Permainan Tradisional Jawa dengan Iringan Lagu

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pendahuluan[sunting]

Permainan tradisional yang dilakukan oleh anak-anak pada sekelompok masyarakat di Indonesia, atau secara khusus yang dibahas pada katalog ini adalah di pulau Jawa, diwariskan secara turun temurun secara lisan. Karena ditularkan melalui lisan, maka ada beberapa permainan di beberapa daerah di pulau Jawa yang memiliki nama sama, namun dilakukan dengan tata cara yang sedikit berbeda, atau menggunakan lagu pengiring yang berbeda. Ada juga yang memiliki nama berbeda, tetapi cara bermainnya hampir sama. Alat yang dibutuhkan dalam permainan, lagu pengiring, cara bermain, maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan permainan biasanya disesuaikan dengan kearifan lokal suatu daerah.

Di buku ini memuat katalog permainan di pulau Jawa yang menggunakan lagu pengiring. Lagu pengiring dalam permainan tradisional biasanya menggunakan bahasa daerah setempat, namun ada juga permainan yang lebih muda usianya, menggunakan lagu pengiring berbahasa Indonesia. Permainan tradisional merupakan salah satu warisan kekayaan yang diturunkan oleh para pendahulu, sehingga sudah semestinya generasi sekarang dan generasi di masa depan menjaga dan melestarikannya.

Jenis-jenis permainan anak tradisional dengan iringan lagu di pulau Jawa, diantaranya adalah:

  1. Ucing Peungpeun
  2. Oray-Orayan
  3. Prang-Pring
  4. Surantang-Surinting
  5. Pacublek-Cublek Uang
  6. Wak-Wak Gung atau Ular Naga
  7. Cici Putri
  8. Cungkup Milang Kondhe
  9. Jamuran
  10. Bethet Thing-Thong
  11. Cang-Cang Panjang
  12. Gajah Serempang atau Dhingklik Oglak Aglik
  13. Gotri
  14. So Riyo-Riyo

Simpulan[sunting]

Permainan tradisional dengan iringan lagu di pulau Jawa banyak macamnya. Saat ini sudah jarang dimainkan oleh anak-anak karena mereka lebih memilih bermain dengan gawainya. Jika di zaman dahulu anak-anak bermain ketika bulan purnama karena terang, atau sepulang sekolah, sekarang lampu sudah ada di mana-mana sehingga cahaya terang bulan sudah tidak lebih terang dari cahaya lampu di rumah kita. Atau sepulang sekolah, sekarang anak-anak langsung pulang ke rumahnya masing-masing, atau terkadang mengikuti les untuk menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga di masa sekarang sudah sangat sulit ditemui anak-anak melakukan permainan tradisional. Mengingat permainan tradisional diturunkan secara lisan, maka perlu pencatatan, sebagai upaya menjaga dan melestarikan salah satu warisan leluhur.

1. Ucing Peungpeun[sunting]

Permainan Ucing Peungpeun, kadang disebut juga permainan Ucing Kuriling, berasal dari Jawa Barat yang dicatat sebagai salah satu warisan budaya tak benda. Ucing artinya kucing, dan peungpeun artinya penutup mata. Ucing peungpeun dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan berjumlah kira-kira 10 orang di tempat terbuka yang cukup luas. Semakin banyak pemain, akan semakin seru. Permainan dilakukan dengan iringan lagu “Ayang-Ayang Gung”. Permainan ini melatih kejujuran dan ketepatan dalam menerka. Pesan lain yang tersirat dari permainan ini adalah kita harus dapat menebak atau memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Aturan permainan[sunting]

  1. Permainan ini membutuhkan sehelai kain yang digunakan sebagai penutup mata pemain yang menjadi kucing.
  2. Pemain yang menjadi kucing harus menerka pemain yang tertangkap, boleh dengan mengenali suaranya atau boleh dengan meraba wajahnya untuk menerka nama pemain yang tertangkap.
  3. Jika pemain yang menjadi kucing menerka nama pemain yang tertangkap dengan benar, maka pemain yang tertangkap akan menjadi kucing di permainan selanjutnya, namun jika salah dalam menerka maka pemain yang menjadi kucing tidak berganti.

Lagu pengiring[sunting]

“Ayang-Ayang Gung”

Ayang-ayang gung, gung …

Gung goongna rame, me …

menak Ki Mas Tanu, nu …

nu jadi Wadana, na …

naha mana kitu, tu …

tukang olo-olo, lo …

loba anu giruk, ruk …

ruket jeung kumpeni, ni …

niat jadi pangkat, kat …

katon kagorengan, ngan …

ngantos Kangjeng Dalem, lem …

lempa-lempi lempong …

jalan ka Batawi ngemplong!


Terjemahan:

Berpegangan bahu gung,

Gung goongnya ramai,

ningrat Ki Mas tanu

yang menjadi wedana

mengapa demikian

tukang sombong manja

banyak yang benci

dekat dengan kumpeni

niat mendapatkan pangkat

terlihat kejelekannya

menanti kangjeng dalem

lempa lempi lempong

jalan ke Betawi terbuka

Dilihat dari lirik lagu “ruket jeung kumpeni, ni …” yang artinya “dekat dengan kumpeni”, kemungkinan lagu tersebut lahir ketika tanah Sunda berada dalam penjajahan Belanda, atau disebut “kumpeni”. Lagu ini menyelipkan pesan bagi anak-anak agar tidak menjadi penjilat seperti “Ki Mas Tanu”, tidak boleh melakukan perbuatan yang tidak baik hanya untuk menyenangkan diri sendiri, agar dekat dengan orang yang berpengaruh.

