Lompat ke isi

Perjalanan di Kepulauan Hindia Timur/Bab 2

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB II.

SEMARANG DAN SURABAYA.

Pada 7 Juni, kala fajar menyinari langit timur, aku meninggalkan rumah Batavia baruku, dan dibawa ke “boom.” Sebuah kapal uap kecil menunggu mengambil para penimpang pada perahu pos yang bergerak ke Sulawesi, Timor, dan Amboina, ibukota Kepulauan Rempah-rempah.

Seluruh bagasiku dimasukkan, aku punya waktu untuk rehat, dan sempat menyadari bahwa menjadi pengembara; namun pemikiran sendiri dengan cepat sirna dan aku mulai mengamati siapa yang menjadi pengikutku, pada sisi timur dunia, jauh dari pusat peradaban dan fesyen; dan kemudian ketonjolan nyata timbul pada tumpangan. Ia tinggi, namun berpenampilan lebih tinggi dari mengenakan topi bulu tinggi, penutup paling tak nyaman untuk kepala yang terbayangkan di iklim hangat. Kemudian busana lehernya! Itu berwarna putih, dan diikat dengan sangat rapi; namun apa yang mendatangkan perhatianku secara khusus adalah tangan kurus panjangnya, dengan hati-hati dilindungi oleh sarung tangan anak-anak putih. Namun, kami tak memiliki waktu panjang di jalan uap, dimana setiap tempat ditutupi dengan lapisan tebal debu batubara, sebelum Mr. Exquisite mengubah penampilan elegannya untuk busana materi fakta, dan membuat penampilan keduanya sebagai sastrawan, dengan salinan dari Majalah Cornhill. Kala ia menyatakan tak berminat untuk membaca, aku meminjamkannya, dan mendapatinya berusia tiga tahun, dan dedaunannya masih tak terpotong. Karya tersebut berisi deskripsi landasan grafis tentang rumah pensiun Isaac Walton—mungkin taman Eden paling disukai dari tempat manapun yang nampak pada bumi kami sejak kejatuhan manusia.

Para penumpang lain kebanyakan adalah pegawai dan pedagang yang perfi ke Semarang, Surabaya, atau Makassar, dan aku mendapati bahwa aku satu-satunya orang yang berniat ke Amboina. Komandan umum pasukan Belanda di Timur juga menumpanginya. Aku menjadi pria tanpa asumsi yang sangat sopan, dan mewujudkan banyak kepentingan pada kapal angkut a Sharpe yang dikirim dari Amerika, dan dianggap sebagai senapan tentara paling efektif yang pernah dilihat olehnya pada masa itu. Aku berangkat ke markas besar tentara, yang menjadi tempat benteng yang kuat di belakang Semarang. Tempat tersebut dikatakan kepadaku terletak pada gunung atasu dataran tinggi dengan sisi-sisi tempat melangkah—semacam Gibraltar, yang ditempati tentara kecil yang dapat dihimpun untuk penjalanan waktu melawan pasukan manapun yang dapat dibawa melawannya. Namun, sekitar lima bulan kemudian, tempat tersebut nyaris dihancurkan oleh gempa bumi besar, namun sejak itu telah sepenuhnya dibangun kembali.

Suatu hal menonjol yang kemudian aku temukan adalah seorang pemuda yang berasal dari Sumatra. Ia bergerak jauh dari pegunungan tinggi dan jurang dalam di pelosok pulau yang nyaris tak terjelajahi, dan deskripsinya memberikanku pernyataan tak dapat dijelaskan dengan kata-kata dari pemandangan luar biasa semacam itu—sebuah kesenangan yang tak membuatku terhibur pada waktu itu yang akan menjadi nasib baikku untuk dinikmati sebelum aku meninggalkan kepulauan tersebut.

Setiap hari, langit menjadi sangat berawan, namun aku mendatangi pemandangan gunung berapi besar yang tinggi, khususnya dua kerucut yang dapat dilihat di barat dari jalan raya di Batavia. Sebuah angin ringan namun cepat datang dari timur, karena itu menjadi satu-satunya bagian awal dari muson timur. Kala matahari terbenam di barat, bulan purnama timbul di timur, dan menyebarkan serangkaian besar perak pada laut. Udara menjadi sangat lembut dan nyaman, dan seluruh langit dan laut berkumandang, yang menyiratkan hari tersebut bak fantasi yang terbarukan dari sebuah bagian mimpi yang mempesona.

Kata muson tersebut hanyalah kekeliruan dari penyebutan kata Arab, “musim,” yang dipelajari Portugis dari orang-orang Arab dan para keturunan mereka, yang kala ikut berlayar ke laut tersebut. Kata tersebut mula-mula muncul dalam tulisan De Barros, kala ia membicarakan bencana kelaparan yang terjadi di Makala, karena jumlah nasi yang lazim tak dibawa dari Jawa; dan “mução” dimajukan, tak memungkinkan untuk mengirim suplai yang layak. Orang-orang Melayu memiliki perilaku yang seringkali menuturkan wilayah manapun di barat berada “di atas angin,” dan wilayah manapun di timur berada “di bawah angin.”

8 Juni.—Datang ke dek pada awal pagi untuk melihat pegunungan yang kami lewati; dan, kala aku memutuskan untuk memandang daerah pegunungan, kapten berujar padaku bahwa jik aku melihat puncak besar, yang lancip pada bagian atas, sebagaimana yang ia katakan, pada puncak gunung, timbul awan-awan tinggi semacam itu yang tak aku ketahui. Itu adalah Gunung Slamat, yang berada di ketinggian sebelas ribu tiga ratus tiga puluh kaki Inggris di atas laut—puncak tertinggi selain menjadi salah satu gunung menonjol di Jawa, dan, seperti kebanyakan dari mereka, sebuah gunung berapi aktif. Batas atas vegetasi di atasnya berada pada tiga ribu kaki di bawah landasannya. Pantai utara Jawa sangat rendah pada gunung tersebut, alih-alih nampakmemuncak, sebagaimana yang terjadi, dari bagian bawah pulau tersebut, nampak dekat dengan pesisir—sebuah dampak yang terjadi dalam pemandangan nyaris seluruh puncak tinggi kala pengamat berlayar ke Laut Jawa. M. Zollinger, seorang warga Swiss, berujar bahwa fajar di atas puncak tertinggi tersebut bersinar dengan warna merah mawar yang sama dengan yang terlihat pada Monte Rosa dan Mont Blanc kala matahari terbit, dan sekali atau dua kali aku berpikir bahwa aku mengamati fenomena indah yang sama. Dataran rendah dan penampakan hilir dari seluruh gunung nampak pada saat ini berada di bawah keadaan penanaman yertinggi. Sehingga, bagian Jawa tersebut dengan benar dideskripsikan sebagai sebuah taman yang luar biasa, terbagi dalam lahan-lahan kecil pada jalur-jalur penghijauan tebal, dan pepohonan kelapa yang tinggi. Siang itu, kami bergerak ke jalan raya terbuka di Semarang saat hujan lebat; karena mewskipun “muson barat,” atau “musim hujan,” berlalu, nyaris setiap siang kami diguyur hujan lebat, dan setiap orang bertutur soal kerusakan besar yang nampak terjadi pada penanaman padi dan gula yang kini telah kandas. Hujan lebat disertai kabut tebah yang mengisi langit, dan keesokan paginya, aku datang ke pesisir untuk melihat kota tersebut. Beberapa mil secara langsung kembali darinya menerbitkan puncak tajam dari Ungarung pada ketinggian sekitar lima ribu kaki, lahannya banyak ditanamai di ladang, dan bagian hulunya diisi dengan pohon-pohon kopi. Pada bagian barat dekat pesisir, kami melihat kerucut telanjang kecil, yang nampak berasap vulkanik coklat, dan menjadi cikal bakal vegetasi dari daratan tropis yang tak memiliki waktu untuk tersebar pada permukaannya. Di balik Ungarung, timbul tiga puncak tinggi di arah barat laut dan tenggara. Puncak paling utara dan terdekatnya adalah Gunung Prau; di tengahnya, Gunung Sumbing; dan puncak selatannya, Gunung Sindoro.

