Panik Pandemik

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas


“Buuuuu, penggarisku dipatahkan Candra!” Teriak Elya dari bangkunya

  “Buuuuu, cat airku lho dipinjem teman-teman sampai habis” Mishel marah-marah sambil menghentak-hentakkan kakinya.

  “Pokoknya gak boleh, kamu nyontek muluk bisanya” Zahwa berlari sambil mengambil kanvasnya yang dibawa Charlie.

  “Jangan suka pinjam paletkuu, bikin kotor tauuuk..” Nabila menarik palet yang dibawa Ubaid, Ubaid gelagapan karena tarikan yang keras, hilang keseimbangannya dan bruk jatuh tertimpa bangku.

“Hoiii... bersihkan mejakuuu.. bekas catmu ini lhoo” Afra berteriak kepada Yudi yang mengotori mejanya sambil menahan tangis.

“Ini kanvasku, bukan punyamu, ini punyakuuuuu...” lengkingan Suara Zia juga memenuhi seantero kelas,  lalu terdengar kaleng tempat air yang jatuh, kanvas yang sobek, cat-cat yang berserakan, dan umpatan Andre menambah riuh rendah suara di kelas.

Suara-suara gaduh itu berdengung-dengung di telinga Tania. Ternyata dia merindukannya. Tania menutup kelasnya dan berjalan menuju ruang guru. Sejauh mata memandang yang ada hanya sepi dan sunyi. Kelas-kelas yang kosong, bangku-bangku di taman yang sepi, kantin yang melompong, musholla yang lengang, halaman sekolah

yang mencekam, parkir sepeda yang kerontang, ya Allah... kemana semua kegembiraan bersekolah itu? Tania kehilangan, sungguh merasa kehilangan.

  Lalu Tania menuju ke ruang guru, mengumpulkan buku-buku dan kanvas-kanvas yang berserakan di meja kerjanya, tak lupa cat-cat minyak, cat air, kuas dan palet-palet. Semua yang memenuhi mejanya, dirapikan dan disimpannya di almari.

Tania lalu melipat taplak dan memasukkannya ke tas plastik yang dibawanya dari rumah, dia juga membawa vas bunganya pulang. Kini mejanya sudah bersih dan rapi, mungkin akan begini untuk beberapa saat ke depan. Berasa ada yang hilang dari hatinya, mata Tania basah. Dia merindukan murid-muridnya.

  Seminggu yang lalu Kepala Sekolah mengumumkan bahwa sekolah terpaksa diliburkan karena virus corona yang menyerang. Virus yang muncul pertama kali di China itu kini telah sampai ke negara ini. Pemerintah mengantisipasi

membludaknya jumlah orang yang terkena dengan cara mengadakan pembatasan sosial berskala besar, salah satunya adalah dengan menutup sekolah-sekolah sehingga anak-anak harus belajar secara online. Semua terkejut, semua terperanjat, semua kebingungan, tapi tak ada yang bisa dilakukan. Mereka harus patuh demi keselamatan

diri mereka juga.  

  Dan hari ini Kepala Sekolah memutuskan mengundang bapak dan ibu guru untuk hadir ke sekolah. Ternyata mengajar online tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak sedikit para guru yang kebingungan menghadapi perubahan ini. Kemampuan IT yang nol juga penguasaan aplikasi yang minim benar-benar menghambat jalannya pembelajaran online itu sendiri. Tania paham sekali tentu banyak bapak dan ibu guru yang tidak sanggup harus beradaptasi dengan perubahan ini. Oleh karena itu keputusan mengumpulkan Bapak dan Ibu guru adalah keputusan yang tepat

menurut Tania, tetapi dengan konsekuensi mereka harus benar-benar mentaati protokol kesehatan. Bagaimanapun, mereka harus memikirkan metode yang sesuai untuk mengajar di masa pandemik ini.  

  “Gimana bu? Sudah memberi tugas apa saja?” Tania bertanya kepada Bu Dwi salah satu guru senior di sekolahnya. Bu Dwi hanya tersenyum.

  “Aku nggak bisa membuat soal di google form, aku sudah lupa bagaimana caranya” Bu Dwi berbisik takut kedengaran guru yang lain. Tania nyaris tertawa menahan rasa gelinya. Begitulah, tidak hanya Bu Dwi, pasti banyak guru yang lain yang mempunyai masalah yang sama. Padahal anak-anak di rumah sudah menunggu, sudah siap menkmati sajian materi yang akan ditampilkan oleh bapak dan ibu guru. Tetapi ternyata bapak dan ibu guru belum siap.  

  “Aku juga nggak bisa, apalagi quizziz itu bagai mana cara kerjanya, aku pengennya menjadikan soal-soal itu PR sehingga bisa dikerjakan agak lama waktunya,eh koq dari kemarin aku bisanya live melulu” Bu Rini ikutan mengeluh pula. Sungguh miris Tania mendengarkan semua itu. Tak hanya para guru tetapi juga orang tua murid di rumah semua berkeluh kesah karena harus mendampingi anaknya belajar. Tak sedikit para ibu yang berubah menjadi monster yang menakutkan ketika mengajari anaknya. Sampai banyak meme bermunculan tentang ibu yang ternyata lebih jahat daripada gurunya hahaha..

