Perjalanan di Kepulauan Hindia Timur/Bab 3

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

BAB III.

FLORA DAN FAUNA DARI TIMUR TROPIS.

15 Juni—Pada pukul 8 pagi, kami meninggalkan pelabuhan lepas pantai Surabaya, dan bergerak dari Selat Madura menuju Makassar, ibukota Sulawesi. Di sepanjang pesisir selatas, banyak desa nelayan, dan bambu yang membentang sejauh lima atau enam mil dari pesisir Jawa dan Madura, dan menunjukkan juga bagaimana kedangkalan air harus jauh dari daratan. Siangnya, tempat tersebut nyaris tenang, namun pergerakan kapal uap mensuplai udara yang menyenangkan. Pada siang hari, angin berhembus pada udara ringan dari timur. Siang itu, kami melintasi Pulo Kambing, sebuah pulau karang rendah kecil di lepas pantai selatan Madura. Di dekatnya, terdapat armada perahu nelayan kecil, yang masing-masing terdiri dari dua orang, yang hanya terlindungi dari terik matahari dengan topi dan pakaian tipis. Perahu dan kendaraan besar lainnya dari kejauhan sangat berdekatan, dan dihimpun dengan cadik.

Madura mendapatkan namanya dari legenda Hindu, yang menjadikannya berada dalam wujud setengah dewa, Baladewa. Tempat tersebut hanya memiliki rangkaian pegunungan, dan tempat melintas dari utara ke selatan. Sehingga, tempat tersebut juga tak berair, dan tak layak untuk menanam padi; dan banyak orangnya yang memutuskan untuk bermigrasi ke pesisir subur dekat Jawa. Pohon kopi ditanam di pulau tersebut, namun wilayah tersebut sangat teradaptasi untuk pasteurisasi sapi, yang mirip dengan kebiasaannya terhadap sapi mereka sendiri, dan tak pernah menjadikannya mira dan molase seperti halnya kerbau. Di pegunungan bagian barat Jawa, seekor spesies liar, banteng (Bos sondaicus), masih ditemukan. Hewan tersebut tak dianggap sebagai sumber sapi, namun perlintasan penyuburan yang dihasilkan dari keduanya, dan pembuahan perantara tersebut dikatakan menjadi suatu hal yang dipakai di Bali dan Lombok. Sapi ditemukan di seluruh pulau dan meliputi Timor, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku, dan diperkenalkan ke Filipina sejak penemuan mereka, dan kini hidup dalam keadaan liar di Luson, seperti halnya sapi pampas di Amerika Serikat, yang juga diturunkan dari pembuahan terdomestisasi yang diimpor oleh Spanyol.

Di ujung timur pulau tersebut, yang memiliki sejumlah besar garam yang didapatkan lewat penguapan air di “panci-panci,” atau wilayah kecil yang tertutup dengan galian rendah, seperti ladang padu. Barang tersebut juga dihasilkan dalam cara serupa di berbagai tempat di pantai utara Jawa dan pantai barat Luzon, provinsi Pangasinan. Pada umumnya, pesisir pulau di seluruh kepulauan tersebut terlalu tinggi, atau sangat rendah untuk membentuk wilayah berlumpur yang sebenarnya, yang banyak ditutup dengan pertumbuhan lebat tumbuhan bakau. Pada beberapa tempat di pantai selatan Jawa, air laut dituangkan ke pasir. Dan kala airnya telah menguap, proses tersebut diulang. Pasir kemudian dikumpulkan, dan air diisi padanya dan diuapkan lewat pemanasan buatan. Di Kalimantan, dan beberapa wilayah Filipina, tumbuhan laut dibakar, dan menjadikan abunya menguap untuk menciptakan garam yang timbul dalam residuum. Pada seluruh bagian pelosok, dan pegunungan, rumah-rumah dibangun untuk menyetornya, dan para pegawai dilantik untuk menyerahkannya kepada pribumi. Jumlah tahunan dihasilkan untuk pemerintah di seluruh beragam tempat memiliki berat sekitar 40.000 koyang, atau 80,000 ton; namun tak diperkenankan untuk diangkut dan dipakai sampai berusia lima tahun, dan suplai 200.000 koyang, atau 400.000 ton, kemudian tersimpan pada genggaman secara tetap. Barang tersebut didepositkan di rumah-rumah dagang pemerintah oleh orang-orang dengan sepertiga guilder per pikul. Barang tersebut kemudian diangkut dan dijual dengan laba besar oleh pemerintah, yang memonopoli lalu lintas bahan kebutuhan tersebut, dan menyimpan sebagian besar pendapatannya dengan cara tersebut.

