Pelita Yang Bersemi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis[sunting]

Seorang anak yang tidak mampu membaca atau menulis dan tidak punya keinginan untuk belajar, bisa dibangkitkan minatnya untuk belajar dengan memancing minat belajarnya dengan jalan membuat dia memiliki kebutuhan untuk belajar.

Lakon[sunting]

  1. Candra Salahudin
  2. Silvia Salvitri
  3. Ibu Candra
  4. Ayah Candra

Lokasi[sunting]

Kota Samarinda, Kalimantan Timur

Cerpen[sunting]

Pelita Yang Bersemi[sunting]

Saat ini kemarau, orang-orang di kota yang sangat sibuk ini harus bertahan dari temperatur yang tinggi akibat panas dipancar terik matahari. Keadaan itu diperburuk oleh kendaraan yang macet di jalan, benar-benar tidak membantu mendinginkan lingkungan sekitarnya. Yang menjadi satu-satunya kenyamanan yang dapat mereka temukan hanyalah bayangan-bayangan yang disediakan oleh pepohonan dan bangunan sekitar. Anak-anak yang baru pulang sekolah kebanyakan ingin menetap di teduhan bangunan tinggi atau di kelas saja, dimana sedikit siswa yang harus pulang tanpa jemputan berjalan gontai memakai topi mereka dan menggantung tas mereka di bahu.

Di tengah kebisingan dan hiruk-pikuk kota ini, tersebutlah seorang anak bernama Candra Salahudin. Dia baru saja pulang bermain bersama teman-temannya, berpanas-panas di siang hari itu. Hanya saja, teman-temannya itu sekolah di SD, sedangkan dirinya sendiri tidak sekolah. Hal ini tidak pernah mengganggunya sedikitpun. Candra hanya menjalani hari-harinya bermain atau menghabiskan waktu saja dengan orang tuanya. Tapi siang itu sepulang bermain sesampai di rumah, ayahnya menyambutnya dan berkata dengan wajah bingung.

“Nak, Ayah perlu bantuanmu, Nak.”

“Apa, Yah?”

“Bantu Ayah belanja ya. Ibu masih sakit. Ayah juga harus kembali ke tempat kerja,” Ayah berkata sambil menyerahkan daftar belanja pada Candra.

“Uumm…, ini bacanya apa, Yah?”

Ayah terkejut mendengar pertanyaan Candra. Ayah baru ingat kalau Candra tidak bisa membaca. Tapi karena buru-buru, Ayah tetap melanjutkan, “Itu telur, kecap, mie instan, dan lain-lain. Tapi di toko nanti Candra bisa minta bantuan pelayan toko untuk mencarikan barang-barang sesuai daftar itu.”

”Baik, Yah. Belinya dimana?”

“Tokonya agak jauh, Nak. Lewat SD itu tempatnya. Nama tokonya Annisa 89. Kalau sulit menemukan, minta bantuan orang agar bisa mencarinya dengan mudah.”

“Oke, Yah!” dengan percaya diri Candra menjawab meskipun dia tidak bisa membaca satupun tulisan ayah itu. Candra benar-benar ingin membantu Ayah. Ibu sakit sih.

Ayah lalu memberi Candra uang sekiranya cukup untuk membeli seluruh belanjaan yang ada di daftar.

Candra mulai berjalan menuju toko yang ayah maksud. Sebenarnya Candra telah bertanya kepada tiga orang untuk meminta arah ke toko tersebut. Saat bertanya pada orang ke-empat, dengan tawa kecil orang itu menunjuk ke toko yang ternyata posisinya persis di sebelah mereka. Candra tersipu malu dan langsung masuk toko setelah mengucapkan terima kasih dan mulai mencari barang-barang sesuai daftar di tangannya. Ia bisa menemukan beberapa barang seperti telur dan kecap karena sudah sering dilihatnya, mie instan juga. Tapi barang lainnya ia dapatkan setelah menanyakan pelayan toko untuk mencarikan barang-barang tersebut. Syukurlah pelayan toko maklum tahu bahwa Candra sama sekali tidak bisa membaca jadi tidak bisa mencari apa yang harus dia beli sesuai daftar belanjanya.

Setelah mendapatkan semua barang belanjaannya, Candra berterima kasih kepada pelayan toko yang membantunya lalu segera menuju kasir. Candra memperhatikan satu per satu barang belanjaanya di-scan dan harganya muncul di layar monitor. Tertulis angka-angka di monitor, tapi Candra hanya memperhatikan ucapan si kasir yang berkata, “Seluruhnya 131.000 Rupiah.” Candra segera mengeluarkan uang yang diberi ayah padanya, hanya saja Candra tidak bisa menghitung atau membaca angka juga. Tapi dia ingat, yang seperti ini uang 20.000, ini yang 50.000.

