Lompat ke isi

Perjuangan Putri Suluk

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Perjuangan Putri Suluk

Achmad Solehan

Siang itu cuaca benar-benaar tidak bersahabat. Sejak pagi matahari telah enggan menampakkan wajahnya. Angin pun bertiup dengan kencang. Keadaan itu merisaukan tiga orang yang sedang mengarungi Laut Jawa. Perahu mereka tampak menjadi permainan ombak yang semakin besar. Tampak berdiri di atas perahu seorang gadis cantik. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih bersih. Rambutnya yang panjang tampak acak-acakan karena menjadi permainan angin. Dia memandang laut lepas sambil berucap.

“Tampaknya akan terjadi hujan dan gelombang besar, Paman.”

Seroang paruh baya yang semula duduk, kemudian berdiri di samping gadis tersebut, "Kau benar Siti Kuliyah, kita berdoa saja semoga kita diberi keselamatan oleh Allah."

“Bagaimana kalau kita berlabuh dulu di pulau terdekat Paman," kata pemuda yang tiduran di sebelah mereka.

“Usulmu bagus, Abu Alim . Kita coba cari pulau terdekat," kata Siti Kuliyah.

Belum lama mereka berbincang-bincang, tiba-tiba dirasakan hantaman gelombang yang sangat keras, diikuti petir menyambar. Hujan turun dengan derasnya. Angin bertiup semakin kencang . Perahu yang mereka tumpangi terombang-ambing tak tentu arah. Mereka hanya bisa berdoa memohon keselamatan kepada Allah. Keadaan tersebut berlangsung cukup lama.

Setelah hujan reda, mereka ternyata terdampar di Pantai Lasem.

“Bagaimana Paman, rencana kita berguru di Ampel?" tanya Siti Kuliyah kepada Paman Sukowati.

“Kita tetap ke sana, tetapi melalui jalan darat saja," jawab Sukowati.

Mereka memutuskan melanjutkan perjalanan melalui darat. Dengan tanpa mengenal Ieiah mereka terus berjalan ke arah timur. Sampai pada suatu hari mereka tiba di suatu desa yang bernama Desa Sringin. Setelah melihat keadaan alamnya yang indah, masyarakatnya yang ramah tamah, Siti Kuliyah memutuskan untuk menetap sementara di Desa Sringin. Untuk memenuhi tatakrama, mereka bertiga mohon izin kepada sesepuh desa yang bernama Mbah Brawut.

“Selamat datang Kisanak," sapa Mbah Brawut, "Kisanak ini dari mana? Dan mau ke mana?"

“Selamat siang Mbah. Kami bertiga berasal dari Kerajaan Samudra Pasai. Saya Siti Kuliyah, ini adik saya Abu Alim, dan ini Paman Sukowati. Rencananya kami akan menemui Sunan Ampel untuk berguru, tetapi perahu kami terseret ombak sehingga kami terdampar di Lasem. Akhirnya, sampailah kami di sini Mbah."

“Kalau diizinkan kami akan menetap di sini untuk sementara waktu, Mbah," Abu Alim menimpali.

“O begitu," Mbah Brawut terdiam beberapa saat. "Baiklah. Saya tidak keberatan Kisanak bertiga menetap di sini. Kebetulan aku tinggal sendirian. Kalian tinggal di gubukku.”

Begitulah, sejak saat itu mereka bertiga tinggal di rumah Mbah Brawut. Mereka sudah dianggap seperti anak sendiri. Siti Kuliyah dan adiknya pandai bergaul. Dalam waktu singkat masyarakat Desa Sringin sudah menganggap mereka sebagai bagian dari warga desa. Mbah Brawut merasa senang sekali dengan kedatangan Siti Kuliyah dan adiknya. Ketiganya dijadikan keluarga dan membantu kegiatan sehari-hari. Sejak itu Mbah Brawut dipanggil Ki Tompo karena telah nompo (menerima) tiga orang asing.

Pada suatu hari Siti Kuliyah dengan hati-hati mengungkapkan isi hatinya kepada Ki Tompo.

“Mbah, sebelumnya kami mohon maaf kalau apa yang kami sampaikan membuat Mbah tersinggung."

“Ada apa Nak Kuliyah? Kelihatannya serius sekali."

“Begini Mbah, kami tahu bahwa penduduk Sringin adalah pemeluk agama Budha yang taat, tetapi kami sebagai seorang muslim berkewajiban untuk menyampaikan ajaran kami. Kalau Mbah Tompo memberi izin, kami akan mengajarkan ajaran kami, yaitu agama Islam kepada masyarakat Sringin yang mau.”

Ki Tompo kaget mendengar ucapan Siti Kuliyah. Dia tidak menduga kalau tamunya akan menyampaikan hal tersebut. Setelah merenung sejenak, Ki Tompo menjawab, "Silakan Nak Kuliyah, tetapi saya harap jangan dengan paksaan. Masyarakat di sini tidak suka dipaksa.”

"Terima kasih Mbah," sambut Siti Kuliyah dengan senang.

Mulai saat itu Siti Kuliyah, Abu Alim, dan pamannya mengajarkan ajaran yang masih baru bagi masyarakat Sringin. Ajaran Islam yang berpaham sulukan (tasawuf/tarekat). Rupanya masyarakat menyambut gembira ajaran baru tersebut. Dalam waktu yang tidak terlalu lama hampir seluruh masyarakat Sringin telah memeluk agama Islam. Sebuah masjid telah berdiri di tengah desa. Tiap hari dikunjungi masyarakat baik dari Desa Sringin maupun dari lurah desa untuk mengaji dan mendengarkan wejangan-wejangan dari Siti Kuliyah dan Abu Alim.

Perkembangan ajaran agama baru tersebut luar biasa cepatnya. Masyarakat dari Desa Sringin dan sekitarnya sebagian besar sudah mengikuti ajaran yang dibawa Siti Kuliyah. Atas desakan dari para pengikutnya, Siti Kuliyah diangkat menjadi pemimpin mereka. Masyarakat Sringin dan sekitarnya menginginkan adanya sebuah kerajaan. Akhirnya, sebuah kerajaan baru pun berdiri dengan Ratu Siti Kuliyah. Setelah menjadi ratu, Siti Kuliyah bergelar Putri Suluk. Kerajaan yang dipimpinnya bernama Kerajaan Suluke. Untuk mempermudah ucapan, orangorang menyebutnya dengan Sluke. Abu Alim diangkat menjadi panglima perang, sedangkan Sukowati dijadikan patih.

Setelah resmi menjadi seorang ratu, Putri Suluk semakin giat menyebarkan agama Islam. Wilayahnya semakin luas. Ternyata niat luhur tersebut tidak dapat diterima oleh semua masyarakat. Ada sekelompok masyarakat yang tidak menyukai berkembangnya agama baru di wilayahnya. Dengan sembunyi-sembunyi sekelompok orang tersebut kemudian melaporkan keberadaan kerajaan Sluke dengan ratunya yang cantik jelita beserta ajaran agama yang baru kepada Prabu Brawijaya.

Setelah mendengar informasi tersebut, Prabu Brawijaya menyuruh Patih Mangkubumi untuk memastikan keberadaan berita tersebut. Tidak lupa Patih Mangkubumi disuruh memboyong Putri Suluk untuk dijadikan selir di Majapahit.

Patih Mangkubumi dengan ditemani prajurit secukupnya berangkat ke Sluke. Tanpa banyak rintangan sampailah mereka di Kerajaan Sluke. Kedatangan Patih Majapahit tersebut tentu saja sangat mengagetkan para punggawa Keraton Sluke. Dengan tenang Putri Suluk menerima Patih Mangkubumi.

“Ada maksud apa Patih Mangkubumi datang di Keraton Sluke?" tanya Putri Suluk dengan lembutnya.

“Begini Tuan Putri, kedatangan hamba ke sini hanyalah mengemban titah Prabu Brawijaya dari Majapahit," jawab Patih Mangkubumi.

“Apa titahnya?"

“Dengan mendirikan kerajaan baru dan menyebarkan agama baru Tuan Putri telah bersalah pada Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, hamba diutus membawa Tuan Putri agar menghadap Prabu Brawijaya. Pabila Tuan Putri bersedia, Baginda Prabu Brawijaya berkenan menjadikan Tuan Putri sebagai selir.”

Merah padam muka Putri Suluk ketika mendengar perkataan Patih Mangkubumi. Namun, sebagai seorang ratu dia tetap berkata dengan tenang.

“Begini Patih, berdirinya Kerajaan Sluke ini tidak bermaksud sedikit pun mengganggu Majapahit. Saya hanya bermaksud mengatur rakyat kecil. lngin membuat rakyat tenteram. Ada pun tentang agama baru, siapa pun berhak memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Saya tidak memaksa masyarakat untuk memeluk agama Islam. Kami menghormati rakyat yang masih tetap memeluk agama Budha atau pun Hindu. Jadi, sampaikan kepada rajamu bahwa aku tidak bersedia menghadap ke Majapahit. Dan jangan mengganggu kerajaan kami."

“Baiklah Tuan Putri, saya akan pulang ke Majapahit.”

Seusai kunjungan Patih Mangkubumi, Putri Suluk menjadi sadar bahwa kehadiran Kerajaan Sluke ternyata membuat Raja Majapahit tidak menyukainya. Oleh karena itu, Sluke harus bersiap-siap menjaga segala sesuatu yang mungkin terjadi. Putri Suluk segera mengumpulkan punggawa kerajaan. Putri Suluk memerintahkan Patih Sukowati bersama Panglima Abu Alim untuk menyusun strategi perang dan mengadakan latihan-latihan olah kanuragan bagi para prajuritnya.

Sementara itu, di Kraton Majapahit Prabu Brawijaya sangat kecewa dengan kepulangan Patih Mangkubumi yang tidak membawa hasil. Dia merasa terhina oleh sebuah kerajaan kecil yang baru saja berdiri. Semakin kuat nianya untuk menguasai Kerajaan Sluke dan memperistri Putri Suluk.

Prabu Brawijaya segera memanggil putranya, Raden Arya Damar.

“Ada perlu apa Ramanda Prabu memanggil hamba?" ucap Arya Damar setelah datang menghadap.

“Putraku Arya Damar, pergilah ke Kerajaan Sluke! Boyonglah ratunya yang bernama Putri Suluk ke Majapahit! Tetapi ingat jangan sampai lecet kulitnya sedikit pun. Kamu sanggup putraku?"

“Hamba siap mengemban tugas negara Ramanda Prabu, tetapi izinkanlah hamba membawa prajurit untuk menjaga segala kemungkinan."

“Silakan membawa prajurit secukupnya.”

Dengan perlengkapan perang lengkap akhirnya Arya Damar beserta pasukannya berangkat menuju Sluke. Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan, sampailah mereka di perbatasan Kerajaan Sluke. Arya Damar mengistirahatkan pasukannya sambil mengatur strategi menyerang Sluke. Tempat istirahat tersebut kemudian diberi nama Desa Rakitan.

Kedatangan pasukan Majapahit di perbatasan Sluke sudah diketahui oleh Putri Suluk. Kemudian, Putri Suluk memerintahkan semua pasukan Sluke bersiap-siap menyambut pasukan Majapahit. Panglima Abu Alim dan Patih Sukowati dengan gagahnya memimpin pasukan Sluke.

Pasukan Majapahit memasuki wilayah Sluke, langsung disambut pasukan Sluke. Peperangan tidak bisa dihindari lagi. Pada awalnya peperangan berlangsung sengit. Sulit diprediksi siapa yang keluar sebagai pemenang. Banyak sudah korban berjatuhan baik dari pihak Majapahit maupun dari pihak Sluke. Akan tetapi, pengalamanlah yang menentukan. Pasukan Majapahit yang sudah kenyang pengalaman dalam berperang akhirnya berhasil mendesak pasukan Sluke. Patih Sukowati tewas terbunuh oleh Arya Damar.

Ketika melihat pamannya terbunuh, bukan main marahnya Abu Alim. Dia langsung melabrak Arya Damar. Perang tanding dengan hebatnya. Silih berganti, mereka saling menyerang. Kedua pemua itu sama-sama saktinya. Karena terbawa rasa marahnya, Abu Alim sering lengah. Hal itu dimanfaatkan oleh Arya Damar sebaik-baiknya. Pada saat Abu Alim lengah sabetan pedang Arya Damar berhasil melukai Abu Alim. Abu Alim pun tewas seketika.

