Perang Dunia Timur. Jepang, Tiongkok, dan Korea/Pengenalan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

PENGENALAN.

Kabar tidak mengenakan soal perang antara Kekaisaran Mikado dan Kerajaan Langit timbul di seluruh dunia. Sehingga, sorotan tajam tertuju pada Dunia Timur.

Pada jangka waktu yang sangat pendek, melalui tulisan dan penuturan penyair dan seniman, yang mengunjungi wilayah tersebut, Jepang telah menganggap negaranya bak bunga-bunga yang indah, para gadis yang molek, pemikiran fantastik, penggemar dan layar lebar. Kekeliruan semacam itu telah lama merasuki pikiran barat, dan masyarakat yang sangat membayangkan Jepang selaku kekuatan politik, disoroti dengan sistem pendidikan sempurna dan dikembangkan pada kesempurnaan tingkat tinggi dalam seni rupa militer dan angkatan laut.

Perang di Timur tentunya diminati dari lebih dari sudut pandang. Memandangnya dari sudut pandang manusiawi, Jepang merupakan pengemat standar peradaban dan perjuangan yang sebenarnya di timur jauh. Misinya adalah untuk menerangi jutaan jiwa terpinggirkan di Kerajaan Langit, yang diredupkan selama generasi ke generasi. Secara politik, negara tersebut, dengan kecerdasan usaha, keberanian pemuda dan otak yang bergunanya, serta seni dan ilmu peradaban, mengangkat dirinya sendiri dalam peringkat negara paling berkuasa di unia, dan membuat seluruh kekuatan barat untuk menganggapnya sebagai “pasukan hidup,” karena negara tersebut memberikan haknya untuk berbangga ditempatkan di antara kekuatan-kekuatan utama di dunia. Secara perdagangan, ia membayangkan dirinya sendiri bak gundik Laut Pasifik dan Asiatik.

Dari perpecahan perang tersebut, seluruh negara peradaban, kecuali Inggris, bersimpati dengan Jepang, khususnya orang Amerika yang memberikan dukungan moral kuat kepada Jepang, bukan karena negara tersebut merupakan teman terhangat Jepang, namun karena Jepang saat ini merupakan propagandis peradaban dan kemanusiaan di timur jauh.

Pada permulaan pertikaian, mayoritas rakyat memiliki pemikiran keliru bahwa seluruh penduduk dan sumber daya Tiongkok kemudian akan dapat meremukkan Kekaisaran Pulau Jepang; namun mereka tak melirik fakta bahwa pada masa mereka, mereka memiliki ilmu pengetahuan, otak dan keberanian, bersama dengan organisasi perang yang menumbuhkan dahan kemenangan. Ribuan domba tak dapat melakukan apapun melawan seekor serigala ganas. Sehingga, perbandingan jumlah hanya memiliki sedikit bobot.

Beberapa penulis handal membandingkan Jepang dengan ikan todak hidup dan Tiongkok dengan ubur-ubur, menekankan setiap penekanan. Jepang benar-benar sangat tertunjang.

Dari penenggelaman angkutan umum Kow-shing, sampai saat ini, Jepang memiliki serangkaian kemenangan tak terpatahkan atas Tiongkok. Pada pertempuran Asan, negara tersebut meraih kemenangan gemilang pertama dan menyingkirkan seluruh Tiongkok yang bertempat di Korea, dan di Ping-Yang, lewat taktik dan strategi, meremukkan pasukan terbaik Tiongkok, yang dikerahkan oleh Li Hung Chang untuk penghimpunan terbesar, lewat bantuan banyak perwira Eropa, bak seperti cangkang telur. Lagi-lagi, di muara Sungai yalu, negara tersebut meraih kemenangan AL gemilang atas Tiongkok, dengan sepenuhnya menghancurkan skuadron Ping-Yang. Selain wilayah tersebut, tentara Jepang menyerbu Pelabuhan Arthur, benteng AL terkuat, yang dikenal sebagai Gibraltar dari Tiongkok.

Seluruh fakta tersebut dipandang dengan ketakjubkan oleh mata dunia. Karena semua itu, orang-orang yang mengetahui Jepang dan orang-orang Jepang menganggap bahwa warga Jepang sangat artistik, sebagai penghasil porselen, bordiran, pengerjaan kayu dan seluruh bentuk barang artistik yang indah, dan mereka takjub terhadap bagaimana bangsa tersebut memungkinkan agar orang-orang artistik semacam itu dapat melakukan serangan terhadap bangsa Tiongkok yang bungkam dan pendiam. Namun, pernyataan keliru semacam itu akan terbantahkan jika mereka memahami hal dan sifat Jepang yang sebenarnya.