Pada siang hari, kami bergerak menuju Pegunungan Tengger. Disana, terdapat “Laut Pasir” yang terkenal, sebuah hal aneh pada sebuah pulau yang diselimuti dengan vegetasi mewah sebagaimana di setiap tempat yang ada di Jawa. Untuk mencapainya, seseorang perlu mendaki gunung berapi tua pada ketinggian sekitar 7.500 kaki di atas permukaan laut, kala ia mendadak mendapati dirinya sendiri pada kawah tua berbentuk bulat panjang tak biasa, dengan poros kecil dari tiga setengah dari empat setengah mil. Ini adalah kawah terbesar di Jawa, dan salah satu kawah terbesar di dunia. Di, bagian bawahnya, terdapat lapisan pasir, yang di beberapa tempat terbawa oleh angin seperti laut, dan sehingga dinamai dalam bahasa Melayu dengan sebutan Laut Pasar, atau “Laut Pasir.” Dari lapisan pasir tersebut, timbul empat kerucut, tempat unsur letusan telah sukses meleutus pada suatu waktu, yang terbesar sekaligus tertua, dan gunung terkecilnya adalah gunung yang saat ini aktif yang disebut Bromo, atau Brama, dari kata Sanskerta Brama, dewa api. Posisi dan hubungan Bromo tersebut, dibandingkan dengan kawah sekitarnya, sepenuhnya mirip dengan kawah yang ada di antara Vesuvius dan Monte Somma. Dinding luar dari gunung lama tersebut berisi bebatuan lava, dan Dr. Junghuhn menduga riwayatnya adalah sebagai berikut: mula-mula, bebatuan tersebut terbentuk pada suatu masa; disusul oleh periode bebatuan lava, kemudian obsidian; keempat, obsidian dan bebatuan pumice; kelima, masa pasir, kala sejumlah besar pasir terbentang, dan pada saat ini, lapisan pasir terbentuk dengan kerucut yang timbul darinya; dan keenam, masa abu saat ini, yang hanya abu murni yang terlempar dari waktu ke waktu, dan uap dan asam sulfur timbul.

Deskripsi terawal dari kawah tersebut mewakilinya nyaris sebagaimana yang nampak pada saat ini; namun letusan besar, mirip dengan kejadian yang sempat terjadi, disaksikan oleh orang-orang Eropa sejak mereka pertama kali datang ke Jawa. Pada tahun 1772, gunung berapi Papandayang, yang berada dekat pantai selatan Jawa, berada di sekitar lintang timur 108°, menghimnpun sejumlah besar scoriæ dan abu, yang membuat Dr. Junghuhn berpikir lapisan ketebalan nyaris lima puluh kaki tersebar sepanjang wilayah dalam radius tujuh mil; dan sehingga seluruhnya terlempar dalam semalam. Empat puluh desa pribumi terkubur, dan sekitar tiga ribu jiwa tewas antara kejadian tunggal tersebut dan saat fajar. Dr. Horsfield, yang menggambarkan catatan fenomena mengerikan tersebut dari kisah para penduduk asli, dengan keliru menyatakan bahwa “sebuah keberadaan tanah, dari gunung dan lingkungannya, dengan panjang lima belas mil, dan luas enam mil penuh, dan lewat pergerakan tersebut menyelimutinya dalam perut bumi.”

Pada 8 Juli 1822, Gunung Galunggong, sebuah gunung berapi tua, yang hanya berjarak beberapa mil dari timur laut Papandayang, mengalami letusan yang jauh lebih mengerikan dan merusak. Pada siang pada hari itu, tak ada awan yang nampak di langit. Hewan-hewan liar berusaha mencari tempat bersahabat di pelosok utan; sekumpulan serangga beterbangan, dan tak ada suara yang terdengar pada wilayah yang sangat tertanam pada gunung tersebut, atau pada dataran kaya di sekitarnya, namun beberapa penduduk asli bergerak dengan kerbau tarikannya. Para penduduk asli, di bawah perlindungan gubuk mereka, menempatkan diri mereka sendiri dalam posisi bersiap, kala mendadak guntur besar terdengar di bumi; dan dari puncak gunung berapi tua tersebut, massa gelap mendalam nampak bergerak lebih tinggi dan lebih tinggi ke udara, dan menyebarkannya sendiri pada langit cerah dengan kecepatan yang dalam beberapa waktu menyelimuti pemandangan dalam kegelapan malam.

Walau kegelapan tebal menutupi gemuruh timbul dalam seratus jalur, dan banyak pribumi dengan cepat menuruni bumi akibat bebatuan yang jatuh dari langit. Kemudian, air panas dan lumpur mengalir timbul pada kawah lama, dan tumpah pada sisi-sisi gunung, menyapu pohon-pohon, hewan-hewan dan jasad-jasad manusia dalam wilayahnya yang terlihat. Pada saat yang sama, bebatuan, abu dan pasirtimbul pada ketinggian di udara, dan, kala berjatuhkan, menghanrukan nyaris setiap hal dalam radius lebih dari dua puluh mil. Beberapa desa, yang berada pada perbukitan tinggi di daerah rendah gunung, dengan aneh terhalau dari kehancuran di sekitarnya oleh aliran air panas dan lumpur mengalir, sementara sebagian besar bebatuan, abu dan pasir yang melintas sepenuhnya pada mereka, dan menghancurkan banyak desa yang lebih terpencil dari pusat letusan besar tersebut.

Gemuruh mula-mula terdengar pukul satu setengah jam. Pada pukul empat, kekerasan ekstrim dari letusan tersebut berlalu; pada pukul lima, langit mulai kembali bersih, dan matahari yang sama pada siang hari menyinari hidupku-memberikan langit atas pemandangan kaya, pada sore hari, pancaran sinarnya pada tempat yang sama kemudian berganti menjadi pemandangan kehancuran besar. Letusan kedua menyusul dalam lima hari, dan pada waktu itu, lebih dari dua puluh ribu orang telah kehilangan nyawa mereka.

Kala gunung dapat dipanjati, lembah besar ditemukan, yang dianggap oleh Dr. Junghuhn sebagai tiruan dari “Val del Bove” pada pinggiran Ætna, selain tekanan besar pada bahan-bahan bergerak yang tak dapat memiliki tembok indah semacam itu yang nampak di teluk dalam. Letusan tersebut lebih seperti letusan Papandayang, selain terdapat danau di bawah kawah yang mensuplai air panas dan lumpur, sementara seluruh material terlontar oleh gunung berapi tersebut berada dalam keadaan kering. Dalam cara yang sama, ini dianggap sebagai kawah besar dan “Laut Pasir” dari Pegunungan Tenger terbentuk pada zaman kuno. Pegunungan Tenger ditinggali sekelompok masyarakat, yang bertutur dialek Jawa, dan, disamping upaya dakwah dari para imam Muslim, masih mempertahankan agama Hindu kuno mereka.

