Patung Keberanian

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Arai adalah anak Suku Asmat. Nenek moyang Suku Asmat yang pemberani diabadikan dalam patung mbis buatan wow ipit. Arai mengagumi nenek moyangnya, tetapi ia tahu kalau dirinya tak bisa dibuatkan patung mbis di masa depan karena Arai bukan seorang anak pemberani. Sebuah petualangan membuatnya tahu bagaimana caranya melihat dirinya sendiri.

Tokoh[sunting]

  1. Arai
  2. Afa
  3. Hisa

Lokasi[sunting]

Papua

Cerita Pendek[sunting]

Arai ingin menjadi seberani nenek moyangnya. Ia mengenal keberanian mereka dari patung mbis yang berada di depan beberapa rumah keluarga Suku Asmat. Arai pernah mendengar dari ayahnya, kalau keberanian dan tekad tidak pernah dimiliki dari lahir. Kedua hal itu terbentuk karena tempaan dan waktu. Semua anak Suku Asmat adalah pemberani tangguh. Orangtua selalu bangga pada anak-anak Asmat. Mungkin hanya orangtua Arai yang tidak bangga padanya, karena meski setengah mati diberi contoh dan diajari tetapi Arai tak tumbuh dengan cara seperti anak Asmat lain. Arai ingin menjadi pemberani dan tangguh, tetapi ia tidak pemberani. Juga tidak tangguh. Entahlah. Rasanya bagian terdalam dadanya selalu tercubit jika mengingatnya.

Arai adalah anak seorang kepala suku. Seharusnya, ia bisa menjadi salah satu anak laki-laki terbaik di sukunya, seperti ayahnya. Bapa, adalah orang hebat. Ia sangat dihormati. Beberapa waktu lalu ada orang dari jauh, mengenalkan dirinya dengan nama Pak Bos dan menyalami Bapa. Arai tak suka dengan keramahannya yang berlebihan dan tampak palsu, tetapi sepertinya Bapa tak mempermasalahkan. Arai melihatnya memberikan sebuah amplop tebal berisi uang. Katanya mereka ingin membantu menanami hutan dengan pohon baru. Bapa setuju. Ia membagi isi amplop kepada semua orang.

“Jika kamu pemberani dan tangguh, orang yang jauh dan asing pun akan menghormatimu," begitu Bapa berkata padanya.

Namun ternyata susah menjadi berani. Ia hampir tak pernah masuk hutan bersama teman-temannya. Satu alasan jelas mengapa Arai tidak ikut adalah, ia berlari paling lambat, tak bisa memanjat, dan takut pada babi hutan. Arai memilih tidak bergabung sambil menahan geram pada dirinya sendiri. Arai merasa tak seperti anak Suku Asmat sejati.

Arai berusaha mengacuhkan perasaannya dan melakukan hal lain. Ia pergi ke tepi hutan bakau. Tete Kaize kakeknya, bercerita kalau hari ini para pria di sukunya akan mengambil pohon bakau untuk dijadikan patung mbis. Patung mbis adalah patung yang dibuat untuk mengenang keberanian nenek moyang. Patung yang akan dipasang di depan rumah untuk menjadi simbol komunikasi dunia kematian dan yang hidup. Tidak semua nenek moyang mereka dibuatkan patung mbis, tentu saja. Patung mbis hanya dibuat untuk mengenang yang paling pemberani di antara yang terberani.

“Patung mbis ini nanti untuk Tete Eme. Ia seperti pahlawan di suku kita,” kata Tete Kaize bangga. Tentu saja  Tete Kaize bangga karena Tete Eme adalah kakeknya. Anak cucunya tak mungkin membanggakannya kelak. Mungkin keberanian tidak menurun sejauh itu sehingga saat sampai padanya, Arai sudah kehabisan.

Suara-suara riuh terdengar. Para pria kuat dari Suku Asmat berkumpul dengan hiruk pikuk. Hiruk pikuk itu menyamarkan suara gemersik tak jauh dari tempat Arai berdiri. Seekor kasuari betina (kalau dilihat dari ukurannya) yang dua jengkal lebih tinggi dari Arai, mendekat dengan ganas. Rupanya dia menganggap Arai mengganggunya. Sementara itu batang bakau berkeretak. Mereka sedang merubuhkan pohon bakau. Suara berdebam menandai keberhasilan itu, lalu diiringi sorak sorai. “Aaaah… tolooong!” jerit Arai teredam di tengah sorak. Kasuari itu tanpa ampun melompat dan menyerang Arai dengan cakarnya.

