Lompat ke isi

PULANG

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

PULANG[sunting]

OLEH : Putra Adi Setyawan

Sinopsis[sunting]

Awan yang seakan kehilangan semangatnya dalam pekerjaan, tiba-tiba memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Apakah dengan pulang kampung akan menumbuhkan semangat kerjanya kembali?

Lakon[sunting]

  1. Awan
  2. Anwar
  3. Reni
  4. Ibu

Lokasi[sunting]

Dusun Dayugo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang

Cerita Pendek[sunting]

“Nyadran kali ini bisa pulang kan, Nak?”

Secuil pesan pagi mengiringi suara HPku. Pesan singkat dari Ibuku yang untuk kesekian kalinya aku dapatkan. Sudah 4 tahun aku merantau ke Semarang dan tak sekalipun pulang ke kampung halamanku Magelang. Bahkan saat perayaan Idul Fitri ketika semua orang sibuk dengan mudiknya, Aku memilih untuk fokus pada pekerjaanku. Jarak yang dekat membuatku berpikir bahwa jika Ibuku memang merindukanku Ia pasti dengan mudah untuk datang ke tempatku, toh Aku juga tidak sekalipun menolaknya datang. Aku berpikir ketika Idul Fitri itu adalah momen Warung Makanku ramai. Aku adalah seorang pengusaha rumah makan yang mungkin bisa dikatakan cukup sukses, sekalipun aku tak memiliki warung cabang tapi omsetku sudah mencapai puluhan juta setiap bulannya. Namun dalam beberapa bulan ini omset warung makanku tiba-tiba saja sepi.

“Belum juga kamu putuskan Wan?” Anwar kepala koki dapurku mencoba menegurku dari lamunan.

“Pagi ini Ibuku kembali bertanya sih, tapi buat apa to aku pulang dalam perayaan Nyadran toh acaranya juga cuma begitu saja dan bukankah lebih baik jika Aku fokus dengan perencanaan kita untuk menyelamatkan Resto ini, beberapa bulan ini omset kita menurun, kita harus segera menemukan solusi dari masalah kita bukan?” Aku mencoba mengelak.

“Ya Aku cuma bertanya, siapa tahu bahwa dalam hati kecilmu kamu ada kerinduan terhadap kampung halaman.”

“Sudah, ayo fokus pada pekerjaanmu, sebentar lagi akan ada pelanggan.”

Begitulah hari ini berjalan, entah karena apa warung makanku lebih sepi dari biasanya. Beberapa bulan ini omsetnya turun secara drastis, Aku membaca komentar pada jejaring sosial banyak yang mengeluhkan makanan kami monoton dan tidak ada variasi. Aku sudah mencoba memberikan variasi makanan berbeda dan Aku promosikan ke semua media sosial yang kami punya namun Warung Makanku masih saja belum seramai dulu. Jika dulu pada makan siang kami selalu kelimpungan karena banyaknya pelanggan yang datang, namun saat ini bisa kami hitung dengan jari. Warung sunyi dan hanya menyisakan beberapa suara derit meja yang tak sengaja tergeser oleh pelanggan yang datang.

“Wan, Aku pulang dulu ya, jangan lupa untuk berpikir lagi, siapa tahu Warungmu ini sepi karena kamu yang bosan bukan pelanggan yang bosan.” Anwar seperti memberi nasihat yang bahkan Akupun tak mengerti maksudnya.

Malam kembali pada peraduannya, para gemintang seakan malu bersembunyi pada bilik awan. Sedang suara gemuruh menjadi pertanda bahwa sepertinya malam ini akan kembali turun hujan. Sesaat setelah gemuruh suara ponselku kembali berdering. Sepotong pesan kembali masuk.

“Kalau kamu memang ada waktu, nyadran kali ini pulanglah, Ibu tahu memang sulit menyempatkan waktu, tapi walaupun sebentar pulanglah.”

Begitulah pesan itu masuk ke dalam tumpukan pesan lain yang tak jua sempat Aku baca. Aku berpikir bahwa Ibu terlalu berlebihan ketika memaksa Aku pulang untuk menghadiri sebuah acara adat yang bahkan Aku sendiri tidak tahu maknanya. Aku hanya tahu nyadran di tempatku diisi dengan acara makan-makan di makam kemudian mendengarkan Kepala Desa sambutan dan setelah itu pulang. Aku berpikir bahwa itu hanyalah sebuah acara yang membuang waktu berhargaku. Aku kembali mengabaikan pesan tersebut dan mencoba membuka beberapa referensi tentang makanan yang mungkin bisa membantuku mengatasi krisis Rumah Makanku. Hingga pesan berikutnya muncul.