Pada sore hari, kebakaran nampak di perbukitan dekat laut. Ini adalah terakhir kalinya kami menyaksikan Jawa, yang, walau hanya seperenam luas Kalimantan, dan sepertiga Sumatra, dari kejauhan merupakan pulau paling penting di kepulauan tersebut. Pulau tersebut berada pada Hindia Timur seperti halnya Kuba berada pada Hindia Barat. Di setiap tempat, terdapat jaringan pegunungan utama besar. Kedua pesisir Kuba berseberangan dengan wilayah perairan kecil, dan secara berkelanjutan berketinggian rendah dan berrawa sepanjang bermil-mil, namun di Jawa, hanya pantai utaranya yang berbatasan dengan laut kecil. Pesisirnya rendah, namun pantai selatannya, yang berbatasan dengan Samudra Hindia luas yang terbentang sampai wilayah Antarktika, berketinggian tinggi dan menonjol, sebuah pengecualian yang sejajar dengan aturan bahwa ketinggian tinggi berseberangan dengan samudra luas, atau, lebih tepatnya, wilayah tersebut berada di sepanjang perbatasan wilayah samudra dan tekanan terbesar dari permukaan bumi kami. Di Jawa, tempat pesisir berbatu, bebatuan tersebut mengandung basalt dan trakit vulkanik keras, yang berhadapan dengan gerak laut, dan garis pesisirnya sangat biasa; namun di Kuba terdapat bebatuan karang lunak, yang gelombangnya dengan cepat menyelimuti ratusan teluk dan wilayah terproyeksi kecil, dan pada peta, pulau tersebut memiliki perbatasan terhimpit. Pada struktur geologinya, Kuba, dengan poros utama bernuansa pemandangan mika, bebatuan granit, berisi ular, dan marmer, memiliki perbandingan yang lebih dekat dengan Sumatra; karena di Jawa, pegunungan, alih-alih terbentuk oleh ketinggian strata sebelum keberadaannya, sebenarnya berunsur scoriæ, abu, pasir, dan batu, seskali meletus, yang semuanya terhimpun pada hembusan terpisah dan menonjol. Luas Jawa berukuran sekitar 38.250 mil geografi persegi; sementara Kuba memiliki luas sekitar 45.000. Panjang Jawa berukuran 575 mil geografi atau 666 mil statuta; sementara Kuba berukuran 750 mil statuta. Namun, walau total penduduk Kuba diperkirakan hanya satu setengah juta, total populasi Jawa dan Madura saat ini (1865), menurut pernyataan resmi, 13.917.368. Pada 1755, usai lima belas tahun perang saudara, total populasi Jawa dan Madura hanya berjumlah 2.001.911. Kemudian, pada seabad kemudian, jumlahnya meningkat lebih dari enam kali lipat. Ini adalah salah satu dampak menguntungkan dari pemerintah yang dapat meredam pemberontakan dan seluruh perang internal, dan mendorong industri. Di Kuba, dengan total luas tiga puluh juta hektar, pulau tersebut diperkirakan, pada 1857, hanya berpenduduk 48.572 di bawah penanaman, atau, meliputi padang rumput, 218.161 hektar. Di Jawa dan Madura, pada tahun terakhir (1864), ladang penanaman dan penumpuhan pohon kacang kokoa meliputi luas 2.437.037 hektar. Di Kuba, dari 1853 sampai 1858, ekspor tahunannya berjumlah dari 27.000.000 sampai 32.000.000 dolar, dan impor dengan nilai yang nyari sama. Di Jawa, pada tahun terakhir, impor berjumlah sampai 66.846.412 guilder (26.738.565 dolar); dan ekspornya sejumlah 123.094.798 guilder (49.237.919 dolar). Pada 1864, dua puluh empat kapal datang dari Amerika Serikat, dengan kapasitas 12.610 ton, dan tiga berlayar ke negara kami, dengan kapasitas terpadu 2.258 ton.

Kedua pulau besar tersebut diselimuti hutan, dengan sejumlah besar kayu berharga. Pohon jati kokoh tersebar di Jawa, dari orang-orang Melayu dan Jawa yang menghimpun tiga ratus kapal yang mengepung Malaka, yang dua tahun setelahnya jatuh ke tangan Portugis. Seperti halnya bangsa Spanyol, antara 1724 dan 1796, membangun kayu dari hutan Kuba pada armada yang berjumlah seratus empat belas kapal, mengangkut lebih dari empat ribu meriam. Dari hutan Kuba mendatangkan kayu berharga yang kokoh, dan mahoni indah. Hutan tersebut tak berisi hewan liar yang lebih besar ketimbang anjing, namun di Jawa berisi dengan lembu liar, harimau, satu spesies besar dan dua spesies kecil macan tutul, badak-badak, dua spesies babi liar, dan lima spesies musang. Dua hewan yang disebutkan terakhir menghasilkan wewangian; dan salah satunya,Viverra musanga, yang seukuran kucing, juga ditemukan di Filipina. Enam spesies risa ditemukan di pulau tersebut, dan dua diantaranya, Cervus rufa dan Cervus mantjac, terkadang dijinakkan. Gajah tak ditemukan di Jawa, meskipun hewan tersebut hidup di Sumatra, Kalimantan, dan semenanjung. Selain itu, kuda liar Sumatra atau Sulawesi tak ada di Jawa.