Candra bingung dan ragu dan sementara itu antrian di belakangnya bertambah panjang. Mereka yang antri terlihat tidak senang dan tidak sabar menunggu betapa lama Candra berusaha menghitung uangnya. Seorang laki-laki yang antri tepat di belakang Candra terus mengetuk sepatunya ke lantai menahan marah tapi akhirnya tidak tahan langsung melotot dan berkata pada Candra.

“Ini bocah lama betul! Menghitung uang saja kok susah! Pakai matamu kalau menghitung!”

Candra sangat terkejut, tetapi juga merasa terluka atas hardikan orang itu. Dia jadi panik dan memutuskan menyerahkan saja uangnya ke kasir dan minta kasir membantu menghitung untuknya.

Di saat itulah seorang wanita dari antrian tersebut menyerobot dan bertanya. “Kenapa menghitungnya lama sekali, Dek?”

“Em, saya tidak bisa membaca angka, Bu,” jawab Candra. “Ini membacanya berapa ya?”

“Dek, saya bantu saja menghitungnya, ya Dek.”

“Oh! Makasih, bu!”

Wanita itu lalu membantu menghitung uangnya sehingga bisa dibayarkan ke kasir. “Uang pas, Mbak.”

Kasir lalu memasukkan belanjaan Candra ke kresek besar dan Candra, saking malunya mendengar hardikan sebelumnya, langsung keluar dari toko tersebut. Wanita yang merasa kasihan terhadap Candra tadi kembali ke antriannya tapi ternyata oleh kasir barang belanjaannya sendiri langsung di-scan juga. Wanita itu terkejut, ternyata kasirnya juga tidak suka pada laki-laki yang menghardik Candra tadi, jadi membolehkan wanita itu membayar barang belanjaannya duluan karena rela membantu. Dengan senyum hangat, wanita tersebut keluar dari toko dan menghampiri Candra yang menunggu di depan toko itu.

Candra lalu mengatakan kepada wanita itu. “Terima kasih atas bantuannya, Bu. Saya tidak tahu bagaimana caranya menghitung uang.”

“Tidak apa-apa, Dek,” wanita itu menganggukkan kepalanya. “Apakah tadi Adek berbelanja sendiri?”

“Ya, Bu. Ibu saya sakit dan Ayah saya harus bekerja. Jadi saya membantu berbelanja untuk makan malam.”

“Oh, begitu,” wanita itu masih khawatir dengan Candra, setelah apa yang dia lihat. “Rumah Adek dimana, Dek?”

“Lurus terus ke sana, Bu. Melewati bangunan sekolah.”

“Baiklah. Maukah saya temani sampai ke rumah?”

“Ibu tidak sibukkah?”

“Saya punya banyak waktu.”

“Wah, terima kasih, Bu!”

Sambil berjalan, Candra menoleh ke wanita itu dan bertanya. “Nama Ibu siapa?”

Wanita itu tertegun lalu menjawab. “Nama? Saya Ibu Silvia Salvitri.”

“Ibu Silvia Salvitri?! Apakah Ibu yang menulis cerita Lidah Api Beku?” tanya Candra penuh semangat dalam keterkesiapannya.

Silvia mengangkat dua alis matanya. “Adek tahu cerita itu?”

“Iya, Bu. Itu cerita favorit saya, Bu. Saya tidak sangka bisa bertemu dengan penulis cerita itu.”

“Saya juga tidak sangka. Bukankah Adek tidak bisa membaca?”

“Memang, Bu. Orang tua saya yang biasanya membacakan ceritanya ke saya.”

“Ah, begitu,” Silvia menggangguk. “Jadi, nama Adek siapa?”

“Saya Candra Salahudin, Bu. Saya suka sekali cerita-cerita yang Ibu buat.”

“Saya senang sekali mendengar itu, Adek.”

Beberapa menit kemudian mereka melewati gedung sekolah yang Candra maksud. Ternyata sekolah negeri. Tetapi Silvia harus menahan rasa terkejutnya mendengar bahwa Candra selama ini memang tidak sekolah. Silvia terus berjalan mengikuti Candra hingga mereka sampai di rumah Candra. Dengan belanjaan bergantung di tangan kiri, Candra mengetuk pintunya.

“Bu, Candra sudah pulang, Bu!”

