Pembicaraan:Doa Ziarah Kubur Singkat Lengkap Dengan Artinya
Bagian barukesana
[sunting]Juang Asa di Pesisir Pantura Aku berbaring dikasur tempat tidur kesayanganku, seraya bernostalgia, dimana Aku sedang menenteng sebuah kitab tebal dengan lembaran warna kuning. Duduk dengan nyaman di serambi masjid berarsitektur Timur Tengah, bertemankan deburan ombak di lautan. Sejak MTs aku berniat untuk bertemu dengan KH. Maimoen Zubair. Namun, mimpi itu selalu ku urungkan. Aku sadar bahwa semua itu membutuhkan biaya yang mahal dan usaha yang luar biasa. Melihat kondisiku sekarang yang sedang dilanda kesulitan ekonomi rasanya sangat tidak mungkin untuk bersua ke sana. Melihat petuah–petuah beliau di youtube saja sudah menjadi pengobat rinduku. Beberapa tahun kemudian, saat Aku lulus dari MAN, entah mengapa tiba–tiba semangat itu bangkit lagi. Dengan penuh keyakinan suatu saat aku pasti bisa mondok di Sarang. Berbekal dengan pengalaman hidup yang sulit, tidak membuatku patah semangat. Sejak MAN aku sudah diajari mencari uang saku sendiri, dengan berjualan nasi dan jajanan yang ku titipkan di kantin sekolah. Seperti biasa, pagi ini aku melakukan aktivitas dirumah sambil menanti ijazah MAN ku keluar. Saat aku mulai merapikan isi kamar tiba-tiba HP ku berdering. Satu pesan WA dari Khoir telah masuk. “Mbak, ayo Ramadan tahun ini kilatan di Sarang”. Rasa suka dan duka bercampur aduk menjadi satu. Tanpa pikir panjang Aku menyetujui tawaran tersebut. Tengah malam, Aku masih belum bisa tidur memikirkan biaya yang akan digunakan untuk mondok kilat di Sarang. Ku lihat tabungan di dalam kotak kecilku hanya tersisa dua ratus ribu rupiah. Itu pun uang sisa lebaran pemberian sanak saudara. Akhirnya aku berinisiatif mencari uang sendiri. “Pokoknya mulai besok aku harus cari kerja, aku mau cari uang yang banyak biar bisa mondok kilat di Sarang”. Ucapku dalam hati sambil menatap kalender dikamarku. Perjuanganku dimulai dari sekarang, semua info lowongan kerja yang ada di FB sudah kuikuti, meminta bantuan teman karib untuk mencarikan lowongan kerja sudah kulakukan, bahkan melanjutkan berjualan makanan masih juga berjalan. Suatu ketika Aku mendapat info lowongan kerja dari Ayuni, dia adalah teman MTs ku dulu. ”Dibutuhkan guru les privat untuk anak TK di daerah kota, silahkan hubungi nomor ini”. Ternyata nomor tersebut atas nama Bu Ana yang mencari tenaga penididik untuk anaknya. Kemudian, aku meminta bantuan ayah untuk mengantarkan ke rumah Bu Ana. Sesampainya disana, dengan tatapan sedih Bu Ana mengabarkan bahwa sudah ada guru yang dia terima untuk mengajar putranya. Aku kalah cepat dengan pelamar yng lain, dengan berat hati Bu Ana mengatakan aku belum diterima. Aku merasa sangat sedih karena usaha yang aku lakukan terasa sia-sia. Namun, Aku sedikitpun tak patah semangat, Mati satu tumbuh seribu. Benar juga, tak lama Ayahku memberikan tawaran untuk menjadi saksi dalam pilkada. Aku pun menyetujui tawaran dari Ayah, dengan niat mencari biaya untuk mondok kilat. Alhamdulillah, lumayan mendapat uang saku dari sosialisasi tatacara saksi sebesar lima puluh ribu rupiah. Uang tersebut aku tabung di dalam kotak kecil tempat biasa aku menyimpan uang tabungan. “Mbak, dapat uang berapa?”