Salah satu unggas paling menonjol di Jawa adalah spesies merak indah, Pavo spicifer. Hewan tersebut muncul di hadapanku di beberapa tempat di sepanjang pantai selatan. Para penduduk asli membuat pegangan rokok yang sangat indah dari garis-garis murni dari bulunya. Di Sumatra, hewan tersebut tak ditemukan, namun diwakili oleh spesies asing. Dari merpati, Jawa tak memiliki kurang dari sepuluh spesies. Unggas berkaki jaring tersebut berjumlah sangat sedikit dalam hal spesies dan jumlah. Bebek, itik dan dua pelikan, dikatakan terhimpun pada seluruh jumlah. Kuntul besar telah tercatat, dan disamping itu, sepuluh spesies lain dijelaskan. Salah satu unggas terkecil di Jawa, dan bahkan mungkin paling berpengaruh dari sejumlah besarnya, adalah penyantap padi, Fringilla oryzivora, sebuah jenis burung pipit. Sekelompok unggas tersebut secara berkelanjutan mengganggu orang-orang Melayu kala padi nyaris tumbuh. Penduduk asli memiliki cara yang sangat sederhana dan efektif untuk menjauhkan mereka. Di tengah-tengah ladang, sebuah hubuk bambu kecil, yang layak untuk disinggahi pemukimnya dari hujan dan terik matahari, ditempatkan pada bagian atas kolam di atas petak sawah. Setiap sekitaran ladang menempati barisan petak tinggi nan fleksibel, yang terhubung bersama oleh jaring. Banyak haring terradiasi dari petak semacam itu terbentang dari rumah ke wilayah di sepanjang perbatasan, dan anak-anak atau orang tua yang menyaksikannya telah menarik set jaring tersebut dalam rangka menjauhkan burung-burung dari bagian manapun dari sawah tersebut.Terdapat tujuh spesies burung hantu, dan kala mendapati salah satunya terdengar di rumah manapun, banyak penduduk asli meyakini bahwa penyakit atau beberapa kesialan lain akan datang ke penduduk hunian tersebut. Dari elang dan falkon, atau burung layang-layang, tersebut delapan spesies. Salah satu burung layang-layang sangat menonjol di seluruh tempat berlabuh, dan gemar untuk menyoroti suara perahu tempat para pelaut bekerja. kala hewan tersebut menangkap mengsanya dengan cengkeraman panjangnya, hewan tersebut tak terbang menjauh ke tempat lain untuk menyantap mangsa lezat tersebut di sarangnya, seperti kebanyakan burung pemangsa, namun dengan sangat ganas mencabik-cabiknya menjadi potongan dengan paruhnya dan menelannya secara perlahan kala terbang di tengah-tengah udara.

Kala kami mulai menguji flora mewah dari kepulauan tropis tersebut, nyaris pohon pertama yang kami soroti di pesisir adalah pohon kacang kokoa yang tinggi. Terkadang, ini ditemukan di daerah kecil, jauh dari jangkauan manusia, alih-alih diperlakukan lewat perawatannya, tumbuhan tersebut seringkali tumbuh besar sendiri, dan kemudian mengundangnya untuk mengambil manfaat pada bijinya, dengan menawarkannya bauh untuk makanan pada saat yang sama, dan dedaunannya dipakai sebagai satu-satunya jenis gubuk yang ia pikir diperlukan pada iklim tropis yang tak berubah.

Kala berdiri di sepanjang pesisir, tumbuhan tersebut mengarah pada induknya, laut, karena gelombang mendatangkan kacang tersebut dari ombak, dan kini sepenuhnya tumbuh, tumbuhan tersebut ditujukan untuk menghimpun tugas untuk dikembalikan ke leluhurnya dengan ditempatkan pada pesisir dan jatuh ke wilayah kaya dari belahan samudra yang membawa buah emasnya. Disana, dengan lapisan tebak yang tertutup dengan kulit tahan air, biji hidup tersebut dengan aman mengambang pada laut yang tenang dan bergelombang, sampai nuansa bersahabat membawanya pada pantai yang jauh. Matahari hangat kemudian dengan cepat memperkenankannya untuk menempatkan akarnya pada tanah karang dan serpihan kerang, dan dalam beberapa tahun, tumbuhan tersebut juga nampak menghimpun keberadaannya pada gelombang putih, yang pada sorotan matahari di tempat manapun membentuk belahan dari samudra biru dalam.

Kala kacang tersebut berusia muda, cangkangnya lunak dan tak terpisahkan dari isinya. Pada jangka pendek, tumbuhan tersebut berubah dari hijau pucat menjadi kuning muda. Cangkangnya kini terbentuk, dan bagian dalamnya menjadi lapisan tipis, sehingga dapat dipotong dengan sendok. Penduduk asli kini menyebutnya kelapa muda, atau kacang kokoa muda, dan mereka jarang menyantangnya kecuali pada keadaan tersebut. Kala tumbuhan tersebut bertumbuh tua, bagian luarnya menjadi berwarna kayu, bagian dalamnya mengering dan cangkangnya keras dan dikelilingi pada bagian dalam dengan lapisan tebal, kuat, berminyak dan sangat keras, yang lebih dikenal sebagai “daging” biji. Ini adalah kondisi yang dibawa pada pasar-pasar kami, namun orang-orang Melayu menghiraukannya atau tak pernah berpikir untuk menyantapnya pada kondisi tersebut, dan hanya menghargainya untuk minyaknya. Untuk menerimanya, kacang tersebut dipecah, dan dagingnya diambil dengan pisau. Bijinya kemudian direbus pada panci besar, kala minyaknya dipisahkan, mengambang di atas, dan terkelupas. Minyaknya nyaris menjadi satu-satunya bahan yang dibuat untuk penyinaran di Timur, tempat yang sangat jauh dari penyinaran yang dibiarkan terbakar, dalam proporsi untuk penduduk asli, alih-alih wilayah hangat mereka sendiri, tidak pada sore musim dingin lama kami, ini menjadi kebiasaan disini agar setiap orang menyinari rumahnya dan veranda dengan sangat brilian pada setiap sore; dan, jika ada acara khusus, barisan penerangan harus ditempatkan di sepanjang lahannya.

