Perak ke Parakang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sebelum membaca[sunting]

Catatan : Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, misteri kehidupan Tetta yang semakin terungkap. Suara-suara malam yang dulu mengusik tidurmu kini membawa beban kejutan dan pertanyaan tanpa jawaban.

Inspirasi cerita[sunting]

Blade

The Real Parakang : Warisan Berdarah

Sinopsis[sunting]

Bahri bersama Tettanya (ayah) yang tuna netra dihadapkan pada pilihan sulit. Tentang siapa yang bisa dipercaya, Tentang hubungan darah dan keselamatan warga desa Baji Mangngai. Segalanya dipertaruhkan dalam menghadapi terror dari makhluk ganas paling ditakuti di tanah Bugis-Makassar.

Genre[sunting]

Misteri supernatural

Cerita pendek[sunting]

Aku pernah meremehkan kekuatan kata-kata meski tahu betul rangkaian demi rangkaian peristiwa sejarah terjadi karena bunyi dan sunyi mereka. Kata-kata mampu memulai revolusi atau mengakhirinya, ia pula mampu menghindarkan umat manusia dari pengalaman pahit umat sebelumnya. Namun aku yang kala itu masih remeh dipaksa belajar dari pengalaman sendiri.

Malam telah larut seutuhnya saat samar-samar suara tapak kaki dan tongkat besi berganti-ganti menyentuh lantai kayu. Pelan memang, namun deritnya yang sedikit itu sudah mampu mengusik tidur dan rasa ingin tahuku.

“Tetta ada panggilan lagi?” pertanyaan itu terlontar begitu saja meski otakku sudah hafal rutinitas pria paruh baya yang sedari aku baru belajar bicara telah kupanggil Tetta itu. Sebagaimana selayaknya orang Makassar memanggil ayahnya.

“Iye, nak. Alhamdulillah baru saja Pak Basuki menelfon minta diurut” Jawabnya sembari menjangkau tas ransel yang tergantung di belakang pintu rumah kami.

“Pak Basuki di dusun Pao-Pao? Jauhnya itu, Tetta. Saya antarki’ nah. Malammi bela”

“Bukannya besok kamu sekolah? Tetta jalan saja, tidak begitu jauh kok. Toh siang dan malam tidak ada bedanya bagi Tetta, sama-sama tidak kelihatan jalanannya.”

Aku telah menjadi anaknya selama 17 tahun namun masih sering tercekat tiap mendengar lelucon ayahku itu. Seolah indra pengelihatan beliau memang ditakdirkan selaras dengan humornya; gelap.

Meski cahaya segan memasuki retina matanya, ia tetap cekatan menuruni anak tangga rumah kami. Ditemani ransel dan kacamata hitam, langkahnya membelah malam dituntun suara ujung tongkat besi mengetuk-ngetuk jalan beton. Barulah ketika sosoknya ditelan persimpangan jalan aku melangkah masuk ke dalam rumah. Menyambung mimpi yang sempat terputus tanpa sedikitpun curiga bahwa malam itu adalah kali terakhir aku melihat ayahku.

....

Selama ribuan tahun, malam bersama gelapnya adalah tempat yang dekat namun selalu asing bagi umat manusia. Barulah seabad terakhir melalui lampu temuan Thomas Alfa Edison peradaban bisa sedikit mendekatkan diri dengan gulitanya malam hari. Desaku memang masuk wilayah Kabupaten Maros tapi hingar bingar Kota Makassar begitu dekat dan akrab dengan desa kami lantaran letaknya yang terdapat di perbatasan. Namun sejak sebulan lalu, gulitanya malam tidak lagi ramah pada warga desa.

Tangis duka meraung-raung mendahului ayam berkokok subuh itu, membangunkan seisi desa. Saat warga desa mencari sumber suara tangis tersebut mereka mendapati Daeng Rannu tengah memeluk jenazah anak semata wayangnya. Pemandangan menyayat hati yang sekaligus akan membuat siapapun bergidik. Jenazah anak Daeng Rannu telah membiru seolah seluruh merah dalam tubuhnya disedot keluar secara paksa, mata melotot macam hendak melompat dari rongga kepala dan darah anyir mengalir deras ringkas dari lubang anusnya. Jenazah anak Daeng Rannu dimakamkan hari itu juga, dalam bisu yang menyedihkan semua orang sepakat siapa atau apa pelakunya; Parakang.