. Tanya Ayah padaku. “Dapat lima puluh ribu yah.” Jawabku dengan girang. “Alhamdulillah, sini Ayah tambahin lima puluh ribu”. Allah Maha Kaya, tiada angin tiada hujan Ayah tib-tiba memberiku uang. Mungkin beliau kasihan kepada putrinya yang sedang berjuang ini. PD kali aku, mungkin saja Ayah memang sangat sayang padaku. “Seratus, dua ratus, tiga ratus..tiga ratus..? Mana cukup untuk perjalanan ke Sarang? Ya Allah, berikanlah hamba rezeki yang berlimpah, yang Engkau alirkan seperti aliran telaga-telaga di surga-Mu. Aamiin”. Inilah doa yang kuucapkan setiap kali menghitung uang tabungan. Hari demi hari kulewati, Ramadan kurang seminggu lagi, Aku bingung mencari sisa uang untuk mondok. Mengetahui hal itu, Bundaku meberikan uang yang lumayan banyak, kisaran tujuh ratus ribu secara cuma-cuma. Saat memberikan uang tersebut beliau berpesan, “Mondok yang bener ya mbak”. Spontan Aku menangis, tidak menyangka Bunda akan memberikan ini semua. Setelah masalah uang saku selesai, kini Aku dapat bernapas lega. Seperti biasa, menjelang malam Aku berbaring di kasur kesayanganku. Dan hal yang kulakukan adalah berpikir secara mendalam layaknya seorang filosof yang mencari kebenaran yang sejati. “Oh iya, Aku dan Khoir kan belum pernah melakukan perjalanan antar provinsi, terus bagaimana dong?”. Pertanyaan ini berkali-kali kulontarkan pada diriku sendiri. Keesokan harinya, Aku teringat pada Kang Zaki, yang dua tahun lalu sudah pernah mondok kilat di Sarang. Aku dan Khoir pun memutuskan untuk menghubunginya. Pada awalnya Kang Zaki memberikan kontak telepon milik Mbak Farida. Beliau merupakan alumni Pondok Pesantren Darul Huda Mayak, yang kemudian melanjutkan mondok di Sarang. Secepatnya Aku dan Khoir menghubungi mbak Farida dan menanyakan rute perjalanan bis dari Ponorogo ke Rembang. Alhasil, puncak dari pertanyaan dan tujuan kami, bisakah Mbak Farida menemani kami berangkat ke Rembang?. Dan jawabanya diluar dugaan, Mbak Farida memutuskan kilatan di Pondok Mayak. Aku dan Khoir pun semakin bingung mencari solusi. “Bagaimana ini Ir, Ndak mungkin kan kita pergi berdua saja? Kalau hilang gimana? Kalau di godain pria nakal gimana?”. Tanyaku pada Khoir. ”Aku juga bingung mbak, tapi ini satu-satunya kesempatan kita dapat pergi kesana”. Jawab Khoir. “Gimana kalau kita mengajak Kang Zaki saja, Ayahku mengusulkan begitu mbak”. Aku berpikir beberapa menit dan menurutku itu merupan ide yang bagus. Serentak Aku dan Khoir menghubungi Kang Zaki dan menawarkan hal itu, namun tampaknya Kang Zaki ragu dan kurang setuju. Dia meminta waktu untuk mempertimbangkan hal itu. Beberapa hari kemudian, akhirnya Kang Zaki menghubungiku dan menyetujui untuk menemani ke Jawa Tengah. Dua hari sebelum Ramadan, Kami bertiga berangkat ke Jawa Tengah dengan mengendarai bis. Diantar oleh Ayah kami masing-masing ke terminal. Beberapa menit menunggu, bis jurusan Surabaya pun datang dan membawa kami meninggalkan Kota Reog.
“Ternyata Sarang jauh juga ya Ir”. Tambahku memecahkan keheningan di dalam bis ini. ”Iya mbak, aku pusing pengen mabuk rasanya”. Jawab khoir. “Hhh jangan mabuk ir, sebentar lagi sampai kok”. Jawabku dan menganjurkan Khoir untuk tidur saja. Tujuh jam perjalanan ini ku tempuh. Tibalah pada gerbang perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tak pernah membayangkan bahwa mimpiku dapat secepat ini tercapai.