Penduduk asli juga menghimpun penyimpanan semacam itu. Penerangan umum yang mereka miliki untuk membakar minyak kacang kokoa hanyalah sekadar tempat kaca. Tempat tersebut sebagian diisi dengan air, sejumlah kecil minyak kemudian dituangkan, dan kala mengambang, dua unsur kecil mendukung potongan dalam posisi vertikal untuk penggunaan. Kala minyak tersebut mula-mula dibuat, bahan tersebut memiliki rasa manis yang kaya, namun dalam iklim hangat semaccam itu, bahan tersebut kemudian menjadi sangat rancu, dan yang dipakai untuk memasak tak harus berusia melebihi dua atau tiga hari. Air yang sejuk dan bersih yang mengandung kacang muda menjadi minuman paling menyegarkan di iklim hangat tersebut, yang sangat layak, seturut rasaku, untuk air berlumpur hangat yang biasanya ditemukan di seluruh dataran rendah pada wilayah tropis. Secara khusus, bahan tersebut dapat diapresiasi kala, dengan matahari membakar pada pulau karang rendah, ia lama pada pengeringan tunggal dari arus dingin berpercikan pada perbukitan Inggris Baru aslinya. Ia melirik di sekitarnya dan menyadari bahwa ia dikelilingi oleh perairan garam samudra—yang kala itu geklap, menggerakkan keinginannya, mendaki gelombang lunak dari palem menghanyutkan, dan mengirimkan, secara nampak dari langit, sebuah nektar enak yang dibutuhkan untuk dewa-dewi.

Pohon tersebut memiliki pengaruh pada penduduk asli kala para pegawai Belanda mewajibkan penyertaannya secara nyaris memungkinkan pada sejumlah dari mereka di beberapa daerah. Pada 1861, nyaris dua puluh juta pohon tersebut berada di Jawa dan Madura, atau melebihi tiga dari setiap dua penduduk asli.

Di dekat kacang kokoa, tumbuhlah Pandanus, atau “pinus kunyah,” yang secara benar dideskripsikan sebagai tumbuhan dengan cabang di kedua ujung. Terdapat dua spesies yang banyak tersebar di belahan kepulauan tersebut. Bebungaannya, P. odoratissimus, sangat indah dan dihargai tunggi di kalangan orang Melayu. Di beberapa tempat, wadah dan keranjang terbuat dari dedaunannya. Buah kayunya berbentuk bundar, dengan diameter dari empat sampai enam inchi, dan permukaannya terbagi dengan presisi geometri lewat proyeksi bentuk piramida atau berlian yang lancip.

Di dataran rendah, di balik pesisir, tempat tanah kaya akan tumbuhan, terdapat pepohonan pisang. Tak seperti pohon kacang kokoa, tumbuhan itu nampak sendiri kala tak ditanami oleh tangan manusia. Sehingga, penjelajah yang mengamati perjalanan panjangnya melalui hutan yang nyaris tak terlalui, terhimpun dengan dedaunan panjang hijau yang berjatuhan dari pohon tersebut. Ia mengetahui bahwa ia berada dekat beberapa gubuk penduduk asli tempat ia dapat menemukan tempat teduh dari matahari hangat, dan melepaskan dahaganya dengan air kacang kokoa, dan melepaskan rasa laparnya dengan pisang dan nasi tanak, sebuah hidangan khas dan sederhana. Pada luar bagian tengah, dedaunan berguguran bergantungan pada bagian atas batang utamanya, dan buahnya berkurang ukurannya sampai ujungnya. Beberapa buah di dekat pangkal berubah dari hijau tua menjadi kuning emas cerah. Orang-orang memanfaatkannya menjadi sari buah nimkat, dan meleleh di mulutmu seperti krim rasa lezat. Pisang semacam itu dapat dijual di pasar-pasar kami dalam jumlah besar, dan rasanya sangatlah seperti buah pada tempat asalnya di wilayah tropis, atau setidaknya di kepulauan Hindia Timur, yang disajikan untuk mengingkatkan seseorang terhadap apa yang ia sertakan untuk dinikmati. Jumlah ragam pisang dan perbedaan di antara mereka sebanyak apel di wilayah kami sendiri.

Para botanis menyebut pohon tersebut dengan sebutan Musa paradisiaca, karena buahnya terus bertubuh sepanjang tahun, dan merupakan bahan pangan umum, yang tumbuh pada “pohon yang mengeluarkan buahnya setiap bulan,” dan yang “dedaunannya dipakai untuk penyembuhan bangsa-bangsa.”

Di samping tumbuhan tersebut, terdapat juga di dataran rendah Aroideæ, Amaranthaceæ, papilionaceous atau tumbuhan polong-polongan, dan Euphorbiaceæ yang beracun. Papaw (Carica papaya) bertumbuhan di sebagian besar wilayah. Penduduk asli baisanya menanamnya, dan aku mendapati buahnya yang sanagt menarik, namun orang-orang Eropa di Timur umum menganggapnya buah umum atau hidangan biasa yang ditempatkan di meja. Ini secara terbukti diperkenalkan oleh Portugis dan Spanyol dari Hindia Barat, dan nama Melayu papaya berasal dari kata Spanyol, papayo.

