Lompat ke isi

Panggilan Dari Sekolah

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

SINOPSIS[sunting]

Senin pagi itu, Ibu merasa resah. Ia mendapat panggilan dari sekolah. Katanya, ini tentang anaknya, Kafka. Ada apa ya?


PANGGILAN DARI SEKOLAH[sunting]

Senin pagi itu, Ibu berjalan bolak-balik di dapur. Ia sedang menerima panggilan telepon.

“Oh, baik, Bu,” katanya pada seseorang di seberang telepon. Ibu lalu mengangguk-angguk. Ia menggigit bibir bawahnya. “Ya, ya, Bu. Saya mengerti.” Setelahnya, Ibu menutup sambungan telepon itu dengan wajah cemas.

Ayah yang sedari tadi memerhatikan tingkah Ibu, bertanya, “Kenapa, Bu, bolak-balik aja kayak setrikaan?”

“Ibu Dewi, wali kelas Kafka, tadi menelepon. Katanya Ibu diminta untuk datang ke sekolah.”

Sambil menaruh piring yang baru saja dicucinya di rak, Ayah bertanya lagi, “Memangnya ada apa?”

“Soal Kafka, katanya. Ibu juga belum tahu ada apa. Tapi, kalau dari nada bicara Bu Dewi sih, kedengarannya penting.”

“Ya sudah, Ayah antar Ibu ke sekolah ya,” tawar Ayah, mencoba menenangkan.

“Lho, bukannya Ayah kerja?” tanya Ibu.

“Ayah bisa izin, kok. Biar Ayah temenin Ibu. Lagipula, ini soal Kafka, anak kita.”

Ibu mengangguk. Senyumnya terkembang. Namun, bukan berarti hatinya benar-benar tenang. Ia masih merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Sesampainya di sekolah, Ibu dan Ayah mencari Bu Dewi di kelas. Sang guru sedang mengajar mata pelajaran Seni Budaya ketika itu. Ibu sempat mengedarkan pandangannya hingga ke penjuru kelas. Tetapi, tak ada Kafka. Bu Dewi kemudian mengajak Ibu dan Ayah menuju ruangannya.

Bu Dewi mempersilakan Ibu dan Ayah untuk duduk. “Terima kasih, bapak dan ibu sudah berkenan datang,” katanya membuka obrolan.

Sebelum melanjutkan kata-katanya, Bu Dewi berdeham. Perasaan Ibu mulai tak menentu. Ia menepuk-nepuk lutut dengan telapak tangannya. Ayah yang menyadari kegugupan itu kemudian menggenggam tangan Ibu.

“Jadi begini. Selama hampir dua semester mengajar Kafka, saya perhatikan anak itu sangat aktif. Luar biasa aktif, malah. Saking aktifnya, dia tidak bisa duduk dengan tenang di bangkunya. Sekalinya duduk, dia enggak akan diam. Dia akan mengajak teman sebangkunya mengobrol,” papar Bu Dewi.

“Bahkan,” lanjut sang guru sambil tertawa, “saat menjadi kiper di pertandingan futsal antarkelas pun, dia malah asyik mengajak ngobrol temannya. Kebobolan tiga gol gawang kelas 1-D saat itu, bapak dan ibu.”

“Mohon maaf bila pada akhirnya saya menyuruh Kafka untuk duduk sendiri di kelas,” pungkas Bu Dewi.

Lamunan Ibu terbang ke saat di mana Kafka berkata bahwa dia tak punya teman sebangku. Kala itu, Ibu bertanya, “Kafka duduk sama siapa di kelas?” Yang ditanya menjawab santai dengan gelengan kepala. “Aku enggak punya teman sebangku. Aku duduk sendiri.” Saat itu, Ibu mengira tidak ada masalah sama sekali.

“Saya akan menasehati Kafka soal ini, Bu,” kata Ayah.

“Oh, bukan hanya soal ini, Pak,” sahut Bu Dewi cepat.

Ayah dan Ibu saling pandang. Masih ada lagi rupanya, kata Ibu dalam hati.

“Beberapa minggu yang lalu, saya dibuat panik. Orang tua Hafiz dan Akbar bilang anaknya tidak ada saat dijemput. Padahal saya selalu meminta anak-anak untuk menunggu di depan ruang UKS bila belum ada yang menjemput. Di kantin pun Hafiz dan Akbar tidak ada.”

Bu Dewi terbatuk-batuk. Sebelum meneruskan, ia meminta izin untuk minum. Sementara, Ayah dan Ibu hanya bisa menahan napas. Mereka siap untuk mendengarkan lanjutan ceritanya.

“Saya meminta Pak Jaka dan Pak Ansori untuk mencari kedua anak itu di jalan sekitar sekolah. Syukurlah, mereka berhasil ditemukan. Hafiz dan Akbar sedang berjalan kaki sambil tertawa-tawa,“ sang guru memberi jeda. Sambil memandangi Ayah dan Ibu, ia melanjutkan, “bersama Kafka.”

Ibu menepuk keningnya sendiri, lalu memijatnya perlahan. Sedangkan Ayah terdengar mengembuskan napas panjang.

“Setelah ditanya, ide pulang jalan kaki bersama itu memang diusulkan oleh Kafka,” ungkap Bu Dewi.