Gunung Prau mendapatkan namanya dari bentuknya, yang mirip dengan perahu yang dibalik ke bawah. Gunung tersebut dianggap menjadi kediaman para dewa dan jelmaan Jawa pada zaman kuno, dan kini ditinggalkan dalam reruntuhan banyak candi; sebagian ditutupi dengan lava, menunjukkan bahwa gempa bumi dan letusan yang terjadi menyebabkan kehancurannya. Banyak gambar dewa kuno berbahan metal yang ditemukan di gunung tersebut. Reruntuhan candi dari zaman kuno nampak di Boro Bodo, provinsi Kedu, dan Brambanan, provinsi Matarem. Di Boro Bodo, puncak bukit berubah menjadi piramida pendek, setinggi seratus kaki, dan memiliki dasar enam ratus dua puluh kaki pada sampingnya. Sisi-sisinya terdiri dari lima tingkat, dan bagian muka dari tingkat tersebut berisi banyak gambar, yang masing-masing bergambar Buddha. Di bagian puncak piramuda, terdapat bangunan berbentuk kubah besar, yang dikelilingi oleh tujuh puluh dua potongan yang lebih pendek dari bentuk umum yang sama. Menurut kronologi Jawa, bangunan tersebut dibangun pada tahun 1344.

Di Brambanan nampak reruntuhan dari sejumlah kelompok candu, yang terdiri dari blok-blok batu yang tinggi, yang secara berhati-hati ditumpuk dan ditempatkan bersamaan tanpa jenis semen apapun. Bagian paling indah dari kelompok candi tersebut adalah “Seribu Candi.” Bagian tersebut sebetulnya berjumlah dua ratus sembilan puluh enam buah, dan berada di lapisan persegi bawah, yang berukuran lima ratus empat puluh kalio lima ratus sepuluh kaki, dalam lima baris, satu sama lain; bangunan utama besar, di lapisan kedua, nampak secara keseluruhan. Bagian tersebut dihias bersamaan, dan, sebelum mulai dirancang, mungkin dibentuk, dengan orang-orang sektiar, salah satu candi paling menonjol yang pernah didirikan di seluruh dunia Timur. Menurut tradisi Jawa, bangunan tersebut didirikan antara 1266 dan 1296.

Struktur-struktur tersebut secara tak diragukan direncanakan dan dinaungi oleh penduduk asli India. Bangunan tersebut didedikasikan kepada pemujaan Hindi, dan disini Brahmin dan Buddhis nampak melupakan pertikaian pahit mereka, dan dalam beberapa kasus bahkan dipuja pada candi yang sama. Cikal bakal india dari pengerjaan tersebut makin didukung oleh gambar-gambar zebu, atau kerbau berpunuk, yang ditemukan disana dan tempat lain di Jawa, namun kini telah tiada, dan mungkin tak pernah ada, di belahan manapun dari kepulauan tersebut.

Kala dua orang Melayu memajukanku secara cepat di sepanjang perahu mirip kano sempit, aku melihat awan berkumpul dan menutupi puncak Gunung Prau. Hanya cumuli tipis dan berserat yang menutupi puncak lembut lainnya, namun awan tebal menghimpun dirinya di sekitara gunung dan sejumlah awan kecil berkumpul pada sisi gelapnya, yang terkadang dapat dilihat melalui pembagian dalam kain kafan putihya. Bentuk keseluruhannya pada gunung tersebut, kecuali puncaknya, tempat waktu awan terangkat bagai istana melingkar raksasa., pembukaan wilayah dalam mereka yang mirip dengan jendela-jendela di tembok-tembok tebal semacam itu.

Bagian timur Ungarung nampak puncak menonjol Merbabu dan Mérapi, dan timur dari kepulauan tersebut terhimpun Gunung Japara, membentuk, dengan dataran rendah di kakinya, nyaris menjadi sebuah pulau, pada pantai utara Jawa.

Seperti Batavia, Semarang berada di kedua sisi sungai kecil, di wilayah rendah. Sungai tersebut mengalir deras pada saat hujan, dan dalam jangka pendek kala aku melintasinya, aku melihat jasad kuda, kucing, anjing, dan monyet berada pada perairan berlumpurnya di luar teluk, mungkin tenggelam dan menutupi lapisan lumpur, dan, jika setelah masa yang panjang, strata harus meningkat di atas permukaan laut dan jatuh pada mata geolog, untuk menjadi subyek dari beberapa persebaran. Pada kenyataannya, ini merupakan cara pasti sebagian besar hewan darat di deposit laut dari waktu sebelumnya yang datang pada kami—sebuah riwayat yang sangat fragmenter sebaik mungkin, selaras untuk memberikan kami beberapa gagasan aneh terhadap bumi kala beberapa atau tak ada gunung tertinggi yang dibentuk.

Melalui rawa dangkal tersebut, mereka kini menggali bendungan dari jalan raya, sehingga kota tersebut dapat diselarskan dari pengangkutan lewat bendungan dan sungai. Bendungan tersebut bertembok, seperti di Batavia. Dari tempat pendaratan ke kota tersebut sebetulnya jalan yang menjadi aliran lumpur, dan rumah-rumahnya berukuran kecil dan hanya dihuni oleh orang-orang Melayu dan golongan Tionghoa miskin. Di jalan semacam itu, dua kuli terkadang nampak mengangkut salah satu para pribumi cantuk di dalam sebuah tandu. Kota itu sendiri lebih rapi ketimbang Batavia, dan toko-toko sangat mencolok. Ini merupakan penghiburan untuk melihat dari beberapa engravir yang sama yang ditujukan untuk dijual di toko-toko mereka sendiri. Bangunan terbaik di kota tersebut, dan jenis terbaik yang nampak padaku di Timur, adalah sebuah bangunan besar yang diisi dengan kantor pabean dan biro lainnya. Tempat tersebut memiliki tinggi dua lantai, dan menduduki tiga sisi persegi panjang. Aku berujar bahwa bangunan tersebut membutuhkan waktu lima belas tahun untuk membangunnya, walau di wulayah mereka, firma swasta akan ditempatkan dalam paruh beberapa bulan. Terdapat sejumlah hotel yang sangat mewah, dan aku melihat bangunan yang kaya akan hiasan. Di sekitar sungai berdiri menara jam tinggi, tempat penempatan seluruh kapal yang menghadap ke jalan raya. Dari puncaknya, pemandangan luas menampilkan pelabuhan, dataran rendah dan kota. Di dekat pelosok, lahan padi nampak terbentang di provinsi Kedu, “taman Jawa.” Sebuah rel kereta api dimulai disana, yang membentang sampai Surakarta dan Jokyokarta, di sisi timur Gunung Mérapi, dan akan membuka wilayah kaya tersebut dengan lebih penuh kepada dunia.