Pada ketinggian seribu kaki, pakis-pakis nampak dalam jumlah yang sangat besar, dan disini juga bambu berguna tumbuh melimpah, walaupun didapati pada seluruh jalan menuju permukaan laut. Secara praktikal, ini adalah pohon, namun secara botani, ini adalah rumput, walau terkadang memiliki tinggi tujuh puluh atau delapan puluh kaki. Tumbuhan tersebut dipakai oleh penduduk asli untuk tembok gubuk mereka. Untuk keperluan tersebut, tumbuhan tersebut dipotong terbuka dan ditekan sampai datar, dan potongan perpendikular dan horizonatal lainnya menempatkannya di tempat. Tumbuhan tersebut juga dipakai untuk tiang kapal, pegangan tombak, keranjang, kaapl dari segala jenis, dan untuk banyak barang kebutuhan lain, yang nyaris nampak tak terpisahkan untuk mereka. Permukaan luarnya menjadi sangat keras kala sebagian dibakar, agar menjadikannya tajam, nyaris memotong tepi, dan senjata-senjata pribumi diyakini semuanya dibuat dengan cara ini sebelum pengenalan besi. Pada saat ini, batang yang ditajamkan, ranjau, dari jenis tersebut ditempatkan pada tanah di rumput tinggi sekitaran ladang atau taman, sehingga penduduk asli manapun dengan kaki telanjang (kecuali pemilik) akan menombak dirinya dalam upaya pemastian. Aku melihat satu orang, di pulau Bum, yang menerima luka tusuk dengan cara ini.

Di atas seribu kaki, palem, pisang dan tumbuhan papilionaceous menjadi lebih sedikit, dan digantikan oleh ara atau waringin, yang, dengan cabang panjang dan puncak tingginya, bersaing dengan palem besar pada pesisir laut. Liquidambar juga menyertai ara. Tumbuhan Orchidaceous dari bentuk paling menakjubkan yang nampak pada pohon hutan, dan memperkenankan mereka untuk mendekat, agar mereka melirik bagian-bagian dari mereka. Disini, pakis-pakis juga nampak dalam ragam yang banyak. Loranthaceæ dan Melanostomaceæ ditemukan di kawasan tersebut. Di kawasan tersebut, terdapat pohon kayu kapas yang indah. Batangnya sendiri berdiamater lebih dari sepuluh atau dua belas inchi, dan memiliki tinggi sekitar tiga puluh kaki. Semaknya berwarna hijau zaitun muda, dan bersifat lembut dan halus. Pohon-pohon berdiri di bagian kanan, dan kala dipisahkan oleh sebuah ruang, bagian terbuka mereka berada dalam kontras yang kuat dengan hutan pelosok yang gelap yang biasanya kami jelajahi. Pohon-pohon tersebut juga berada di tepi sungai. Di Jawa, pohon-pohon tersebut sering dipakai sebagai pos telegraf—sebuah keperluan yang diadaptasi mereka pada catatan reguleritas mereka. Disamping itu, hal apapun selain pos hidup akan dengan cepat diterima di wilayah tropis tersebut. Buahnya melimpah, dan kandungan seratnya tinggi seperti kapas. Aku mendapatnya sangat sesuai untuk patukan burung-burung.

Di kawasan tersebut, ara timbul pada oak dan pohon salam. Tumbuhan Orchidaceous dan melastomas sangat melimpah disini.

Di atas lima atau enam ribu kaki, terdapat Rubiaceæ, semak dan pohon berbentuk kerucut; dan dari kawasan tersebut, kami melintasi tempat pakis-pakis kecil tersebar, dan kerak dan lumut menutupi bebatuan dan tergantung di pohon-pohon. Wilayah tropsi tersebut kini menyelimuti kami, dan kami berada pada kawasan sedang.

Puncak dari seluruh gunung berapi tersebut masih dalam keadaan meletus yang biasanya sering terjadi; dan di bagian lain, sebanyak banyak sejumlah sulfur yang dihasilkan oleh mereka membasuhi sisi-sisi mereka oleh hujan yang seringkali dihancurkan tumbuhan untuk beberapa jarak di bawah puncak mereka.

Salah satu hak besar dari hunian di kawasan tropis adalah menikmati buah lezat dari wilayah tersebut dengan seluruh kesempurnaan mereka. Dari seluruh buah-buahan tersebut, dalam pendapatku, manggis tanpa dipertanyakan berada pada peringkat pertama. Pohon tersebut, Garcinia, nyaris seukuran dengan pohon pir. Nama Melayunya adalah manggusta, seperti kami sendiri, namun lebih umum dikenal di kepulauan tersebut dengan nama Jawa manggis. Buah tersebut tersebar di sebagian besar kepulauan tersebut dari pesisir selaan Jawa sampai Mindanao, ujung selatan Filipina. Di kawasan tersebut, buah tersebut juga menyebar sampai sejauh Semenanjung Malaka di Bangkok, Siam, dan di pelosok sampai 16° N., namun di pantai teluk Bengal hanya sampai 14° N. Upaya untuk mengenalkannya ke India mengalami kegagalan, namun buah tersebut terkadang dikirim dari Singapura setelah buah tersebut dibalut dengan lilin untuk tertutup dari udara. Di Ceylon, buah tersebut hanya sebagian yang sukses ditanam. Seluruh percobaan untuk menumbuhkannya di Hindia Barat mengalami kegagalan, sehingga, buah terbaik dari seluruh buah tropis, tak pernah nampak di wilayah kami. Bentangan geografi terbatasnya lebih menonjol, karena buah tersebut seringkali nampak di kepulauan Hindia Timur pada segala jenis tanah, dan terdapat alasan untuk menganggap bahwa buah tersebut diperkenalkan ke Filipina pada masa belakangan, karena pada 1685, Dampier tak menyebutnya di Mindanao. Buah tersebut berbentuk bulat, dan berwarna coklat kemerahan. Bagian luarnya tebal, menutupi bagian tengah yang berwarna putih berdiamter satu inchi atau lebih. Buah tersebut terbagi dalam empat atau lima bagian, masing-masing biasanya mengandung biji kecil. Bagian putihnya memiliki rasa yang sangat manis, dan kaya akan rasa lewat, yang sepenuhnya terhimpun pada dirinya. Buah tersebut mungkin memiliki rasa lebih seperti bagian dalam putih dari checkerberry yang sangat manis ketimbang buah lain di wilayah sedang kami. Kulit tebalnya dikeringkali oleh penduduk asli dan dipakai untuk astringent.