“Sempatkan sebentar untuk pulang, walau hanya satu jam setidaknya berkumpulah dengan kang masmu, sudah lama Ibu tak melihat kalian bersama semenjak kematian Bapak.”

Pesan yang membawaku pada lamunan berikutnya, kemudian menghantarkan aku kepada mimpi malam yang bahkan tak kusadari akan datang begitu cepatnya. Kemudian pagi menyingsing dengan iringan suara derap langkah anak sekolah. Aku terbangun dengan muka lusuh, segera aku ambil peralatan kerja dan kembali pada aktivitasku.

“Belum juga kamu putuskan Wan?”

“Sepertinya benar katamu, bukan pelanggan yang bosan tapi Aku yang mulai bosan dengan aktivitasku.”

“Lalu kenapa kamu belum pulang?”

“Masih ragu.”

“Tidak usah beralasan aneh-aneh, segera kemasi barangmu dan pulanglah, nyadrannya dua hari lagi bukan, pulang sekarang dan nikmati kampung halamanmu, siapa tahu disana kamu bisa menemukan jatidirimu kembali.”

Anwar tanpa Aku beri komando tiba-tiba mendorongku keluar kemudian memberikan selembaran tiket Travel menuju Magelang. Aku hanya menurut saja tanpa mampu melawan, Aku hanya mengemasi barang seadanya toh Aku tak akan lama juga kan di sana, begitu pikirku.

Travel berjalan menuju Magelang, tepat 2 Jam perjalanan Aku sudah sampai di terminal Soekarno Hatta dan melanjutkan perjalanan dengan menaiki Bus Tunas Mulya menuju arah desaku, Aku hanya termenung sepanjang perjalanan dan berpikir apa yang Aku lakukan, mengapa dengan polosnya Aku mau pulang dan menuruti perkataan Anwar untuk pulang.

“Warung Banaran, siapa turun?”

Suara kenek mengagetkanku dan secara spontan aku berteriak turun. Kemudian Aku melanjutkan perjalanan dengan menaiki ojek dan harus melewati hutan pinus sepanjang 3 Kilometer baru sampai desaku. Hanya butuh waktu 5 menit buatku sampai di tepi desa, Aku kemudian berjalan dan memasuki gerbang Desa dengan langkah yang lunglai, kemudian Aku menatap sebuah tulisan besar di gerbangnya “Selamat Datang di Dusun Dayugo” sebuah hal yang menghantarkan aku pada memori lama dengan kampung halaman. Desaku sebenarnya sudah tak setertinggal dulu, sekarang semua sudah beraspal dan seperti mendekati kehidupan kota, namun adat memang sangat dijunjung tinggi di sini.

“Awan!” Sebuah suara yang Aku kenal menyapaku, pelan aku menengok.

“Hei, Apa kabar?” Hanya kata itu yang Aku lontarkan, entah mengapa Aku yang anak kota ini masih saja gemetar menghadapi suara ini.

“Kapan kamu balik, Kamu nggak lupa sama Aku kan?”

“Baru saja Aku sampai, tentu Aku tidak akan lupa kepada seorang wanita yang pertama kali mengpresiasi puisiku.”

“Kalau begitu mana puisi untukku?”

“Ren, Aku baru sampai, jangan kamu todong semacam itu.”

Dia kemudian hanya tertawa, entahlah suasana begitu cair padahal sudah lama Aku tidak pulang. Seakan desa ini tak sekalipun membenciku, padahal tak sekalipun selama 4 tahun ini aku berpikiran untuk pulang. Reni orang pertama yang menemukanku pulang tentu dengan senangnya mempersilahkan Aku masuk melewati gerbang desa. Kemudian kita berjalan bersama menuju ke rumah. Rumah kami hanya bersebelahan jadi kami memang sudah saling mengenal sejak kecil, sekalipun pada pertumbuhanku Aku mulai sadar bahwa Aku telah menyukainya, namun sepertinya berbanding terbalik dengannya.

“Bagaimana kabarmu?” Aku mencoba menanyainya untuk menghilangkan rasa canggung yang ada.

“Selalu baik dan masih setia menunggu sajak selanjutnya darimu.”

