Permainan Tradisional NTB/Kolo

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Permainan Kolo

Permainan Kolo adalah salah satu permainan tradisional yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. Permainan ini dapat ditemukan di Kampung Bukit Tinggi, Desa Seketeng, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa. Nama permainan ini berasal dari kata "Ku-Olo" yang artinya taruh. Dalam permainan ini jika seorang pemain dapat mengatur/menaruh batu-batu, ia harus meneriakkan kata "Ku - Olo." Kata "Ku - Olo" ini dalam pengucapan yang cepat terdengar seperti berbunyi "Kolo". Permainan Kolo hampir sama dengan permainan Sepak Tekong. Permainan ini berfungsi sebagai hiburan, menambah kegembiraan dan mengisi waktu luang. Selain itu, permainan ini dapat menambah ketangkasan dan keterampilan.

Pemain[sunting]

Permainan Kolo biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berumur antara 7 - 12 tahun. Permainan ini dilakukan secara berkelompok bisa dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan.

Peralatan Permainan[sunting]

Permainan Kolo memerlukan beberapa peralatan yaitu "telawe" atau pecahan genteng dan sebuah bola karet. Namun bisa juga menggunakan "bal kerik" yaitu bola yang terbuat dari sepihan kain atau "bal keraras" yaitu bola yang terbuat dari daun pisang kering.

Aturan Permainan[sunting]

Terdapat beberapa aturan dalam permainan Kolo yaitu sebagai berikut.

  1. Siapa yang sedang menjadi pihak "entek" harus bisa menyusun kembali "telawe" yang telah berserakan.
  2. Siapa yang kena lemparan bola berarti seluruh regu menjadi pihak "masang".
  3. Yang menjadi pihak "masang" untuk permulaan adalah pihak yang kalah dalam "sut".
  4. Pihak "masang" dapat melempar lawannya menggunakan bola dengan cara melempar langsung bekerja sama dengan temannya.
  5. Regu yang berhasil menyusun telawe adalah yang menang.
  6. Regu yang kalah akan dihukum "Temboko" yaitu menggendong yang menang

Cara Bermain[sunting]

Terdapat beberapa tahapan dalam permainan Kolo yaitu sebagai berikut.

  1. Sebelum permainan dimulai, beberapa pecahan genteng dikumpulkan dengan jumlah antar 6 - 10 buah.
  2. Sesudah pecahan-pecahan genteng terkumpul, salah seorang dari mereka menyusun pecahan genteng tersebut.
  3. Kemudian di sekitar pecahan genteng itu dibuat garis melingkar sebagai batas.
  4. Selanjutnya adalah penentuan regu yang dilakukan dengan cara sut. Pihak yang menang disebut "entek" dan pihak yang kalah disebut "masang".
  5. Setelah diketahui siapa yang menang dan yang kalah dalam sut, maka pihak yang menang memegang bola dan pihak yang kalah berjaga agak jauh dari susunan telawe.
  6. Kemudian pemegang bola melempar tumpukan telawe. Lemparannya diusahakan mengenai telawe, tetapi tidak terlalu berserakan.
  7. Sesudah telawe berjatuhan/berserakan, dan bola terlempar, maka pihak "entek" berusaha menyusun kembali telawe yang berserakan tadi.
  8. Sementara itu pihak "masang" berusaha mengambil bola yang terlempar tadi. Kemudian bola tersebut harus dilemparkan ke salah seorang lawannya.
  9. Jika lemparannya kena maka pada saat itu status kedua regu bertukar. Pihak yang kena lempar harus mengambil bola tersebut dan dilemparkan ke arah lawannya. Sedangkan yang lain harus berusaha mengatur telawe yang berserakan tadi.
  10. Jika salah seorang anggota regu bisa menyusun telawe tadi maka ia harus berteriak "Kolo" yang berarti regunya menang.
  11. Yang kalah dihukum temboko yaitu mengangkat lawannya di atas punggung menuju ke tempat yang telah disepakati bersama.
  12. Permainan diulang beberapa kali sampai mereka merasa bosan atau kelelahan.[1]

Referensi[sunting]

  1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1984). Permainan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan