Papaku Seorang Punakawan
Pengantar
[sunting]Cerpen anak bertema literasi budaya ini ditulis oleh Braindito, nama pena dari seorang ayah dengan dua orang anak.
Cerita Papaku Seorang Punakawan sendiri bertutur tentang tokoh Andria yang malu, kecewa, dan marah karena papanya memutuskan mencari uang dengan menjadi punakawan jalanan. Apalagi di sekolahnya, Andria kemudian sering diejek teman-temannya karena profesi baru papanya itu.
Lakon
[sunting]- Andria: Siswi SD kelas 4B
- Pak Bonar: Ayah Andria, sang punakawan
- Jerry: Teman sekelas Andria yang bandel
- Bu Ratna: Guru dan wali kelas 4B
Lokasi
[sunting]Kota Yogyakarta.
Cerita Pendek
[sunting]Mendadak Punakawan
[sunting]Sudah seminggu lebih, Andria malas bersekolah. Dia malu dengan teman-temannya karena ulah papanya, Pak Bonar.
Akhir tahun lalu, Pak Bonar diberhentikan sebagai pemandu wisata. Kantor tempatnya bekerja bangkrut, karena turis-turis makin jarang datang ke kotanya. Dua bulan mencari pekerjaan pengganti, belum juga ada hasil. Sementara, satu per satu barang di rumah sudah dijual demi mengisi perut keluarga dan membayar tagihan-tagihan.
Setengah putus asa, sang ayah memutuskan menjadi punakawan. Beliau berjoget dan berpantomim di jalan raya. Di perempatan lampu merah, Pak Bonar melakukan apa saja demi mendapat saweran dari para pengendara. Andria sampai malu sendiri melihatnya.
Pada saat yang hampir bersamaan, marak terjadi kasus penculikan anak di Yogyakarta. Pak Bonar jadi melarang Andria dan adiknya pergi-pulang sendirian ke sekolah. Beliau memutuskan mengantar jemput putrinya setiap hari. Sedangkan istrinya bertugas mengantar jemput Arkam, adik Andria.
Ketika mengantar, tidak ada masalah bagi Andria. Problem terjadi saat penjemputan. Sebab, pukul 2 siang, Pak Bonar masih “berdinas”. Tidak mudah membongkar-pasang kostum punakawannya. Ada irah-irahan (topi), kalung, gelang, rompi, celana satin, sembong (jarik), epek (sabuk), gaman (senjata), dan perut palsu untuk menyesuaikan dengan tokoh Bagong yang buncit.
Itulah mengapa Pak Bonar memilih langsung menuju sekolah Andria, tanpa melepas kostum dan riasan tebalnya.
Orang-orang di sekolah jadi tersenyum-senyum geli melihat kedatangan tokoh punakawan itu. Untungnya, Pak Bonar sendiri tidak minder. Beliau asyik saja mengobrol dengan para penjemput lainnya. Lama-lama, mereka pun akrab dan terbiasa dengan kehadiran sang punakawan.
Justru teman-teman Andrialah yang resek. Mereka jadi gemar membuat aneka lelucon di depan gadis itu.
Semua bermula dari hinaan Jerry. Siswa yang nakal tetapi sekaligus pintar di kelas 4B itu awalnya memanggil Andria dengan sebutan Gong. Andria bingung, “Gong siapa?” tanyanya lugu.
“Bagong!” sahut Jerry cepat, disusul derai tawa teman-teman lainnya.
Sejak saat itu, mereka seperti berlomba-lomba mengejek Andria.
“Enak, ya, Andria. Tiap hari dapet hiburan dari papanya,” sindir Amelia.
“Sungguh membagongkan,” komentar Aldo ketika Andria ribut mencari pulpennya, padahal sedari tadi benda tersebut ada di sakunya.
“Hei, Andria!” panggil Sarif suatu hari. “Adikku mau khitan. Bisa menanggap papamu?”
Pernah pula, Jerry sengaja bertanya kepada Bu Ratna, guru kelas 4B, “Apa, sih, punakawan itu, Bu?”