Lebih dari sekali dunia melihat bangsa artistik dapat bertempur. Yunani telah lama menerapkannya pada masa sebelumnya, dan Prancis pada masa berikutnya menunjukkan contoh yang menyorot. Jepang dikenal sebagai salah satu bangsa paling artistik di dunia, sebagai penghasil hal-hal indah, sebagai pecinta seni rupa murni dan keindahan alam. Jepang melakukan hal yang sama dengan apa yang ditunjukkan Yunani kuno dan Prancis modern. Sejarah Jepang membongkar warna sebenarnya Jepang sebagai pejuang brilian dan bangsa penyuka perang. “Ini bukan negara,” ujar Mr. Rogers, “yang memiliki insting militer yang lebih disebutkan dalam darah rakyat terbaik. Melirik jauh ke masa lalu, melampaui garis bayangan kala legenda dan sejarah berpadu, cerita mereka menjadi salah satu dari perang yang nyaris berkelanjutan, dan wadah yang menyilangkan perbedaan dan kehormatan, dari masa terawal, berujung pada medan tempur. Negarawan Jepang berujar, seperti halnya Cavour, bahwa cara terbaik untuk memenangkan kehormatan bangsa adalah dengan memenangkan perang.”

Leluhur Jepang, yang diklaim turun dari surga, nampaknya merupakan keturunan aHittite kuno, suku penakluk dan penyuka perang yang sempat bermukim di dataran Mesopotamia. Hittite, sepanjang pengadaan penyelidikan kami, meluaskan serbuan penaklukan mereka sa,mpai bagian timur laut Asia, yang pada akhirnya harus membawa keluarga Jepang ke pulau Jepang. Kala kami singgah di pulau tersebut, kami mendapatinya dihuni oleh banyak suku berbeda; namun mereka kemudian berpadu dan mendirikan fondasi berkelanjutan Kekaisaran Mikado, yang mereka sebut “Kerajaan Keberanian Militer Gemilang.” Mikado pertama adalah Jimmu, yang penahbisannya dilakukan dua ribu lima ratus lima puluh empat tahun lalu, jauh sebelum Aleksander Agung melalui penaklukan dunia dan Julius Cæsar memasuki Gaul. Mikado saat ini adalah keturunan keseratus dua puluh dua dari Mikado pertama Jimmu. Dinasti tak terputus dari Mikado berlangsung selama dua puluh lima abad. Orang-orang itu pemberani, petualang dan penyemangat. Patriotisme fanatik untuk negara dan kesetiaan kuat terhadap Mikado menjadi ciri khas bangsa Jepang. Dan semua itu terhimpun untuk membentuk kebangsaan Jepang. Sejak pendirian Kekaisaran Mikado, wilayah mereka tak pernah terjamah oleh pasukan invasi dan mereka tak pernah mengetahui bagaimana menjadi bawahan penguasa asing. Sejarah Jepang adalah kebanggaan rakyat Jepang.

Pada masa awal, Jepang menyimpan keberanian superior mereka dan kekhasan mereka sendiri dari bangsa Asiatik lainnya dalam hal urusan militer.

Pada tahun 201 Masehi, Permaisuri Jingo, seorang sosok perempuan teragung dalam sejarah Jepang, mengadakan perluasan raksasa ke benua Asia. Ia mengumpulkan pasukan dan membangun AL yang besar. Menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala panglima pasukan invasi, ia berlayar ke benua tersebut. Kemenangannya gemilang. Korea sempat ditaklukkan tanpa pertumpahan darah. Lama sejak itu, kekuatan Jepang berdiri di benua Asia.

Pada abad keenam belas, Taiko yang ambisius, yang dikenal sebagai Napoleon dari Jepang, mengadakan ekspedisi benua besar, untuk menunjukkan kegemilangan militer Jepang kepada dunia. Ia mendapati Jepang terlalu kecol untuk menghimpun ambisinya yang tak biasa, dan mengirim pesan ke kaisar Tiongkok dan raja Korea bahwa jika mereka takkan mendengarnya, ia akan menyerang wilayah mereka dengan pasukannya yang tak terkira. Ini adalah rencananya untuk membagi empat ratus provinsi di Tiongkok dan delapan provinsi di Korea di antara para panglimanya, usai menaklukan mereka. Kala ia mengumpulkan para panglimanya dan mengobarkan antusiasme mereka, menyatakan dorongan terhadap pencapaian mereka. Seluruh panglima dan prajurit dikerahkan dalam ekspedisi tersebut. Lima puluh ribu samurai dilabuhkan ke benua dan enam puluh ribu reserve disiapkan di Jepang untuk pengerahan ulang.