Cara Bermain[sunting]

  1. Sebelum permainan dimulai, dilakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi kucing.
  2. Pemain yang menjadi kucing ditutup matanya dan ditempatkan di tengah-tengah lingkaran.
  3. Pemain yang tidak menjadi kucing saling bergandengan tangan, berjalan mengitari pemain yang menjadi kucing sambil menyanyikan lagu “Ayang-Ayang Gung”.
  4. Setelah lagu selesai dinyanyikan, pemain yang menjadi kucing menangkap satu orang, kemudian diterka namanya.
  5. Jika pemain yang menjadi kucing menerka nama pemain yang tertangkap dengan benar, maka pemain yang tertangkap akan menjadi kucing di permainan selanjutnya.
  6. Jika pemain yang menjadi kucing salah dalam menerka nama pemain yang tertangkap, maka pemain yang menjadi kucing tidak berganti, dan permainan pun dapat dilanjutkan.[1][2]

2. Oray-Orayan[sunting]

Oray-Orayan adalah permainan tradisional asal Jawa Barat. Oray artinya ular, jadi oray-orayan adalah permainan ular-ularan. Permainan ini dapat dilakukan oleh anak-anak laki-laki maupun perempuan berjumlah 7 hingga 20 orang, semakin banyak semakin seru. Pemain berjejer memanjang berpegangan bahu, kemudian berjalan meliuk-liuk seperti ular. Permainan dilakukan dengan iringan lagu “Oray-Orayan”. Ketika bermain, seringkali badan ular terputus, yang mengundang gelak tawa para pemain. Permainan ini menyiratkan nilai gotong royong, tolong menolong dan persatuan.

Aturan permainan[sunting]

  1. Pemain yang menjadi “kepala ular” dipilih yang berbadan tinggi, sementara pemain yang menjadi “ekor ular” dipilih yang berbadan kecil dan lincah.
  2. Jika pemain yang menjadi ekor ular tertangkap, maka dia harus keluar dan tidak boleh bermain lagi.
  3. Jika “badan ular” terputus, atau tinggal 3 sampai 5 orang, maka permainan dimulai dari awal.

Lagu pengiring[sunting]

“Oray-Orayan”

Oray-orayan

Luar leor ka sawah

Entong kasawah

Parena keur sedeng beukah

Oray-orayan

Luar leor ka kebon

Entong ka kebon

Di kebon loba nu ngangon

Mending ka leuwi

Di leuwi loba nu mandi

Saha anu mandi?

Anu mandina pandeuri


Terjemah:

Bermain ular-ularan

Meliak-liuk ke sawah

Jangan ke sawah

padinya sedang merekah

Bermain ular-ularan

Meliuk-liuk ke kebun

Jangan ke kebun

Di kebun banyak pengembala

Lebih baik ke lubuk saja

Di lubuk banyak yang mandi

Yang mandi yang mana?

Yang mandinya terakhir

Dilihat dari liriknya, sesuai dengan kondisi masyarakat Sunda di pedesaan yang sebagian besar bermatapencaharian petani. Orang tua petani akan mengajak anak-anaknya pergi ke sawah. Anak-anak dari para petani kemudian berkumpul dan bermain ular-ularan yang sering mereka temui di sawah.

Lirik Versi Lainnya:

Oray-orayan

Oray naon?

Oray bungka

Bungka naon?

Bungka laut

Laut naon?

Laut dipa

Dipa naon?

Dipandeuri

Kok kok kooook 4x

Cara bermain[sunting]

  1. Anak-anak berjumlah 7 sampai 20 orang berjejer ke belakang dengan kedua tangannya berada di bahu atau di pinggang teman di depannya.
  2. Pemain yang badannya tinggi biasanya menjadi “kepala ular”, berada di barisan terdepan, sementara yang badannya paling kecil, namun lincah, dipilih untuk menjadi “ekor ular” yang berada di paling belakang.
  3. Barisan itu berjalan meliuk-liuk seperti ular, sambil bernyanyi atau bertanya jawab menggunakan lagu “Oray-Orayan”. Pemain yang menjadi badan ular harus dapat mengikuti gerakan “kepala ular”.
  4. Ketika sampai di lirik terakhir dan “kepala ular” berbunyi: kok …kok …kok … Pemain yang menjadi kepala ular berlari kecil dan berusaha menangkap pemain yang menjadi ekor ular. Pemain yang menjadi ekor ular berusaha mengelak agar tidak tertangkap.
  5. Ketika bermain seringkali badan ular putus. Jika demikian, maka semua pemain kembali menyambung dan permainan dimulai dari awal.
  6. Jika pemain yang menjadi ekor ular tertangkap, maka dia harus keluar dan tidak boleh bermain lagi. Karenanya, jika pemain yang menjadi kepala ular mahir dalam menangkap, “ular” ini akan semakin pendek, namun permainan tetap saja seru.
  7. Jika sudah tinggal 3 sampai 5 orang anak, maka permainan dimulai dari awal.  Pemain yang menjadi “kepala ular” bergantian dengan yang lain.[2][3]

3. Prang Pring[sunting]

Prang pring adalah permainan tradisional dari Jawa Barat, dapat dimainkan oleh anak laki-laki atau anak perempuan, atau gabungan dari anak laki-laki dan anak perempuan berusia sekitar 5-10 tahun. Jumlah pemain paling sedikit 3 orang dan paling banyak 7 orang. Permainan dilakukan dengan iringan lagu “Prang Pring”.

Aturan Permainan[sunting]

Pemimpin permainan duduk di tengah, menyanyikan lagu “Prang Pring” sambil menepuk kaki pemain lainnya.

Lagu Pengiring[sunting]

"Prang Pring"

Prang Pring, prang pring

Sabuluh-buluh gading

Prang Pring

si Gading ka Sunda perang

nya perang di Pangadegan

pur ............ puyuh

angge-angge pelak jam be

kucttbung kuruwek dugel

ari dugel ka si Jindel


Terjemah:

Prang pring, prang pring

bambunya bamu kuning

si Kuning ka Sunda perang

perangnya di Pangadegan

terbanglah burung puyuh

angge-angge tanam pohon pinang

laras senapan sebesar lipatan dengkul

lipatan dengkulnya si Jindel

Prang pring artinya habis. Keseluruhan lirik lagu “Prang Pring” ini menggambarkan keadaan yang berarti "habis" atau tidak memiliki apa-apa lagi. Dari kata sabuluh-buluh kuning yang artinya ‘bambunya bambu kuning’ dan kata si gading ka sunda prang, mengandung makna tersirat adanya penjajahan oleh orang-orang yang mempunyai kulit kuning, dalam hal ini orang Jepang atau Cina yang datang ke Sunda untuk berperang.


