Lompat ke isi

Peneliti Air Sungai

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

PENELITI AIR SUNGAI



Pak Beni sedang menjelaskan tentang cita-cita di depan kelas, sementara siswa-siswi kelas enam SD Tunas Rebung menyimak dengan tenang.


"Jadi, jika kalian sudah besar nanti, kalian mau jadi apa?" tanya Pak Beni. Para murid terdiam, terlihat bingung.

"Loh, kok, diam? Sebentar lagi, kan, kelulusan. Kalian harus punya cita-cita. Kalian harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi."

Pak Beni pun menugaskan siswa-siswi untuk menuliskan cita-cita mereka di atas kertas dan membacakannya di depan kelas.


Siti bercita-cita ingin menjadi seorang guru TK. Mathew ingin menjadi pemain piano seperti pamannya. Missael yang lebih pendiam rupanya ingin jadi tentara. Fei Fei, gadis sipit keturunan Cina itu bercita-cita menjadi atlet bulu tangkis. Alejandra yang duduk paling depan selalu bersemangat ingin menjadi juragan kambing. Teuku yang sangat riang ingin punya pabrik gula.

Beberapa siswa-siswi sudah maju membacakan cita-cita mereka dan sisanya minggu depan karena bel istirahat telah berbunyi.

Mohede yang duduk paling belakang tampak bingung. Kertasnya masih kosong. Ia belum menuliskan satu kata pun untuk cita-citanya.


"Cita-citamu apa, Mohede?" tanya Mathew. Mohede malah menggaruk-garuk kepalanya yang berambut keriting itu.


"Apa kalau kita punya cita-cita, nanti akan jadi kenyataan? Beta bingung," jawab Mohede.

"Ya, saya tidak tahu."

"Tidak usahlah dipikirkan itu, toh, Pak Beni cuma suruh tulis apa cita-cita kita dan tidak menyuruh kita jadikan itu kenyataan," sanggah Missael sambil mengunyah cilok.

Bukannya menuliskan cita-citanya di atas kertas, Mohede malah menutup buku dan memasukkannya ke dalam ransel.


"Ah, sudahlah. Ayo kita main bola di lapangan!"

Semua murid laki-laki kelas enam berlari menuju lapangan. Seketika itu baju putih mereka berubah menjadi cokelat akibat tanah lengket sehabis hujan malam lalu.

Mereka bermain dengan bersemangat, terlebih lagi Mohede yang telah mencetak gol berkali-kali. Kawan-kawannya pun kewalahan untuk merebut bola dari kakinya yang lincah seperti kaki kancil. Apa cita-citanya ingin menjadi pemain sepak bola?


Karena kakinya kotor, Mohede tidak memakai sepatu ketika pulang menuju rumahnya. Teman-temannya yang lain juga sama. Mereka pulang bertelanjang kaki. Mohede tak tampak senang meskipun Mathew dan Missael mengajaknya memancing ikan di sungai setelah ganti baju dan makan siang. Sepanjang jalan pulang itu, Mohede mungkin masih memikirkan tentang apa cita-citanya yang akan dibacakan di depan kelas. Sebenarnya, apa itu cita-cita? pikirnya.


Ayahnya seorang penyadap nira. Ibunya seorang pemintal benang untuk dibuat kain tenun. Kakaknya jadi pemanggul buah sawit. Semua hal itu dilakukan tak lebih hanya untuk ... uang? Untuk biaya sekolahnya yang kelak mungkin ia jadi penyadap nira, pemintal benang, atau pemanggul buah sawit. Jadi sebenarnya, semua cita-cita tujuannya untuk uang? Bercita-cita tinggi rasanya punya sisi percuma juga sebab hidup di desa yang susah akses jalan menuju kota. Mohede mengacak-acak rambutnya. Ia merasa bingung dengan pemikirannya sendiri yang dibuat-buat.


Ibu tampak sedang memintal serat benang di bale-bale bambu. Sesampainya di rumah, Ibu yang mengetahui Mohede pulang dengan pakaian kotor lantas marah.


"Jangan masuk rumah sebelum cuci itu kaki! Cuci juga bajumu!"

Untungnya, besok pakai baju olah raga. Pantas, Mohede terlihat tenang bermain bola sampai pakaiannya kotor.


Sementara itu, Matthew dan Missael telah menunggu di bawah pohon kersen yang buahnya berwarna merah. Mereka berebut naik ke dahan yang buahnya paling lebat. Akan tetapi, buah yang terlalu matang itu malah jatuh ke tanah. Mohede yang baru saja datang malah mendapat bagian buah kersen paling banyak tanpa bersusah payah memanjat pohon.

"Hey, itu punyaku!" rutuk Missael.