Pasukan Jepang meraih kemenangan dimana-mana. Setelah banyak pertempuran terjadi dan benteng-benteng diserbu, seluruh kerajaan Korea menjadi tunduk. Ibukotanya direbut, rajanya melarikan diri. Kaisar Tiongkok mengirim maju pasukan melawan Jepang dan pertempuran sengit terjadi. Jepang meraih kemenangan kala menyerang Tiongkok. Pada 1598, kematian Taiko diumumkan dan pemerintah Jepang memerintahkan pasukan invasi untuk kembali pulang. Sehingga, penaklukan Tiongkok menyurut.

Invasi Tartar Mongolia adalah peristiwa paling menonjol dalam sejarah Jepang, yang memicu patriotisme dan keberanian besar pada bangsa tersebut. Marabahaya dan kejayaan pada masa itu takkan pernah dilupakan oleh Jepang.

Pada abad ketiga belas, Genghis Khan, yang kini diidentifikasikan sebagai Minamoto Yoshitsune atau Gen Gi Kei dalam sejarah Jepang, meninggalkan Jepang untuk menuju ke Manchilia, memulai serangkaian penaklukannya di Mongolia. Penaklukan seluruh bumi menjanjikannya. Ia menaklukan Tiongkok, Korea dan seluruh Asia Tengah dan Utara, menundukkan India dan menggulingkan Kekhalifahan Bagdad. Di Eropa, ia menunjukkan seluruh wilayah Rusia dan meluaskan Kekaisaran Mongolia sampai sejauh Oder dan Danube. Usai kematiannya, Kekaisaran tersebut dibagi pada tiga putranya. Kublai Khan mendapatkan bagian Asia Timur Laut. Ia sepenuhnya menggulingkan dinasti Sung Tiongkok dan mendirikan dinasti Mongolia. Ia menempatkan seluruh Asia Timur di bawah kekuasaannya, dan kemudian mengirim utusan ke Jepang, menuntut upeti dan penagihan. Bangsa Jepang tersinggung dengan tawaran merendahkan tersebut, karena mereka tak pernah diperlakukan dengan perlakuan semacam itu, dan enggan memenuhinya. Enam utusan dikirim dan enam kali ditolak. Lagi-lagi, pangeran Mongolia yang haus kekuasaan tersebut mengirim sembilan utusan, yang menuntut jawaban pasti dari penguasa Jepang. Jawaban Jepang dikirim dengan memancung kepala mereka.

Menjelang invasi asing, Jepang sangat gugup untuk mempersiapkan perang. Lebih dari sekali, dan untuk terakhir kalinya, para utusan Tiongkok datang untuk menuntut upeti; lagi-lagi pedang yang memberikan jawabannya. Merasa dimurkai, pangeran Mongolia besar tersebut menyiapkan armada raksasa untuk meremukkan pulau Jepang, yang menolak penagihan dan upeti kepada penakluk besar tersebut. Terdiri dari seratus ribu pasukan Tiongkok dan Tartar beserta tujuh ribu pasukan Korea, tentara tersebut dibantu oleh tiga puluh lima ratus AL bersenjata, yang nampak menutupi seluruh laut, berlayar untuk invasi pada Agustus 1281. Seluruh bangsa Jepang kini berhentak dengan pedang di tangan dan berpawai melawan himpunan musuhnya. Pengerahan ulang ditimbulkan dari seluruh pertikaian untuk menyingkirkan pasukan pertahanan. Pasukan Mongolia tak dapat melakukan pendaratan mereka, namun bergerak ke laut sememungkinkan mereka mencapai pesisir. Dibantu oleh topan besar, armada Tiongkok menjadi tak tertolong, Jepang memundurkan pasukan invasi sampai tenggelam. Jasad-jasad hanyut di pesisir atau mengambang di air dangkal yang nyaris memungkinkan untuk berjalan disana. Hanya tiga ratus ribu pasukan invasi yang berhasil kembali untuk menceritakan kaisar mereka betapa beraninya pasukan Jepang yang menghancurkan armada mereka.

Keberanian Jepang dalam perwujudan penuh pada peristiwa-peristiwa besar tersebut. Kebanyakan sosok ambisius, yang menginginkan kegemilangan militer, membawa diri mereka sendiri dari wilayah asli mereka sendiri, dan pergi ke negara-negara Asia yang kurang suka perang, tempat mereka mendapati diri mereka sendiri dengan orang cerdik, raja, pegawai dan panglima dengan kecerdikan militer dan keberanian yang berbeda.

Pelaut Jepang lama dikenal karena jiwa petulang dan kenekatan mereka. Kapal-kapal dagang Jepang, di zaman kuno terpencil, dikatakan berlayar mengaringi Teluk Persia, melampaui laut India. Dikatakan bahwa pada permulaan abad keempat belas, kapal jung Jepang menemukan pasisir laut Pasifik Amerika, yang kini dikenal sebagai wilayah Oregon dan California. Sepanjang jangka panjang, para bajak laut Jepang menjadi gundik seluruh alut timur. Tiongkok, Siam, Birmah dan kepulauan selatan membayar upeti kepada mereka. Sehingga, nama Jepang menjadi teror dunia Timur, seperti halnya orang Eropa utara yang menjadi obyek mematikan untuk Eropa selatan.