Versi Lain Lagu Prang Pring

“Prang-pring”

Sabulu-bulu gading

Saunda-unda pérang

Nya pérang di pangadegang

Turumé puyuh

Hayam jago babaranten

Dikencréng-kencréng kucubung

Kucubung kuruwék dugel

Mana dugel ka si muntel

Telur jalu

Kembang kuménggér géyé!

Cara Bermain[sunting]

  1. Para pemain menentukan siapa yang akan memimpin permainan.
  2. Para pemain duduk berjejer ke samping dengan kedua kaki diluruskan (dalam bahasa sunda: disanghujarkeun), sementara pemimpin permainan menempatkan diri di tengah-tengah deretan.
  3. Pemimpin permainan menepuk-nepuk kaki temannya satu per satu sambil menyanyikan lagu “Prang Pring”.
  4. Setiap tepukan selaras dengan satu suku kata.
  5. Ketika lagu selesai dinyanyikan di suku kata paling akhir “del”, maka kaki yang ditepuk dilipatkan.
  6. Setelah semua kaki pemain lipat mereka akan berdialog dengan pemimpin permainan, hingga berakhir pada dialog yang mengharuskan salah satu pemain dijatuhkan dengan riang gembira.[2][4][5]

4. Surantang Surinting[sunting]

Permainan Surantang Surinting adalah permainan tradisional dari Banten. Surantang Surinting dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan berjumlah 5-8 orang. Permainan ini dapat memupuk kebersamaan dan kerukunan, dimainkan dengan lagu pengiring berbahasa daerah Banten berjudul “Surantang Surinting”.

Aturan Permainan[sunting]

Pemain yang tertepuk ketika lagu berakhir diberi pertanyaan sederhana atau pantun. Jika tidak dapat menjawab, maka pemimpin memberi hukuman berupa pukulan lembut ke dahi, dengan terlebih dahulu menanyakan “gong cilik atau gong besar” yang menentukan keras lembutnya hukuman.

Lagu Pengiring[sunting]

Surantang-surinting

bibi semar nyolong gunting

guntinge bibi laos sedakep tangan cios

Cara Bermain[sunting]

  1. Permainan dimulai dengan menentukan pemain yang menjadi pemimpin.
  2. Para pemain duduk melingkar sambil meletakkan telapak tangan di depan.
  3. Sementara pemain yang lain menyanykan lagu “Surantang Surinting”, pemimpin permainan menguncupkan tangannya, menepuk telapak tangan pemain satu per sampai lagu selesai dinyanyikan.
  4. Pemain yang tertepuk ketika lagu berakhir akan sedekap, kemudian pemimpin permainan akan memberikan pertanyaan sederhana atau pantun.
  5. Jika pemain tidak dapat menjawab, maka pemimpin memberi hukuman berupa pukulan lembut ke dahi, dengan terlebih dahulu menanyakan “gong cilik atau gong besar” yang menentukan keras lembutnya hukuman.
  6. Permainan dapat juga dilakukan dengan bertumpuknya tangan-tangan para pemain di atas pemain yang lain sembari berpantun dan menyanyikan lagu. Pemain yang tidak dapat melanjutkan pantun dinyatakan kalah.[6]

5. Pacublek-Cublek Uang[sunting]

Pacublek-Cublek Uang adalah permainan tradisional dari daerah Garut, Jawa Barat. Permainan pacublek-cublek uang ini mirip dengan permainan cublak-cublak suweng di Jawa Tengah. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak laki-laki atau perempuan, maupun gabungan dari laki-laki dan perempuan. Permainan ini melatih ketajaman rasa para pemainnya dengan cara menebak posisi benda yang disembunyikan oleh pemain.

Peraturan Permainan[sunting]

  1. Permainan membutuhkan sebuah kelereng atau pecahan genteng.
  2. Jojodog (pemain jadi) ditentukan dari pemain yang kalah undian.
  3. Jojodog dapat digantikan jika pemain lain jika dia berhasil menebak siapa yang membawa kelereng/pecahan batu dalam permainan

Lagu Pengiring[sunting]

“Pacublek-Cublek Uang”

Pacublek-cublek uang

uangnya manggul lenteng

butata-butiti

si Tata wara-wiri

tangsi nona, tangsi babah

si Sidin mau kawin

gamelan jegar-jegur

amil penghuluna

ta'em , ta'e-em, ta'e-em


Terjemah:

Berbecek-becek uang

uangnya membawa renten

jelek-jelek dan kecil

si Tata bolak-balik

tangsi nona, tangsi babah

si Sidin mau kawin

gamelan jagar-jegur

amil penghulunya

ta 'em, ta 'em, ta 'em

Pacublek-cublek uang artinya yaitu uang yang selalu bertambah. Lagu ini merupakan sindiran kepada orang yang gemar meminjam uang ke rentenir. Hutang yang bertumpuk-tumpuk karena bunga yang tinggi. Orang itu seakan-akan buta dan tuli (butata-butiti), tidak tahu bahayanya meminjam uang dengan bunga tinggi. Yang menjadi permtara adalah si Tata, yang kesana-kemari mendatangi tempat Si Nona dan si Babah. Diceritakan dalam lagu bahwa si Sidin akan menikah, gamelan sudah ditabuh. Penghulu yang akan menikahkannya adalah pak Amil. Kata ta'em maksudnya, tidak perlu memberitahu orang lain bahwa biaya untuk perkawinan itu diperoleh dari pinjaman ke rentenir.

Lagu ini menggambarkan keadaan ekonomi bangsa Indonesia yang sulit, sehingga si Sidin yang hendak menikah harus meminjam uang meskipun bunganya tinggi. Uang itu dipinjam dari si Nona dan si Babah (orang Cina).  Pesan yang tersirat dari lagu dan permainan ini adalah agar kita dapat mengekang diri untuk tidak boros, sehingga tidak perlu meminjam uang dengan bunga tinggi yang hanya akan membuat sengsara.

Cara Bermain[sunting]

  1. Dalam permainan diperlukan pecahan genteng atau kelereng.
  2. Seluruh pemain melakukan undian menentukan siapa yang menjadi jojodog (pemain jadi). Yang menjadi jojodog adalah pemain yang kalah undian. Jojodog membungkukkan badan, kakinya dilipat, sehingga lututnya dapat menahan perutnya, kemudian kedua tangannya menopang badan sebatas siku, dan kepalanya ditundukkan. Punggung jojodog ini merupakan tempat bagi pemain lain untuk meletakkan tangannya.
  3. Para pemain meletakkan tangannya di punggung jojodog dengan telapak tangan menghadap ke atas. Pemain yang membawa kerikil menggenggamnya di tangan kanan, sementara tangan kirinya sama seperti pemain lainnya, diletakkan di punggung Jojodog.
  4. Kemudian pemain menyanyikan lagu “pacublek-cublek uang”. Selama bernyanyi, pemain yang memegang batu menggerakkan tangan kanannya seolah-olah meletakkan batu ke tiap-tiap tangan yang terbuka dengan sedikit tenaga, seperti memukul-mukul tangan temannya.
  5. Kerikil diletakkan di salah satu tangan pemain sebelum lagu selesai dinyanyikan. Ketika lagu sampai di kata ta’em, ta'em, serentak semua tangan pemain mengepal, kemudian diletakkan di depan mulutnya.
  6. Pemain jojodog kemudian bangun dan menebak keberadaan batu kecil itu di tangan siapa. Jika terkaannya betul, maka peran pemain jojodog digantikan oleh pemain pemegang batu kecil.[2]

6. Wak Wak Gung[sunting]

Permainan Wak Wak Gung adalah permainan tradisional dari Jakarta yang ditetapkan oleh kemdikbud sebagai warisan budaya tak benda. Wak Wak Gung dilakukan oleh anak-anak laki-laki maupun perempuan berusia 6 hingga 12 tahun, dengan jumlah pemain mulai dari 8 hingga 20 orang. Di zaman dahulu, permainan ini biasa dimainkan ketika bulan purnama. Permainan ini telah dikenal masyarakat Betawi sejak zaman penjajahan Belanda. Permainan ini juga disebut sebagai permainan ular naga, dengan iringan lagu ‘Wak Wak Gung”. Di Riau, permainan sejenis dinamai dengan permainan “Tam-Tam Buku Lingga”. Permainan ini kemudian berkembang menjadi permainan Ular Naga. Permainan ini dilakukan dengan iringan lagu “Wak Wak Gung”.

Permainan ini dapat meningkatkan motorik dan keterampilan sosial anak-anak. Nilai yang terkandung dalam permainan Wak Wak Gung diantaranya adalah demokrasi, kerja sama, kerja keras dan sportifitas. Ketika mereka menentukan pemain yang menjadi induk ayam, dan saat mereka tertangkap untuk memilih salah satu induk ayam, mencerminkan demokrasi. Ketika dua kelompok pemain saling tarik menarik terpupuk sikap kerja sama dan kerja keras untuk menjadi pemenang, serta sikap sportifitas dengan meniadakan kecurangan dalam permainan. Meskipun ada kelompok yang menang dan ada yang kalah, namun semuanya tetap bergembira bersama-sama.

Aturan Permainan[sunting]

  1. Permainan ini tidak membutuhkan alat apapun.
  2. Terdapat dua orang pemain yang menjadi penjaga (istilahnya induk ayam, atau ulung, atau bulan dan bintang), mereka berdiri berhadapan dan saling berpegangan tangan ke atas membentuk kerucut, yang jika diturunkan akan memerangkap pemain di dalamnya. Pemain lainnya akan dibagi menjadi dua kelompok setelah dalam permainan tertangkap dan memilih salah satu induk ayam.
  3. Di tengah arena bermain dibuat garis batas yang nantinya digunakan sebagai batas kalah atau menang saat kedua regu saling tarik menarik. Setelah pemain terbagi menjadi dua regu, kemudian keduanya akan saling tarik-menarik hingga melewati garis batas permainan untuk menentukan regu mana yang menang dan yang kalah.

Lagu Pengiring[sunting]

“Wak Wak Gung”

Wak wak gung nasinye nasi jagung

Lalapnye daon utan

Sarang gaok dipohon jagung

Gang…ging…gung

Tam-tambuku

Seleret daon delime

Pato klembing pate paku

Tarik belimbing

Tangkep satu

Pit ala’ipit

Kuda lari kejepit-sipit

Cara Bermain[sunting]

Tahap pertama

  1. Permainan dimulai dengan menentukan dua orang pemain yang menjadi ulung atau induk ayam. Biasanya ditentukan dengan cara ditunjuk.
  2. Pemain yang menjadi induk ayam berdiri berhadapan dan saling berpegangan tangan ke atas membentuk kerucut, yang jika diturunkan akan memerangkap pemain di dalamnya.
  3. Pemain lainnya berbaris memanjang dengan kedua tangannya berpegangan pada pundak pemain lain di depannya, kemudian berjalan memutar melewati “lorong” yang dibuat oleh dua induk ayam sembari menyanyikan lagu “Wak Wak Gung”
  4. Di akhir lagu, tangan pemain yang menjadi induk ayam akan turun dan menangkap salah satu pemain, kemudian induk ayam akan menanyakan kepada pemain yang terperangkap untuk memilih salah satu induk ayam.
  5. Setelah pemain yang terperangkap memilih salah satu induk ayam, dia akan berdiri di belakang induk ayam yang dipilihnya.
  6. Lagu diulang sampai semua pemain memilih salah satu induk ayam.

Tahap ke dua

  1. Setelah terbagi menjadi dua kelompok, kedua induk ayam akan berdiri berjajar saling berpegangan dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang tangan anggota kelompoknya sehingga terbentuk barisan yang saling bergandengan di belakang induk ayam.
  2. Kedua kelompok akan saling tarik menarik. Kelompok yang dapat menarik kelompok lainnya melewati garis batas dinyatakan sebagai pemenangnya.
  3. Jika para pemain masih ingin bermain, maka permainan dimulai dari awal.[7]

Permainan ini seiring waktu kemudian berkembang menjadi permainan ular naga. Cara bermain sama dengan permainan Wak Wak Gung, namun liriknya berbeda. Berikut lirik lagu “Ular Naga” yang dinyanyikan pada permainan Ular Naga:[8]


“Ular Naga”

Ular naga panjangnya bukan kepalang

Menjalar-jalar selalu kian kemari

Umpan yang lezat, itu yang dicari

Kini dianya yang terbelakang

7. Cici Putri[sunting]

Cici Putri adalah permainan tradisional dari DKI Jakarta yang telah ditetapkan Kemdikbud sebagai salah satu warisan budaya tak benda. Permainan ini dimainkan oleh 3-5 anak di lantai beranda depan rumah sambil duduk. Biasanya dimainkan oleh anak-anak perempuan. Permainan dilakukan dengan iringan lagu “Cici Putri”.

