Pembalasan 52 Inci

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

- Oleh Fransisca Ripert

Franҫois dan televisi 52 incinya

Sejak Franҫois pensiun dini karena penyakit yang menyebabkannya tidak bisa jalan, televisi 52 inci itu selalu menyala. Benda atraktif itu menjadi sahabat setianya di kamar. Boleh dikata, Franҫois lebih dekat dengan televisinya ketimbang dengan Cencen, istrinya. Bahkan saat sedang tidak ditonton, misalnya ketika ia mandi atau tidur, televisi itu tidak boleh dimatikan.

Dua puluh empat jam penuh. Tiada detik tanpa pijar televisi.

Namun, pagi ini, pesawat televisi itu padam. Franҫois panik, tetapi segan meminta bantuan. Ia tahu istrinya sedang memasak di dapur. Ia paham benar Cencen akan uring-uringan bila disuruh menangani hal-hal yang berkaitan dengan televisi.

Alih-alih membantu, Cencen justru akan bersyukur dengan rusaknya televisi ini. Sudah tak terhitung berapa kali ia mengutarakan keinginannya untuk memiliki ruangan tanpa bising televisi, terutama untuk alasan menulis. Apa daya, Franҫois tak pernah menggubrisnya.

Meminta bantuan Ravi, penghuni kamar kos, juga tidak memungkinkan. Seingat Franҫois, ia tadi pamit untuk menyelesaikan sebuah urusan di Konjen RI di Kota Marseille.

Franҫois akhirnya memutuskan memperbaiki televisi itu sendiri. Ia mengarahkan kursi rodanya mendekati punggung televisi. Berbekal peralatan serta pengetahuan seadanya, ia membongkar, membersihkan, dan mengetatkan beberapa mur di dalam kotak tersebut.

“Mudah-mudahan berhasil,” gumam pria itu, setelah hampir satu jam mengutak-atik. Ia mengembus napas panjang, lalu membungkuk di atas kursi rodanya untuk mencolokkan kabel power-nya.

Blaaabbb!!

Sekilas, Franҫois melihat layar televisinya menyala. Namun, sedetik setelah letupan, layar itu kembali hitam. Padahal, kabel masih tercolok di sumber listrik.

Bau gosong dan asap membuat Franҫois buru-buru beranjak mencabut kembali sambungan listriknya. Namun sebelum tangannya menyentuh kabel, televisi itu hidup kembali.

Bonjour, tout le monde!” sapa seorang perempuan. Itu seperti suara penyiar TV5 yang biasa ia dengar. Senyum Franҫois spontan terulas. Ternyata, tidak sulit memperbaiki televisi. Bahkan orang awam sepertinya pun mampu.

“Halo, François!” kata perempuan itu lagi.

Padahal, di layar, tidak ada gambar apa-apa. Hanya tampilan segerombol semut digital abu-abu.

Namun, ketika François memperhatikan lebih cermat, ternyata semut-semut digital itu membentuk wajah seorang perempuan yang agak abstrak. Pria itu ternganga menatapnya.

“Kenapa kau sombong sekali, tidak membalas sapaanku?” Wajah abstrak di televisi membentuk pola bibir manyun.

“Eh,” Franҫois terheran, “kau bicara kepadaku? Astaga, aku pasti sudah gila!”

“Namaku 52 Inci. Aku adalah televisi yang selalu kau nyalakan siang dan malam. Ya, aku sedang berbicara kepadamu!”

Semua tampak begitu nyata. Franҫois termenung beberapa lama. Sebelum akhirnya, ia menunduk sambil memijat-mijat keningnya. “Oh la la, jangan-jangan, ini gejala skizofrenia….”

“Tidak ada yang salah dengan dirimu,” ujar perempuan di dalam kotak televisi. Ia terus mengajak François mengobrol untuk meyakinkannya bahwa dirinya memang nyata.

Anehnya, Franҫois mulai menikmati percakapan dengan benda mati itu. Mereka saling menimpali dan bersenda gurau. Obrolan mereka benar-benar terjadi secara interaktif, dalam arti harfiah.

Mereka berbicara mengenai apa saja. Mulai dari demo-demo di Paris, mogok kerja para pegawai kereta api, tim sepak bola Prancis, krisis moneter, penyerangan Rusia terhadap Ukraina, peraih Nobel Sastra, filosofi abad pencerahan, sampai perkara-perkara remeh seperti resep masakan.

Namun, semua itu tidak bertahan lama. Walaupun Franҫois doyan mengobrol, sebagaimana umumnya orang Prancis, tak urung ia kehabisan topik pembicaraan juga. Percakapan aneh itu pun tidak intens lagi. Bahkan, lebih banyak diamnya.