Deburan ombak dengan semburat senja mulai berimajinasi diatas langit Jawa Tengah. Ditambah dengan back song bis yang kami tumpangi “Bidari Kesleo”. Khoir sangat menyukai lagu ini. Sepanjang perjalanan Aku dan Khoir hanya bernyanyi dan tertawa riang gembira. Sambil memandangi truk-truk besar yang berlalu lalang membawa ikan tangkapan dari Pantura (Pantai Utara). “Pondok…pondok Sarang”. Lamunanku pudar, baying-bayang tentang wujud pondok Sarang langsung menghiasi kepalaku. Kami bertiga turun dari bis, dan langsung menuju Masjid Gondan dengan mengendarai Tosa. Seperjuta detik Aku terhipnotis oleh kebesaran Allah di penghujung utara Pulau Jawa ini. Masjid yang berarsitektur timur, dengan warana cokelat emas ini sangat mempesona. Ditambah dengan tempatnya yang strategis bak Taj Mahal di India. Tak lupa kami mengambil beberapa foto yang dapat diabadikan untuk kenang-kenangan. Adzan maghrib mulai berkumandang menandakan hari semakin gelap. Kami melaksanakan sholat maghrib dan bersiap untuk pergi ke pondok Sarang dengan mengendarai tosa pastinya. Saat masuk ke gerbang pondok sambil meneteng tas besar, awalnya Aku sangat percaya dengan ingatan mulus Kang Zaki tentang pondok ini. Sampai-sampai salah masuk pondok putra pun Aku biasa saja. Tidak terkejut, tidak waw, dan merasa tidak ada apa-apa. “Ini ya Kang pondoknya? Tapi kok laki-laki semua ya Kang?”. Tanyaku pada Kang Zaki. “Aku aslinya juga bingung lo...pondok putrinya yang mana. Hehehe”. Balas Kang Zaki sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku dan Khoir pun tersipu malu, layaknya tomat yang sudah matang terinjak orang pula. Beberapa menit berputar-putar masih saja berada ditempat yang sama. Aku lelah banget rasanya, pengen istirahat. Tujuh jam perjalanan Ponorogo-Rembang menenteng tas besar berisi pakaian dan alat tulis membuatku mati rasa. Kompleks pondok putri ternyata lumayan jauh dari jalan raya dan harus melewati lorong pemukiman warga. Sesampainya di pondok putri, Aku dan Khoir harus berpisah dengan Kang Zaki. Dia berpesan lebih baik memilih kitab yang di kaji oleh Mbah Maimoen, judulnya Risalatul Qusyairiyah. Setelah berpamitan pada Kang Zaki Aku langsung mengurus administrasi pendaftaran. Susasana pondok saat itu sangat ramai dan panas. Mungkin karena banyak sekali antrian pendaftar. Pada saat melakukan administrasi, Aku bertemu dengan orang Madura yang bernama Imawati. Dia ke Rembang bersama kakak keponakannya yang mondok kilat di MUS. Kami bertiga memutuskan untuk tinggal satu kamar yaitu kamar AS4. Sesampainya dikamar Aku merapikan pakaian dan barang-barang. Malam itu suasana terasa sangat panas. Kupandangi sepanjang gedung memang tidak ada fentilasi yang dibuka. Cendela semua ditutup rapat, kacanya dilapisi kertas-kertas. Semalaman Aku tidak dapat tidur, persediaan air semakin berkurang. Berbeda dengan Imawati yang langsung tidur dengan posisi yang ia sukai. Mungkin perjalanan dari Madura ke Rembang sangat jauh. Malam pertama bulan Ramadan setelah selesai sholat tarawih, agenda ngaji kitab bersama Mbah Maimoen dimulai. Aku mengira ngaji kitab dilakukan di mushola dan dapat bertatapan langsung