Aturan Permainan[sunting]

  1. Permainan ini tidak ada yang menang maupun kalah.
  2. Semua mendapat giliran pertanyaan “mao kembang ape?” yang kemudian dijawab dengan salah satu nama bunga.

Lagu Pengiring[sunting]

"Cici Putri"

Cici putri

Putrinya ali agung

Cereret celempung

Si (menyebutkan nama pemain yang ditunjuk) minta kembang apa?

(pemain yang ditunjuk menjawab) kembang duren

Ma none ma none si (menyebutkan nama pemain yang ditunjuk)

Pulang-pulang dapet laki keren

Cara Bermain[sunting]

Tahap pertama

  1. Seluruh pemain duduk melingkar sambil menyodorkan tangan kanan yang diletakkan di lantai sembari menyanyikan lagu “Cici Putri”.
  2. Pemimpin permainan menunjuk tangan pemain satu per satu hingga lagu berakhir.
  3. Pemain yang tangannya tersentuh oleh pemimpin permainan ketika lagu berakhir akan diberi pertanyaan mao kembang ape ? (mau kembang apa?) harus menjawab dengan menyebut nama salah satu bunga.
  4. Jika pemain menjawab dengan kembang duren, maka pemimpin permainan harus merespon dengan menyebutkan kata sifat yang positif dengan akhiran bunyi yang sama dengan nama bunga yang disebutkan oleh pemain, misalnya: pulang-pulang lakinya keren.
  5. Permainan dilanjutkan sampai semua pemain mendapatkan giliran.

Tahap ke dua

  1. Setelah semua mendapat giliran, pemimpin permainan akan memberikan pertanyaan kepada pemain satu per satu: Ini pintu apa? Pintu kayu // Kuncinya ke mana? Kecebur (tenggelam) // Kecebur di mana? Di kali (sungai) // Bisa dibuka apa engga? Bisa
  2. Setelah dijawab bisa, pemimpin akan menarik tangan pemain yang disilangkan di depan dada di pundaknya dengan mudah.
  3. Untuk tangan yang satunya, pemimpin juga memberikan pertanyaan: Ini pintu apa? Pintu besi // Kuncinya ke mana? Kecebur // Kecebur di mana? Di laut // Bisa dibuka apa engga? Engga
  4. Setelah dijawab engga, maka pemimpin akan menarik tangan pemain yang disilangkan, sambil memegang erat pundaknya supaya pintu besi nya dapat terbuka. Untuk membuka pintu besi ini, pemimpin permainan perlu ekstra tenaga karena pemain akan mempertahankan tangannya dengan kuat agar tidak dapat dibuka.
  5. Permainan dilanjutkan sampai semua pemain mendapatkan giliran.
  6. Setelah semua mendapat giliran, permainan dilanjutkan dengan adegan pesta potong kambing sebagai tanda syukur dapat dibukanya pintu meski kuncinya telah hilang. Adegan ini disebut embe-embeak.[9]

8. Cungkup Milang Kondhe[sunting]

Permainan Cungkup Milang Kondhe adalah permainan tradisional dari Ambarawa, kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Di zaman dahulu, permainan ini dilakukan oleh anak-anak perempuan ketika berkumpul saat bulan purnama. Permainan ini diiringi dengan lagu “Cungkup Milang Kondhe”. Nilai yang terkandung dalam permainan ini adalah kebersamaan, sportifitas, kejujuran dan ketelitian.

Aturan Permainan[sunting]

  1. Permainan ini membutuhkan satu benda kecil seperti biji sawo atau kerikil.
  2. Pemain yang jadi harus menebak siapa yang membawa benda kecil. Jika tebakannya betul, maka yang membawa benda kecil berganti menjadi pemain jadi. Namun jika tebakannya salah, maka pemain jadi tidak berganti.

Lagu Pengiring[sunting]

Cungkup-cungkup milang kondhe

Milang Arum-arum tembayatan

Cungkup Maesa,

jajagana jatu rangga

Reyo-reyo sapa nggawa?

Cara bermain[sunting]

  1. Pemain dibagi menjadi tiga peran: satu pemain yang jadi, satu pemain yang menjadi ibu, dan pemain lainnya berperan menjadi anak-anaknya.
  2. Permainan dimulai dengan melakukan hompimpa, dilanjutkan dengan pingsut untuk dua peserta terakhir. Pemain yang menang kali pertama, berperan menjadi ibu. Pemain yang terakhir kalah pingsut menjadi pemain yang jadi.
  3. Pemain jadi berdiri di tengah dengan mata tertutup. Pemain yang menjadi ibu berdiri di luar lingkaran dengan membawa benda kecil (bisa berupa batu kerikil atau kecik biji buah sawo) untuk diberikan ke anak-anaknya. Pemain yang berperan menjadi anak-anaknya berdiri bergandengan tangan (cathok ulo) membentuk lingkaran sambil menyanyikan lagu “Cungkup Milang Kondhe”.
  4. Pemain yang menjadi ibu berdiri di luar lingkaran menyentuhkan benda yang dibawanya pada genggaman pemain yang menjadi anak-anaknya yang berjalan.
  5. Sebelum nyanyian selesai, sedapat mungkin benda yang dibawanya sudah diletakkan di genggaman salah satu pemain yang menjadi anak-anaknya. Pada akhir lagu, pada lirik sopo nggowo (siapa yang membawa), semua pemain yang menjadi anak menggenggam tangannya sendiri-sendiri.
  6. Pemain yang jadi kemudian dibuka matanya, dan disuruh menebak siapa yang membawa. Jika tebakannya betul, maka yang membawa berganti menjadi pemain jadi. Namun jika tebakannya salah, maka pemain jadi tidak berganti.[10]

9. Jamuran[sunting]

Jamuran ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda yang merupakan permainan tradisional dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Jamuran biasanya dimainkan oleh anak-anak laki-laki, perempuan, maupun campuran dari anak-anak laki-laki dan perempuan. Jamuran adalah permainan anak tradisional dengan lagu pengiring, mirip dengan permainan So Riyo Riyo dari daerah Ponorogo. Permainan ini menggambarkan kebersamaan, ketulusan, solidaritas, dan toleransi di antara sesama teman sambil menikmati isyarat alam.