Sejak hari itu tidak ada warga desa yang berani menapakkan kakinya di luar rumah setelah matahari terbenam. Kecuali sekelompok peronda berkeliling desa. Berjaga dari kemungkinan terburuk sang parakang kembali mencari mangsa. Aku termasuk dalam sekelompok peronda tersebut, selain karena peristiwa subuh tadi, aku punya tujuan lebih besar; mencari keberadaan Tettaku, Daeng Tutu.

Sudah sebulan Tetta menghilang, nyaris tanpa jejak. Lapor polisi? Percuma. Mereka tidak akan serius mencari sebelum kantong mereka terisi, jejak terakhir yang Tetta tinggalkan adalah interaksinya dengan Pak Basuki. Namun Pak Basuki mengaku tidak tahu apa-apa, kata beliau setelah mengurut dirinya Tetta buru-buru pamit. Orang-orang sekitar menyalahkan aku karena membiarkan Tettaku yang seorang tuna netra bepergian sendirian di malam hari. Mereka lupa kalau beliau sudah jadi Tukang Pijit selama 20 tahun di desa Baji Mangngai ini dan belum sekalipun tersesat. Aku tidak punya kerabat, Tetta adalah orang Makassar yang tinggal di Perak lalu lari karena konon kakekku dituduh kaya dengan ilmu Parakang sedangkan mendiang Mamakku sudah putus hubungan dengan keluarganya lantaran ia memilih silariang (kawin lari) dengan Tetta.

Malam belum begitu melarutkan ketika telfon genggamku berdering. “Bahri, kamu bisa ke rumah sekarang?”

Aku yang tengah berkeliling desa bersama para peronda lain hendak menolak tapi Pak Basuki berkeras memintaku datang. Dengan berat hati aku lantas berpamitan karena yang kubayangkan Pak Basuki hanya ingin memintaku memperbaiki TV-nya yang rusak (lagi). Tidak pernah terbersit di pikiranku kalau Pak Basuki hendak membahas hilangnya Tetta. Pak Basuki barangkali adalah sosok yang paling mendekati untuk bisa kusebut keluarga. Dia banyak membantu keluargaku dan sebaliknya Tetta atau aku selalu paling di depan bila ia membutuhkan bantuan. Pria Paruh baya seumuran Tettaku dengan perawakan tegap, berkulit putih dan bermata agak sipit yang sudah kuanggap pamanku itu mempersilahkan aku masuk sembari memberi aku isyarat untuk segera duduk.

“Tunggu sebentar” ujarnya sambil melangkah menuju kamarnya untuk kemudian tidak lama kemudian kembali ke ruang tamu membawa tumpukan berkas. Ia taruh di meja tumpukan berkas tadi.

“Coba kau lihat-lihat sebentar” perintahnya dengan nada suara rendah seolah di dadanya ada gemuruh yang hendak tumpah. Untuk sejenak aku hanya terdiam mengamati kumpulan kertas yang baru kusadari telah kecoklatan dimakan usia.

Jenak berikutnya secara perlahan aku membuka berkas-berkas tersebut. Isinya adalah klipingan koran tua, beberapa lembar foto hitam putih dan sekumpulan laporan berbahasa Belanda.

“Ini maksudnya apa, pak?” tanyaku yang belum mengerti duduk persoalan.

“Amati foto-foto itu” jawabnya.

Aku amati satu dua foto hitam putih berisikan para tentara dan orang berpakaian adat sampai kemudian aku menemukan sosok tidak asing di foto-foto tersebut. Sosok kurus pria paruh baya yang telah kupanggil Tetta sejak aku baru belajar bicara. “Tetta...”

“Foto itu diambil tahun 1949 dan yang itu 1925, kau harusnya tahu makhluk macam apa yang punya kemampuan untuk hidup selama itu” Ujar Pak Basuki datar.

Aku terhenyak berusaha memahami apa yang sedang terjadi, kepingan-kepingan ketidakwajaran Tetta yang berusaha kumaklumi tiba-tiba menyeruak. Alasan kenapa matanya selalu terlihat merah, kupikir karena iritasi sebab orang buta tidak memiliki reflek kedip seperti orang normal, kenapa Mamakku melarang aku mencicipi kopi Tetta?, kenapa kopinya Tetta terasa anyir? dan aku dimarahi karena telah mencicipinya diam-diam?, kenapa Tetta selalu memakai kacamata hitam?, kenapa seorang Tuna Netra bisa berkeliling desa tanpa pernah tersesat selama 20 tahun? kenapa setengah tahun lalu Mamakku dan adikku yang sedang dikandungnya mesti mati seperti matinya anak Daeng Rannu kemarin? Kenapa?...


SELESAI