Sebuah kebijakan, yang diadopsi oleh bangsa Jepang pada abad ketujuh belas, menjadi hal yang melukai bagi pembangunan nasionalnya. Sepanjang masa ini, hubungan luar negeri bersifat bebas dan perdagangan berkembang. Nagasaki, Hirado, Satsuma, dan seluruh pelabuhan barat merupakan kota-kota kosmopolitan. Disana, seluruh pedagang Eropa dan Asia ditemukan berkerumun. Malangnya, warga asing tersebut menjadi sumber keburukan. Pergerakan dan kegiatan pedagang asing; memicu pertikaian sektarian antar Dominikan, Fransiskan dan Yesuit; dan intoleransi dan penindasan yang sangat kejam oleh umat Katolik, yang keburukannya tak diketahui pada pemikiran Jepang; rencana politik-keagamaan Kristen melawan pemerintah Jepang; perdagangan budak yang dilakukan oleh pedagang asing, dan peristiwa-peristiwa serupa, mengusik otoritas Jepang, dan memaksa mereka untuk menerima pengecualian warga asing yang benar-benar dibutuhkan untuk kesejahteraan Jepang. Sehingga, Jepang menuntaskannya dengan mengusir seluruh warga asing keluar dari kepulauan tersebut. Tokugawa, pendiri keshogunan Tai Kun, memberlakukan prinsip tersebut dan melaksanakannya sepanjang seluruh umat Katolik Roma baik penduduk asli maupun asing disingkirkan dan seluruh pedagang asing kecuali beberapa Belanda, dikeluarkan dari negara tersebut. Kebijakan Pemerintahan Tokugawa tak hanya mengkecualikan warga asing namun juga menahan penduduk asli di dalam negeri. Tak ada warga asing (kecuali Belanda) diperkenankan untuk singgah di pulau terlarang tersebut dan tidak ada penduduk asli yang diijinkan untuk meninggalkan negaranya sendiri. Sehingga, wilayah tersebut terputus dari seluruh belahan dunia. Jepang menghimpun beragam produksi berbeda, yang dapat menyuplai seluruh kebutuhan bangsa tanpa perantara apapun; sehingga hubungan perdagangan dengan wilayah asing, tak benar-benar dibutuhkan. Sepanjang masa itu, Jepang dilupakan di nyaris seluruh belahan dunia luar dan sehingga dunia menghiraukannya.

Namun, rakyat menikmati perdamaian lewat kebijakan tersebut. Menghiraukan kebangkitan dan kejatuhan bangsa lain, rakyat di surga yang dijaga samudera ini, menanam kesenian dan pemahaman, serta mengembangkan peradaban mereka sendiri, yang sangat berbeda dari apa yang kini kami sebut peradaban abad kesembilan belas. Kala negara tersebut menikmati ketenangan dan penanaman kesenian dan pemahaman di sudut bumi, di negara-negara barat, perjuangan tanpa henti dan persaingan berkelanjutannya sepenuhnya merevolusionisasikan hal-hal lama di bumi. Perdamaian dan budaya dua setengah abad, yang dinikmati Jepang, menempatkannya pada keadaan peradaban tertentu. Namun keadaan terisolasinya dan ketenangannya kurang membuat pengembangan sistematis terhadap AD dan AL dan seni negosiasi internasional, yang menjadi senjata paling penting dalam rangka untuk didirikan pada ranah perjuangan untuk keberadaan.

Mendadak, ketenangan tersebut yang berlangsung selama dua ratus lima puluh tahun, terpecah, kala pada 1853, kapal-kapal perang Commodore Perry mendarat di Teluk Yeddo. Peristiwa tersebut menimbulkan kebingungan besar dan kepanikan seluruh bangsa. Jepang tak memiliki AL dan AD untuk bertarung dengan penyerang asing, maupun memiliki seni diplomasi, sehingga berkonsultasi berkaitan dengan perlindungan kepentingan Jepang. Jepang kala itu berdiri dengan peradaban tangan kosongnya melawan peradaban bersenjata Eropa. Negara tersebut terpaksa menjalin perjanjian dengan negara-negara Eropa dan Amerika pada acungan meriam. Dalam perjanjian tersebut, negara tersebut memberikan hak kedaulatannya kepada orang-orang barat yang tinggal di kerajaan tersebut.