dengan Syaikhuna Maimoen Zubair seperti yang dikatakan Kang Zaki. Namun tidak, khusus pondok putri ngaji kitab dilakukan di aula 3 atas dan menggunakan speaker pondok. Rasa kecewa sangat mengganjal di hatiku, impian bertemu dengan Mbah Maimoen hanya angan kosong. Aku hanya dapat mendengarkan suara beliau melalui speaker untuk melepas rindu. Setiap isi kitab beliau resapi, dan selalu menangis saat nama Allah di lantunkan selain itu beliau juga memiliki tawa yang sangat khas saat bercerita tentang pengalamannya dulu selama mondok di Arab. “Kiyai Arab itu sangat menyukai murid yang berasal dari Indonesia. Ingat ya, batu itu kalahnya dengan besi, besi itu kalahnya dengan api, api itu kalahnya dengan air, air itu kalahnya dengan angin, dan angin itu kalahnya dengan dzikir. Ana Urid wa anta turid wallohu yaf’alu maa yurid”. Inilah wejangan beliau yang selalu ku ingat. Aktifitas menjemur pakaian pagi ini sangat menyenangkan. Tidak sengaja Aku mengintip sebuah ruangan. Dimana ruangan itu memiliki fentilasi yang berongga-rongga. Setelah ku intip hembusan angin menyepoi jilbabku, sekejap diam seribu bahasa. Ternyata dibalik fentilasi ini Aku dapat melihat deburan ombak dan kapal-kapal nelayan berjajar rapi bak lukisan Afandy. Masjid hijau yang bertengger kokoh di pesisir Pantura juga menambah kesejukan hati. Ternyata masjid hijau ini yang biasa digunakan Mbah Maimoen ngaji kitab setiap harinya. Suasana ini membuat pandanganku enggan berpaling. Malam harinya, Khoir mendapat panggilan sambang, ada dua orang wanita cantik yang duduk di teras ndalem. Ternyata beliau adalah ustadazah pondok Mayak yang berencana menjemput Khoir pulang karena Khoir mendapat banyak penghargaan dari serentetan ujian sekolah yang telah Dia jalani kemarin. Khoir menangis keras dan berkata tidak ingin meninggalkan pondok. Namun apalah daya acara PWM (Pertemuan Wali Murid) dilaksanakan besok pagi dan Khoir harus hadir dalam acara tersebut. Setelah selesai melakukan sowan kepada Ibu Nyai, Khoir pun diberi izin pulang. Aku mengintil Khoir pulang ke Ponorogo. Saat tiba didepan pintu pondok, Mbak Nafi’ ketua pondok putri menghentikan langkahku. “Ini mau kemana?”. Tanya Mbak Nafi’ padaku. “Mau pulang mbak.” Jawabku dengan santai “La yang disowankan hanya Khoir lo, kenapa kamu juga ikut pulang?”. Tanyanya balik. “Hemm..saya bingung mbak, nanti kalau Khoir ndak kembali, saya pulangnya sama siapa?”. Jawabku sambil menangis ketakutan. “Oo...ya tidak bisa, karena yang disowankan hanya Khoir. Nanti saya izinnya gimana ke Bu Nyai?”. Balas mbak Nafi’ ketus. Setelah melakukan perdebatan akhirnya Aku pun diizinkan pulang tanpa sowan ke Bu Nyai. “Mbak, pokoknya saya ndak tanggung jawab ya”. Ucap mbak Nafi’ pada kedua ustadzah pondok Mayak tersebut. Ustadzah Mayak hanya menganggukkan kepala dan Kami semua berjalan menuju mobil. Perjalanan pulang ini ku tempuh dengan air mata. Tidak pernah membayangkan pulang dengan cara seperti ini. Belum mengkhatamkan kitab, ditambah lagi Aku pulang tanpa sowan terlebih dahulu dengan Bu Nyai. Niat mondok disana ingin mendapatkan barokah, justru pulang dengan cara yang tidak sopan.
