Penenun Misterius

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar[sunting]

Salam.

Saya Tria Ayu K, seorang penulis cerita anak, saat ini tinggal di Yogyakarta. Menulis bagi saya serupa menenun. Ada proses perencanaan, menyusunnya sesuai pola yang dinginkan, serta menyatukannya sedikit demi sedikit dengan penuh kesabaran, hingga tercipta karya yang indah.

Premis[sunting]

Marion menenun selendang sepulang sekolah. Anehnya, setiap hari hasil tenunnya bertambah. Namun Marion tidak tahu siapa yang melakukannya. Marion menggunakan daun nila yang biasa digunakan sebagai pewarna alami benang tenun untuk menemukan pelakunya.

Lakon[sunting]

Marion, Fiona, Mama Fransisca, Mama Angela

Lokasi[sunting]

Sumba, Nusa Tenggara Timur

Cerpen[sunting]

Penenun Misterius[sunting]

Marion berhenti memintal. Dengan gerakan lambat, ia menoleh ke arah suara desahan yang mengganggu, tepat di belakangnya. Wajah Marion seketika diterpa semilir angin dari celah-celah lebar pada dinding bambu yang disusun horisontal. Ia tinggal di uma mbatangu[1], dengan beberapa sisi rumah setengah terbuka. Tidak ada siapa-siapa. Marion mengangkat bahu, lalu kembali menghadap lana her’ru[2]. Tangannya lincah menggerakkan bilah-bilah kayu pada lana her’ru hingga benang-benang yang tersusun berjajar saling mengikat.

Marion sedang membuat selendang sederhana. Ia belum mahir membuat kain tenun, jadi hanya corak garis tiga warna yang ia buat. Merah dari akar kabo, kuning dari kunyit dan daun mangga, serta biru dari daun nila. Keluarga Marion teguh memakai pewarna alami. Meski proses yang diperlukan untuk membuat satu kain menjadi lebih lama, walau pewarna kimia lebih murah, memakai pewarna alami membuat keseimbangan alam lebih terjaga.

Marion senang memintal. Ia terus berlatih agar kemampuannya meningkat. Marion menenun dengan tekun dan serius. Ia tak bisa menenun sambil bersenandung seperti mamanya karena akan mengganggu konsentrasinya.

Sshhhh….

Marion terkesiap. Desahan itu kembali terdengar. Mengapa bulu tengkuk Marion berdiri? Marion memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Tidak ada siapa pun. Celah dinding rumahnya memungkinkan ia melihat pekarangan serta jajaran uma mbatangu para tetangga. Sepi, belum waktunya anak-anak bermain karena hari masih terik. Lalu, suara siapakah tadi?

Marion tertawa kecil, geli sendiri dengan tingkahnya barusan. Tidak biasanya ia seperti ini. Entahlah, mengapa sejak tadi ia merasa ada yang memperhatikannya.

Marion mengangkat bahu dan kembali menenun. Ia tidak sadar, ada sepasang mata yang benar-benar sedang mengamatinya.

Proses menenun cara tradisional menggunakan lena her'ru.

*

“Selendangmu sudah jadikah, Marion?” tanya Mama Fransisca.

“Belum, Ma. Baru setengah bagian. Marion sedang banyak PR, jadi agak tersendat,” jawab Marion sambil menggantung tas sekolahnya pada tancapan paku di dinding.

“Segeralah selesaikan. Katanya kau mau pakai untuk festival tenun Sumba. Katanya Bapak Presiden hendak datang ke festival.”

“Iya, Ma. Segera Marion selesaikan.”

“Mama mau mewarnai dan menjemur benang dulu. Kau makanlah dulu, lalu lanjut memintal ya, Nak,” pesan Mama Fransisca. Ia membawa sekeranjang gulungan benang kapas yang belum diwarnai menuju kebun di belakang uma mbatangu keluarga mereka.

Setelah berganti baju dan makan siang, Marion menuju sudut ruangan di mana alat tenunnya berada. Ia mengatur posisi duduk. Kakinya menyelinap ke bawah lena her’ru lalu selonjor. Dua tangannya siap memegang ujung dua sisi kayu lena her’ru saat matanya menemukan kejanggalan.

Marion terbelalak menatap lajur-lajur benang tenun di hadapannya.