Aturan Permainan[sunting]

  1. Jamur payung artinya pemain mentas harus berdiri tegak dengan tangan terbuka, kemudian pemain dadi menggelitik ketiak mereka satu per satu. Apabila salah seorang dari mereka tidak tahan, maka ia menggantikan menjadi pemain dadi.
  2. Jamur kethek menek (monyet sedang memanjat), artinya pemain mentas harus segera lari mencari pohon untuk memanjat. Pemain dadi mengejar secepat mungkin, dan jika berhasil menangkap salah satu pemain yang belum sempat memanjat, maka pemain yang tertangkap menggantikan posisinya menjadi pemain dadi.
  3. Jamur let kayu, artinya semua pemain mentas yang semula membentuk lingkaran segera mencari segala benda yang berasal dari kayu untuk dipeluk (dirangkul). Benda itu bisa berupa cagak (tiang), pohon, ongkek (tempat jemuran), dan sebagainya. Sementara itu, pemain dadi berusaha menangkap salah satu pemain mentas. Apabila ada pemain mentas yang belum memperoleh rangkulan/pelukan kayu, tetapi sudah terlebih dahulu tertangkap oleh pemain dadi, maka pemain tersebut berganti menjadi pemain dadi.
  4. Jamur let uwong,  artinya pemain mentas segera mencari pasangan masing-masing dan saling berangkulan (boleh 2 atau 3 orang). Kemudian pemain dadi mendatangi pasangan yang sedang berangkulan dan berusaha melepaskan salah satu dari mereka. Jika berhasil memisahkan, maka pemain yang terlepas berganti menjadi pemain dadi.
  5. Jamur parut, artinya seluruh pemain mentas harus berdiri dengan satu kaki, menyiapkan salah satu telapak kakinya untuk digaruk-garuk oleh pemain dadi. Jika pemain yang digaruk kakinya merasa geli dan tertawa, maka dia kalah dan berganti menjadi pemain dadi.
  6. Jamur gagak, artinya pemain mentas harus menirukan gaya burung gagak yang sedang terbang dengan merenggangkan tangan kanan dan kirinya lalu berlari-lari ke sana-kemari seperti burung gagak yang sedang terbang. Jika F berhasil menangkap pemain yang tidak bisa menirukan gaya burung gagak terbang, maka pemain tersebut menjadi pemain dadi.
  7. Jamur kethek menek, artinya pemain mentas harus menirukan gaya kera memanjat. Jadi, pemain harus mencari tempat memanjat: pohon, meja, kursi atau yang lainnya asal kaki pemain tidak menginjak tanah.
  8. Jamur kursi, artinya pemain mentas harus melakukan peragaan menyerupai kursi dengan posisi setengah jongkok. Pemain dadi duduk di atas paha anak-anak yang lain, jika ada yang tidak kuat diduduki, anak itu yang akan menggantikan pemain dadi.
  9. Jamur pawon, artinya pemain mentas harus memperagakan bentuk tungku tradisional dengan membentuk posisi tubuh seperti merangkak, tetapi diam di tempat. Pemain dadi seolah-olah menjadi “kayu” yang masuk ke “tungku” dengan cara masuk di bawah perut pemain mentas, kemudian mengangkatnya. Pemain mentas harus dapat mempertahankan posisinya jika tidak ingin berganti peran menjadi pemain dadi.
  10. Jamur kendil borot atau periuk bocor, artinya pemain mentas harus kencing (antara pemain anak laki-laki dan perempuan harus dipisah ketika memperagakan jamur kendil borot ini. Pemain dadi akan memeriksa bekas air seni di tanah. Jika ada anak yang tidak bisa kencing, maka ia berubah menjadi pemain dadi.

Lagu pengiring[sunting]

“Jamuran”

Jamuran

Jamuran

Ya ge ge thok

Jamur apa ya ge ge thok

Jamur payung ngrembuyung kaya lembayung

Sira badhe jamur apa?


Variasi lirik dari daerah lain:

Jamuran ya ge ge thok

Jamur apa, ya ge ge thok

Jamur gajih mbejijih sak ara ara

Sira mbadhe jamur apa?

Cara Bermain[sunting]

  1. Dilakukan hompimpa, kemudian pingsut jika tinggal tersisa dua anak. Yang kalah menjadi pemain dadi, sementara yang lainnya menjadi pemain mentas.
  2. Pemain mentas bergandengan tangan satu sama lain membentuk lingkaran. Pemain dadi berdiri di tengah lingkaran.
  3. Pemain mentas berjalan mengitari pemain dadi sambil menyayikan lagu “Jamuran”. Ketika sampai pada lirik Sira badhe jamur apa?, pemain mentas berhenti berputar. kemudian pemain dadi menyebutkan salah satu jamur. Pemain mentas kemudian memperagakan sesuai dengan nama jamur yang disebut.
  4. Menang atau kalah ditentukan sesuai aturan permainan di atas.
  5. Permainan jamuran dapat terus dilakukan sampai para pemain merasa bosan dan mengakhiri permainan.[11][12]

10. Bethet Thing Thong[sunting]

Bethet Thing Thong adalah permainan tradisional Jawa, lebih banyak dimainkan oleh perempuan.

Lagu Pengiring[sunting]

"Bethet Thing Thong"

Bethet thing-thong, legendrut gong

Gonge ilang

Camcao gula kacang

Wung, gedhawung, ilang.