Shubuh tiba, Aku dan Khoir sudah sampai dirumah. Orangtuaku terkejut dengan kepulanganku. Kemudian, Aku menceritakan semuanya. Harapan kembali lagi rasanya memang sudah tidak ada, Aku sedikit menyesal memutuskan ikut pulang ke Ponorogo. Namun, kasih sayang Allah lah yang mengizinkanku kembali lagi ke pondok Sarang. Khoir mengajakku kembali lagi ke pondok Sarang. Ayah Khoir juga sudah menghubungi pihak pondok mengenai ini.
Aku sangat bersyukur perjuanganku selama ini untuk mondok kilat di Sarang sudah dapat terwujud dan kembali lagi kesana untuk yang kesekian kalinya. Aku meminta izin kepada orangtuaku, namun keduanya tidak memberikan. Lalu ku coba meluluhkan beliau dan kesekian kalinya alhamdulillah diberikan izin. Keesokan harinya tepat puasa ke 13 Aku kembali ke Pondok Sarang dengan menaiki bis. Yakin ndak yakin pokoknya berangkat sesuai jalur yang sudah di berikan Kang Zaki kemarin. Sesampainya disana semua anggota kamar terkejut. “Kok kembali lagi to?”. Tanya mbk Sururul, orang asli Sale ini. Aku hanya tertawa, “Ngalap barokah mbak, sayang kalau tidak diselesaikan.” Jawabku sambil membaringkan badan. Seisi kamar pun gembira dan menceritakan semua kegiatan pondok saat Aku pulang. Ternyata persiapan Haul KH. Zubair Dahlan sudah dilakukan oleh para santri. Mulai dari konsumsi dan latihan pentas seni. Namun, anggota kamarku justru sibuk membersihkan kamar. Aku dan teman-teman berencana ingin memberikan kenang-kenangan yang spesial untuk para mbak-mbak santri penghuni asli kamar tersebut. Imawati merapikan kitab yang tersusun diatas rak yang sudah lama tidak di bersihkan. Aku dan Khoir mengepel lantai kamar. Mbak-mbak santri terharu dan mengucapkan banyak terimakasih kepada kami. Bahwa layaknya sudah diberikan hati maka harus mampu menjaga hati tersebut. Sebelum haul dimulai, KH.Maimun Zubair mengadakan Khataman dan Sanadan. Serangkaian acara telah ku lalui, dan tak terasa hari ini adalah hari dimana Aku sowan untuk pulang dari pondok Sarang. Sempat mbak-mbak Sarang memberikan sebuah buku memori mungil berwarna biru laut. Buku kecil ini bertuliskan “Mengenang, Dikenang, dari sebuah kenangan”. Dan buku itulah yang sampai sekarang Aku gunakan untuk mengobati rindunya hati pada Pondok Pesantren Al Anwar Sarang. Santri Sarang santri pesisir. Ana urid wa anta turid wallohu yaf’alu maa yurid. Setiap kesulitan ada kemudahan dan kucinya adalah Yaqin. Tentang Penulis Anisa Ilma Rizqika lahir di Ponorogo, 19 Februari 200. Ia anak kedua dari tiga bersaudara buah dari pasangan Muklasno dan Siti Kusmiasih. Ilma adalah panggilan akrabnya, ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Ia pertama kali masuk sekolah pada tahun 2006-20012 di MI Ma’arif Mayak. Kemudian lulus dan melanjutkan ke MTsN 2 Ponorogo dari tahun 2012-2015. Lalu melanjutkan ke MAN 2 Ponorogo pada tahun 2015-2018. Dan sekarang melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Ponorogo dengan prodi PAI dan diselingi sekolah diniyah di Pondok Pesantren Darul Huda Mayak, Ponorogo. Sejak kecil dia memiliki cita-cita menjadi seorang guru, karena guru merupakan ladang ilmu bagi tunas bangsa. Hal yang selalu ia ingat dalam acuan hidup adalah petuah dari Ustadzah Dzurrotun Nafisa, yakni Teruslah berusaha dan berproses, karena orang baik terlahir dari sebuah proses yang panjang.