Dengan lempengnya, beliau menjelaskan, “Punakawan itu penghibur dan pelayan raja atau bangsawan zaman dahulu. Ada Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Dalam pertunjukan wayang Indonesia, kadang-kadang aksi merekalah yang ditunggu. Karena punakawan ini semacam badut. Mereka kocak dan konyol. Masa, sih, kamu tidak tahu? Oh, ada contohnya!” Bu Ratna mengacungkan telunjuknya, seperti baru teringat sesuatu. “Kalian pernah lihat, kadang-kadang ada punakawan di depan sekolah kita kalau siang?”
Murid-murid mulai cekikikan. Andria perlahan menunduk dengan wajah memerah. Bu Ratna mulai mencium sesuatu yang tidak beres. Begitu diberi tahu bahwa punakawan yang dimaksud adalah ayah Andria, beliau tampak salah tingkah.
Bu Ratna pun buru-buru melanjutkan, “Tapi punakawan bukan hanya penghibur dan pelayan, lo. Mereka juga pengawal dan penasihat. Di balik kekonyolannya, mereka sebenarnya bijaksana dan berwawasan luas.” Bu Ratna melirik Andria yang masih menunduk. “Dan terkait ayah Andria, apa yang salah? Itu juga kerjaan yang halal. Jadi, Andria … lihat Ibu, Sayang!”
Andria spontan mendongak, memandang wali kelasnya.
“Kamu tidak boleh malu dengan profesi ayahmu! Kalau ayahmu itu pencuri, koruptor, atau … penculik seperti yang sedang marak di kota kita, kamu pantas malu. Tapi ini, kan, jadi punakawan. Kamu justru harus bangga! Menghidupkan kembali karakter punakawan, artinya ayahmu ikut melestarikan budaya Indonesia!”
Seisi kelas terdiam. Murid-murid pengejek terbungkam dengan telak. Andria merasa di atas angin.
Andria Makin Stres
[sunting]Sayangnya, kelegaan Andria hanya bersifat sementara. Komentar-komentar miring seputar profesi baru papanya ternyata terdengar lagi beberapa hari kemudian.
Kemarin, contohnya. Ketika Andria datang kesiangan untuk piket, Zamroni menyindir, “Kamu lupa sekarang Selasa? Ngelawak banget, sih. Bakat bawaan dari papamu, ya?”
Teman-teman lainnya spontan terpingkal-pingkal.
Duh, kalau Zamroni yang biasanya pendiam saja sampai ikut mengoloknya, berarti memang ada yang keliru!
Maka sore itu, Andria memutuskan berterus terang kepada Pak Bonar. “Pa, sebaiknya Papa nggak usah jemput aku lagi,” ucap Andria saat siaran sepak bola di televisi sedang jeda.
“Lo, kenapa?” selidik Pak Bonar.
“Malu, Pa! Teman-teman pada merundung aku! Bagong, Bagong, Bagong ….”
Sang ayah berpaling ke putri sulungnya. “Papa sebenarnya juga emoh jadi Bagong, Nak. Sudah pakai kostumnya ribet, perutnya berat, panas-panasan gitu, mana penghasilannya kecil lagi. Tapi, selama Papa belum dapat kerja baru, ini pun harus disyukuri. Alhamdulillah! Ya, kan?”
Andria terlanjur tidak mau tahu. “Capek aku diolok-olok terus sama bocil-bocil itu, Pa!”
“Ya sabar saja.”
“Sesabar-sabarnya aku, pengin marah juga kalau gini terus!” suara Andria meninggi.
“Terus, kamu mau Papa diam aja di rumah? Mama sama adikmu nanti makan apa?”
“Bukan begitu juga,” sahut Andria. “Tapi seenggaknya, Papa nggak usahlah jemput-jemput aku lagi! Kalau mereka nggak lihat kostum Papa, mereka nggak akan tergoda untuk mengolok-olok lagi. Lagian, bukannya Papa malah enak kalau nggak harus jemput aku?”