Cara bermain[sunting]

  1. Semua pemain duduk melingkar dengan menjulurkan jari-jari tangan kirinya ke tengah lingkaran dalam posisi tertelungkup, jari-jari agak direnggangkan jaraknya. Pemimpin permainan dipilih dengan cara ditunjuk.
  2. Pemain lainnya menyanyikan lagu “Bethet Thing Thong”. Pemimpin permainan menyentuh satu per satu jari-jari pemain. Setiap satu suku kata syair lagu, pemimpin permainan menyentuh satu jari.
  3. Ketika lagu berakhir pada suku kata “lang”, maka jari pemain yang tersentuh oleh pemimpin ditekuk ke dalam.
  4. Permainan terus dilanjutkan  dengan menyanyikan lagu Bethet Thing-Thong. Setiap jari yang tersentuh tepat di suku kata “lang” pun segera ditekuk ke dalam. Demikian seterusnya hingga semua jari pemain ditekuk. Pemain yang paling akhir kehilangan jarinya menjadi pemain yang kalah atau dadi.
  5. Setelah diperoleh pemain dadi, maka pemain lain segera berlari. Pemain dadi berusaha mengejar dan menangkap pemain lainnya. Jika ada salah satu pemain yang tertangkap, maka ia berganti posisi menjadi pemain dadi. Pemain dadi yang baru, kemudian berlari berusaha menangkap pemain lainnya, begitu seterusnya hingga semua pernah tertangkap.
  6. Jika semua pernah tertangkap, maka permainan berakhir.[11]

11. Cang-Cang Panjang[sunting]

Permainan ini berasal dari Jawa Tengah, dapat dimainkan oelh anak laki-laki atau perempuan atau gabungan laki-laki dan perempuan. Dimainkan oleh paling sedikit tiga pemain, tetapi semakin banyak peserta semakin seru.

Lagu Pengiring[sunting]

“Cang-Cang Panjang”

Cang-cang panjang

Yang panjang, jadi atau

Yang panjang, tidak jadi

Cara bermain:[sunting]

  1. Pemain berkumpul, kemudian menetapkan peraturan permainan yang disepakati bersama.
  2. Semua pemain berdiri melingkar, merentangkan tangan ke depan dan melipat, dilakukan berulang-ulang sambil menyanyikan lagu “cang-cang panjang”.
  3. Jika di akhir lagu “yang panjang jadi” ada pemain yang tangannya merentang, maka pemain tersebut menjadi pemain dadi.
  4. Pemain yang posisi tangannya sesuai dengan akhir lagu segera berpencar lari, sementara pemain yang dadi harus mengejar dan menyentuh pemain yang berlarian.
  5. Pemain yang mentas boleh lari atau jongkok. Pemain yang jongkok tidak boleh disentuh. Pemain yang jongkok ini juga tidak boleh lari sebelum disentuh oleh pemain lain yang berlari.
  6. Begitu seterusnya, permainan berakhir ketika semua pemain sudah pernah disentuh.[11]

12. Gajah Serempang[sunting]

Permainan ini berasal dari Jawa Tengah, bisa dimainkan oleh anak laki-laki atau anak perempuan, atau campuran dari anak laki-laki dan anak perempuan. Pemain berjumlah 3-14 orang, dimainkan di halaman rumah. Selain menggembirakan, permainan ini dapat mengembangkan motorik kasar anak usia dini. Permainan ini di D.I Yogyakarta disebut sebagai permainan “Dhingklik Oglak Aglik”. Nilai budaya dalam permainan ini adalah keterampilan, kerjasama, keberanian, kelincahan, kesehatan, perkembangan fisik, sosial, olah raga, dan keseimbangan.

Lagu Pengiring[sunting]

“Lagu Gajah Serempang”

Jah gajah serempang

Ana dlingo karo bawang

Didheplok dadi selumpang

Sur-sur segiyak-giyak kasur-sur

Setalen-talen kasur-sur


“Lagu Dhingklik Oglak Aglik”

Pasang dhingklik oglak-aglik

yen kecelik adang gogik

yu yu mbakyu mangga dhateng pasar blanja

leh olehe napa

jenang jagung enthok-enthok jenang jagung

enthok-enthok jenang jagung

enthok-enthok jenang jagung

Aturan Permainan[sunting]

Pemain membuat kesepakatan untuk pemain yang terlepas ikatannya mendapatkan hukuman bernyanyi atau menirukan gaya hewan tertentu.

Cara Bermain[sunting]

  1. Para pemain terlebih dahulu membuat kesepakatan untuk pemain yang dadi.
  2. Semua pemain berdiri melingkar dan berhadapan dengan tangan bergandengan satu sama lain. Pemain A dan B mbrobos (menerobos di bawah lengan C dan D). mereka akhirnya berdiri bertolak belakang dengan tangan tetap bergandengan.
  3. Satu kaki setiap pemain, boleh kiri atau kanan, diangkat dan ditekuk ke belakang dan saling dikaitkan sehingga posisinya kuat.
  4. Setelah semua terkait, mereka melepaskan gandengan tangan, lalu bertepuk tangan sambil melompat-lompat dan menyanyikan lagu “Gajah Serempang”.
  5. Mereka terus melompat dan menyanyikan lagu sampai salah satu pemain yang terjadtuh atau kakinya terlepas dari yang lain.
  6. Pemain yang kakinya terlepas kemudian melakukan hukuman yang telah disepakati bersama.[11][13][14]

13. Gotri[sunting]

Permainan Gotri berasal dari Jawa Tengah, dapat dimainkan oleh anak laki-laki atau anak perempuan atau gabungan antara anak laki-laki dan anak perempuan berusia 7-10 tahun. Paling sedikit dimainkan oleh 4 orang.

Peraturan Permainan[sunting]

  1. Diperlukan pecahan genting sejumlah pemain dikurangi satu dan batu sungai/kali yang agak besar dibandingkan ukuran pecahan genting yang berfungsi sebagai kodhok (katak).
  2. Arena bermain berupa garis segi empat atau bulat dengan ukuran garis sisi atau garis tengah sepanjang 40 sampai 100 cm, kemudian dibagi sejumlah peserta.
  3. Pemain yang terkena kata kodhok di akhir lagu dianggap kalah.
  4. Pemain yang kalah mendapat hukuman sesuai kesepakatan yang telah ditentukan. Misalnya menyanyi atau menari dengan iringan lagu yang dinyanyikan oleh pemain lainnya.