“Bukankah terakhir sudah Aku kirimkan satu buku baru ya?”

“Itu sudah 6 bulan yang lalu dan setelah itu Kamu tak ada kabar.”

“Aku sedang menghadapi krisis, Rumah Makanku dalam 6 bulan ini sepi.”

“Kenapa?”

“Aku juga tak tahu.”

“Dari raut wajahmu kamu menunjukkan kebosanan.”

“Maksudnya?”

“Tidak apa, mumpung Kamu pulang besok ikut Aku yuk, jam 8 pagi Aku tunggu di perempatan ya, Aku mau ke rumah Pak Lurah dulu. Tidak menerima penolakan, oh ya jangan lupa bawa satu sajak.” Reni tiba-tiba melenggang begitu saja tanpa mendengar jawaban dariku.

Aku melanjutkan perjalanan menuju rumah dan keramahan desa ini seakan tak luntur. Sepanjang jalan Aku terus disapa oleh warga dengan pertanyaan yang sama “Kapan pulang?” “Baru sampai Mas”. Ini membuatku terheran, sesuci apa desa ini hingga masih menyambut seorang yang bahkan tak sekalipun mau mengingatnya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Awan kamu pulang Nak, Alhamdulillah.” Hanya kata itu yang muncul dari mulut Ibuku.

“Awan mau tidur ya Bu, masih terasa lelah di perjalanan tadi.”

“Tidak makan dulu kamu Nak?”

“Nanti saja, la Mas Anang kemana?”

“Biasa, lagi ada rapat kesenian dengan warga.”

Mas Anang adalah satu-satunya kakakku, dia merupakan seorang tokoh kesenian di desa, dia juga yang akan memimpin jalannya upacara adat nyadran besok. Aku dulu juga pernah ditawari untuk ikut menjadi pemimpin kesenian berduet dengan Kang Masku, namun Aku merasa tak tertarik dalam bidang seni dan lebih memilih usaha pada bidang masakan. Lagipula Aku tak menyukai tradisi nyadran ini, karena bagiku, tradisi ini hanya sebuah upacara ceremonial biasa dan malah cenderung menghamburkan uang.

Malam mulai kembali dengan peraduannya, suara bising kendaraan nyaris tak terdengar di desaku ini. Hanya nyanyian jangkrik dan serangga saja yang menghias malam. Aku terpikir dengan ajakan Reni, mau mengajakku kemana Ia besok, lantas Aku teringat permintaannya dan secarik kertas Aku ambil dengan sebuah pena.

Sepertinya malam adalah peraduan yang sah

Langit dalam bentuknya

Bintang dalam kerlipnya,

Pada masa itu pula mereka seakan malu

Meresah pada bilik-bilik persembunyian

Kemudian seorang panggil nama

Nampaknya para penghuni malam itu

Enggan memberi rupa

“Apa artinya?” Reni seperti biasa menanyakan sajak yang aku beri.

“Seperti biasa Aku tak akan memberitahumu.”

“Hilih hilih.”

“Kamu mengajakku bertemu pagi ini mau kemana?”

“Rahasia, Yuk berangkat.” Reni melipat selembar sajak yang Aku beri dan menggandengku menuju ke suatu tempat.

Aku dibawanya menuju ke sebuah bangunan yang terbuat dari bambu, kemudian terlihat begitu banyak ibu-ibu tengah sibuk dengan alat alat dapur yang ada di depan mereka. Satu kelompok sedang membersihkan ayam, kemudian ada juga yang sedang memotong bumbu dapur. Terlihat Ibuku juga ikut dalam kelompok ini, begitu pula Ibunya Reni. Aku terheran, sejak kapan mereka melakukan ini, bukankah dulu tidak melakukan masak memasak secara serentak, tapi lebih ke tiap keluarga saja.

“Cieeee, yang lama tidak pulang sudah digandeng saja sama yang sudah lama nungguin.” Godaan Ibu-ibu terus saja melayang di telingaku.

“Ren, kamu mengajakku kesini untuk apa?”

“Membantuku lah.”

“Membantu apa?”

“Memasak beberapa menu, karena kamu kan ahli memasak.”

“Menu apa?”

“Menu rumahan, yang akan kita bawa besok di acara Nyadran.”