Pak Bonar terdiam sesaat. “Terus, yang jemput kamu siapa?”
“Pulang sendiri!” ketus Andria. “Jalan kaki! Tinggal keluar kompleks, ke jalan raya, terus masuk ke kompleks kita. Nggak sampai sepuluh menit, Pa!”
“Jangan,” sergah Pak Bonar. “Papa takut kamu diculik seperti kakak kelasmu itu. Siapa itu namanya? Arga, ya?”
“Aku bisa jaga diri, Pa!”
“Jaga diri,” ulang Pak Bonar. “Kamu pikir si Arga itu tidak bisa jaga diri? Arga itu laki-laki, lo! Sudah kelas 6. Jelas, badannya lebih besar dan lebih kuat dari kamu. Nyatanya, diculik juga!”
Andria tersenyum masam. Dia sudah akan membantah andai saja Pak Bonar tidak memotongnya dahulu, “Demi keselamatan putri kesayangan Papa, tidak ada tawar-menawar. Kamu tetap diantar jemput Papa!”
“Tapi, Pa …”
“Sssst!” Pak Bonar meletakkan telunjuknya di bibir. Pandangannya teralihkan kembali ke layar televisi. Terlihat kedua kesebelasan telah memasuki lapangan, pertanda babak kedua segera dimulai.
Andria mendengus kesal. Sudah teman-temannya di sekolah menyebalkan, ayahnya juga seperti tidak mau memahami keadaannya. Dia ingin menangis saja rasanya!
Akal-akalan Andria
[sunting]Tiiing … tong, ting tooooong …! Bel tanda akhir sekolah berbunyi.
Siswa-siswi kelas 4B mengemasi buku-buku dan perbekalannya. Setelah berdoa dan Bu Ratna mengucap salam, satu per satu murid meninggalkan kelas. Kecuali Andria. Dia malah membuka sebuah buku.
“Tidak pulang?” tanya Bu Ratna. Beliau sudah berdiri di depan meja Andria.
“Papa baru bisa jemput jam setengah tiga nanti, Bu,” terang gadis itu.
“Oooh,” gumam Bu Ratna. “Kalau begitu, tetap di kelas. Jangan ke mana-mana sampai papamu datang, ya. Eh, baca apa itu?”
Andria melirik sebentar isi halaman buku penuh warna tersebut. Kemudian, dia menjawab, “Tentang alam semesta, Bu.”
Guru itu mengacungkan jempol. “Bagus! Ya sudah. Kalau ada apa-apa, Ibu di kantor guru, ya?”
Andria mengangguk santun.
Sebenarnya, Pak Bonar bukan tidak bisa menjemput tepat waktu. Ini memang akal-akalan Andria agar saat papanya datang, sekolah sudah lebih sepi, sehingga cibiran dari para bocil dapat diminimalkan. Makanya, dia meminta papanya menjemput pukul 14.30, dengan alasan ada kerja kelompok.
"Siasat jitu yang nggak merugikan siapa-siapa!" batin Andria sambil tersenyum-senyum sendiri.
Waktu terasa singkat saat Andria tenggelam dalam bacaannya. Dia melirik jam dinding kelas dan memekik, “Astagfirullah! Sudah jam 14.39!”
Buru-buru, Andria memasukkan buku sainsnya ke dalam ransel dan terbirit-birit keluar kelas.
Halaman sekolah tampak sudah lengang. Andria mempercepat langkah menuju pelataran depan sekolah.
Tidak ada siapa-siapa!
Kening Andria berkerut. “Tidak biasanya papa terlambat,” herannya. Bermacam pikiran negatif segera bermunculan di benaknya.
Namun, satu menit kemudian, Pak Bonar beserta motornya datang dan berhenti di depan Andria. Wajah beliau penuh keringat, sehingga tata riasnya luntur berantakan.
“Kok lama jemputnya!? Gimana Papa ini, katanya takut anaknya diculik?!” semprot Andria, sembari naik ke jok belakang.
