Lompat ke isi

Perkara Batu dan Telur

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Perkara Batu dan Telur

Maya Lestari Gf.

Minggu, 24 Mei 2015


BELUM pernah kejadian, persoalan batu dan telur menimbulkan kehebohan begitu rupa di segenap penjuru negeri.

Pangkal mulanya ada pada Syekh Rasyidin. Ia sebenarnya bukan seorang syekh, mullah, atau sejenisnya. Ia hanya orang yang suka mengutip kata-kata mutiara para ulama lalu menyebarkannya pada orang-orang. Karena banyak yang suka dengan kata-kata kutipan itu, ada sebagian orang yang mengira itu katakatanya sendiri. Maka, ditahbiskanlah ia sebagai syekh, dan orang-orang memanggilnya Syekh Rasyidin.

“Aku tidak yakin itu telur,” demikian kata Syekh Rasyidin pada mulanya. Saat itu, orangorang sedang sibuk membicarakan perihal benda yang ditemukan oleh Hameed di sebuah gua. Hameed menemukannya saat berlindung dari hujan deras. Menurut ceritanya, ketika ia masuk ke gua, tanpa sengaja ia melihat sesuatu yang berwarna kuning terang di antara batu-batu berwarna hitam. Segera diambilnya benda itu, dan dilaporkannya pada Khalifah.

“Kenapa kau tidak yakin itu telur?” tanya seseorang.

“Logika saja,” kata Syekh Rasyidin, “Mana ada hewan yang mau bertelur di lantai gua yang dingin dan keras. Semua hewan pasti akan mencari tempat hangat untuk menaruh telur-telurnya. Telur takkan menetas di tempat dingin. Itu kuncinya!” Keyakinan Syekh Rasyidin tersebar dari mulut ke mulut hingga semua orang membicarakannya. Walhasil, sesuatu yang awalnya tampak tidak terlalu penting mendadak jadi sangat penting setelah Syekh Rasyidin membicarakannya di mana-mana.

Untuk memecahkan soal itu, Khalifah mengundang Syekh Kamal ke istana.Sama seperti Syekh Rasyidin, ia pun sebenarnya bukan seorang syekh, mullah, atau sejenisnya. Ia hanya pengurus pustaka kekhalifahan. Sebagai pengurus pustaka, ia banyak membaca kitab-kitab klasik maupun kontemporer karangan para ulama hebat. Karena pengetahuannya luas, ia sering menjadi tempat bertanya. Dari sinilah panggilan syekh kepadanya bermula.

Khalifah membawa Syekh Kamal ke tempat telur itu disimpan. Telur itu berbentuk bulat sempurna, berwarna kuning terang seperti matahari, dan bebercak hijau nyaris di sepanjang permukaannya. Belum pernah Syekh Kamal melihat telur serupa itu. Sepanjang pengalamannya bergelut dengan buku-buku tentang hewan dan telur, ia belum pernah menemukan gambar telur serupa ini.

“Memang aneh sekali, Baginda,” berkata Syekh Kamal. Diangkatnya telur itu dan disaksikan oleh seluruh menteri kekhalifahan, “Belum pernah hamba menemukan benda seperti ini. Tapi....Ini memang telur,” kata Syekh Kamal sambil membolak-balik telur itu. “Tekstur kulitnya seperti telur-telur pada umumnya,” Syekh Kamal mengetuk telur itu, lalu mendekatkannya ke telinga, “Tak salah lagi, Baginda. Ini memang telur.”

“Tahukah kau telur apa ini?” tanya Khalifah. Syekh Kamal menggeleng, “Mohon maaf, Baginda. Hamba tidak mengetahuinya.”

“Bagaimana kalau isinya adalah hewan berbahaya?” tanya seorang menteri, “Naga misalnya?”

“Oh,” Khalifah kaget. Dipandangnya Syekh Kamal, “Mungkinkah itu, Kamal?” tanya Khalifah.

“Mohon maaf, pengetahuan hamba belum sampai ke situ, Baginda,” ujar Syekh Kamal. Akhirnya Khalifah mengundang seorang ahli hewan. Namanya Ibnu Hasan. Ia terkenal karena berhasil menyelamatkan burung arg. Sejenis burung langka. Awalnya jumlah burung itu cuma tiga ekor di wilayah kekhalifahan. Setelah seekor mati, Ibnu Hasan memulai usaha penangkaran. Berkat usaha yang sungguh-sungguh, ia berhasil mengembangbiakkan burung-burung itu hingga kini jumlahnya menjadi tujuh ekor. Usahanya mengundang simpati Khalifah sehingga beliau berkenan mengucurkan dana sangat besar untuk proyek-proyek Ibnu Hasan lainnya.

“Ini memang telur,” berkata Ibnu Hasan di hadapan Khalifah, menteri-menteri, dan Syekh Kamal. “Memang bentuk dan warnanya aneh, tapi jelas ini telur.”

“Tahukah kau ini telur apa?” tanya Khalifah. Ia khawatir kalau telur itu sungguh-sungguh telur naga. Ia pernah mendengar mitos tentang hewan itu semasa kecil dari pengasuhnya. Hewan itu punya sayap yang sangat besar, moncong panjang, gigi tajam, dua tanduk, dan cengkeraman yang mematikan. Belum lagi racun api yang keluar dari mulutnya. Jika telur itu memang berisi anak naga, betapa berbahayanya. Namun, di sisi lain, perihal naga itu menarik minatnya. Jika telur itu sungguh-sungguh menetaskan naga, mungkin ia bisa menjadikan hewan itu sebagai tunggangan. Takkan ada lagi pihak-pihak yang berniat merongrong kekuasaannya, juga wilayah negerinya. Mereka akan takut pada naga itu.

