu tempat yang belum ia datangi yaitu bukit kecil dengan pepohonan yang lebat di belakang rumah mereka.
“Seperti apakah di dalamnya?” tanya Olin kepada Gukguk sambil mengarahkan pandangannya ke hutan.
Tetapi Gukguk juga tidak tahu. Ia belum pernah masuk ke sana. Gukguk menerka-nerka hewan-hewan yang mungkin ada di dalamnya.
“Ada monyet. Aku yakin ada monyet di dalamnya,” kata Gukguk. “Kemudian juga ada burung. Banyak jenis burung.”
“Darimana engkau tahu, sedangkan engkau belum pernah masuk ke dalamnya?” tanya Olin.
Dagu Gukguk menunjuk ke layar TV. Gukguk suka menonton TV.
Olin kemudian mulai mencoba memanjat tebing bukit dan berjalan-jalan di sekitar pinggiran hutan. Ia melihat ada sebuah pohon yang berongga besar. Saat mendonggakkan kepalanya memperhatikan pohon itu, tiba-tiba ada sesuatu yang terlempar keluar dan mengenai kepala Olin. Lalu dari dalam lubang pohon muncul sebuah kepala dengan mata seperti memakai topeng. Olin ingat Gukguk pernah memberitahunya kalau itu adalah rakun.
“Apa yang engkau lakukan di dalam sana?” tanya Olin.
“Ini adalah tempat tinggalku,” jawab si rakun yang kembali masuk ke dalam.
Olin kemudian pulang. Namun, semakin hari ia semakin penasaran dengan rakun yang tinggal dalam pohon. Ia juga ingin menjelajahi hutan lebih ke dalam lagi.
Suatu senja ketika Bapak dan Ibu Didi sedang keluar, Olin memutuskan untuk pergi ke sana. Dengan gembira ia memanjat tebing bukit dan tanpa ragu berlari dengan cepat masuk ke dalam hutan.
Terdengar suara serangga yang saling bersahutan. Beberapa ekor monyet sedang berayun dari satu dahan ke dahan yang lain. Olin masuk lebih jauh lagi dan tiba di sebuah kolam kecil. Cahaya bulan menyinari permukaannya dari celah-celah daun. Ia melihat si rakun dari rongga pohon sedang mencelupkan tangannya ke dalam air. Olin mendekatinya dan melihat si rakun sedang mencuci kacang. Kacang itu kemudian dimasukkan ke mulutnya dengan kedua tangannya.
“Apakah engkau selalu mencuci makananmu?”, tanya Olin keheranan.
Si rakun menganggukkan kepalanya sambil mencelup sebutir kacang ke dalam air. Ia lalu memberitahu namanya adalah Kunkun dan ia tidak keberatan menjawab pertanyaan-pertanyaan Olin. Mereka beranjak dari sana setelah Kunkun selesai makan.
Tiba di pinggiran hutan, Olin mencium bau asap dan sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Dari atas bukit, ia melihat rumahnya diselubungi api yang berkobar-kobar. Bahkan pohon-pohon di dekatnya juga ikut terbakar.
“Lari!” teriak Kunkun sambil berlari menjauhi kepulan asap yang tebal. Olin mencoba untuk turun, tapi matanya pedih terkena asap. Ia akhirnya mengikuti Kunkun.
Keesokan harinya saat cahaya pertama muncul di langit, Olin kembali ke rumah. Namun, yang ditemuinya hanyalah puing-puing sisa kebakaran. Tidak ada Gukguk dan tidak ada siapa-siapa di sana. Dengan linglung Olin berjalan kembali ke tempat Kunkun.
Saat mendekati rumah Kunkun, Olin mendengar suara ranting-ranting yang berderak patah. Disusuli dengan Kunkun yang jatuh ke bawah dengan suara berdebum keras. Tubuhnya berguling membentur batang pohon. Namun, ia cepat-cepat bangkit dan berlari lagi. Wajah Kunkun yang cemas membuat Olin juga ikut berlari. Seekor elang terbang di antara pepohonan terus mengikuti. Mereka berlari, melompat, dan menyelinap di antara semak belukar menghindari si elang. Berlari dan terus berlari hingga akhirnya tiba di perkotaan di bawah bukit.
Kunkun mengatakan di sini ada teman-temannya yang tinggal di tong sampah yang banyak makanannya.
“Apakah aku boleh ikut tinggal di sana?” tanya Olin dengan penuh harap.
Kunkun berpikir sejenak, lalu berkata, “Mungkin mereka tidak akan keberatan kalau kau membuat matamu mirip denganku”. Ia kemudian membantu Olin menghitamkan bulu di sekitar matanya agar kelihatan seperti bertopeng.
Saat matahari sudah terbenam, mereka menuju ke daerah pertokoan yang ramai. Kata Kunkun, tong sampah itu ada di belakang sebuah rumah makan yang memiliki lampu besar berbentuk dua puncak gunung yang tinggi.
Setelah berbelok di sana-sini, mereka akhirnya menemukan lampu itu. Kunkun menunjuk ke sebuah gang di sampingnya. Ia berlari duluan menyeberang jalan dan menghilang ke dalam gang. Olin terlambat mengikutinya dan terhenti oleh mobil-mobil yang melaju cepat. Setelah beberapa saat, ia berhasil menyeberang.
Di depan gang, ia mendengar keributan dan kemudian beberapa orang muncul sambil menggotong sebuah kerangkeng. Kunkun dan teman-temannya ada di dalamnya. Kerangkeng itu dimasukkan ke dalam mobil yang lalu pergi dengan cepat.
Orang-orang yang ramai berkumpul melihat keributan kemudian berbubaran, tinggal Olin sendirian di sana. Olin kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba masuk ke dalam tong sampah di belakang rumah makan. Tetapi ia tidak bisa membuka tutupnya yang berat. Karena lapar dan lelah, Olin akhirnya meringkuk di dekat tong sampah yang dingin itu.
Pagi harinya, saat meneluri pertokoan itu untuk mencari makanan, ia melihat beberapa orang sedang tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke arahnya.
“Apa yang terjadi dengan wajah kucing itu? Sedang cosplay jadi rakun kah?”
“Harus difoto tuh,” kata yang lain sambil mengeluarkan ponselnya.
Olin cepat-cepat pergi dari sana.
Selama beberapa waktu, Olin tinggal di sekitar pertokoan itu, berharap Kunkun akan kembali. Namun, Kunkun tak kunjung muncul. Ia lenyap begitu saja seperti yang lain.
Suatu hari Olin masuk ke perumahan yang mirip dengan rumah yang ditempatinya dengan induk dan saudaranya. Di beranda sebuah rumah, ada beberapa ekor kucing yang sedang makan. Olin berdiri di depan rumah itu, mengharapkan ada makanan dari sana. Tetapi ada satu ekor kucing yang mendesis marah dan mengusirnya.
“Mengapa engkau mengusirnya?” tanya kucing yang lain. “Kita ada banyak makanan.”
“Ia bukan bagian di sini!” kata kucing itu dengan ketus.
Olin menjauh dari sana dan mencari makanan di tong sampah depan rumah-rumah. Rumah pertama dan kedua, tong sampahnya kosong. Di rumah ketiga, ia diusir dengan sapu. Saat mendekat ke rumah keempat, ia disemprot dengan air. Di rumah kelima, tong sampahnya penuh. Olin melompat naik dan menyusupkan kepalanya ke dalam kantong-kantong yang berisi sisa makanan. Namun, Olin makan dengan gelisah. Sebentar-sebentar ia akan tersentak kaget dan melihat ke sekeliling dengan waspada.
Setelah keluar dari perumahan itu, ia menyusuri jalan raya hingga tiba di bawah sebuah jembatan. Saat menatap bayangannya di air, Olin melihat seekor kucing kurus dengan bulu oren yang awut-awutan. Ia lantas berbaring melengkung sambil mendengarkan suara kendaraan yang lalu lalang di atasnya.
Ke kanan, ke kiri. Mereka punya tempat untuk dituju, pikirnya. Angin yang bertiup sepoi-sepoi membuatnya mengantuk dan ia mencoba tidur sambil memicingkan sebelah mata. Seekor kupu-kupu terbang mengitarinya.
“Pergilah”, kata Olin. “Aku tidak ingin bermain. Aku sangat lelah.”
Namun, kupu-kupu itu terus mengusiknya. Karena kesal, Olin bangkit dan naik ke atas.
Ada sebuah mobil yang diparkir dekat jembatan. Pengemudinya sedang sibuk menelepon sambil bersandar ke pintu. Mobil itu berwarna abu-abu, mirip dengan yang dimiliki Paman Penyanyi. Di bak belakang mobil ada tumpukan kotak yang ditutupi kain terpal. Olin melompat naik dan meringkuk di celah yang gelap. Ia ingin ikut mobil yang terasa hangat ini. Mobil itu kemudian bergerak dan Olin pun tertidur.
Saat ia terbangun, mobil itu sedang mengantri di sebuah pom bensin. Olin menjulurkan kepalanya keluar, celingukan melihat ke sana-sini. Berbagai kendaraan datang dan berhenti, kemudian berjalan lagi. Sepertinya masih belum tiba, pikirnya, dan ia ingin kembali tidur.
Ada suara yang sangat berisik dari mobil yang sedang antri di jalur samping. Olin menoleh ke suara itu. Ia melompat naik lebih tinggi lagi. Matanya mengerjap-ngerjap, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di kaca jendela belakang mobil itu, ada wajah Gukguk yang kelihatan sangat gembira. Kaca jendela depan bergerak turun dan Olin melihat Ibu Didi melambaikan tangan sambil berseru, “Ke sini Olin. Kembali ke sini!”
Olin kembali lagi dengan keluarga Didi.
Suatu waktu ketika rumah mereka telah selesai dibangun, Olin dan Gukguk tidur-tiduran di depan TV. Hujan sedang turun dengan deras, tetapi dalam rumah terasa hangat.
“Aku pikir setelah terbakar maka semuanya sudah tidak ada lagi”, kata Olin dengan pelan.
Beberapa saat kemudian ia mendengar Gukguk berkata, “Akan dibangun kembali. Akan dibangun kembali.”
TAMAT