"Siapa cepat, dia dapat!" Mohede segera menyesap buah itu dan membuang kulitnya. Tanga kirinya memegang joran pancing dari bambu.

Langit mulai mendung. Kalau hujan turun, sungai keruh dan meluap. Ikan tak mungkin bisa ditangkap dengan cara dipancing.

"Ayo kita ke sungai! Sebentar lagi hujan."

Sungai ibarat rumah. Anak-anak dusun kerap memancing dan mandi di sungai. Airnya masih jernih. Ikan dengan berbagai jenis masih banyak ditemui. Ikan yang paling banyak ditemui adalah ikan gabus, ikan lunjar, dan ikan sidat. Dulu, masih banyak ditemui ikan sebarau dan baung. Sekarang jumlahnya tinggal sedikit. Dalam satu aliran sungai yang tenang tak mesti dapat ikan sebarau dan baung ketika memancing.

Cara paling bagus untuk menangkap ikan adalah dengan dipancing karena ikan yang tersangkut kail hanya yang berukuran besar. Namun, ada juga yang menjala kalau area sungainya agak dalam. Beberapa orang juga suka memasang bubu di aliran anak sungai yang dangkal.

Para ibu dan gadis dusun juga suka mencuci baju di sungai. Di sepanjang aliran sungai itu, ada berpetak-petak sawah. Orang-orangan sawah dipancangkan dengan tali. Mereka bergoyang-goyang seolah-olah sedang mengusir burung yang memakan biji padi. Kalau sedang beruntung, kita bisa melihat burung-burung yang takut itu terbang membentuk kerumunan di awan seperti lukisan.


Sebelum memancing, Mathew, Missael, dan Mohede mencari cacing tanah untuk umpan yang kemudian dibungkus daun pisang. Setelah dirasa cukup, perjalanan menuju sungai dilanjutkan. Suara air yang mengalir tenang sudah terdengar. Akan tetapi, mereka seketika terkejut ketika sampai di sungai. Beberapa sampah plastik terlihat mengapung terbawa arus. Padahal, beberapa hari lalu, sungai masih bersih.


"Kenapa sungai kita jadi banyak sampahnya?" tanya Mathew.

Sampah popok, botol plastik, gelas plastik, dan bungkus jajanan ringan jadi pemandangan yang menyeramkan. Sungai berubah menjadi keruh dalam sekejap. Tak peduli dengan sampah-sampah itu, mereka tetap melanjutkan memancing ikan. Sampai matahai tenggelam, tidak ada satu ikan pun yang tertangkap. Cacing umpan di atas daun merangkak melarikan diri.

Beberapa hari kemudian, fenomena sungai keruh dan kotor akibat sampah menjadi perbincangan di desa. Tidak ada lagi yang mencuci baju di sungai. Mohede dan kawan-kawannya pun enggan mandi di sungai karena warnanya jadi keruh. Belum lagi sampah plastik yang makin lama makin banyak.

"Sungai kita sudah tercemar!" ucap Ibu.

"Lalu, di mana kita akan memancing ikan? Di mana kita akan mencuci baju?" tanya salah satu warga yang tampak bingung.

Mohede merasa sangat kehilangan. Sungai sudah tercemar. Namun, sebenarnya apa itu tercemar?

Pada saat pelajaran IPA, Pak Beni menjelaskan tentang pencemaran air. Mohede pun lantas bertanya tentang pencemaran yang terjadi di sungainya.

"Pencemaran sungai berarti ada sesuatu yang bercampur dengan air sungai itu yang menyebabkan air sungai menjadi kotor, biasanya karena sampah atau limbah industri," jelas Pak Beni. Semua murid menyimaknya.


"Salah satu tugas kita semua adalah menjaga air sungai supaya tetap bersih agar bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, seperti mencuci, mandi, dan bisa juga sebagai air minum. Jangan sampai sungai kita tercemar."

"Emang air sungai bisa diminum, Pak?"

"Ya, tentu bisa kalau sudah melalui proses tertentu dengan alat canggih. Nah, kalian sebagai generasi penerus harus bisa menjadikan sungai kembali sebagai rumah bagi ikan-ikan, hewan ternak, dan orang-orang di sekitarnya."

Mohede menyimak pelajaran itu sambil berpikir. Bagaimana cara mengembalikan sungai yang sudah tercemar?


Setelah dicari lebih jauh penyebab sungai keruh oleh penduduk sekitar dan pejabat desa, ternyata sampah-sampah itu datang dari orang-orang kota yang suka membuang sampah di hulu sungai. Sampah-sampah tersebut mengalir ke hilir dan seluruh anak sungai, termasuk sungai di desa Mohede. Ada juga pabrik kain yang membuang limbah langsung ke sungai. Pantas saja airnya menjadi keruh.