Pasukan Sluke semakin terdesak. Pasukan Majapahit semakin mendekati wilayah Keraton Sluke. Tiba-tiba di tengah pasukan Sluke muncul seorang pemuda yang tampan, kulitnya putih bersih. Dia berhasil mengobrak-abrik pasukan Majapahit. Banyak pasukan Majapahit yang terbunuh oleh pemuda yang baru muncul tersebut. Setelah melihat keberadaan pemuda itu, Arya Damar langsung memacu kudanya menuju pemuda yang tampan itu. Setelah Arya Damar berhadap-hadapan, pemuda itu dia langsung menyambut Arya Damar.

“Arya Damar! Mengapa kamu tega menyerang Sluke yang tidak berdosa kepada Majapahit?"

“Ha ... ha ... ha .. . ketahuilah bocah bag us, Kerajaan Sluke sudah berani membangkang terhadap Majapahit. Ratumu Putri Suluk tidak mau diperistri ayahku. Oleh karena itu, bila mau menunjukkan keberadaan Putri Suluk, kamu akan aku ampuni.”

“Jangan harap Arya Damar. Aku tidak akan menunjukkan."

“Baiklah, sebelum kau mati aku harus tahu siapa namamu?"

“Jangan sombong Arya Damar, hidup matiku di tangan Allah. Hadapilah aku, Jaka Samaran.”

Terjadilah perang tanding antara Arya Damar dan pemuda yang mengaku bernama Jaka Samaran tadi. Setelah pertarungan berlangsung cukup lama, Arya Damar berada di atas angin. Jaka Samaran sudah beberapa kali kena pukul Arya Damar. Tubuhnya tampak limbung. Dengan secepat kilat Arya Damar menancapkan tombaknya ke dada Jaka Samaran yang tidak sempat menghindar. Jaka Samaran roboh dengan darah mengalir dari luka di dadanya. Tibatiba Arya Damar merasakan ada keanehan. Dia mencium bau harum dari darah luka musuhnya tersebut. Bukan bau anyir sebagaimana darah pada umumnya. Dia segera mendekati Jaka Samaran yang telah roboh tanpa daya.

“Siapa sebenarnya Kisanak?" tanya Arya Damar dengan hati-hati.

“Ketahuilah . . . Arya Damar ... , akulah .. . Putri Suluk . . . yang kaucari itu," ucap Jaka Samaran sambil membuka tutup kepalanya. Tampaklah rambut panjang tergerai. Ternyata Putri Suluk menyamar sebagai laki-laki. Hal ini sungguh mengejutkan Arya Damar. Suatu hal yang tak pernah terlintas dalam pikirannya.

Arya Damar serta merta memeluk Putri Suluk, "Putri . . . jangan mati! Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan hal ini kepada Rama Prabu Brawijaya?”

“Ketahuilah Arya Damar ... " ucap Putri Suluk semakin lemah, "Bila Prabu Brawijaya .. . betul-betul ingin memperistri wanita seperti aku . . . pergilah ke Malak . . . . Di sana akan kamu jumpai saudara kembarku . . . . Namanya Putri Campa .... Bawalah ke tanah Jawa .... Niscaya Prabu Brawijaya ... tidak akan memarahimu.”

Kepala Putri Suluk kemudian terkulai. Beliau telah menghembuskan napas terakhir dalam memperjuangkan agama Allah.

Setelah mengetahui pemimpin mereka gugur, pasukan Sluke menyerah. Arya Damar sendiri sudah tidak bersemangat melanjutkan peperangan. Dia merasa gaga! mengemban tugas dari Prabu Brawijaya. Arya Damar memerintahkan pasukannya untuk segera mengubur prajurit yang tewas serta mengobati yang luka-luka. Secara khusus Arya Damar memimpin pamakaman Putri Suluk. Sebagai upaya menebus rasa bersalah pada Prabu Brawijaya, Arya Damar tidak menyertai pasukannya kembali ke Majapahit, tetapi pergi ke Malaka untuk mencari saudara kembar Putri Suluk.

Sementara itu rakyat Sluke tetap setia melanjutkan ajaran Putri Suluk. Sampai saat ini makam Putri Suluk masih terawat dengan baik. Setiap tahun diadakan haul yang dihadiri masyarakat sekitar. Makamnya terdapat di Desa Jati Sari, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Tepatnya sekitar tujuh belas kilometer ke arah timur dari Kota Rembang, Jawa Tengah. Peninggalan yang masih bisa dimanfaatkan adalah masjid dan sumur tua. Makam Patih Sukowati, Abu Alim, dan Ki Tompo juga masih ada sampai sekarang.