Lagu Pengiring[sunting]

"Gotri"

Gotri legendri nogosari, ri

Riwul owal-awul jenang katul, tul

Tulen olan-alen jadah manten, ten

Titenana mbesuk gedhe dadi apa, pa

Podheng mbako enak mbako sedheng, dheng

Ndhengkok eyak eyok kaya kodhok

Cara bermain:[sunting]

  1. Seluruh pemain duduk mengitari arena permainan segi empat atau lingkaran yang terbagi menjadi 4 bidang (untuk jumlah pemain 4 orang)
  2. Setiap pemain memegang pecahan genting dan salah satu diantaranya memegang batu yang agak besar yang berfungsi sebagai kodhok.
  3. Semua pemain menyanyikan lagu sambil memindahkan pecahan genting dan kodhok. Ketika lagu sampai pada kata kodhok, maka yang mendapatkan batu kodhok kalah dan mendapatkan hukuman.
  4. Hukuman dapat berupa: pemain disuruh menyanyikan lagu yang telah ditentukan atau disuruh menirukan kodhok berjalan, sesuai kesepakatan bersama di awal.
  5. Permainan diulang lagi setelah pemain yang kalah menjalankan hukumannya. Posisi batu kodhok berada di ruang pemain yang baru saja kalah.  
  6. Begitu seterusnya permainan dilakukan hingga pemain bosan.[11]

14. So Riyo Riyo[sunting]

So Riyo Riyo adalah permainan tradisional yang dimasukkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda dari daerah Ponorogo, Jawa Timur yang dapat dimainkan oleh sekitar 10 anak laki-laki dan perempuan maupun gabungan dari keduanya. Pemain saling bergandengan tangan membentuk sebuah lingkaran. Pemain yang jadi berada di tengah-tengah lingkaran tersebut. Permainan ini dilakukan dengan diiringi lagu “So Riyo”. So Riyo ini mirip dengan permainan Jamuran dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Aturan permainan[sunting]

  1. Pemain yang kalah (pemain dadi) berada di tengah lingkaran, sementara pemain yang menang (pemain mentas) membentuk lingkaran mengelilingi pemain dadi.
  2. Jamur ketek menek (monyet memanjat) artinya semua pemain mentas harus cepat-cepat lari dan memanjat sesuatu, boleh memanjat pohon, pagar, atau yang lain yang ada di sekitar permainan. Pemain dadi secepat mungkin akan menangkap atau menyentuh salah satu pemain mentas. Jika pemain yang dikejar tertangkap sebelum berhasil memanjat sesuatu, dialah yang berganti menjadi pemain dadi. Namun jika pemain dadi tidak berhasil menangkap satupun pemain mentas sebelum mereka memanjat, maka ia tetap menjadi pemain dadi.
  3. Jamur parut, artinya pemain mentas harus segera mengangkat salah satu kakinya, membuka telapak kakinya. Pemain dadi akan menggaruk telapak kaki pemain mentas satu per satu. Jika pemain yang digaruk tertawa, maka ia berganti posisi menjadi pemain dadi. Jika ketika digaruk kakinya tidak ada yang tertawa, maka pemain dadi tetap menjadi pemain dadi.
  4. Jamur manuk mencok (burung hinggap) artinya pemain mentas harus cepat-cepat berputar-putar menirukan tingkah burung yang sedang terbang, kemudian pemain dadi harus berusaha mengejar dan menangkap pemain mentas sebelum “hinggap”. Jika ada pemain yang tertangkap dalam keadaan lari, maka ia yang menggantikan menjadi pemain dadi. Pemain mentas yang sedang menirukan burung terbang, dapat menghindari tangkapan pemain dadi dengan cepat-cepat berjongkok (menirukan burung yang hinggap). Pemain yang jongkok tidak boleh “ditangkap”.

Lagu Pengiring[sunting]

“So Riyo”

So-Riyo

Mbah Mlinjo, riyo

Riyo podhang, riyo podhang

Gagar mayang padhang bulan

Pitik Walik

Endhogmu blirik, walik

Walik mata, walik mata

Mas Bei jamur apa?

Cara Bermain:[sunting]

  1. Dilakukan hompimpa, kemudian pingsut jika tinggal tersisa dua anak. Yang kalah menjadi pemain dadi, sementara yang lainnya menjadi pemain mentas.
  2. Pemain mentas bergandengan tangan satu sama lain membentuk lingkaran. Pemain dadi berdiri di tengah lingkaran.
  3. Pemain mentas berjalan mengitari pemain dadi sambil menyayikan lagu “So Riyo”. Ketika sampai pada lirik Mas Bei jamur apa?, kemudian pemain dadi menyebutkan salah satu jamur. Pemain mentas kemudian memperagakan sesuai dengan nama jamur yang disebut.
  4. Menang atau kalah ditentukan sesuai aturan permainan di atas.
  5. Permainan dilanjutkan, dimulai dari awal, sampai semua pemain merasa puas.[15][16]
  1. Ucing Peungpeun. 2018. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=7189
  2. 2,0 2,1 2,2 2,3 Soimun, dkk. 1993. Pengukuhan Nilal-Nilai Budaya Melalui Lagu-Lagu Permainan Rakyat (Pada Masyarakat Sunda). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilal-Nilai Budaya.
  3. http://20lagurakyat.blogspot.com/2013/12/a-oray-orayan.html
  4. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=5946
  5. https://budaya-indonesia.org/Kakawihan-Prang-pring
  6. https://budaya-indonesia.org/Permainan-Surantang-Surinting-dari-Banten
  7. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1159
  8. https://dinaskebudayaan.jakarta.go.id/disbuddki/news/06/2021/Permainan-Ular-Naga
  9. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=671
  10. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=3742
  11. 11,0 11,1 11,2 11,3 11,4 Permainan Tradisional Jawa oleh Indiyah Prana Amertawengrum. 2018. Klaten: PT Intan Pariwara.
  12. https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/394-dolanan--jamuran
  13. https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/411-dolanan-dhingklik-oglak-aglik
  14. Ariani, Christriyati, dkk. 1997. Pembinaan Nilai Budaya Melalui Permainan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian Dan Pembinaan Nilal-Nilai Budaya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
  15. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6754
  16. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=3876