Sehingga, Jepang memasuki kelompok dunia peradaban. Negara tersebut sempat menyaksikan negara-negara barat jauh lebih maju ketimbang negaranya dalam seni perang dan diplomasi, bahwa mereka memahami dari perjuangan tiga abad lampau, sementara negara tersebut lebih mencurahkan diri pada seni rupa dan pemahaman. Negara tersebut menganggap bahwa peradaban terkenal abad ke-19 hanyalah sekadar bentuk barbarisme besi dan api yang tersamarkan, ditutupi dengan penghormatan dan kemanusiaan, dan berdiri dalam bidang perjuangan untuk keberadaan yang harus diadopsi negara tersebut dengan cara yang sama dengan negara-negara Eropa. Sehingga seluruh negara Jepang, semenjak berhubungan dengan bangsa barat, telah berjuang, dengan sepenuh tenaga, untuk mengadopsi apa yang disebut peradaban abad ke-19.

Pada 1868, sebuah revolusi terjadi, yang mendadak menimbulkan Jepang Baru. Revolusi Prancis tak menyebabkan perubahan yang lebih besar di Prancis ketimbang Revolusi tahun 1868 di Jepang. Rezim feodal lama, secara penuh, terlucuti. Sistem sosial sepenuhnya dirombak. Kitab-kitab sipil dan kriminal yang baru dan mencerahkan diberlakukan; mode-mode prosedor yudisial sangat terrevolusionisasikan; sistem pidana diberlakukan secara radikal; organisasi paling berdampak dari kepolisian, pos, kereta api, telegraf, telepon dan seluruh alat komunikasi diadopsi; metode pendidikan nasional tercerahkan dikaryakan; dan agama Kristen disambut untuk penunjangan inovasi sosial. Sistem AL dan AD nasional paling lengkap, mengikuti model Eropa modern, dicapai. Perintah yang disuarakan dari pemerintahan kekaisaran, secara keuangan dan politik, didirikan; skema pemerintahan lokal luar dan dalam dioperasikan, dan pemerintahan pusat diorganisir seturut susunan skala paling maju. Konstitusi kekaisaran diberlakukan, dan Parlemen Kekaisaran, yang terdiri dari dua dewan—Dewan Bangsawan dan Dewan Rakyat—yang dipilih lewat pemungutan suara populer, didirikan. Kebebasan berpikir, berbicara dan berkepercayaan didirikan; sistem pers dan partai berpengaruh berkembang pesat. Kini, monarki absolut Kekaisaran Mikado digantikan oleh pemerintahan lewat parlemen dan konstitusi.

Ini adalah perjuangan yang dicapai oleh Jepang pada dua puluh lima tahun silam. Lewat pengartian apapun, perjuangan tersebut tak harus dipandang sebagai keanehan. Revolusi tahun 1868 juga demikian, tanpa harus dibayangkan sebagai ulang tahun kekaisaran Matahari terbit. Orang-orang yang tak mengetahui kondisi sebenarnya Jepang sebelum Revolusi, dan yang sangat mengamati fase-fase Jepang modern, seringkali menyatakan bahwa Jepang sebetulnya meniru peradaban barat tanpa gagasan pemahaman apapun.Ini adalah kekeliruan besar. Revolusi tahun 1868 sebetulnya adalah peristiwa transisi kala Jepang mengadopsi sistem barat. Pemikiran Jepang sepenuhnya berkembang dan tercerahkan, pada waktu kala mereka menjalin kontak dengan bangsa asing, untuk sepenuhnya memahami peradaban barat. Secara mental, bangsa Jepang sangat tercerahkan untuk dapat memahami ilmu dan seni Eropa pada satu kesempatan. Sebagaimana yang dikatakan seorang penulis tersohor: “Harus benar-benar dipahami bahwa bak pengurus taman handal, yang membesarkan mawar atau apel baru pada lahan yang sehat dan terurus dengan baik, sehingga Jepang mengadopsi pencapaian saintifik dan sipil barat pada akar ketimuran, pemenuhan kehidupan dan unsur laten.” Karena sebab-sebab tersebut, kami tak memiliki alasan untuk takjub pada perjuangan cepat yang dibuat Jepang pada dua puluh lima tahun silam. Dan lewat seluruh kenyataan tersebut, kami tak memiliki alasan untuk terkejut pada bagaimana Kekaisaran Langit kolosal, yang tak nampak dipikirkan oleh Bangsa Eropa, datang untuk mendapatkan belas kasihan Jepang.

Pertikaian antara Jepang dan Tiongkok, walau hal ini adalah pemikiran aneh orang-orang yang tak familiar dengan perkara dunia timur, bukanlah hal mengejutkan pada orang yang sangat memahami politik Asia. Selama ini, Jepang telah memperkirakan bahwa konflik tak terelakkan dua kekuatan di Timur dapat terjadi tak lama atau setelahnya, dan bangsa tersebut lama telah bersiap pada saat ini. Negara tersebut menganggap kelemahan dan kerusakan Kekaisaran Langit, kala para diplomat Eropa berdatangan, ke istana Peking, dengan jiwa nasional dan sistem pemerintahan efektif, kebencian ras, pengerahan perwira, penghirauan rakyat, kerusakan AL dan organisasi militer dan maladministrasi mutlak pemerintahan Manchuria mendominasi kekaisaran bodoh tersebut, yang orang-orangnya masih dengan bangga mencap negaranya sebagai “Kerajaan Berbunga, dalam Dunia Tercerahkan.”