“Hei, perasaanku saja atau bagaimana, ya?” Marion kebingungan. Ia yakin kemarin belum menenun sebanyak itu. Benang yang terpintal kini telah bertambah kira-kira selebar ibu jari. Marion mengamati selendangnya dan menemukan hal yang mengganggu. Saat menenun, Marion selalu memastikan tiap benang terjalin dengan rapi dan rapat. Ia selalu berhati-hati. Kenapa sekarang ada beberapa lajur benang yang renggang?

“Aduh, ini kenapa pula ada yang ruwet?” keluh Marion saat jarinya menyusuri jalinan benang. Beberapa bagian benang membentuk gumpalan kecil di beberapa bagian. “Tidak mungkin, kemarin tidak seperti ini….” gumam Marion.

Marion mencoba merapikannya kembali pintalannya. Tapi pikirannya tak tenang. Ia yakin, ada bagian yang bukan hasil pekerjaan tangannya.

Sshhhhh….

Marion terpaku. Suara itu lagi. Darahnya seketika berdesir.

Ssshhh….

Marion gelisah. Dengan cemas, ia menoleh ke belakang. Ujung matanya menangkap sekelebatan bayangan di luar rumah. Marion tak tahu apa itu, tapi jantungnya berdegup kencang. Ia memutuskan untuk meninggalkan lana her’ru dan selendangnya yang belum selesai.

Marion keluar uma mbatangu dan pergi ke kebun. Mama Fransisca tengah mencelup benang-benang tersebut ke dalam wadah-wadah yang telah berisi air berpewarna. Semua warna didapat dari bahan-bahan alami.

“Mama, apa Mama lihat ada orang lewat rumah kita tadi?”

“Pasti ada sajalah orang lewat. Namanya juga di kampung,” sahut Mama Fransisca tanpa melepaskan pandangannya pada benang yang sedang ia celup warna biru.

Marion mengamati keadaan sekelilingnya. Semua terlihat wajar seperti hari-hari biasa. “Mama, waktu aku di sekolah, apa ada yang mengusik selendangku?”

“Selendangmu yang mana?”

“Yang belum selesai kubuat.”

“Mama tidak tahu. Tadi kan Mama jualan di pasar.”

Marion garuk-garuk kepala. Ia meninggalkan Mama Fransisca sambil terus berpikir.

Esoknya, kejadian yang sama terulang lagi. Pintalan selendang bertambah dari yang Marion kerjakan, tapi tidak rapi. Marion kesal sekaligus takut. Siapa yang berbuat ini? Jika ada yang mengganggunya, manusia atau roh leluhur?

Memikirkan itu membuat peluh Marion menetes. Seingatnya, ia sudah melakukan ritual yang biasa dilakukan para penenun sebelum membuat kain. Apa mungkin doanya kurang khidmat? Aah, Marion mencoba menepis pikiran itu. Tangannya kini bergerak lebih cepat. Marion berharap bisa menyelesaikan selendangnya secepat mungkin agar tak ada yang mengganggu tenunannya.

Glodak!

“Ha?!”

Marion spontan menarik kakinya dari kolong lana her’ru dan berlari ke tepi uma mbatangu. Ia melongok lewat celah lebar di dinding. Di pekarangan, debu beterbangan seolah baru saja ada orang yang menyepak tanah. Tapi, tidak ada satu orang pun terlihat batang hidungnya. Manusia tidak mungkin menghilang secepat itu, bukan?

Marion bergidik. Ia berharap pikirannya salah. Ia memutar otak untuk mencari pembuktian.


*

Keesokan harinya sepulang sekolah, Marion buru-buru melihat tenunannya. Nah, bertambah sedikit lagi dari batas yang ia kerjakan kemarin. Marion segera tengkurap untuk melongok bagian kolong lana her’ru.

“Hah!” spontan ia memekik. Ia menggeser lana her’ru untuk memastikan misinya berhasil. Di lantai, tercetak sepasang kaki di antara bercak-bercak berwarna biru pekat. Marion tersenyum. Setidaknya satu hal terbukti. Si penenun misterius itu bukan makhluk tak kasat mata. Siapakah dia? Pencarian selanjutnya akan segera dimulai.

“Mama, aku pamit ke rumah teman!’ seru Marion pada Mama Fransisca yang tengah menjemur benang-benang berwarna-warni di jemuran bambu.

“Eh Marion, tahu tidak kenapa daun nila di ember berkurang? Apa kau pakai?”