Pejabat desa langsung melarang penduduk kota untuk membuang sampah di sungai dengan cara membuat papan peringatan dan denda bagi siapa saja yang melanggar. Pabrik kain juga tidak boleh membuang limbah pewarnanya langsung ke sungai. Mereka harus membuat penampungan limbah sendiri. Kalau tidak dipatuhi, izin usaha akan dicabut.


Masalah sungai keruh sudah diatasi. Akan tetapi, untuk mengembalikan sungai seperti sedia kala, butuh waktu yang lama. Untuk sementara waktu, air sungai masih belum bisa dipakai untuk mencuci baju dan mandi, tapi masih bisa digunakan untuk irigasi sawah dan kebun.

Mohede, Matthew, dan Missael duduk di pinggi jembatan sungai sambil melihat aliran air yang bergemericik. Kali ini, mereka mencoba keberuntungan dengan melempar senar dan kali pancing.


"Aku tak sabar menunggu sungai kita bersih," ucap Mohede.

"Aku juga ingin segera mandi. Lompat dari jembatan ini dan balapan renang." Missael tersenyum riang membayangkan itu.

"Itu, kan, bahaya!" Mathew menyanggah.

"Aku, kan, pemberani. Makanya, aku ingin jadi tentara biar bisa melindungi negara."


Mohede terdiam seperti memikirkan sesuatu. Esok adalah hari di mana ia harus menuliskan cita-citanya di atas kertas dan membacakannya di depan kelas. Kira-kira apa cita-cita yang bisa membuat Pak Beni dan teman-temannya terkesan? Namun, punya cita-cita tujuannya bukan untuk mengesankan orang. Mohede ingin punya cita-cita yang bisa bermanfaat bukan hanya untuk dirinya, tapi juga semua orang.


Mohede masih mengingat kata-kata Pak Beni. Sebagai generasi muda, tugasnya adalah untuk menjaga air sungai agar tetap bersih sampai nanti. Sungai adalah rumah bagi berbagai satwa. Sungai adalah sumber kehidupan. Kalau sungai keruh, tidak ada ikan dan tidak bisa buat mencuci baju, apalagi buat mandi.


Mohede membayangkan kalau sungai di desanya itu bisa diminum dan bisa untuk membangkitkan tenaga listrik seperti yang Pak Beni bacakan di buku pelajaran. Kalau punya pembangkit listrik sendiri, desa akan makmur.


Di depan kelas, siswa-siswi yang belum mengumpulkan cita-citanya segera maju ke depan. Maria membacakan cita-citanya yang ingin memiliki yayasan untuk yatim piatu. Janitra ingin menjadi bidan dan membangun klinik di desa. Lukas bercita-cita ingin jadi pengepul kain tenun yang kemudian di jual ke luar negeri. Manisha ingin punya salon dan tempat penyewaan busana. Ahmad ingin menjadi seorang pendakwah.


Giliran Mohede yang maju. Ia membacakan cita-citanya di depan kelas.

"Aku ingin menjadi peneliti air sungai."


Seluruh murid terdiam. Cita-cita macam apa itu? Tidak ada yang pernah mendengarnya sebelumnya.

"Aku ingin membuat alat agar air sungai layak minum untuk semua orang. Aku juga ingin membuat pembangkit listrik agar desa kita terang."


"Bagus! Ayo kita jaga sungai biar bisa dimanfaatkan untuk semua orang," kata Pak Beni.


Akhirnya, semua murid selesai membacakan cita-citanya. Setelah itu ada penilaian. Namun, Pak Beni tidak menilai tugas yang satu ini.


"Semuanya bagus! Semoga cita-cita kalian tercapai. Bapak tidak bisa menilai cita-cita. Itu karena semuanya datang dari hati dan niat tulus untuk menjadi generasi yang lebih baik di masa depan."


Entah kelak jadi kenyataan atau tidak, seseorang semestinya punya cita-cita supaya lebih giat belajar dan tentunya kelak bisa bermanfaat bagi diri sendiri, orang tua, dan orang-orang di sekitarnya.[]



Gunung, 28 Februari 2023

Penulis bernama Firman Fadilah, tinggal di Lampung. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi pernah tayang di berbagai media online dan cetak. Cerpennya yang pernah terbit, “Bandot Pengen ke Mekah” dalam antologi cerpen Pendar Cahaya Adha (Jawa Timur: CPM, 2020), “Gadis Bercadar Hitam” dalam buku Stop Bullying (Jawa Barat: LovRinz Publisher, 2020), dan "Kukirimkan Bulan ke Pangkuanmu" dalam buku Atas Nama Rindu (CV. Cleopatra Mandiri, 2022). Ig: @firmanfadilah_00