Agak lama baru Ibu membuka pintu. Demamnya terlihat di wajah pucat berkeringat tapi Ibu tetap berkata dengan lembut. “Wah, Candra sudah selesai belanja ya?”

“Ya, Bu!” Candra lalu menghadap Silvia. “Ibu, ini Ibu Silvia. Tadi Bu Silvia membantu saya menghitung uang saat membayar di kasir dan menemani saya sampai ke rumah.”

“Wah, terima kasih ya, Bu. Semoga anak saya tidak mengganggu waktu Ibu,” Ibu tersenyum lemah tapi wajahnya sungguh lega.

“Tidak apa-apa, Bu. Saya khawatir tadi kalau anak ibu mendapat masalah di jalan, makanya saya temani dia pulang.”

“Syukurlah,” lalu Ibu Candra menoleh sejenak pada Candra dan berkata. “Candra, tolong bawa barang belanjaan itu ke dapur.”

“Ya, Bu,” jawab Candra.

Setelah Candra pergi, Silvia lalu berkata kepada ibu. “Boleh saya bicara sebentar dengan Ibu?”

“Ada apa, Bu Silvia?”

“Saya penasaran mengenai anak ibu. Apakah Candra memang tidak bisa membaca?”

“Sayangnya, iya, Bu. Candra tidak bisa membaca, apalagi menulis.”

“Bukankah Candra sudah harus masuk sekolah sekarang?”

“Nah, itu masalahnya, Bu,” ibu Candra perlahan menyandarkan tubuh lemahnya ke pintu. “Candra ingin sekali bisa membaca dan menulis. Saya dan bapaknya sudah mencoba mencarikan sekolah untuknya. Tetapi Candra sama sekali tidak ingin belajar.”

Silvia mengerutkan matanya. “Ia tidak ingin belajar?”

“Ya,” jawab Ibu. “Saya tidak tahu kenapa Candra tidak ingin belajar. Antara malas, atau memang sulit sekali dia belajar. Apalagi, buku-buku pelajaran harus dibaca, padahal Candra sepertinya lebih suka melihat, menonton, mendengar dia juga mau, bukan membaca.”

“Walaupun begitu, Candra masih tetap ingin bisa membaca dan menulis?”

“Iya, bu. Candra sering berkata kalau dia sangat ingin menjadi si penulis yang menulis cerita Lidah Api Beku. Tapi bagaimana caranya dia menjadi penulis kalau membaca atau menulis saja belum bisa? Belajar yang lain juga jadinya tidak mau.”

Silvia hanya tersenyum. “Saya mungkin bisa membantu, bu. Saya sebenarnya seorang guru di SD tak jauh dari sini.”

“Benarkah?” wajah Ibu tersenyum lagi.

“Iya, Bu. Saya ingin membantu Candra. Kasihan juga kalau anak Ibu tidak bisa membaca apa-apa.”

“Wah, syukurlah kalau begitu, Bu.”

Ibu tersenyum lega mengantar kepulangan Silvia.

Keesokan harinya, setelah selesai jam mengajarnya di sekolah, Silvia menepati janjinya pergi ke rumah Candra. Candra sangat senang mendengar bahwa Silvia sudah tiba untuk membantu belajar membaca dan menulis. Tentu saja, Candra tetap harus menahan rasa malas yang datang tiba-tiba saat sadar bahwa ia harus belajar. Sebelum mulai, Silvia mengajukan sebuah pertanyaan kepada Candra.

“Candra. Ibu ingin tahu. Apa yang Candra sukai dari cerita Lidah Api Beku?”

“Hmm…. Saya suka si Adam dalam cerita itu. Adam itu sangat berani, baik, dan tak mudah menyerah saat berusaha menyelamatkan desanya dari badai salju.”

“Ada yang lain selain itu?”

“Ada. Saya suka bagaimana Bu Silvia menggambarkan keadaan desa dan lingkungan di cerita itu. Saya ingin sekali bisa menulis seperti itu.”

“Begitu ya? Apakah Candra ingin menjadi penulis seperti Ibu suatu hari nanti?”

Candra segera menjawab tanpa keraguan. “Mau bu!”

“Baiklah. Kalau begitu, agar Candra bisa menjadi penulis, Ibu akan mengajari cara membaca dulu. Kita lakukan perlahan-lahan, ya?”

“Ya, bu!”

Silvia mulai mengajarinya dengan mengenalkan huruf satu per satu, lalu kata per kata, satu kalimat, dua kalimat, hingga satu paragraf. Perlahan Candra bisa membaca huruf alfabet dan kata-kata sederhana yang digunakan sehari-hari.