Arai melompat ke samping menghindari cakar kasuari, dan akibatnya ia merosot dari atas berguling-guling jatuh ke bawah bukit. Kasuari pemarah itu tak mengejar. Ia hanya berdiri menatap Arai dengan acuh. Seolah tahu, tak ada gunanya menyerang kalau lawannya anak penakut tak berguna. Arai mengerang. Dari jauh, para pria mengoleskan cairan merah bakau ke batang bakau yang hendak dibawa pulang. Dulu waktu masih berumur 5 tahun, Arai menganggap cairan itu adalah darah betulan dan ia menjerit menangis ketakutan.

Arai meringis dan terhuyung-huyung mencoba berjalan pulang. “Aduh,” keluhnya lagi sambil menyentuh dahinya yang nyeri. Sedikit darah menetes dari pelipisnya. Baiklah, paling tidak ia bisa membual kalau luka ini didapatnya karena jatuh saat hendak menangkap kasuari. Sementara itu, para pria mengangkut batang bakau ke arah desa. Arai tahu, mereka akan disambut seperti pahlawan pulang perang. Wow ipits (begitu mereka memanggil perajin patung) akan menerima batang bakau itu dan menyulapnya menjadi patung mbis.

“Kira-kira apa kita akan dikenang dalam patung mbis?”  Hisa, temannya, berkata keesokan harinya sambil tertawa ketika Arai melihat Tete Kaize mengatakan sesuatu pada wow ipits.  Arai melihat mata Hisa menatap luka di pelipisnya. Arai pura-pura tidak tahu. Meski Hisa mengatakan ‘kita’ tetapi Arai merasa kata-kata itu ditujukan untuknya.

“Ayolah, ikut kami saja. Aku dan Afa akan berburu tue saro,” ajak Hisa. Tue saro adalah burung kasuari.

Tete Kaize menoleh pada Arai. “Sana, pergilah berburu kasuari. Yang penting ikut saja,” kakeknya menepis udara, menyuruh Arai mengikuti teman-temannya. Hah. Sial. Masa harus kasuari lagi? Tapi Tete Kaize sudah terlanjur melempar tombak yang ditangkapnya dengan gugup dan meleset. Hisa dan Afa terbahak melihat tombak tergeletak di bawah kakinya.

Ketika akhirnya mereka berangkat ke arah hutan, Arai mulai menyesal. Bagaimana kalau ada babi hutan? Ular? Kasuari pun galak bukan main. Hisa memimpin di depan. Ia dan Afa di belakang. Arai heran. Mengapa tak cukup mereka makan sagu saja? Arai suka daging, tetapi jika harus repot menangkapnya, tak perlu saja.

Mereka berjalan bertiga dengan tombak di tangan kanan. Mendaki bukit. Menjaga langkah di jalan turunan. Menyusuri sungai kecil.

“Bagaimana kalau kita mencari ikan mujair saja?” usul Arai dengan suara riang yang nadanya terlalu melengking sampai-sampai tampak mencurigakan. Hisa dan Afa mengerutkan kening.

“Kau tak serius, kan?” tanya Afa. “Kita akan menemukan kasuari.”

Bahu Arai merosot. Ia pasti akan senang sekali jika perjalanan ini memakan waktu selamanya dan tak perlu bertemu dengan binatang apa-apa. Terutama binatang yang bisa melukainya.

Hutan semakin dekat. Arai menegakkan badannya mencoba berani.

“Kita kan bertiga, tidak usah takut. Afa jago menangkap burung. Tombakku pun tak pernah meleset,” ujar Hisa.

Pepohonan semakin merapat, hutan seolah berjalan semakin mendekat. Sayup-sayup terdengar kepakan sayap mengudara. Sekelompok burung terbang tergesa. Arai mendongak curiga. Ia mencium asap yang samar. “Apakah ada pohon yang terbakar?”

Afa menegakkan telinganya. “Aku mendengar sesuatu berlari ke sini.”

Hisa mengangkat tombaknya waspada. Arai mengenal suara berlari itu. Tanpa sadar ia meraba pelipisnya yang luka. “Itu… kasuari!”

Di detik yang sama kasuari itu berlari menerjang ke arah mereka. Hisa, Afa, dan Arai bergulingan ke samping. Darah menetes di sepanjang jalan. “Kasuari itu luka! Hisa, jangan ditombak. Kasihan!” tahan Arai.