Banyak buah mengklaim tempat kedua dalam skala tersebut. Beberapa orang Eropa akan menempatkan rambutan setelah manggis, dan lainnya menyebut mangga atau duku. Rambutan (Nephelium lappaceum) nyaris sebesar pohon apel. Buah tersebut berbentuk bulat, dan berdiameter satu inchi atau satu setengah inchi. Bagian luarnya berwarna merah terang, dihias dengan bulu-buluan. Dengan buah semi-transparan, dengan rasa yang sangat asam, menutupi biji. Pohon tersebut, seperti durian dan manggis, sepenuhnya tersebar pada kepulauan tersebut, dan buah asamnya lebih segar di wilayah hangat. Di Batavia, buah tersebut panen pada Februari dan Maret, dalam jumlah besar nyaris berjejer di jalanan di bagian pasar dari kota tersebut, dan perahu-perahu kecil nampak terisi dengan buah berwarna stroberi cerah tersebut.

The mango-tree (Mangifera indica) is a large, thickly-branching tree, with bright-green leaves. Its fruit is of an elliptical form, and contains a flat stone of the same shape. Before it is ripe it is so keenly acid, that it needs only to be preserved in salt water to be a nice pickle for the table, especially with the[90] universal curry. As it ripens, the interior changes from green to white, and then to a bright yellow. A tough outer skin being removed, there is seen a soft, almost pulpy, but somewhat fibrous mass within. Some of these fruits are extremely rich, and quite aromatic, while others have a sharp smack of turpentine. They even vary greatly in two localities, which may be but a few miles apart. Rumphius informs us that it was introduced into the moluccas by the Dutch in 1655. It has also been introduced into Zanzibar and Madagascar. When the Spaniards first visited the Philippines it was not noticed, but now it is very common in those islands, and considerable quantities of it are shipped to China, where I was frequently assured it was very delicious; but those who have tasted this or any other tropical fruit from only one locality are by no means competent judges. At Singapore I found some very nice ones that had been brought down from Siam. It also flourishes in India, and Mr. Crawfurd thinks, from the fact that the Malay and Javanese names are evidently only corruptions of the old Sanscrit, that it was originally brought into the archipelago from the continent, and should not be regarded as indigenous.

The duku is another highly-esteemed fruit. The tree is tall, and bears a loose foliage. From its trunk and limbs little branchlets grow out, bearing in long clusters the fruit, which is about the size of a robin’s egg. The outer coating of this fruit is thin and leathery, and of a dull-yellow color. This contains several long seeds, surrounded by a transparent pulp, which is sweet or pleasantly acid. The seeds themselves[91] are intensely bitter. The natives, however, invariably prefer the durian to all other fruits. The Durio zibethinus is a very large tree. Its fruit is spherical in form, six or eight inches in diameter, and generally covered with many sharply-pointed tubercles. This exterior is a hard shell. Within it is divided into several parts. On breaking the shell, a seed, as large as a chestnut, is found in each division, surrounded by a pale-yellow substance of the consistency of thick cream, and having an odor of putrid animal matter, so strong that a single fruit is enough to infect the air in a large house. In the season for this fruit the whole atmosphere in the native villages is filled with this detestable odor. The taste of this soft, salvy, half-clotted substance is well described by Mr. Crawfurd as like “fresh cream and filberts.” It seems paradoxical to state that the same substance may violate a man’s sense of smell, and yet gratify his sense of taste at the same time, but the natives certainly are most passionately fond of it, and I once met a foreigner who assured me that when he had once smelled this fruit he could never be satisfied till he had eaten some of it. Its simple odor is generally quite enough for all Europeans. It thrives well in Sumatra, Java, the Spice Islands, and Celebes, and is found as far north as Mindanao. On the continent forests of it exist on the Malay Peninsula, and it is successfully raised as far north in Siam as the thirteenth or fourteenth parallel. On the coast of the Bay of Bengal it is grown as far north as Tenasserim, in Lat. 14° N. It flourishes well on all the kinds of soils in this area, but all attempts have failed to introduce it into India and also into the West Indies. Its Malay name durian comes from duri, a thorn, and is thus applied on account of the sharp, thorny points of the pyramidal tubercles that cover its shell. The fact, that the Malay name is the one used wherever the fruit is known, indicates that it originated in a Malay country, and this view is strengthened by the circumstance that, while I was crossing Sumatra, I passed through large forests mostly composed of these trees in the high lands near the sources of the Palembang River.