Ibnu Hasan membawa telur itu lebih dekat ke misykat. Di dalamnya suluh bercahaya terang.

“Cangkangnya terlalu tebal,” kata Ibnu Hasan setelah mengamati telur itu sekian lama, “Cahaya tidak bisa menembusnya.”

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Khalifah.

“Izinkan saya membawanya, Baginda, saya akan menelitinya.”

Khalifah setuju. Semestinya masalah telur aneh itu berhenti sampai di sana, tapi tidak bagi Syekh Rasyidin. Setiap kali ia singgah di kedai-kedai, pasar, atau balai pertemuan, ia selalu membicarakan soal telur itu.

“Jelas bukan telur,” katanya yakin. “Itu hanya batu. Pernahkah kalian mendengar telur menetas di atas permukaan batu yang dingin?” ia menegakkan punggungnya, menyapukan pandang pada semua yang hadir, “Tidak, bukan?” Orang-orang mengangguk, terkesima oleh retorikanya.

“Nah, jelas sekarang. Kekhalifahan hanya membuang- buang waktu dan uang untuk meneliti batu itu. Bukankah kita sering menemukan batu berbentuk aneh? Seaneh apa pun sebuah batu, tetap saja itu batu. Seharusnya Khalifah mengerti hal ini. Uang yang ia hambur-hamburkan untuk meneliti batu itu seharusnya digunakan untuk memberi makan mereka yang kelaparan!”

Mulanya, semua yang dilakukan Syekh Rasyidin tidak dipedulikan Khalifah. Menurutnya, dialektika tentang suatu hal ialah biasa. Merupakan bagian dari aktivitas intelektual. Namun, lama-kelamaan usaha Syekh Rasyidin memengaruhi orang-orang semakin masif, dan membuat penduduk negeri itu terpecah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama setuju dengan pendapat Syekh Rasyidin. Kelompok kedua setuju dengan pernyataan bahwa benda yang ditemukan Hameed hanyalah sebutir telur. Sementara itu, kelompok ketiga yang jumlahnya lebih sedikit menganggap ini semua hanya persoalan remeh-temeh yang tak perlu dipusingkan. Toh, banyak persoalan lain yang lebih patut dipikirkan.

Perpecahan di tengah masyarakat semakin mencemaskan. Untuk mengatasi keadaan, Khalifah akhirnya memanggil Syekh Rasyidin, Syekh Kamal, dan Ibnu Hasan. Dengan disaksikan banyak orang, Syekh Kamal dan Ibnu Hasan berupaya meluruskan pendapat Syekh Rasyidin. “Lihatlah ini,” kata Ibnu Hasan sambil menyodorkan telur itu ke hadapan Syekh Rasyidin, “Ini sebutir telur dengan cangkang yang sangat tebal dan keras. Bentuknya memang unik, tapi jelas ini telur,” katanya.

“Huh!” Syekh Rasyidin memalingkan wajahnya dari telur itu, “Aku tidak yakin itu telur dan aku tak perlu melihatnya untuk membuktikan keyakinanku,” katanya. Ia memandang khalayak, “Batu tetap saja batu. Mana mungkin disebut telur.”

“Cobalah Anda lihat dulu,” bujuk Syekh Kamal.

“Apa gunanya? Aku sudah tahu itu hanya batu,” jawab Syekh Rasyidin, “Hai orang-orang!” serunya pada khalayak ramai, “Masuk akalkah bagi kalian ada seekor hewan yang meletakkan telurnya di tempat dingin?”

“Tidak!” seru orang-orang.

“Ini bukan soal masuk akal atau tidak,” berkata Syekh Kamal. “Ini soal fakta. Kenyataan. Kalau kenyataannya ini sebutir telur, mengapa kita harus menganggapnya batu?” tanya Syekh Kamal. ”Bukankah itu yang disebut tidak masuk akal?”

“Kalianlah yang tidak masuk akal!” tuding Syekh Rasyidin cepat, matanya berkilat-kilat. ”Kalian menganggap batu sebagai telur, lalu mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya untuk menelitinya. Itulah yang aneh! Tidakkah kalian lihat masih banyak orang miskin di negeri ini?

Betapa baiknya jika uang untuk meneliti batu tak berguna itu kalian berikan kepada semua fakir miskin di negeri ini!!”

“Setuju!!” seru orang-orang.

“Rasyidin!” seru Khalifah yang melihat keadaan semakin membahayakan. “Kau tidak perlu menghasut orang-orang seperti itu. Kau lihatlah benda apa ini baru bicara! Lagi pula semua orang miskin di negeri ini mendapat santunan dari baitulmal. Tak satu pun rakyat di negeriku yang kelaparan!”

“Aku tidak perlu melihatnya untuk tahu benda apa itu!” kata Syekh Rasyidin pongah. Ia berjalan menuruni panggung tempat pertemuan mereka, “Itu hanya batu! Batu yang aneh. Itu saja! Aku benar kan?!” tanyanya pada khalayak.

“Yaa!!” orang-orang berseru.

Tujuh hari selepas peristiwa itu, perang besar berkecamuk. Massa menganggap Khalifah lebih memilih mengucurkan dana untuk sebuah batu ketimbang memberi makan rakyatnya. Orang-orang membakar permukiman, taman-taman, bahkan istana. Empat puluh hari selepas itu, istana kekhalifahan yang begitu indah dan megah menjadi abu. Ratusan tahun sesudahnya, kerajaan itu terlupakan dari sejarah. 

2015