Suara berdebam gemuruh terdengar dari jauh. Bau asap itu membuat mereka bertiga memikirkan hal yang sama. Hutan terbakar.

“Ada yang menembak induk kasuari itu. Siapa yang membawa senapan dan membakar hutan?” tanya Arai dengan suara bergetar. “Kita harus tahu siapa mereka sebelum melaporkannya pada Bapa.”

Hisa menahan bahu Arai menyuruhnya menunggu. Lalu ia menoleh pada Afa. “Afa, kau ikuti tue saro yang lari itu. Ia terluka tembak. Kita harus membawanya supaya Bapa Kepala Suku tahu ada yang membawa senapan di hutan.”

Afa mengangguk. Dengan gesit ia melompat dan berlari mengejar kasuari itu.

Hisa menatap Arai. “Ayo, kalau menurutmu kita harus masuk hutan…”

Arai terdiam sejenak. Menyingkirkan ketakutan memang tak mudah. Namun ini bukan lagi masalah takut pada babi hutan, ular, atau kasuari. Ada yang membakar hutan dan ada yang menembaki binatang dengan senapan, mungkin untuk bersenang-senang. Kedua hal ini tak mungkin dilakukan orang-orang Suku Asmat. Karena itu mereka memang harus mencari tahu siapa pelakunya. Tekad itu merebak dalam benak Arai, membuat ia mengangguk dan berdiri. "Sekarang, Hisa." Lalu mereka berdua berlari masuk hutan.

Baru sekali dalam hidupnya Arai berlari sekencang ini. Kakinya meretas semak-semak dan berusaha menyamai Hisa. Mengikuti bau asap. Napas mereka memburu dan berat. Dari kejauhan asap  terlihat. Tanpa berkata, Hisa menoleh ke Arai yang membalasnya dengan telunjuk yang mengarah ke balik pohon. Seekor tue saro jantan berada di sana. Kasuari jantan itu sedang mengerami telur-telur di sarang serasah daun. Tak berniat pindah atas apapun yang terjadi.

“Biarkan saja mereka,” bisik Arai takut. Berurusan dengan kasuari sangat berbahaya. Jika tidak pandai menghindar mereka bisa celaka.

“Tidak. Kita akan menggali tanah di sekitar sarang kasuari supaya api tak mendekat jika sampai kemari.” Hisa bersikeras.

Setelah menimbang beberapa saat, Arai tahu jika itu tindakan yang paling benar. Ia mengangguk dan membantu Hisa menggali dengan tombaknya.

Mereka bekerja dengan tekun dan hendak beranjak ketika terdengar suara, “Tembak saja! Yang tadi sudah lari entah ke mana. Lumayan kita dapat yang jantan.”

Hisa menarik bahu Arai bersembunyi di semak. Beberapa orang berdiri memunggungi mereka. Salah satu dari mereka membawa senapan.

“Sepertinya dia kasuari jantan yang sedang mengerami, Bos,” si pemegang senapan tampak ragu.

“Kamu tidak bodoh, kan? Kasuari yang diam justru lebih gampang ditangkap. Ayolah tangkap. Kita perlu makan enak setelah membakar hutan. Lelahku baru terbayar saat kita bisa menanaminya dengan sawit.” Suara itu pelan tetapi terdengar keji.

Arai mengenalinya. Ia tak bisa lupa pada suara palsu itu. Kepalanya menyembul dan mengintip sedikit. Benar saja. Suara Pak Bos. Terbayang di pelupuknya, Bapa yang sempat membagikan uang pemberian Pak Bos. Arai menyibak semak dengan panik, terbawa rasa takut ayahnya akan disalahkan oleh semua orang. Ia berteriak, “Jangan bakar hutan untuk sawit!”

Pak Bos dan beberapa lelaki di sana melotot kaget menatap Arai yang berdiri di samping semak, dan Hisa yang keluar perlahan dengan bingung. Namun Pak Bos langsung menyeringai dan berkata lembut. “Rupanya kau anak sulung kepala suku. Kau tidak tahu apa-apa, Nak. Aku sudah membayar ayahmu.”

“Tidak untuk membakar hutan!” bantah Arai dengan suara bergetar. “Kami… kami akan melaporkanmu.” Tanpa menoleh, Arai berkata, “Ayo kita pulang, Hisa.”

Ujung mulut Pak Bos berkedut menahan marah. “Tangkap mereka!”