Reni tiba-tiba memberiku celemek dan Aku dipaksanya melakukan aksi memsak. Sepanjang pekerjaan Aku terus saja bercanda dengannya. Entah mengapa Aku begitu menikmati semua proses memasak kali ini, seakan sangat berbeda dengan apa yang Aku alami di Semarang. Mungkin benar bahwa Akulah yang bosan bukan pelangganku yang bosan.

“Terimakasih ya untuk hari ini.” Reni duduk di sampingku dan memberikan sebotol minuman kepadaku.

“Ini bukan hal sulit, Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan semacam ini.”

“Besok kamu harus datang ya di kegiatan Nyadran dan kamu yang harus bawa tenongnya.”

“Enggak, Aku gak mau.”

“Harus mau.” Reni hanya mengucapkan satu kalimat dan melenggang seperti kemarin.

Apa yang tengah Ia rencanakan, mengapa memaksa Aku melakukan hal yang bahkan selama ini Aku amat membencinya. Aku hanya pulang dengan perasaan aneh, karena sekalipun Aku membenci tempat ini dan suasana Nyadran, namun Aku masih tetap menjalankannya. Aku mulai berpikir bahwa ini terjadi karena ada Reni di sampingku.

Pagi datang begitu cepat, Aku keluar kamar dan mendapati Ibuku sudah menata semua lauk pauk yang akan di bawa di kegiatan Nyadran. Satu tenong terisi penuh lauk pauk telah siap, namun Aku terheran, mengapa ada dua Ingkung, bukankah satu Ingkung melambangkan satu keluarga. Ingkung disini adalah ayam utuh yang dimasak opor namun tanpa kuah.

“Bu kenapa ada dua Ingkung?”

“Reni titip satu dan katanya harus kamu yang bawa tenongnya, sana cepet siap-siap dan bawa tenongnya ke makam.”

Berani juga anak itu menyuruhku dengan mengadunya ke Ibu. Awas saja kalau ketemu, namun belum jua Aku selesai mengumpat Reni tiba-tiba hadir.

“Yuk berangkat!”

Aku hanya pasrah dan mengangkat tenong yang cukup berat itu, kemudian Reni berjalan di sampingku dengan membawa nasi tumpeng. Inilah tradisi Nyadran di Desaku Dayugo, dimana semua warga akan berbondong-bondong menuju makam dengan membawa lauk pauk berupa Ingkung dan juga pelengkapnya dan dimasukkan kedalam tenong, yaitu sebuah tempat dengan bentuk lingkaran dan terbuat dari bambu. Nasi yang digunakan juga dibuat tumpeng dan hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mensyukuri nikmat yang sudah diberikan kepada desa ini. Namun tidak denganku yang begitu tidak menyukai tradisi ini ada dalam desaku.

Aku berjalan dengan muka ditekuk, Reni seakan menahan tawa ketika melihatku, seakan Ia sengaja menjebakku dalam situasi ini.

“Kamu itu memang tidak cocok jadi orang kota, cocokmu yang begini.”

“Nggak usah mulai deh, berat ini.”

Aku hanya memandang sekeliling, begitu ramai Nyadran kali ini dan hal yang membuatku kaget adalah kegiatan ini seakan tidak mau kalah dengan Idul Fitri. Banyak sekali warga yang bahkan bukan warga asli dan ada pula yang Aku kenal Dia kerja di Jakarta namun menyempatkan untuk hadir di kegiatan ini. Rangkaian acarpun telah dimulai dan tiba saatnya untuk acara makan-makan. Aku mulanya tak tertarik dengan acar ini, namun begitu mengikuti mengapa menyenangkan juga dan dapat mengajariku betapa nikmatnya kebersamaan. Reni memberikanku sepiring Nasi dan kami bersantap bersama dengan keluarga lain, entah mengapa semua lauk yang aku makan begitu nikmat dan reflek Aku membuka telponku untuk menghubungi Anwar.

“Bagaimana mas? sudah ketemu masalahmu?” Anwar seakan paham maksudku.

“Aku sudah menemukan konsep baru untuk Rumah Makan kita.”

Hanya kalimat itu yang aku sampaikan dan kulihat Reni tersenyum mendengarnya. Seusai kegiatan Aku langsung berpamitan kepada Ibu dan juga Reni. Aku harus segera menuju ke Semarang, menjelaskan ideku kepada Anwar dan berharap untuk kali ini akan lebih sukses dari kemarin.

“Kalau sudah pergi, jangan lupa untuk pulang lagi ya, Aku akan menunggumu.” Begitulah kata Reni menghantarku dari tempatku pulang.

TAMAT