Jepang, kala mereka menjadi santun dan artistik, tidak dapat diartikan selaku ras haus darah; setidaknya sejauh ini. Namun perang saat ini berada dalam jaringan peristiwa tak terelakkan. Sepanjang jangka panjang, Jepang dan Tiongkok bukanlah teman baik, mereka benci satu sama lain, setidaknya, jika tak melebihi yang dilakukan Prancis dan Jerman sekarang ini.

Sejak Jepang menjalin kontak dengan Eropa, negara tersebut mengadopsi metode-metode barat , dengan kegiatan yang sangat luar biasa, yang sepenuhnya merevolusionisasikan negara tersebut pada seperempat abad, sementara Tiongkok mempertahankan rezimnya dan memandang seluruh seni dan ilmu pengetahuan barat dengan kebencian dan pengawasan besar. Sehingga, negara tersebut memandang Jepang sebagai pengkhianat Asia. Biasanya, Jepang mewakili peradaban dan perjuangan di timur jauh; dan Tiongkok bersifat ultra-konservatisme. Pertikaian dua prinsip antagonistik tersebut lama dianggap dapat terjadi. Dan hal tersebut kini telah terjadi.

Selain itu, tujuan Jepang adalah, selaku roh utama Asia, untuk menempatkan dirinya sendiri di antara kekuatan kelas satu di dunia peradaban. Namun Tiongkok, dalam waktu yang sangat singkat, dipandang menjadi gundik Asia. Sehingga mereka berseteru satu sama lain, dan konflik dua kekuatan untuk sipremasi menjadi tak terhindarkan. Pertikaian pertama antara Jepang dan Tiongkok terjadi pada 1874, dalam memperebutkan Kepulauan Liu Kiu, yang ditinggalkan Tiongkok dan dicaplok Jepang, kemudian penjelajahan Formosa menimbulkan ketegangan serius antar dua negara tersebut. Pada dua kasus tersebut, Jepang meraih kesuksesan pada akhirnya.

Terjadi pula pertikaian di Korea, seperti halnya Roma dan Kartago bertemu di Sisilia. Korea sejak lama, yang membayar upeti pada Jepang dan Tiongkok, tak memiliki hak kedaulatan pasti atas Korea, namun hanya memiliki kekuatan pertahanan. Pada 1875, pemerintah Jepang meninggalkan seluruh hak kekuatan tradisional kunonya di Korea, dan memngadakan perjanjian yang mengakui Korea sebagai negara merdeka, mendapatkan kekuatan kedaulatan yang sama dengan Jepang. Tak lama kemudian, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman dan Rusia mengikuti contoh Jepang. Tindak perdahabatan Jepang yang diperkenalkan pada Korea sebagai negara merdeka di antara bangsa-bangsa beradab, menjadi suatu kengerian untuk Tiongkok, yang masih memiliki niat mengklaim kedaulatan tradisionalnya atas Korea. Perlu diingat bahwa netralitas permanen Kerajaan Pertapa tersebut sangat berpengaruh dengan kemakmuran dan keselamatan negara Matahari Terbit. Ini dibuktikan dari sudut pandang bahwa Jepang tak pernah dapat memperkenankan klaim kedaulatan Tiongkok, maupun agresi Rusia di Korea.

Dari masa kala Jepang mengakui Korea sebagai negara merdeka, negara tersebut membuat upaya besar terhadap perjuangan Korea. Banyak pelajar Korea dididik dan banyak orang Jepang dikirim kesana sebagai pengajar dan penasehat, membantu pengembangan peradabannya. Jepang tak pernah gagal untuk menunjukkan simpati persahabatannya terhadap Korea, karena perjuangan dan kesejahteraan Korea sebagai negara merdeka, memiliki penyematan besar terhadap peradaban Asia, dan pada keselamatan Jepang sendiri.