Another far-famed fruit is the bread-fruit. It grows on a tree, the Artocarpus incisa, which attains a height of forty or fifty feet. It will be noticed at once by the stranger, on account of its enormous, sharply-lobed leaves, which are frequently a foot wide and a foot and a half long. The fruit has nearly the form of a melon, and is attached by its stem directly to the trunk or limbs. It is regarded of little value by the Malays, but farther east, in the Society Islands, and other parts of the South Sea, it furnishes the natives with their chief sustenance. Just before it is ripe it is cut into slices and fried, and eaten with a thick, black molasses, obtained by boiling down the sap of the gomuti-palm. When prepared in this manner it tastes somewhat like a potato, except that it is very fibrous. The seeds of this fruit in the South Sea are said, when roasted, to be as nice as chestnuts, but I never saw the Malays make any use of them. From the Pacific Islands it has been introduced into the West Indies and tropical America. Another species of this genus, the A. integrifolia, bears the huge[93] “jack-fruit,” which very closely resembles the bread-fruit. Sometimes it attains a weight of nearly seventy-five pounds, so that one is a good load for a coolie. The only part which the natives eat is a sweet, pulpy substance enveloping each seed.

June 16th.—This morning the gigantic mountain on Bali, Gunung Agung, or “The Great Mountain,” towered up abeam of us against the southern sky. According to Mr. Crawford it attains an elevation of twelve thousand three hundred and seventy-nine feet, or four hundred and thirty-three feet higher than the far-famed Peak of Teneriffe.

These mountains are only a continuation of the chain which traverses Java, and Bali may be regarded as almost a part of Java, as it has quite the same flora and fauna, and is only separated from that island by a narrow strait. Here the Asiatic fauna of Sumatra, Borneo, and Java reaches its most eastern boundary. On Lombok, the next island eastward, a wholly different fauna is seen, having well-marked affinities with that of Australia. According to the traditions of the Javanese, Sumatra, Java, Bali, Lombok, and Sumbawa, were all formerly united, and afterward separated into nine different parts, and when three thousand rainy reasons shall have passed away they will be reunited. The dates of these separations are given as follows:

Palembang (the eastern end of Sumatra) from Java, A. D. 1192.

Bali from Balembangan (the eastern end of Java), A. D. 1282.

Lombok from Sumbawa, A. D. 1350.

All these dates are absurdly recent, and besides, the separations, in all probability, did not occur in the order given above. When we compare the fauna of the continent with that of Sumatra, Java, and Borneo, we find that Sumatra has the greatest number of species identical with those of the Peninsula of Malacca; that Borneo has a somewhat less proportion, and that Java has the largest number peculiar to itself. Thence we conclude that Java was the first of these islands that was separated from the continent, that Borneo was next detached, and Sumatra at the latest period. Bali was probably separated from Java at a yet more recent date.

Mr. Sclater was the first to notice the fact that the dividing line between the Asiatic fauna and that of Australia must be drawn down the Strait of Macassar, and this observation has only been confirmed by all who have collected in those regions since. Mr. A. R. Wallace further ascertained that this line should be continued southward, through the Strait of Lombok, between the island of that name and Bali. He visited the latter island, and thus contrasts its birds with those of Lombok: “In Bali we have barbets, fruit-thrushes, and woodpeckers; on passing over to Lombok these are seen no more, but we have an abundance of cockatoos, honeysuckers, and brush-turkeys (Megapodiidæ), which are equally unknown in Bali, and every island farther west. The strait here is but fifteen miles wide, so that we may pass in two hours from one great division of the earth to another, differing as essentially in their animal life as Europe does from America.”

The royal tiger of Sumatra and Java is also found on that part of Bali nearest Java, but neither this nor any other feline animal exists on Lombok.

Monkeys, squirrels, civets, and others are seen west of this dividing line, but not east of it. Wild hogs are distributed over all the larger islands from Sumatra to New Guinea, and even occur as far eastward as Ceram. The flora of these islands is not divided in this manner, but maintains quite the same character from the northern end of Timur to the eastern end of Java.

In 1845 Mr. Earl pointed out the fact that Java, Sumatra, and Borneo, all stand on a plateau which is only covered by a shallow sea. They therefore not only were formerly connected, as the similarity of their faunæ shows, but are at the present day, and a line on the map, which indicates where the sea reaches a depth of one hundred fathoms, shows exactly where the great basins of the Pacific and Indian Oceans really begin. Northward this line unites the Philippines to Asia, and also proves that Formosa, the Lew-Chew and Japanese Islands, and the Kuriles, are all parts of the same great continent. Judging from what is known of their fauna, Mr. Wallace thinks the separation of the Philippines from the continent occurred before that of Java, and since that epoch they have undergone very considerable changes in their physical geography.

In 1478, when the Hindu religion was driven out of Java, it took refuge in Bali, where it exists to the present day. The natives here, as in India, are divided into four castes. The first and highest[96] includes only the priests; the second, the soldiers; the third, the merchants; and the fourth, and lowest, comprises the common laborers. According to Mr. Crawford, who visited the island, the wives of the soldiers frequently sacrifice themselves by stabbing with the kris, and the body is afterward burned, and “with the princes, the sacrifice of one or two women is indispensable.” The high mountains on Bali contain a number of lakes or tarns, which supply many streams, and the natives are thus enabled to irrigate their land so completely, that about twenty thousand tons of rice are annually exported to other parts of the archipelago, after a population of nearly three-quarters of a million is supplied. In 1861 Java had only a population of three hundred and twenty-five to a square mile, while Bali was supposed to have nearly five hundred, and it is probably the most densely populated island in these seas at the present time.

The Hindu religion also prevails over a part of Lombok. On this island a huge mountain rises up, according to the trigonometrical measurements of Baron van Carnbée, to a height of twelve thousand three hundred and sixty English feet, and probably overtops every other lofty peak in the whole archipelago.