  Tania yang sudah memikirkan semua kendala itu di rumah, merumuskan beberapa hal penting yang mungkin bisa digunakan untuk mengatasi permasalahan ini. Tania menghadap kepala sekolah dan mulai menjabarkan ide-ide yang telah disusunnya. Syukurlah Kepala Sekolah setuju dengan usulannya, Tania dipersilahkan menyampaikan idenya kepada teman-teman. Selama di rumah memang Tania telah browsing-brwosing dan mencoba mengamati apa yang dilakukan oleh guru-guru di daerah lain bahkan di negara lain, lalu Tania mencoba untuk meniru dan memodifikasinya, sehingga bisa diterapkan di sekolahnya.  

  Hari menjelang sore ketika rapat hari itu selesai, Tania memakai maskernya, mencuci tangannya dan bergegas menuju tempat parkir. Tania sangat bersyukur semua teman menyetujui usulannya, sehingga program yang direncanakannya bisa berjalan dengan lancar. Kalau rencana programnya lancar, maka itu juga akan menguntungkan murid-muridnya. Teman-temannya sesama guru pun pasti merasa terbantu sehingga bisa mengajar dengan mudah dan nyaman.

  “Bu Taniaaaa, aku pulaaaang yaaa...  

  “Pulang duluuu Ibuuu...”

  “Assalamualaikum Mam, dadaaahh...”

  “Sampai besok ya Buuu..”

  “Good bye kiss kiss Buu..”

Langkah Tania terhenti di tempat parkir. Ya Allah tiba-tiba suara teriakan murid-muridnya itu bersahut-sahutan memenuhi kepalanya. Tania seolah melihat mereka melambaikan tangannya, melihat mereka berebutan salim mencium tangannya, melihat mereka berhamburan keluar kelas, ada yang topinya jatuh, ada yang tali sepatunya lepas, ada yang kencang berlari menuju tempat parkir. Tania menghapus air mataya, “Ibu merindukan kalian anak-anak” Batinnya lirih, sambil memandang ke semua penjuru sekolah yang kini sunyi lengang tak berarti. Tania bergegas menaiki motornya dan melesat pulang, kesedihan itu akan berdentam-dentam memenuhi dadanya setiap melihat sekolah yang biasanya ramai kini mendadak sepi.  

  Sebelum program yang dirancang Tania selesai, guru-guru dipersilahkan memberikan tugas lewat whatsapp massenger, itu akan lebih mudah. Guru bisa menyuruh murid-murid memotret pekerjaannya, bisa menyuruh mengirim voice note dan bahkan menyuruh mereka membuat video lalu mengirimkannya dan masih banyak lagi. Murid-murid yang tidak punya handphone dipersilahkan datang ke sekolah untuk mengambil  worksheet. Mereka harus tetap menjaga protokol kesehatan karena keadaan diluar bertambah genting, banyak sekali yang mulai terpapar. Setiap hari korban meninggal juga bertambah banyak. Tania sangat miris sekali, apalagi ketika mendengar kabar bahwa beberapa temannya juga positif covid.   Hampir seminggu Tania menyelesaikan programnya, dia membuat program Teacher Support Teacher dimana setiap guru harus bekerja sama untuk memberi tugas kepada muridnya. Setiap guru harus berbagi tugas dengan guru mapel lainnya dan harus saling mendukung. Di masing- masing kelompok ada satu guru yang menguasai IT dan harus membimbing guru yang lainnya. Program itu nyaris diumumkannya di group WA ketika tak sengaja Tania membaca ucapan duka cita beruntun memenuhi komen group WAnya, Tania lemas ketika membaca nama temannya yang meninggal dunia itu. Ya Allah, corona begitu kejam menyerang sahabatnya. Belum kering air mata Tania, ketika keesokan harinya seorang guru senior di sekolahnya kembali tiada. Tania menangis tergugu, hancur perasaannya, hancur hatinya. Teman-temannya saling menelepon dan menangis, dalam waktu dua hari berita duka datang terus menerus. Program yang disusun Tania menjadi kacau balau karena guru yang meninggal adalah guru yang mumpuni yang diharapkan Tania bisa membantu terlaksananya program itu.  

Tania memandang rinai hujan diluar jendela, dia masih lemas, tidak tahu harus bagiamana karena programnya terpaksa gagal belum bisa terlaksana. Pikirannya buntu, otaknya tak bisa diajak berpikir. Kehilangan dua temannya berturut-turut itu sangat mengguncang hatinya. Tania masih terus saja menyeka air matanya, sambil memandang hujan yang turun membasahi taman bunga di depan rumahnya. Tania tidak tahu bahwa di group dinas sekolahnya sudah ada ucapan duka cita lagi. Ternyata air matanya masih akan terus berjatuhan, karena Corona merenggut satu persatu temannya, entah sampai kapan...