Meskipun Jepang memakai upaya terbaiknya sebagai teman dekat Korea, Tiongkok secara mutlak dan diam-diam berintrik dengan pemerintah dan konservatif Korea, dalam rangka mengembalikan kedaulatan lamanya dan meniadakan pengaruh Jepang di Korea. Pada 1882, sebuah pemberontakan, yang dipicu oleh para perwira Tiongkok, pecah di Seoul. Hal ini utamanya mengarah melawan Jepang, sebagai promoter hubungan asing. Rombongan tersebut menyerang legasi Jepang dan beberapa anggota dibunuh. Utusan Jepang dan stafnya kabur ke istana untuk mencari pengamanan, namun mendapati gerbangnya ditutup untuk mereka, kemudian mereka memutuskan untuk memotong jalan yang dilewati gerombolan tersebut dan berlari sepanjang malam ke Chemulpo. Disana, mereka diselamatkan oleh perahu Inggris dan pulang ke Jepang. Pemberontakan tersebut dikejutkan oleh pasukan Tiongkok dan sejumlah pemimpin dihukum mati. Pemerintah Korea diperintahkan untuk membayar $500.000 sebagai tebusan, namun kemudian Korea dimaafkan dengan alasan ketidakmampuan untuk membayarnya. Ini menimbulkan dua kubu di Korea, yakni progresif dan konservatif. Kubu progresif mewakili unsur sipil dan perwakilan Jepang, sementara kubu konservaitf mewakili mayoritas pejabat dan didukung oleh pemerintah Tiongkok. Dua kubu tersebut saling bermusuhan dan berebut kepemimpinan.

Sejak pemberontakan 1882, pengaruh Tiongkok di Korea makin meningkat, yang diakibatkan dominasi kubu konservatif. Dua tahun kemudian, para pemimpin kubu progresif mengadakan upaya bulat kala mereka mendapati pengaruh kubu mereka menurun. Pada sebuah pesta makan malam untuk merayakan pembukaan kantor pos baru, sebuah rencana dibuat untuk membantai seluruh pemimpin konservatif yang memiliki pengaruh dominan dalam pemerintahan. Mereka nyaris sukses dalam upaya tersebut. Para pemimpin revolusioner bergerak ke istana, mengamankan orang dan bersimpati pada raja, yang mengirim surat autografi untuk meminta perlindungan istana kerajaan pada utusan Jepang. Sehingga, utusan Jepang menjaga istana tersebut selama beberapa hari dengan garda legasinya yang terdiri dari seratus tiga puluh prajurit Jepang. Pada waktu tersebut, pasukan Tiongkok di Seoul, yang berjumlah dua ribu orang bergerak ke istana, dan tanpa negosiasi atau penjelasan apapun menembaki pasukan penjaga Jepang. Raja kabur ke tentara Tiongkok dan Jepang ditarik ke istana legasi mereka yang mereka dapati dikepung oleh tentara Tiongkok. Mereka meninggalkan tempat, mengetahui ketidakmungkinan mempertahankan legasi tanpa tujuan-tujuan apapun, melakukan perjalanan mereka ke Chemulpo. Disana, mereka menemukan jalan men uju Jepang. Banyak pasukan Jepang terbunuh dalam peristiwa tersebut. Pemerintah Jepang menuntut ganti rugi dari Tiongkok pada catatan tindakan prajurit Tiongkok. Pertemuan Tien-tsin, setelah negosiasi panjang antara Count Ito, kepala pemerintahan Jepang saat ini dan Li Hung Chang, wali raja Tiongkok, diadakan. Penekanan utama perjanjian Tien-tsin terdiri dari tiga: (1) bahwa raja Korea harus menyediakan pasukan yang layak untuk melaksanakan perintah pada masa mendatang, agar dilatih oleh para perwira dari beberapa negara selain Tiongkok atau; (2) bahwa reformasi internal apapun harus dibuat; (3) bahwa jika dibutuhkan untuk melaksanakan perintah dan melindungi negara mereka entah Jepang atau Tiongkok harus memiliki hak untuk mengerahkan pasukan ke Korea, dengan memberikan catatan kepada satu sama lain, dan bahwa kala perintah ditarik, kedua pasukan harus langsung menarik diri.

Kejadian tahun 1885 sepenuhnya menyingkirkan pengaruh Jepang dan menghimpun otoritas Tiongkok di Korea. Utusan Tiongkok di Seoul meraih kekuasaan penuh atas pemerintah Korea, yang sepenuhnya meremukkan kubu revolusiner dan menghimpun pemerintahan ultra-konservatif dan mengangkat para menteri sesuai kehendaknya. Pengaruh Jepang di Korea nyaris belangsung sepanjang sepuluh tahun silam, karena negara tersebut terlalu disibukkan dengan perombakan dalam negerinya dan tak memiliki banyak waktu untuk melirik hal selain Korea.