Masih sambil mengurut keningnya, Ibu teringat saat dirinya juga pernah kebingungan mencari Kafka yang menghilang di sekolah. Pada hari ketiga Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah itu, Ibu terlambat menjemput. Kafka yang tidak suka menunggu, memutuskan untuk pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Sendiri. Tanpa memberi tahu gurunya. Padahal jarak rumah dari sekolah lumayan jauh.

Ya ampun! Kali ini dia malah ngajak teman-temannya pulang jalan kaki, keluh Ibu dalam hati.

“Dan hari ini,” lanjut Bu Dewi, “Kafka ketahuan sembunyi di bawah meja saat yang lain upacara bendera.”

Sekali lagi, Ayah dan Ibu saling pandang. Mereka kehabisan kata-kata.

Bu Dewi bangkit dari kursi. “Mari ikut saya, bapak dan ibu,” ajaknya. “Anak-anak yang kedapatan tidak ikut upacara bendera akan dihukum membersihkan toilet.”

Bu Dewi mengajak Ayah dan Ibu ke toilet yang sedang dibersihkan oleh Kafka. Terdengar suara Pak Jaka sedang memberikan perintah, “Nah, siram yang sebelah situ!”

Sesampainya di pintu toilet, Ayah dan Ibu melihat Kafka sedang menyiram air menggunakan gayung. Mengetahui orang tuanya datang, Kafka mengadu, “Aku disuruh bersihin toilet.” Anak itu memasang wajah menyedihkan.

“Selesaikan dulu hukumannya,” kata Ayah tegas.

Ibu melirik ke arah Ayah. Ia menutupi mulutnya dengan tangan. Rupanya ia menahan tawa.

“Setelah ini, Kafka masih harus berdiri di lapangan sambil hormat bendera ya,” perintah Bu Dewi.

Anak itu melirik Ayah dan Ibu. Berharap akan dibela. Tetapi, Ayah dan Ibu hanya mengangkat bahu.

Kafka menyipitkan mata saat berdiri menghormati bendera merah-putih. Dia tampak sudah tak betah berdiri di sana. Sengatan matahari pukul 9.30 membuatnya berkeringat. Pinggiran topinya tampak basah. Ayah dan Ibu menunggu di depan kelas 1-D.

“Sepuluh menit lagi!” teriak Ayah sambil tersenyum. Teriakan itu hanya dibalas Kafka dengan delikan mata dan bibir manyun.

Sebelum masa hukuman Kafka selesai, murid-murid lain sudah selesai belajar. Satu per satu dari mereka keluar kelas. Beberapa di antara mereka menghampiri dan menggoda Kafka. Anak itu mengusap wajahnya dengan lengan baju saat teman-temannya mulai menertawai. Dia bukan mengelap keringat. Dia menangis.

Ibu hampir saja berlari menghampiri Kafka jika Ayah tidak melarangnya. “Enggak apa-apa, Bu,” bisik Ayah, “kita tunggu di sini sampai hukumannya selesai.”

Sepuluh menit berlalu, Bu Dewi menghampiri Kafka di lapangan. Tampaknya, sang guru memberikan nasihat sebelum mengizinkan muridnya itu menemui orang tuanya. Kemudian, dengan langkah gontai, Kafka menghampiri Ayah dan Ibu.

Di perjalanan pulang, Ayah bertanya, “Kenapa Kafka enggak ikut upacara?”

“Malas,” jawab Kafka pendek.

“Malas kenapa?”

“Karena setiap hari Senin upacaranya sama aja, Yah. Pancasila-nya sama, benderanya sama, lagunya juga sama,” sahut Kafka sambil bersungut-sungut.

Ibu terkekeh mendengar jawaban anaknya. “Masih akan ada sebelas tahun lagi, lho. Sampai Kafka SMA nanti pun masih ada upacara,” kata Ibu di sela tawanya.

“Sebetulnya, upacara bendera setiap Senin itu penting,” kata Ayah. “Di saat itulah kita mengingat dan menghormati jasa para pahlawan.”

“Pahlawan itu siapa sih?” tanya Kafka

“Orang-orang yang berjasa untuk bangsa dan negara,” jawab Ayah.

“Kalau enggak ada mereka, belum tentu Kafka bisa sekolah seperti sekarang,” timpal Ibu. “Cara kita berterima kasih sama mereka, ya dengan cara mengikuti upacara bendera.”

Kafka cemberut. Kedua tangannya dilipat di dada, “Tetap aja aku malas ikut upacara.”

“Jadi Senin depan tetap akan sembunyi di bawah meja?” tanya Ibu.

Kafka tak menjawab. Anak itu mengalihkan pandangannya ke jalan raya.

“Lebih pilih mana, ikut aturan atau kena hukuman?” Kali ini Ayah yang bertanya.

Kafka tampak berpikir. “Ya, deh. Aku ikut upacara. Enggak akan ngumpet lagi,” sahutnya.

“Bagus!” puji Ayah sambil tersenyum. Ibu pun mengacungkan kedua ibu jarinya.

“Janji ya, Kafka akan patuhi aturan di sekolah?”

Anak laki-laki itu menjawab pertanyaan Ibu dengan anggukan. Wajahnya kini terlihat lebih ceria. “Oke, Bu!”

Tiba-tiba Ayah membelokkan motornya ke restoran cepat saji favorit Kafka. “Makan ayam krispi, yuk,” ajaknya. “Ayah lapar nih,” katanya sambil tertawa.

“Aku mau es krim juga!” teriak Kafka kegirangan.