Franҫois mencoba untuk memaksa otaknya berpikir mengenai topik-topik yang bisa diangkatnya agar percakapan terus terjadi. Namun, lantaran lawan bicaranya adalah televisi yang mengetahui banyak hal, gudangnya pengetahuan dan hiburan, topik-topik yang sempat muncul di kepalanya segera menguap.

“Hei, Franҫois!” tiba-tiba, 52 Inci bersuara keras. “Aku mulai bosan denganmu! Aku butuh variasi dan aku pikir kau bisa memberikannya padaku!”

Franҫois berkernyit. “Maksudmu?”

“Sudah dua tahun aku menghiburmu, juga memberimu pengetahuan dan wawasan. Masa kau tidak bisa gantian menghibur dan memberiku wawasan?”

“Maksudmu seperti…”

“Kau sudah terbukti tidak mampu memberiku wawasan tambahan untukku,” ujar 52 Inci jemawa. “Jadi, minimal kuharap kau dapat memberiku hiburan.”

François tersenyum. “Iya. Tapi seperti apa, contohnya?”

“Terserah kau saja. Nanti kalau tidak suka, aku tinggal mengatakan, ‘GANTI!’ Sebagaimana kau biasa melakukannya melalui remote control di nakas di dekat ranjangmu itu.”

“Oh, baiklah! Mungkin kau ada ide apa yang bisa kulakukan untukmu?”

“Kau bisa menyanyi?”

“Hm… rasanya bisa.”

“Bagus. Kalau begitu, menyanyilah untukku sekarang. Kalau bisa, sambil bergoyang. Karena itu akan lebih menghiburku. Ayo, François, mari kita lihat bagaimana kau bergoyang sesuai alunan musik.”

Franҫois makin salah tingkah. “Bergoyang? Dengan keadaanku seperti ini? Kau bercanda, kan?”

“Tidak,” sahut si 52 Inci. “Tapi kalau kau yang bercanda, s’il vous plait. Bolehlah. Melawaklah! Asal jangan dengan lelucon homofobia atau menjadikan perempuan sebagai bahan ejekan. Aku televisi yang dirakit dengan komponen-komponen Liberté, Égalité, Fraternité! Aku tidak dapat menoleransi lawakan misogini.”

Franҫois mengelus-elus janggutnya. “Oke. Rasanya, hari ini cukup. Aku ingin makan siang dulu.”

“Tidak bisa!” seru sang televisi. “Kau… 24 jam harus ada untukku! Sebagaimana aku juga 24 jam hadir untukmu sebelum ini!”

Bersamaan dengan selesainya kalimat itu, terdengarlah bunyi-bunyi “bip” dari remote control televisi. Hanya, yang berubah bukan layar televisi yang tetap menampilkan semut-semut abu-abu dan wajah perempuan abstrak itu. Yang bergerak justru kursi roda Franҫois. Kini, kursi elektrik itu berjalan sendiri dan berhenti tepat di depan layar televisi.

“Hibur aku, Franҫois,” pinta perempuan di televisi dengan nada yang dalam.

Franҫois cemas dan panik, karena mulai terintimidasi. Tangannya serampangan memenceti tombol-tombol di panel kursi rodanya. Tak ada hasil! Ia juga berusaha menggeser-geser roda kursinya secara manual. Namun, sia-sia juga. Kedua roda itu seperti terkunci di tempatnya. Franҫois lalu berusaha bangkit, tetapi kakinya yang lumpuh menghalangi upayanya itu.

“Cencen, tolong, Cenceeeen….!” Franҫois berteriak ke arah pintu kamarnya. “Raviiiii… atau siapapun! TOLOOOONG…!!”

Tiba-tiba, televisi itu menyetel lagu dari konser band gipsi dengan volume tinggi. Praktis, jeritan Franҫois tenggelam oleh ingar-bingar alat-alat musik yang rancak itu.

“Teriakan seperti itu takkan menghibur siapa pun, Franҫois!” Si 52 Inci menanggapi dengan tenang. “Itu hanya seperti adegan di film-film horor yang murahan. Maaf, aku mau hiburan lain. GANTI!”

“Tidaaaakkkk….” raung Franҫois, setengah menangis. “K-kumohon, lepaskan aku…”

“Setelah komedi yang tidak lucu dan horor yang murahan, sekarang drama yang cengeng? Astaga, apakah tidak ada tayangan bermutu untukku di jam-jam segini. GANTI!”