Perempuan yang Menyukai Kapal Terbang

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Perempuan yang Menyukai Kapal Terbang

N. Diana

Minggu, 03 Mei 2015


IA sangat menyukai pesawat. Kapal terbang, begitu dulu nenek saya menyebut benda itu. Semula saya tidak tertarik mendengar ceritanya. Saya lebih tertarik mengamati rambut ikalnya yang tergerai panjang. Mirip rambut nenek saya. Di awal percakapan kami, ia berulang kali mengungkapkan kesukaannya pada besi yang dapat melintasi langit itu. Saya tidak suka pesawat. Ah, seandainya bisa bepergian ke mana-mana tanpa harus naik pesawat.

“Berada di ketinggian sangat menyenangkan.”

Ia lalu tertawa memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi di balik bibir yang merah menyala.

“Saya takut setiap kali naik pesawat.”

“Mengapa? Aku suka!” Ia bersemangat. Matanya berbinar. “Di atas sana, kita berada jauh di ketinggian. Seolah-olah kaki menginjak awan. Aku bersama orang-orang yang takut ketinggian, barangkali juga kematian. Tapi aku tidak takut sama sekali.”

“Tapi banyak orang meninggal dalam kecelakaan pesawat. Hilang di laut dan mayatnya tidak ditemukan,” saya menggeridik ngeri.

Ia hanya tersenyum. Lalu, menjelaskan bahwa pesawat masih tercatat sebagai alat transportasi paling aman di dunia. Kecelakaan jarang terjadi meski jika terjadi, biasanya menelan banyak korban. Kecelakaan di darat dan perairan juga sering terjadi dan tidak kalah mengerikan. Kematian bisa datang kapan saja. Bahkan saat kita tidur.

“Kamu sudah berkeluarga?” tanyaku penasaran. Kuterka usianya pasti di atas 25 tahun. Bila sudah menikah, bagaimana ia bisa begitu bebas?

“Tidak.”

Matanya menunjukkan pertanyaan mengapa saya harus bertanya hal itu jika dibandingkan dengan semua ceritanya. Ia mengangkat tangannya setinggi bahu, lalu tersenyum. “Kamu pasti sudah menikah.”

Saya hanya mengangguk. Ia mengatakan bahwa memilih untuk menikah itu pilihan yang bagus, tapi ia belum ingin menikah. Seperti menyukai pesawat, ia juga menyukai kebebasan. Berada jauh di ketinggian. Setelah menikah, barangkali banyak hal tidak dapat ia lakukan lagi.

Ia mengikat rambutnya kemudian mengambil botol airnya. Meneguk air dari botol berwarna biru langit itu perlahan-lahan. Dapat kulihat gerakan lehernya yang naik-turun. Potongan buah-buahan dalam air minum itu juga ikut naik-turun di dalam botol. Leher yang jenjang. Bulu-bulu halus di lehernya menambah keseksian perempuan ini. Seandainya dahulu bangsa Afrika yang menjajah di dunia, barangkali perempuan seperti inilah yang menjadi model perempuan idaman. Sayangnya, perempuan idaman bagi banyak orang adalah yang berkulit putih, bertubuh langsing dengan rambut lurus. Perempuan ciptaan kaum kapitalis. Seperti Barbie berkulit putih dengan pinggul kecil. Barbie berkulit hitam tentu kurang diminati.

“Aku bekerja di bidang advokasi perempuan. Aku bertemu banyak perempuan dalam perjalananperjalananku.”

Kalimat itu menambah nilai positif yang saya tangkap darinya. Cantik, muda, dan energik. Saya pernah berkeinginan menjadi perempuan seperti itu, tapi kemudian saya memilih menikah dalam masa-masa sulit, yang membuat saya harus mengubur mimpi-mimpi saya.

“Tapi menjadi ibu rumah tangga tetap bisa berkarya, bukan? Ada yang bisa bekerja paruh waktu atau menyalurkan hobinya sambil mengurus anak-anak.”

Perempuan ini seakan-akan membaca pikiran saya. Seperti nenek saya yang selalu bisa merasakan keadaan hati saya.

“Banyak perempuan seusiaku yang belum menikah karena banyak hal. Tapi banyak pula perempuan yang kutemui terpaksa menikah karena banyak hal, seperti tekanan keluarga dan sosial.”

Ia mulai berbicara dengan sangat antusias meski sesekali terhenti karena ia harus minum atau menyapa orang-orang yang lewat. Menurutnya, menikah atau tidak adalah soal pilihan dan keputusan. Ia pun menyampaikan kegelisahannya tentang banyak orang yang tidak berbahagia dalam pernikahannya karena terjebak pandangan orang lain.

Ia bercerita tentang seorang gadis di Sumatra yang pernah ingin bunuh diri karena diminta untuk segera menikah oleh orangtuanya. Orangtua si gadis sudah menyiapkan calon pengantin. Laki-laki dari suku dan agama yang sama, serta mampu membayar mahar dalam jumlah besar. Laki-laki yang sudah diteliti bibit, bebet, dan bobotnya. Permintaan itu diajukan agar si gadis tidak meneruskan hubungannya dengan laki-laki yang tidak bermarga dari tanah antah berantah.