Tetapi setelah beberapa hari, Candra mulai merasa malas belajar dan mengeluh merasa bosan harus belajar membaca terus-menerus. Mendengar itu, Silvia hanya tersenyum dan bertanya lagi.

“Candra suka si Adam dari Lidah Api Beku kan?”

“Ya, Bu. Kenapa?”

“Candra bilang Candra suka Adam karena ia tak mudah menyerah. Kenapa Candra tidak bisa jadi seperti si Adam juga? Kalau Candra menyerah belajar sekarang, Candra tidak mungkin bisa menjadi penulis seperti Ibu. Apakah itu yang Candra inginkan?”

Candra menatap wajah Ibu Silvia dan merenung beberapa saat. “Betul juga ya, bu. Baiklah, saya akan mencoba meniru Adam. Saya mau belajar, Bu.”

“Bagus, itu yang Ibu mau dengar.”

Lalu Silvia mulai mengajarinya angka. Candra dengan mudah membaca angka-angka tersebut satu per satu sampai angka seratus. Candra lalu diajari penjumlahan dan pengurangan, lalu perkalian dan pembagian. Setelah beberapa hari seperti ini, Silvia mulai mengajari Candra menulis. Dimulai dengan menulis huruf alfabet. Meskipun tulisan Candra lebih mirip cakar ayam, tetapi masih cukup jelas untuk dibaca. Untuk beberapa hari selanjutnya, Silvia mengajarinya menulis kata, lalu satu kalimat, dua kalimat, dan akhirnya, bagian yang sulit untuk Candra, menulis satu paragraf. Melihat kemajuan yang Candra telah capai, Silvia bisa berkata dengan penuh keyakinan bahwa Candra sudah bisa membaca dan menulis.

Tibalah hari itu saat Silvia datang tapi tidak mengajar, hanya meluangkan waktunya berbincang dengan orang tua Candra. Candra tiba-tiba menyela.

“Bu Silvia, Sepertinya saya tidak ingin belajar lagi.”

Silvia hanya mengangkat alis sambil tersenyum. “Mengapa Candra berpikir begitu?”

“Saya sudah bisa membaca dan menulis, Bu. Jadi sekarang saya bisa menulis cerita saya sendiri seperti Ibu.”

Sejenak Silvia menatap Candra, lalu dia menggelengkan kepalanya sambil tetap tersenyum, menaruh tehnya di meja. “Oh, Candra. Ibu kadang berharap menulis cerita itu tidak sesulit itu.”

“Huh? Memang sulit sekalikah menulis cerita?”

“Ya, walaupun itu hanya cerita untuk anak-anak. Candra harus belajar lebih dari sekedar membaca dan menulis.”

“Mengapa saya perlu belajar lebih lagi, Bu? Sesulit apa sebenarnya menulis cerita itu?”

“Cukup sulit, Candra, agar Ibu bisa menjadi seorang penulis, Ibu perlu belajar banyak tentang puisi, frasa, arti kata-kata yang sulit, struktur sebuah cerita. Bahkan, Ibu perlu mempelajari topik-topik lain yang kadang tidak terlalu terkait dengan isi cerita.”

“Wah, banyak juga….” Sahut Candra

“Ya, Candra,” Silvia tersenyum lagi melihat Candra mulai kecewa. “Kenapa Candra terlihat sedih?”

“Banyak sekali yang harus dipelajari, Bu,” jawab Candra. “Saya tidak mungkin bisa mempelajari semua itu.”

Silvia hanya tertawa kecil mendengar itu. “Belajar hal-hal tersebut sangat berguna, Candra, tidak hanya untuk menulis cerita saja. Kalau Candra bisa menguasai semua itu, Candra bisa menjadi lebih dari penulis cerita. Kalau mau, Ibu akan tetap membantu Candra mempelajari semua pelajaran-pelajaran itu.”

Candra lalu memberikan senyum lebarnya. “Mau, Bu! Oh ya, Bu, kalau saya sudah dapat ide untuk sebuah cerita, apakah Ibu mau membantu saya menuliskannya suatu hari nanti?”

“Tentu saja, Candra. Ibu akan senang membantu.”

Hari itu, Silvia memang mengatakan ke orang tuanya bahwa Candra kemungkinan bisa dimasukkan ke sekolah tahun ajaran berikutnya. Kelak, Candra benar-benar mendapatkan ide untuk sebuah cerita dan menagih janji Silvia untuk membantunya. Silvia sungguh-sungguh membantu dan mereka berdua membuka sebuah halaman baru untuk cerita pertama milik Candra.

TAMAT