Marion hanya tertawa kecil sambil berlari. Ia mengangkat tangannya lalu berseru, “Benar aku yang pakai. Terima kasih, Mama!”

Marion mendatangi satu persatu teman-temannya hanya untuk diam-diam melihat kaki mereka. Adakah yang betisnya kebiru-biruan? Tapi, sudah tujuh kawan yang Marion datangi, tak satu pun berbetis biru.

“Ah tentu saja. Bodohnya aku!” Marion menepuk jidat.

Bukankah tenunannya bertambah setiap ia berada di sekolah? Tidak mungkin teman sekolahnya yang melakukannya. Lagi pula, jejak kaki yang tercetak di lantai kurus dan lebih pendek dari kakinya.

“Hmm … mungkinkah anak kecil?” gumam Marion. “Tapi siapa anak kecil di kampung ini yang bisa menenun?” Hati Marion kembali was-was memikirkan keungkinan lain. Ia takut roh leluhur marah karena selendang yang ditenunnya tak mengikuti motif khas Sumba. Marion membuat selendang ini untuk berlatih, agar lebih lihai menenun. Marion memilih warna yang disukainya, tidak berdasarkan warna yang biasa dipakai para penenun tua di kampung Praijing.

Marion berjalan pulang dengan pikiran yang terus berkecamuk. Setibanya di rumah, ia segera mengepel lantai. Digosoknya kuat-kuat noda biru pada lantai. Pagi-pagi benar, ia memeras daun nila dengan sedikit air, lalu ia sebar di bawah lana her’ru. Jejak samar sepasang kaki selonjor itu kini sudah tak terlihat. Marion tak ingin berlama-lama larut dalam ketakutan. Ia lanjut menenun lebih cepat. Tak ia pedulikan tangannya yang lelah. Marion menenun hingga malam, hingga selendangnya selesai. Ia melepasnya dari lana her’ru, melipatnya dengan rapi, lalu diletakkan di samping kepalanya di dipan. Nah, tak ada yang bisa mengganggu tenunannya. Kini, ia bisa tidur dengan nyenyak.


*

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Marion beberapa kali menguap. Untuk meredakan kantuknya, Marion mencoba bersiul sambil mengamati suasana sekitar jalan yang ia lalui. Ia melewati Mama Angela sedang menjemur pakaian sambil mengomeli anaknya, Fiona.

Marion menunduk, pura-pura tidak melihat. Tapi ia tak tahan untuk tidak melirik. Pada saat yang bersamaan, Mama Angela sedang mengibas rok ke arah Fiona.

Jantung Marion seolah melompat. Tanpa sadar, ia mendekati Mama Angela dan Fiona.

“Itu dia!” seru Marion, menunjuk rok di tangan Mama Angela.

“Eh, Marion. Ada apa, Nak?” Mama Angela heran.

Marion menatap Fiona. Gadis kecil itu menyedot ingusnya yang hampir menyembul, lalu mengeluarkan desah panjang. Mata Marion membulat.

Tiba-tiba, Fiona melesat pergi. Dengan lincah ia berbelok ke belakang uma mbatangu lalu menghilang dari pandangan.

Marion tersenyum. Tidak salah lagi. Bagian belakan betis Fiona berwarna kebiruan. Warna biru dari daun nila tidak mudah hilang. Warna itu akan menetap di kulit selama beberapa hari. Untuk memastikan, Marion menunjuk rok di tangan Mama Angela. “Itu noda biru di pinggiran bawah rok, ada sejak kapan, Mama?”

“Paling kemarin sore atau siang. Ini baju yang Fiona pakai sebelum mandi sore.”

“Apa Fiona sudah pandai menenun?”

Mama Angela terbahak. “Anak itu suka omong kosong bisa menenun. Kau kan tahu kami tidak punya lana her’ru, juga tak ada yang mengajarkan Fiona menenun.” 

“Baiklah, Mama Angela. Tolong bilang Fiona, siang nanti mainlah ke rumahku. Akan aku ajarkan ia menenun selendang,” ujar Marion sebelum pamit.

Marion tersenyum lebar sepanjang perjalanan. Ia lega, juga senang. Seorang calon penenun kain Sumba telah lahir, dan hal itu membuat hatinya menghangat.


- Tamat -


[1] Rumah berpuncak. Rumah adat suku Sumba, Nusa Tenggara Timur yang mempunyai puncak atap tinggi.

[2] Mesin tenun tradisional, terbuat dari kayu.