Lari. Kaki-kaki mereka bergerak sekuat tenaga meretas semak. Mereka berdua tahu situasi ini lebih gawat daripada dikejar puluhan tue saro. Napas memburu, suara  teriakan,  dan senapan ditembakkan ke udara membuat hati Arai gentar. Sebuah akar melintang membuatnya terjerembap, disusul oleh Hisa yang menimpa punggungnya. Cengkeraman kuat menyambar lehernya. Selesai sudah, pikirnya putus asa.

Tiba-tiba terdengar lengkingan sorak sorai berderap mendekat. Arai dan Hisa mengangkat wajah dan melihat Afa berlari di depan, bersama Bapa, Tete Kaize, dan semua laki-laki pemberani di sukunya. Mereka datang untuk memadamkan api dan terkejut ketika melihat Arai dan Hisa tersungkur di tanah. Tatapan mereka bingung dan marah. Tak ada yang mengira kalau Pak Bos biang keladinya.

“Pasti dia yang menembak tue saro yang tadi!” teriak Afa. “Dan mungkin membakar hutan.”

“Tidak, tidak. Ini salah sangka. Kami hanya ingin…”

“Menanam pohon baru, ha?” Bapa mendekatkan matanya ke mata Pak Bos. Pak Bos beringsut mundur beberapa langkah. “Pohon apa yang ditanam hingga harus membakar hutan? Mau buka kebun sawit? Kau tipu kami, ha.”

Pak Bos tertawa berdeguk. Sungguh menyebalkan sekali tertawanya. “Sudah terlambat. Hutan sudah terbakar. Kalian tak bisa secepat itu memadamkan api.”

Bapa tersenyum kecil. “Tidak terlambat, karena kami…” Dari jauh terdengar sirene. Enam buah mobil pemadam kebakaran melaju perlahan dan menuju titik-titik api. “Memanggil petugas untuk membantu.”

“Polisi juga akan senang jika kami membawa kalian,” sambung Bapa lagi. Ia mengangkat tangan menyuruh yang lain menangkap Pak Bos dan kawanannya.

Pak Bos tahu. Dirinya telah kalah. Dalam tikungan dan kepitan para pria pemberani Suku Asmat, mereka hanya bisa berteriak dan memaki-maki.

Arai tertawa lemah. Hisa mencoba berdiri bertumpu pada Afa yang menarik lengannya dan lengan Arai.


***

Patung Kewenak
Patung yang dibuat untuk mengenang suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu keluarga. Patung Kewenak adalah dokumentasi layaknya foto.


“Jadi tue saro betina yang galak itu sudah dirawat dan bisa dikembalikan ke hutan? Kita tidak jadi memasaknya?” tanya Hisa sambil memandang kasuari dalam pagar dengan suara agak kecewa. Afa mengangguk. Tidak tega, katanya. Untuk keseratus kalinya Afa kembali mengulang ceritanya tentang mengejar kasuari yang terluka dan menggiringnya ke desa untuk memberi laporan pada Bapa Kepala Suku. Lalu Bapa meminta tolong pada petugas pemadam. Lalu mereka ke hutan untuk memadamkan api dan bonusnya menyerahkan Pak Bos dan kawannya pada polisi. Tak mau kalah Hisa pun menceritakan petualangan mereka di dalam hutan, sekitar seratus sepuluh kali, dengan bumbu-bumbu yang ditambahkan jika Arai sedang tak ikut mendengarnya.

“Kita memang pemberani,” ujar Afa.

“Ya. Kita pemberani dan tangguh,” Hisa menepuk punggung Arai. Arai pun diam-diam bangga.

“Apa kita akan diabadikan dalam patung mbis suatu hari nanti?” tanya Arai malu-malu.

Suara tawa terdengar di belakang mereka. Arai, Hisa, dan Afa menoleh. Itu Tete Kaize dan wow ipits. “Untuk kalian, wow ipits sudah mengukirkan patung kewenak.” Patung kewenak adalah patung yang menceritakan kisah seseorang. Supaya sebuah kenangan tidak hilang, orang Suku Asmat mengabadikannya dalam patung. Seperti sebuah foto.

Wow Ipits menunjuk sebuah patung setinggi satu meter. Patung tiga anak lelaki dan seekor kasuari. Arai bersorak. Kegembiraannya langsung menular pada kedua temannya. Lalu mereka melompat-lompat dan tertawa. Arai bangga. Ia adalah anak Suku Asmat sejati. Mulai sekarang ia akan lebih berani dari dirinya saat ini. Ia bisa mengalahkan ketakutannya sendiri.