Pak Bonar terlihat kikuk. “Iya, iya, maaf. Ada sedikit masalah barusan.”
"Ya udah. Oke. Dimaafkan," ucap Andria kalem.
Mereka pun tancap gas.
Dalam perjalanan, mata Andria menangkap noda-noda tanah di punggung rompi punakawan yang dikenakan papanya. "Apa ini? Jangan-jangan, papa barusan mengalami kecelakaan sampai jatuh ke tanah?" curiganya dalam hati.
Namun, sampai malam, tidak sepatah kata penjelasan pun meluncur dari mulut Pak Bonar. Andria sendiri tidak bertanya lebih lanjut, bahkan cenderung melupakan keanehan kecil itu. Toh, Pak Bonar juga terlihat baik-baik saja dan ceria seperti biasa.
Jerry Akan Diculik
[sunting]Misteri noda tanah di rompi itu baru terungkap setelah Jerry menemui Andria keesokan harinya. Tidak seperti biasa, pagi itu, Jerry tidak mempertontonkan wajah tengilnya. Yang ada, dia malah terkesan tegang.
“A-ku minta maaf, ya,” ucapnya.
“Maaf kenapa?”
“Karena … udah mengolok-olokmu,” Jerry menunduk. “Juga mengejek papamu.”
Andria terdiam sesaat. Lalu, senyumnya melebar. “Tumben mau minta maaf. Lagi kesurupan apa, Bro? Hahaha!”
Jerry tidak ikut tertawa. Garis-garis di parasnya masih terlihat kencang.
Sungguh aneh. Mau tak mau, Andria pun membatalkan senyumnya.
“Ng … papamu nggak cerita?”
Andria mengernyit. “Cerita apa?”
Jerry menelan ludah. Sejurus kemudian, dia mulai bertutur dengan terbata-bata.
Siang itu, sebenarnya dia hendak diculik saat berjalan melintasi kompleks sekolah. Jerry berontak, tetapi kedua penculik itu terlalu kuat. Kebetulan, Pak Bonar lewat. Beliau cepat-cepat berhenti dan membantu Jerry. Terjadilah pergulatan seru. Sebelum akhirnya para penculik balik ke mobil boksnya dan kabur. Mereka sempat memukul dan menendang Pak Bonar hingga jatuh berguling-guling.
Andria tercengang mendengar itu. Apakah itu yang kemarin membuat rompi papanya kotor?
“Dengar-dengar, mobil dengan plat nomor itu sudah diamankan polisi. Semua berkat papamu.”
Gadis itu masih ternganga. Sejuta pikiran bercampur aduk di benaknya.
“Andria,” sambung Jerry, “aku benar-benar minta maaf, ya. Punakawan yang selama ini kutertawakan … ternyata punakawan yang jadi pahlawan. Demi keamananku, beliau bahkan bersikeras mengantarku pulang. Kata beliau, mumpung Andria masih ada kerja kelompok. Ya Allah, Ndri, aku jadi benar-benar merasa bersalah ke beliau. Aku sudah sampaikan terima kasihku. Yang aku lupa, aku … belum menyampaikan maafku.”
Andria membuang pandangan ke lapangan basket melalui jendela kelasnya.
Benar kata Bu Ratna, punakawan bukan hanya penghibur. Sejatinya, mereka juga pengawal dan penasihat. Sebagaimana papanya yang selama ini selalu mengawal dan menasihatinya, agar tidak perlu mengalami kejadian-kejadian buruk.
Gadis itu dengan cepat berpaling ke Jerry. Dia tiba-tiba bangkit dari duduknya. “Kalau kamu memang berniat minta maaf ke papaku,” kata Andria dengan suara bergelombang dan mata berembun, “ayo kita melakukannya sama-sama nanti siang!”
Jerry kebingungan. “Lah?”
“Karena bukan cuma kamu yang menyesal dan berutang maaf ke punakawan itu. Aku juga, Jer!” Andria mendesah panjang. “Aku juga.”
TAMAT