Gereja kota tersebut, yang utamanya digunakan disana sebagaimana di tempat lain oleh Pemerintah Belanda, adalah bangunan serupa katedral besar, yang dirampungkan dengan bagian dalam berbentuk oktagonal. Satu sisi ditempati oleh mimbar, sisi lain oleh organ, dan yang lainnya untuk jemaat. Pada waktu aku memasukinya, pastor berkotbah dengan cara percakapan namun dekat kepada sekitar dua puluh jemaat Melayu dan Tionghoa, yang berkumpul di sekitarnya. Pada akhir kotbahnya, ia berjabat tangan dengan setiap jemaat dengan cara paling ramah.

Dari gereja tersebut, aku datang ke masjid Islam, sebuah struktur mirip pagoda persegi, dengan tiga atas, mengatapi satu sama lain, dan masing-masing berukuran lebih kecil ketimbang di bawahnya. Ini adalah hari Jumat, Sabat Islam, dan sejumlah besar jamaah datang untuk mencurahkan diri mereka kepada sang nabi, karena ini merupakan agama mayoritas di wilayah tersebut. Di gerbang tembok yang tertutup, masjid tersebut nampak berbahan batu dan tinggi, di tempat seluruh jamaah melakukan wudhu dengan sangat teliti sebelum mengulang kutipan wajib dari al-Qur'an. Ini adalah kesempatan untuk melihat bahwa setidaknya mereka meyakini dan melakukan kegiatan tersebut dengan anggapan “kebersihan beserta dengan kesalehan.” Dari gerbang, aku berjalan ke halaman jalan masuk besar, dan kala melihat, dari ekspresi tegang pada wajah orang-orang yang bersujud pada rajutan jerami di luar bangunan tersebut, ak umelakukan beberapa pengamatan; dan seseorang menjawab penyorotanku dengan menginjak kakiku. Aku lupa bahwa aku berada pada “daerah suci,” dan sehingga wajib “untuk melepas sepatuku.” Di samping bagian utama biasanya terdapat relung, dan pada satu sisi, terdapat mimbar, namun apa yang menjadi cikal bakal dan signifikasi dari yang tak pernah dapat aku pelajari, dan meyakini bahwa masyarakat menghiraukan dirku dalam penghormatan ini. Seluruh upacara sudut, menghadap relung, dan mengulangnya secara lambat, mengumamkan nada napas beberapa bagian dari tulisan nabi mereka. Imamnya selalu orang Arab, atau keturunan belasteran mereka, kelas yang sama dengan orang-orang yang memperkenalkan keyakinan tersebut. Siapapun yang telah ke Makkah dianggap setara dengan orang suci, dan sebagian besar pergi ke Singapura atau Penag, tempat mereka singgah selama satu atau dua tahun, dan kemudian kembali dan menyatakan bahwa mereka telah melihat kota suci. Persentuhan pertama Islam di bagian manapun dari kepulauan tersebut terjadi Achin, ujung barat Sumatra, pada 1204. Agama tersebut tak diajarkan oleh orang Arab murni, namun oleh para keturunan Arab dan Persia yang datang dari Teluk Persia ke Achin untuk berdagang. Sehingga, agama tersebut perlahan menyebar ke timur Jawa, Sulawesi, dan Maluku, dan utara Filipina, tempat agama tersebut didapati kala Spanyol datang. Di bawah kekuasan mereka, agama tersebut kemudian dihapuskan, dan digantikan oleh Kristen Katolik. Bali nyaris menjadi satu-satunya pulau tempat orang-orang dapat membaca dan menulis bahasa asli mereka, dan tak banyak mengadopsi agama tersebut. Di wilayah tersebut, agama tersebut menyebar cepat, dalam seratus tahun setelah Hijrah, agama tersebut tersebar dari Persia sampai Spanyol; namun, karena para penyebarnya bukanlah masyarakat maritim, agama tersebut belum mencapai Achin sampai lima ratus tujuh puluh dua tahun setelah Hijrah, dan kemudian para pengikutnya lama laun memiliki fanatisisme dan tenaga Arab, sehingga agama tersebut dalam lebih dari tiga ratus tahun mencapai Sulawesi, dan sepenuhnya terhimpun pada pulau tersebut. Nama Melayu untuk agama tersebut biasanya adalah “Islam.”

Pada perjalanan kami kembali ke perahu surat, kami melewati armada perahu nelayan, di mulut sungai. Mereka umumnya melakukannya di kedua ujung, dan nampak seperti kano tinggi. Beberapa orang memiliki rumah mirip lentera tinggi yang bertengger di buritan, seyapa rumah-rumah tersebut menjadi lebih tak nampak. Disana, mereka semua memiliki dek, namun orang-orang di Batavia memakai kapal terbuka.

Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan kami ke timur, di sekitaran wilayah yang terbentuk oleh Gunung Japara, yang sisi-sisinya sepenuhnya diisi oleh kedalaman yang kecil atau tidak ada permukaan asli dari gunung tersebut yang dapat dilihat. Dr. Junghuhn, yang menjalani beberapa tahun mengkaji secara mendetil gunung-gunung Jawa, mendapati bahwa di atas ketinggian sepuluh ribu kaki namun sangat sedikit peninggalan yang ada. Ketinggiannya berada pada ketinggian awan umum, dan hujan yang mengguyur kami, sebetulnya, hanya berdampak pada sisi gunung di bawah ketinggian tersebut, sehingga asap gunung terkadang muncul kala puncaknya masih ada. Keberadaan kerucut besar tersebut utamanya terdiri dari abu vulkanik, pasir dan unsur-unsur kecil dari basalt atau lava, jenis material-material yang pergerakannya akan dengan cepat terbawa jauh.

Gunung-gunung berapi di Jawa kebanyakan berada pada dua jalur: yang satu, berada di dekat Tanjung St. Nicholas, ujung barat lautnya, melintas secara diagonal sepanjang pulau tersebut sampai ujung tenggaranya di Selat Bali. Yang lainnya selaras padanya, dan membentang dari pertengahan Selat Sunda sampai pantai selatan lintang Cheribon. Mereka berdiri di sepanjang dua belahan langsung dalam kerak bumi, namun kekuatan yang meningkat hanya nampak muncul pada titik terpisah tertentu di sepanjang belahan tersebut. Pada titik tersebut, letusan udara dari abu vulkanik, pasir dan terak terjadi, dan terkadang aliran lava basaltik dan trakitik bertumpahan, sampai tak kurang dari tiga puluh delapan kerucut, beberapa berukuran besar, terbentuk pada pulau tersebut. Karakter khas tersebut membuat mereka menjadi pegunungan terpisah nan menonjol, dan tak berpuncak pada jaringan berkelanjutan.

Karakteristik kedua dari pegunungan tersebut adalah sebagian besar kadar sulfur yang dihasilkan mereka. Awan putih dari gas asam sulfur secara berkelanjutan muncul pada kawah puncak tinggi tersebut, dan menghimpun kegiatan tanpa henti pada wilayah raksasa mereka. Gas tersebut adalah suatu unsur yang terbentuk kala pergesekan terjadi, dan, sebetulnya, menjadi kerusakan parah dari seluruh kehidupan hewan dan tumbuhan.

Di berbagai wilayah di sekitaran gunung berapi aktif dan pada kawah lama, gas tersebut masih muncul, dan “Guevo Upas” atau Lembah Racun, pada sekitaran gunung berapi Papandayang, menjadi salah sati wilayah dengan uap berbahaya. Tempat tersebut berada di puncak lembah pada bagian luar gunung, lima ratus atau tujuh ratus kaki di bawah kawasan kawah lama yang mengisi “Telaga Bodas” atau Danau Putih. Wilayah tersebut adalah tempat kecil berwarna abu-abu pucat atau kekuning-kuningan, berisi banyak celah-celah dan tempat yang memunculkan gas asam karbonik yang timbul dari waktu ke waktu. Disini, Mr. Reinwardt dan Dr. Junghuhn menyaksikan sejumlah besar hewan mati dari berbagai jenis, yakni anjing, kucing, harimau, badah, tupai dan pengerat lain, banyak buruk dan bahkan ular, yang kehilangan jawa mereka di tempat berbahaya tersebut. Disamping gas asam karbonik, gas asam sulfur juga muncul. Ini adalah satu-satunya hasil yang timbul pada masa kunjungan Dr. Junghuhn, dan mungkin suatu hal yang menyebabkan pengahncuran tertentu semacam itu pada seluruh hewan yang hidup di lembah kematian tersebut. Bagian lunak dari hewan-hewan tersebut, seperti kulit, otot, dan rambut atau bulu, ditempatkan oleh kedua pengamat secara sangat menyeluruh, sementara tulang-tulang remuk dan banyak yang hilang. Alasan bahwa sangat banyak hewan mati ditemukan di tempat tersebut, walau tak ada yang bersisa di hutan sekitar, adalah karena hewan-hewan mangsa tak hanya tak dapat menyantap mereka, namun bahkan mereka kehilangan nyawa mereka di tengah-tengah gas beracun tersebut.

Di tempat semacam itu, upas mematikan dapat ditemukan. Catatan pertama dari pohon menakjubkan tersebut diberikan oleh Mr. N. P. Foersch, seorang juru bedah dalam penugasan Perusahaan Hindia Timur Belanda. Artikel aslinya diterbitkan dalam volume keempat dari “Ikhtisar Globe” karya Pennant, dan diulang dalam London Magazine edaran September 1785. Ia berujar bahwa ia melihatnya sendiri, dan menyebutnya sebagai “individual tunggal dari spesiesnya, berdiri sendiri, dalam nuansa horor soliter, di tengah-tengah dataran terbuka yang dikelilingi oleh lingkaran pegunungan, seluruh wilayahnya ditutupi oleh tulang-tulang kerangka burung, binatang dan manusia. Tak ada kehidupan tumbuhan yang nampak dalam atmosfer terkontaminasi, dan bahkan ikan-ikan mati di air!” Seperti kebanyakan fabel, tumbuhan tersebut pada kenyataannya memiliki beberapa fondasi; dan pohon hutan besar yang berdiri di Jawa, yang disebut Antiaris toxicaria oleh para botanis, memiliki getah beracun. Kala batangnya dipotong, sebuah aliran getah yang muncul mirip dengan susu, namun lebih tebal dan sangat mencolok. Penduduk asli menyaipa beberapa racun dari jenis getah tersebut untuk Dr. Horsfield. Ia membayarnya dengan hrga sekitar separuh drachm untuk getah dari tumbuhan-tumbuhan berikut—arum, kempferia galanga, anomum, sebuah jenis dari zerumbed, bawang bombay atau putih umum, dan satu setengah drachm untuk lada hitam. Racun tersebut mampu mematikan seekor anjing dalam waktu sejam; tikus dalam sepuluh menit; monyet dalam tujuh menit; kucing dalam lima belas menit; dan kerbau besar mati dalam dua jam sepuluh menit pada dampak darinya. Racun serupa disiapkan dari getah chetek, sejenis cuka.

Anchar mematikan kemudian dibarkan dalam “Taman Botani” karya Darwin:

“Fierce in dread silence, on the blasted heath,
Fell Upas sits, the hydra-tree of death!
So, from one root, the envenomed soil below,
A thousand vegetative serpents grow!
In shining rays the steady monster spreads
O’er ten square leagues his far-diverging head,
Or in one trunk entwists his tangled form,
Looks o’er the clouds, and hisses at the storm;
Steeped in fell poison, as his sharp teeth part,
A thousand tongues in quick vibration dart,
Snatch the proud eagle towering o’er the heath,
Or pounce the lion as he stalks beneath;
Or strew, as martial hosts contend in vain,
With human skeletons the whitened plain.”

Seluruh pantai utara Jawa sangat dangkal, seringkali membentuk rawa, kecuali tempat ini dan tempat yang ada beberapa gunung yang terbentuk pada dataran rendah. Karena kami dekat Madura, dataran rendah tersebut menyebar pada laut dangkal dan kami berada di delapan atau sepuluh mil dari lahan. Di kedua sisi Selat Madura, daratan juga rendah, dan di sisi kiri kami melintasi banyak desa nalayan pribumi yang menghimpun bangunan bambu yang terbentang di sepanjang jalan panjang dari pesisir.

Disini, untuk pertama kalinya, aku melihat perahu-perahu dengan para pendayung. Setiap perahu memiliki alam apung pada sisinya, sementara, pada bagian sampingnya, ditempatkan kano dan setiap hal yang bergerak. Setiap perahu membentangkan dua layar segitiga, terbuat dari helai putih tipis, dengan terkadang warna merah atau hitam di bagian tengahnya atau perpaduan dari cara penghiasannya.

Tepat sebelum memasuki jalan raya Surabaya, kami melintasi Gresik, sebuah desa kecil berisi para warga Tionghoa dan asing lainnya, yang terletak langsung berada pada pantai. Tempat tersebut adalah tempat lama dan terkenal dalam sejarah awal Jawa, namun rumah-rumahnya kebanyakan nampak baru, dan atap bergenting merahnya disertai dengan tiang putih dan bagian ujungnya. Menurut para sejarawan Jawa, tempat tersebut adalah tempat pertama agaam Islam disebarkan di wilayah mereka.

Di Surabaya, tempat tersebut nampak lebih bernuansa bisnis ketimbang di Batavia, dan kami mendapati sejumlah besar kapal berlabuh di jalan-jalan raya. Di Batavia, pengangkutan dilakukan pada pulau-pulau di mulut teluk. Di Semarang, pengangkutan dilakukan pada muson barat, dan derai dan gulungan ombak terkadang sangat besar sehingga perahu-perahu tak dapat mendarat, namun di Surabaya, pengangkutan secara bulat dilakukan dari seluruh galangan. Namun, terdapat gelombang pasang yang kuat, dalam catatan ukuran teluk, di wilayah pengangkutan, dan selat dangkal yang menghubungkannya dengan laut. Selat tersebut, walau sempit, tidaklah berbahaya, dan dikatakan merupakan satu-satunya pelabuhan bagus yang berkegiatan di pulau Jawa. Di pantai selatan, di Cilacap, terdapat tempat pengangkutan aman dan terlindung dengan baik, namun mengalami perdagangan yang sangat sedikit.

Pada sore hari, kala air surut, sekawanan burung putih menempatkan diri mereka di sepanjang tepiannya, dan dengan tenang menunggui beberapa ikan malang. Kemudian, kapal-kapal nelayan datang dari timur, membentangkan layar putih mereka, dan membentuk jaring untuk menangkapi sekawanan burung putih di sepanjang pesisir tersebut.

Para penduduk asli, yang tak dapat berjalan menuju gubuk mereka di tepi,memiliki banyak cara cepat nan ringan untuk melalui dataran berlumpur tersebut. Papan berukuran lebar sekitar dua kaki, panjang lima atau enam kaki, dan ditempatkan pada suatu ujung seperti tempat kereta luncur, ditempatkan pada lumpur lembut, dan nelayan menempatkan kaki kirinya di atasnya sesambil ia tahan dengan kaki kanan, dalam rangka agar anak-anak mendorong diri mereka sendiri pada seluncuran mereka di es atau salju. Dengan cara tersebut, mereka bergerak lebih cepat ketimbang orang yang berjalan pada tanah padat.

Seperti Batavia dan Semarang, Surabaya berada di kedua sisi sungai kecil, di daratan rendah, namun tanpa rawa, seperti kota tua Batavia, dan lebih dekat dengan tempat pengangkutan. Sungai tersebut telah berubah menjadi bendungan dengan tepiannya yang ditemboki. Di dekat bagian utamanya, tempat tersebut dibariskan pada satu ssii dengan rumah-rumah hunian bagus, dan dibatasi dengan barisan pepohonan teduh. Di balik hunian tersebut,t erdapat galangan kapal pemerintah. Tempat tersebut dibangun secara sangat berhati-hati, dan berisi dok kering, sebuah tempat untuk menempatkan kapal-kapal seperti jalur kereta api kali, toko-toko alat kerja, dan gudang-gudang besar untuk penyimpanan kayu. Mereka kemudian membangun enam kapal uap kecil dan dua atau tiga kapal, di samping dok kering besar untuk kapal-kapal terbesar. Kapal tersebut adalah Medusa, kapal yang memimpin armada sekutu Belanda, Inggris, Prancis dan Amerika dalam serangan di Simonosaki, pada bagian utama Laut Dalam di Jepang. Banyak bekas luka di sisinya yang menunjukkan bagian berbahaya yang dialaminya dalam serangan tersebut, dan aku kemudian mendengar para perwira Belanda yang berbicara soal kebanggan berani dan kterampilan para perwiranya dalam pergolakan tersebut. Dulunya, kapal-kapal hanya dapat diperbaiki lewat “pelemparan” di Onrust, sebuah pulau yang bejarak enam mil dari barat jalan raya di Batavia; namun kini dekat dengan seluruh pengerjaan semacam itu yang dilakukan di galakngan kapal tersebut. Tempat tersebut banyak terdengar dentangan palu yang dikerjakan—sebuah suara yang membuat ketenangan menjadi jarang di kota-kota timur tersebut.

Toko mesin pemerintah menjadi unsur lain dari penetapan Belanda untuk membuat apa yang mereka butuhkan sendiri, dan bersifat independen pada pasar-pasar asing. Disini, mereka membuat banyak pemasangan, namun bisnis utama mereka adalah membuat kapal uap untuk AL. Sembilan ratus orang Jawa kala itu berada di bangunan tersebut, seluruhnya kerja sukarela, dan memiliki kebebasan penuh untuk cuti kapanpun yang diinginkan oleh mereka. Kebanyakan pengawasnya bahkan adalah pribumi, selain sebagian kecil orang Eropa yang bekerja dalam seluruh pengerjaan. Mereka semua mengerjakan penugasan kebutuhan mereka dengan cepat dan siap, tanpa berbicara keras atau kebisingan yang tak dibutuhkan. Beberapa dari mereka yang sangat terampil akan menerima sekitar dua guilder per hari. Fakta tersebut menunjukkan kemampuan orang jawa, dan menandakan bahwa terdapat masa depan cerah untuk orang-orang tersebut. Disini, bobot dan ukuran standar untuk pemerintah dikerjakan; dan sebagaimana contoh umur panjang orang-orang tersebut, kala kami memastikan kebiasaan mereka, direktur berujuar kepadaku bahwa seorang pribumi telah bekerja selama lima puluh tujuh tahun dalam departemen tersebut, dan selama beberapa waktu dibantu oleh para putra dan cucunya. Ia telah pensiun, dan direktur dapat memberikannya uang pensiun penuh karena masa pekerjaannya yang berlangsung lama. Terdaapt tiga orang lain yang masih dalam pengerjaan tersebut, yang juga memulainya pada lima puluh tujuh tahun lalu. Kasus semacam itu sangat menonjol, karena para pribumi biasanya tak dapat bekerja pada usia tiga puluh lima atau empat puluh tahun, pada catatan kebiasaan mereka. Kebanyakan mesin mereka tidaklah dirampungkan untuk diimpor dari Eropa, namun nampak sangat berkepanjangan. Sehingga, fakta bahwa beberapa orang Jawa memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang baik ditunjang oleh pengerjaan departemen engravir, yang hasil kerjanya diakui banyak orang Eropa. Pedagang juga memiliki toko mesin serupa pada skala yang lebih besar.

Didekatnya, terdapat pengerjaan artileri pemerintah, tempat seluruh bagian kayu dan besi dan pelana dan barang kebutuhan dibuat, setiap hal selain senapan. Kayu yang dipakai diperlakukan berhati-hati. Pembuatannya sangat lama, dan terpadu dengan tingkat bagus dari keringanan dan kekuatan. Kulitnya dibuat dari pribumi dari kulit sapi Madura, satu-satunya jenis yang ditemukan di Surabaya. Bahan tersebut ringan dan lentur, dan lempuh dibandingkan yang dibuat dari kulit hewan utara kami. Kala bahan tersebut dibasahkan, pembahasan tersebut membuat warnanya menjadi lebih tua, yang terjadi kala kulit tersebut kembali menjadi kering. Direktur pengerjaan menganggap bahwa pengerjaan tersebut dapat dipulihkan dengan mengadopsi beberapa cara penyamakannya. Kulit yang terbuat dari tersebut memiliki bentuk yang tipis, dan, pada saat yang sama, bersifat kaku.

Jalan-jalan raya di Surabaya berukuran sempit dibandingkan dengan jalan-jalan raya di Batavia; namun jalan-jalan raya tersebut lebih banyak disertai dengan pohon-pohon teduh dari spesies berbeda, salah satunya adalah tamarind, dengan dedaunan yang tinggi, yang nampak menjadi tumbuhan kesukaan. Disini, seperti seluruh kota utama lain dari kepulauan tersebut, jalan-jalan berpasir biasanya dilalui oleh para kuli, yang membawa sekitar tua emper air besar. Di tengah kota, pada lapangan terbuka, terdapar rumah opera, sebuah bangunan besar yang terhimpun dengan baik, disertai dengan tembok bercat dan berhias. Di pelosok kota, terdapat taman umum, yang banyak didatangi, dan terhampar dengan semak-semak yang kaya akan bunga. Terdapat sejumlah burung yang melintas ke Timur: seekor kaswari dari Seram, seekor angsa hitam dari Australia, dan beberapa burung liar indah (Gallus) dari Madura. Dari genus tersebut, Gallus, terdapat dua spesies liar di pulau tersebut dan di Jawa. Salah satunya, Gallus bankiva, juga ditemukan di Sumatra dan semenanjung Malaka. Spesies ketiga ditemukan di Filipina, namun tak ada yang diketahui di pulau besar Kalimantan dan Sulawesi atau di pulau manapun di kawasan timur. Di semenanjung Malaka, Sumatra, Kalimantan, dan Kepulauan Maluku, kata Melayu "ayam" dipakai, namun di Filipina dan Jawa, kata Jawa "manuk" seringkali dipakai—sehingga istilah tersebut menunjukkan bahwa orang Melayu dan Jawa adalah golongan pertama yang pertama kali menjinakkannya, dan menyebarkannya ke seluruh belahan kepulauan tersebut. Temminck menganggap Gallus bankiva sebagai pelopor dari unggas umum mereka. Jika ia bendar dalam pernyataan tersebut, hewan tersebut mungkin dibawa ke Yunani oleh bangsa Persia, untuk bangsa Yunani yang terkadang menyebutnya “unggas Persia.” Pengenalan awalnya ke Eropa ditunjukkan oleh penggambarannya pada tembok-tembok makam Etruskan, dan Mr. Crawfurd berujar bahwa hewan tersebut didatangkan di Inggris lebih dari dua ribu tahun lampau. Varietas kecilnya yang diperkenalkan pada kami dengan sebutan “Bantam,” bukan asli dari Jawa, namun menerima nama tersebut karena hewan tersebut pertama kali dilihat oleh pedagang Eropa pada kapal-kapal jung Jepang yang datang ke kota tersebut untuk berdagang.

Seluruh ras Melayu, kecuali Jawa, mengalami kegemaran besar untuk judi, dan metode kesukaan mereka untuk mengembangkan kegemaran tersebut adalah sabung ayam. Kegiatan tersebut dilarang oleh Pemerintah Belanda; namun di Filipina, Spanyol hanya memberlakukan pajak besar pada para pemain tersebut, dan keberadaan berkelanjutannya di di kepulauan tersebut ditandai oleh pendapatan tahunan empat puluh ribu dolar dari sumber itu sendiri.

Kegemaran untuk kegiatan tersebut di kalangan orang Melayu juga nampak pada bahasa mereka; karena, menurut Mr. Crawfurd, terdapat nama spesifik untuk sabung ayam, satu untuk pacuan sungguhan dan satu untuk pacuan buatan dari ayam tersebut, dua nama untuk sisi, tiga untuk kokokan, dua untuk lubang ayam, dan satu untuk petarung ayam profesional.

Kala kembali ke taman, terdapat sejumlah benda paling menonjol, yakni sejumlah gambar Brahman atau dewa Buddha, yang disempah oleh orang Jawa kuno. Biasanya berukuran besar, karya tersebut nampak memiliki tubuh manusia dan kepala hewan. Model kesukaannha mewakili manusia dengan kepala gajah, yang duduk di takhta yang terbaring pada barisan tulang manusia.

Hindu tanpa diragukan diperkenalkan ke kepulauan tersebut dalam cara yang sama dengan Islam—yakni lewat orang-orang yang datang dari barat untuk berdagang, mula-mula ke Sumatra, dan kemudian ke Jawa dan Sulawesi. Hubungan perdagangan tersebut mungkin dimulai pada masa paling terpencil; karena, menurut Sir Gardner Wilkinson, bangsa Mesir memakai timah dalam memperdagangkan perunggu dua ribu tahun sebelum tahun Masehi, dan sangat mungkin bahwa timah tersebut didatangkan dari semenanjung Malaya ketimbang dari Cornwall, hanya dua sumber yang dari pengaruh apapun yang diketahui dari metal berharga tersebut, jika kami meliputkannya dengan bekas kepulauan Billiton dan Banca. Dalam “Periplus dari Laut Eritræa,” yang ditulis sekitar tahun 60 Masehi, sumber tersebut menuturkan bahwa mineral tersebut ditemukan di dua kota di pantai barat India, namun didatangkan dari wilayah timur yang lebih jauh. Dalam risalah penjelasan yang sama, sumber tersebut juga menyebutkan bahwa malabrathrum, sebuah jenis dari karet alami yang diimpor dari India untuk pemakaian barang mewah Romawi, ditemukan di Barake, sebuah pelabuhan di pesisir Malabar, namun nampaknya datang dari beberapa wilayah timur yang lebih jauh; danmalabrathrum diduga oleh banyak orang merupakan benzoin modern, sebuah resin yang yang didapatkan dari Styrax benzoin, sebuah tumbuhan yang hanya ditemukan di wilayah Battas, Sumatra, dan di pantai Brunai, belahan utara Kalimantan.

Meskipun penjelasan tersebut dikumpulkan dari catatan bangsa-bangsa Barat, indikasi barang yang didatangkan dari kepulauan tersebut pada zaman terawal, kami tak memiliki informasi terkait waktu kala pedagang Hindu, yang berlayar ke timur dari India dan menjual barang-barang berharga tersebut, berhasil dalam menanamkan agama mereka sendiri di kalangan bangsa-bangsa jauh tersebut. Tawarikh-tawarikh Melayu dan Jawa bersifat khayalan, dan umumnya dianggap tak selaras dengan penanggalan apapun sebelum pengenalan Islam. Daftar kronologi sederhana ditemukan di Jawa, yang berujung sampai sejauh 78 Masehi; namun Mr. Crawfurd berujar bahwa “sumber-sumber tersebut adalah pemalsuan tak tertandingi, seringkali sangat berbeda satu sama lain, dan berisi celah-celah sepanjang abad.”

Orang-orang yang datang dari India pada pelayaran awal mungkin adalah bangsa Talagu atau Telugu yang sama dengan orang-orang yang disebut oleh bangsa Melayu dengan sebutan “Kling” atau “Kaling,” sebuah kata yang berasal dari kata Kalinga, nama Sanskerta untuk bagian utara pantai Coromandel. Mereka sering meneruskan perdagangan dengan semenanjung tersebut, dan aku menemui mereka pada pantai Sumatra. Barbosa, yang menyaksikan mereka di Malaka kala Portugis mula-mula datang ke kota tersebut, kemudian mendeskripsikan mereka: “Terdapat banyak pedagang besar disini, Moor serta warga asing kafir, namun utamanya Chetis, yang berasal dari pantai Coromandel, dan memiliki kapal-kapal besar, yang mereka sebut giunchi” (jung). Tak seperti angin tak biasa yang harus sangat mendorong Yunani awal dan Fœnisia dari pelayaran jauh ke Euxine dan Laut Tengah, muson cepat di Teluk Bengal mengundang orang-orangt ersebut keluar ke laut, dan lewat perubahan biasa mereka menjanjikan pengiriman mereka dalam setahun secara aman kembali ke kampung mereka.

Kapal uap Amerika Serikat Iroquois kemudian bersandar di jalan raya, dan agen konsuler kami di pelabuhan tersebut mengundang Kapten Rodgers, konsul kami dari Batavia, yang menjalankan bisnis, dan ia sendiri, memegang pergerakan dengannya terhadap penanaman gula yang berada di bawah perawatannya. Di wilayah hangat tersebut, ini merupakan kebiasaan untuk memulai kesenangan awal, dalam rangka menghindari panas matahari siap. Sehingga, kami berjalan berenam. Teman kami menyediakan ruang pertemuan pemberian pelatihan pos besar untuk empat orang, namun, seperti seluruh gerbong semacam itu di Jawa, tempat tersebut sangat berat dan terhambat pada pengemudi dan pejalan kaki, yang menyerahkan kotak besar di belakang, telah secara tetap mengerahkan empat kuda poni kecil untuk menjaga mereka bahkan pada tingkat kecepatan menengah. Perjalanan kami sepanjang sepuluh mil melewati jalan raya yang tertata dengan baik, dengan indah membentuk sebagian besar jalan dengan pohon-pohon asam jawa. Selaras dengan jalan gerbong tersebut, di Jawa, selalu ada satu untuk kerbau dan kereta, dan dalam kebiasaan tersebut nyaris seringkali disimpan dalam penataan utama. Jalan tol ganda besar semacam itu dimulai di Angir, Selat Sunda, dan terbentang sepanjang seluruh rentang pulau tersebut sampai Banyuwangi, di Selat Bali. Kendaraan tersebut melintas di dekat Bantam dan Batavia, dan sehingga meelwati dataran rendah di dekat pantai utara Cirebon dan Semarang, kemudian selatan Gunung Jepara dan wilayah timur. Aku dibertahu bahwa jalur tersebut dibuat oleh Marsekal Daendals, yang memerintah Jawa di bawah kekuasaan Prancis pada 1809. Terdapat juga jalan militer dari Semarang ke Surakarta dan Jokyokarta, tempat dua pangeran pribumi kini bermukim. Jawa juga menikmati sistem komunikasi telegraf paling lengkap. Pada 23 Oktober 1856, jalur pertama, antara Batavia (Weltevreden) dan Buitenzorg, dirampungkan. Tak lama setelahnya, jalur tersebut dengan cepat diperluas sampai sejauh 1.670 mil yang dirampungkan pada 1859. Kabel telegraf juga dibentangkan pada tahun tersebut dari Batavia sampai Selat Bangka dan Rhio di Singapura; namun, malangnya, kabel tersebut terputus pada jangka pendek, mungkin akibat jangkar beberapa kapal di selat dangkal tersebut. Setelah diperbaiki, kabel tersebut langsung terputus untuk kedua kali. Pada 1861, pengupayaan dilakukan, namun kini terdapat kabel lain yang membentang di sepanjang Selat Sunda, dari Angir sampai daerah Lampung; sehingga kabelt ersebut akan meluas dari pantai barat sampai Bencoolen dan Padang, dan, melintas sepanjang dataran Padang, melewati Fort de Rock dan Paya Kombo, menuju ke Selat Malaka, dan terbentang langsung di sepanjang Singapura.

Kuda-kuda poni Jawa berjalan dengan baik pada bukit tinggi atau rendah, namun kala jalan raya menjadi tempat berjaaln, mereka biasanay berhenti bersamaan. Sehingga, di bagian perbukitan Jawa, para pribumidiwajibkan untuk merrehatkan para kerbau mereka ke gerbongmu, dan kau harus menunggu dengan sabar sampai hewan tersebut pulih untuk mengantarmu ke wilayah ketinggian.

Perjalanan kami pada pagi itu menuju ke wilayah rendah, yang sepenuhnya ditumbuhi padi dan tebu. Beberapa ladang pafi terbentang pada setiap sisi sejauh mata memandang, dan nampak tak terikat sebagaimana samudra. Sejumlah penduduk asli menggarap ladang besar tersebut, memilih hasil yang matang, yang agama mereka mewajibkan mereka untuk memotongnya satu per satu. Ini nampak menjadi tugas tiada akhir yang mengumpulkan seluruh hasil pada dataran luas. Hal tersebut dilakukan di dekat puncak, dan beras dalam keadaan tersebut, dengan kulit yang masih berada padanya, disebut “padi.” Bagian sisa dari hasil tersebut ditinggalkan di ladang untuk memperkaya lahan. Setelah setiap orang menanamkan tanah dengan menyemai atau menggalinya dengan alat besar, atau dibajak dengan kerbau, dan setelah itu ditutup dengan sapu tinggi; dan untuk membantuk memecah gumpalan, air pada kedalaman empat atau lima inchi didalamkan. Ini dilakukan lewat penggarapan menyilang ladang pada sudut kanan, membaginya menjadi lapisan kecil dari liam puluh sampai seratus kaki persegi. Benihnya disemai dalam plat kecil pada permulaan muson hujan. Kala tumbuhan tersebut memiliki tinggi empat atau lima inchi, tumbuhan terebut dipindahkan ke lapisan yang lebih besar, yang masih tetap disemai selama beberapa waktu. Tumbuhan tersebut mencapai kedewasaan pada sekitaran waktu itu (14 Juni), paruh pertama dari muson timur, atau musim kering. Dataran rendah semacam itu yang dapat dibanjiri disebut sawah. Walaupun orang Jawa membangun candi yang menakjubkan, mereka tak pernah menciptakan atau mengadopsi alat apapun yang dipakai dalam pemakaian umum untuk meningkatkan air pada ladang padi mereka, bahkan tanpa alat sederhana yang dipakai oleh bangsa Mesir kuno di sepanjang bukit, dan yang dipakai dari istana-istana di Niniwe yang menunjukkan kami juga dipakai di sepanjang Efrat.