Dua pemimpin kubu revolusioner berpengaruh kabur ke Jepang karena kegagalan kudeta tahun 1885, kala mereka mencari suaka. Pemerintah Tiongkok dan korea mengerahkan misi untuk menuntut ekstradisi para reformator politik malang tersebut, namun Jepang menolaknya, atas dasar etika hukum internasional. Pemerintah Korea, yang diatur oleh Tiongkok, sempat mulai mengambil langkah untuk memberlakukan pencabutan para pemimpin yang tersisa dengan cara lain. Para pembunuh mengikuti jejak langkah mereka sepanjang sepuluh tahun. Namun pada akhirnya, mereka berhasil membunuh Kim-ok-Kiun, salah satu reformator, dan kekejaman paling barbar yang dilakukan oleh otoritas Tiongkok dan Korea. Pembunuhan Kim-ok-Kiun mendatangkan simpati besar dari masyarakat Jepang. Sepanjang waktu, Tiongkok dan Korea meremehkan dan menghina nama Jepang. Beberapa kali kepentingan politik dan perdagangan Jepang ditekan oleh mereka. Sehingga, Jepang menyikapi tindakan mereka dengan sepenuh hati.

Perjuangan pemberontakan di Korea melampaui kekuatannya yang terperiksa. Keadaan anarki besar nampak berlangsung. Tiongkok dipandang memakai gerombolan Korea untuk pergerakannya sendiri, dan secara langsung melawan kepentingan Jepang. Tiongkok, yang menghiraukan perjanjian Tien-tsin pada 1885, mengirim pasukan ke Korea. Jepang tak lagi memandang kehinaan Tiongkok dan ketegangan Korea.

Jepang perlu mengambil langkah pasti di Korea, yang pada masa itu nampak lebih menyoroti sudut pandang perdagangan ketimbang kepentingan politik. Sebagian besar perdagangan modern Korea dibentuk oleh Jepang dan berada di tangan para pedagangnya; nilai bersih perdagangan asing langsung Korea pada 1892 dan 1893 berjumlah $4.240.498 dengan Tiongkok, sementara $8.306.571 dengan Jepang. Sehingga, kepentingan Jepang berjumlah dua kali lipat ketimbang Tiongkok. Dalam pengangkutan kapal, proporsinya lebih besar di pihak Jepang. Pengangkutannya pada 1893 berjumlah lebih dari dua puluh kali lipat ketimbang Tiongkok, dengan angka pasti menunjukkan: pengangkutan—Tiongkok, 14.376; Jepang, 304.224. Sehingga, kepentingan ekonomi Jepang di Korea lebih besar ketimbang negara lain.

Tak lama usai Tiongkok mengirim pasukan ke Korea, Jepang juga mengirim pasukannya untuk mempertahankan kepentingan politik serta ekonominya, dan tak memutuskan untuk menarik pasukannya sampai Korea dapat mengembalikan tatanan masyarakat dan menyingkirkan klaim Tiongkok atas kedaulatan Korea, karena sepanjang pengaruh Tiongkok mendominasi di Korea, pemikiran pergerakannya tak diharapkan. Selama ini, penyalahgunaan penugasan pemerintah Li memperlemah Kerajaan Pertapa tersebut. Negara tersebut tak lebih dari gurun dan masyarakatnya terjerumus dalam kemiskinan besar di wilayah timur yang terdampak kemiskinan. Pemerintah Jepang mengusulkan agar pemerintah Tiongkok menaati perjanjian Tien-tsin, sebuah tindakan reformasi dalam negeri untuk Korea, yang ditolak dengan hina oleh otoritas Tiongkok.

Mula-mula, Jepang tak ada ada niat apapun untuk berperang dengan Tiongkok, namun negara tersebut dipaksa olehnya untuk melakukan pertikaian. Negara tersebut tak pernah melanggar etika hukum internasional, maupun penghormatan terhadap bangsa-bangsa. Tiongkok yang memicu Perang Timur, kini menyerbu dunia Timur, tak hanya Jepang; gagasan sebenarnya Jepang, dalam perang, adalah melalui penaklukan untuk menyalahkan Tiongkok karena enggan secara terpercaya menaati keputusan perjanjian-perjanjiannya dan karena berupaya membiarkan Korea dalam keadaan barbar, dan karena berniat untuk menghentikan proses peradaban di Asia Timur. misinya di timur adalah untuk merembukkan keputusan diri yang kurang patuh dan menghiraukan dari pemerintahan Peking dan mereformasi penyelewengan barbar pemerintahan Korea. Sehingga, Jepang bertikai saat ini demi keberlangsungan peradaban dan kemanusiaan.

Usai perang timur dideklarasikan, empat bulan berlalui, sampai kekuatan tempur dan sumber daya ekonomi Kekaisaran Tiongkok dihancurkan dan dihabisi. Tiongkok terpaksa memohon belas kasihan Jepang. Panji “Matahari Terbit” kini dikumandangkan. Jepang mendiktekan soal perdamaian, menghimpun permulaan era yang lebih baik untuk Tiongkok yang berada dalam kegelapan dan memberlakukan perdamaian permanen di dunia timur.

Julius Kumpéi Matumoto, A.M.,