Gadis itu tidak mencintai laki-laki pilihan orangtuanya. Tapi ia menyadari bahwa pilihannya tidak dibenarkan dalam adat sukunya. Si gadis putus asa. Baginya, lebih baik mati daripada menikah dengan laki-laki itu. Belum lagi ia sangat tertekan oleh kedua orangtuanya. Mereka merasa sangat bangga mendapat calon menantu yang bisa membayar mahar dalam jumlah besar. Dibangga-banggakannya itu hingga ke seluruh penjuru kampung. Gadis itu masih ingat apa yang dikatakan ayah-ibunya, seperti sedang menjual anak gadisnya sendiri. Mahar besar karena anak gadisku sarjana. Bedalah dengan yang lulusan SMA atau tidak sekolah. Ada hitung hitungannya. Kadang-kadang memberi mahar seperti membeli pengantin, membeli orang. Padahal, menikah bukan perdagangan.

“Lalu si gadis bunuh diri?” saya penasaran.

“Si gadis tidak jadi bunuh diri. Ia lari dari rumah. Entah dari mana kekuatan itu sehingga akhirnya ia memutuskan untuk masa depannya. Bunuh diri mungkin mengakhiri masalahnya, tapi akan meninggalkan masalah lain di kemudian hari, terutama bagi mereka yang ditinggalkan,” jawabnya dengan tatapan yang jauh menerawang.

Ia menawarkan cemilan. Katanya, cemilan itu ia bawa dari Medan. Bika ambon dari orangtuanya yang pada akhirnya dapat ia jumpai lagi. Buah tangan seperti itu yang selalu membuat ia senang bepergian. Bisa mengunjungi berbagai daerah, dan mencicipi makanan yang belum pernah ia temukan sebelumnya.

Dua puluh menit lagi ia akan boarding. Penerbangannya akan menuju Ketapang. Katanya, ada koleganya di sana yang akan melangsungkan pernikahan.

“Kamu sendiri kapan menikah? Kamu cantik dan pasti sudah punya pacar.”

“Kalau undangannya sampai ke rumahmu, saat itulah aku menikah. Doakan ya, semoga aku tidak kabur lagi pada hari pernikahan,” tawanya terpingkal-pingkal seakan hanya kami di ruang tunggu itu.

Kami berjabat tangan. Ia mengucapkan salam perpisahan. Ia tertawa saat saya memanggilnya dengan ‘perempuan pesawat’.

Manusia seperti pesawat. Canggih. Tampak gagah, besar, dan kuat. Cepat dan nyaman. Tapi ia punya dua titik yang menyimpan kelemahan sekaligus kelebihan. Pertama, di bagian depan badannya, atau kepala pada manusia. Di sana ada black box yang menyimpan rekaman percakapan kokpit, sementara di kepala ada mulut dan otak. Saat bayi kita memperoleh kenikmatan yang bersumber di daerah mulut. Selain itu, manusia tidak hanya menggunakan mulutnya untuk makan seperti hewan. Freud menamai masa itu sebagai fase oral. Otak adalah organ yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Kita menjadi makhluk paling cerdas karena otak. Di bagian ekor pesawat ada black box yang menyimpan rekaman perjalanan selama penerbangan. Di bagian ekor manusia, ada kelamin dan anus. Pada masa kanak-kanak, kita belajar memahami kehidupan lewat segala bentuk rasa sakit dan kenyamanan yang diberikan kelamin dan anus. Frued menyebutnya fase anal.Baik mulut dan otak maupun kelamin dan anus adalah kelemahan sekaligus kelebihan manusia.Kita merekam semuanya dari organ-organ ini.

Tapi ada jenis pesawat dengan kedua black box di bagian ekor. Ini biasanya ditemukan pada pesawat jenis Airbus. Kalau dipikir-pikir, ada jenis manusia yang menempatkan mulut, otak, kelamin, dan anusnya di bagian ekor. Keadaan seperti ini kerap membuat kelemahan lebih dominan ketimbang kelebihannya.

Pernikahan? Kebanyakan pernikahan yang gagal dimulai dari kehendak yang bermula dari urusan perut ke bawah dan untuk menyelamatkan segala urusan perut ke bawah, anus, dan kelamin. Itulah yang sering diurus si ‘perempuan pesawat’ di lembaga advokasinya.

Punggungnya yang terus menjauh semakin mengingatkan saya pada nenek. Perempuan yang merawat saya sejak ibu meninggal dan ayah menikah lagi di hari ketujuh peringatan kematian ibu. Saya teringat pada keputusan untuk menikah.

Di bandara itu kami akhirnya berpisah. Ia melanjutkan penerbangannya. Saya menunggu suami kembali dari mengunjungi kekasih gelapnya.

2015