Hanya satu tanaman yang biasanya diambil dari tanah setiap tahun, tanpa ladang tersebut dapat siap diirigasi. Pupuk jarang atau tak pernah dipakai dan sehingga sawah nampak selalu subur. Namun, tebu dengan cepat mengeringkan tanah. Salah satu sebab kemungkinannya adalah seluruh tebu diambil dari ladang tanpa puncak dan akar, sementara hanya bagian atas dari biji-bijian padi yang dibawa, sisanya dibakar atau dibiarkan di tanah. Pada catatan ini, hanya sepertiga penanaman yang ditujukan pada budayanya pada suatu waktu, dua per tiga lainnya ditanam dengan padi, untuk keperluan pribumi yang bekerja di penanaman tersebut. Tumbuhannya dibiarkan berputar pada ladang yang sama yang memberikan pengeringan tambahan dari tebu hanya dalam tiga tahun. Setiap penanaman dilakukan di desa Jawa, dan sejumlah desa yang berada di bawah penanganan kendali. Ini adalah tugasnya untuk melihat bahwa sejumlah penduduk asli tertentu bekerja setiap hari, agar mereka menyiapkan lahan, dan menempatkan benih di musim yang dibutuhkan, dan melakukan perawatan sampai masa panen.

Nama penanaman yang kami lihat adalah “Seruni.” Kala kami mendekatinya, beberapa bangunan putih rendah nan panjang menjadi nampak, dan dua atau tiga cerobong tinggi, mengeluarkan sejumlah besar asap hitam. Pada perjalanan, terdapat rumah penyimpanan, dan “fabrik” di tengahnya. Tebu dipotong di ladang dan diikatkan dalam ikatan, setiap ikatan terdiri dari dua puluh lima batang. Ikatan tersebut kemudian dibawa ke pabrik menggunakan kereta dua roda yang disebut pedati, yang digerakkan sapi. Pada penanaman itu sendiri, terdapat dua ratus kereta semacam itu. Cara yang diadopsi disini untuk mendapatkan gula dari tebu sama dengan daerah kami. Ini tentunya dilakukan lewat penuangannya, sesambil ditempatkan pada pot-pot tanah yang mendingin dan mengkristal, sejumlah tanah liat, dicampur dengan air, sampai timbul krim. Airnya, yang mengisinya, membasuh kristal tersebut dan menjadikannya gula, yang pada waktu itu berwarna coklat tua, nyaris berwarna putih jika telah disuling. Proses sederhana tersebut dikatakan diperkenalkan oleh beberapa orang yang menyatakan bahwa tempat burung-burung bertengger pada gula coklat dengan kaki berlumpur mereka, di tempat yang tiba-tiba menjadi putih. Usai seluruh gula dianggap memungkinkan, molase murah dan murni yang dikeringkan tersebut difermentasi dengan sejumlah kecil nasi. Tuak nira kemudian ditambahkan, dan dari percampuran tersebut didistilasi menjadi minuman yang dikenal sebagai “arak,” yang kemudian sedikit berbeda dari rum. Ini dianggap, dan tanpa ragu dinyatakan, sebagai stimulan paling merusak yang ditempatkan pada lambung manusia, di wilayah hangat tersebut. Dari Jawa, sejumlah besarnya diangkut ke wilayah dingin seperti Swedia dan Norwegia, di tempat, sejelek-jeleknya, pabriknya, setidaknya, tak memberikan kesaksian dari dampak berracunnya.

Usai gula dikeringkan di bawah sinar matahari, gula tersebut dikemas dalam keranjang-keranjang silinder besar yang terbuat dari bambu, dan siap untuk dibawa ke pasar dan diangkut ke luar negeri.

Tiga spesies dari tebu diakui oleh para botanis: Saccharum sinensis dari Tiongkok; Saccharum officinarum dari India, wyang diperkenalkan oleh bangsa Arab ke Eropa Selatan, dan kemudian dibawa ke negara kami sendiri dan Hindia Barat; dan Saccharum violaceum dari Tahiti, yang merupakan tebu dari Kepulaaun Melayu yang mungkin menjadi satu-satunya varietas. Penampakan dari spesies terakhir diperkuat oleh nama untuknya di Malaysia dan Polinesia. Orang Melayu menyebutnya tabu; penduduk Filipina menyebutnya tubu; orang Kayan dari Kalimantan menyebutnya turo; penduduk asli Flores, antar Jawa dan Timor serta Tongatabu di Polinesia menyebutnya tau; penduduk Tahiti dan Marquesas menyebutnya to; dan penduduk Kepulauan Sandwich menyebutnya ko.

Ini merupakan tumbuhan asli dari kepulauan tersebut atau diperkenalkan pada masa terpencilnya. Orang Melayu menanamnya seperti yang kini mereka melakukannya, bukan untuk keperluan membuat gula, namun untuk sari manisnya, dan sejumlah besar darinya nampak pada waktu itu di seluruh pasar, biasanya dipotong dalam potongan pendek dan lapisan luar atau kulitnya dihilangkan. Orang-orang juga nampak sangat menghiraukan cara pembuatan gula darinya, dan seluruh gula, atau lebih kepada molase, yang dipakai, kemudian didapatkan sebagimana yang kini terjadi di kepulauan Timur tersebut, yakni, lewat perebusan getah dari palem gomuti (Borassus gomuti).

Gula dari tebu mula-mula dibawa ke Eropa oleh bangsa Arab, yang, seperti yang kami ketahui dari tawarikh Tiongkok, seringkali melewati Canpu, sebuah pelabuhan di teluk Hanchow, yang berjarak pendek dari selatan Shanghai. Dioscorides, yang hidup pada paruh awal abad pertama, nampak menjadi penulis terawal di Barat yang menyebutkannya. Ia menyebutnya lsaccharon, dan berujar bahwa itu “secara konsisten mirip dengan garam.” Pliny, yang hidup pada paruh akhir abad yang sama, kemudian menjelaskan barang yang terlihat di pasar-pasar Romawi pada masanya: “Saccharon adalah sebuah madu yang terbentuk pada rumput, putih seperti karet, yang menempel di bawah fifi, dan menjadi potongan besar seukuran serat.” (Buku xii., bab 8.)

Ini merupakan penjelasan semurna dari gula atau permen batu yang aku temukan pada pengolahan Tiongkok pada bagian selatan dan tengah Tiongkok pada perjalanan panjangku menjejaki kekaisaran tersebut, dan pada saat yang sama setidaknya tidak dalam pengolahan gula coklat tua yang dibuat di India.