Permainan Tradisional NTB/Kudung

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Permainan Kudung adalah salah satu permainan tradisional yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. Permainan ini dapat ditemukan di Kampung Buhlawang, Desa Selebung Ketangga, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur. Nama permainan ini berasal dari kata "Kudung" yang memiliki arti tutup. Dinamakan Kudung karena dalam permainan ini pihak penjaga selalu berusaha menutup jalan agar lawannya tidak bisa lolos. Di Desa Sakra, permainan ini disebut "Tambe" yang berasal dari kata "Tambeh" yang berarti berjaga-jaga. Dinamakan demikian karena para pemain harus selalu berjaga-jaga. Permainan Kudung biasanya dilaksanakan siang atau sore hari setelah selesai panen di tengah sawah. Permainan ini berfungsi sebagai hiburan, menambah kegembiraan dan mengisi waktu luang.

Sejarah Permainan[sunting]

Permainan Kudung dahulu dilakukan pada saat keadaan sosial ekonomi masyarakat baik yaitu ketika padi telah dipanen, telah tertumpuk di tengah sawah menunggu untuk diangkut atau saat padi sudah naik ke lumbung. Permainan ini dilakukan untuk mengisi waktu luang setelah panen di sawah.

Pemain[sunting]

Permainan Kudung biasanya dilakukan oleh anak-anak yang berumur antara 6 - 12 tahun. Pemainnya bisa laki-laki saja atau perempuan saja. Jumlah pemainnya antara 4 sampai 8 orang.

Peralatan Permainan[sunting]

Permainan Kudung tidak memerlukan peralatan dalam bermain. Yang diperlukan hanya arena permainan yang berbentuk sebuah lingkaran atau dua buah lingkaran yang dihubungkan dengan semacam lorong.

Aturan Permainan[sunting]

Terdapat beberapa aturan dalam permainan Kudung yaitu sebagai berikut.

  1. Pemain yang menjadi Kudung harus berusaha menyentuh tubuh atau bagian-bagian tubuh yang lain termasuk pakaian menggunakan tangannya.
  2. Pada waktu menyentuh, kaki harus sepenuhnya berada di luar lingkaran.
  3. Pemain yang berada di dalam lingkaran tidak boleh keluar dari garis batas. Jika keluar maka disebut "Kajemplung" dan pemain tersebut menjadi Kudung.
  4. Pada saat menyentuh lawan, Kudung tidak diperkenankan mengangkat kaki sebelah, kedua kaki harus bertumpu di tanah. Jika menyimpang dari peraturan nomor 1, 2, dan 4 maka sentuhan dianggap nyalaq atau salah dan dinyatakan batal.

Di daerah Sakra terdapat beberapa aturan dalam permainan Kudung yaitu sebagai berikut.

  1. Apabila pemain karena sesuatu hal terpaksa "Kajemplung" atau keluar dari garis, jika pemain tersebut teng teng kelak atau berjalan meloncat dengan satu kaki maka ia tidak mati.
  2. Pemain tersebut boleh dikejar oleh Kudung dengan teng teng kelak juga. Jika kena maka ia akan menjadi Kudung, jika tida kena ia bisa masuk lingkaran lagi.
  3. Pemain yang kena sentuh disebut "bakat" atau "bau" yang memiliki arti kena atau tertangkap.
  4. Pemain yang berada dalam lingkaran boleh mengejek dan menyerukan "Tambe La ... Jari". Titik-titik itu diisi nama anak yang sedang menjadi Kudung.

Cara Bermain[sunting]

Terdapat beberapa tahapan dalam permainan Kudung yaitu sebagai berikut.

  1. Permainan diawali dengan menunjuk pemain yang paling besar untuk "jadi" terlebih dahulu. Pemain yang "jadi" ini disebut juga dengan Kudung. Pemain bisa dikatakan "jadi" apabila mereka berada di luar lingkaran dan baru boleh masuk apabila dapat menyentuh pemain lain yang berada dalam lingkaran.
  2. Sebelum permainan dimulai, Kudung membuat lingkaran dan garis di tanah dengan menggunakan kakinya. Untuk membuat garis dapat juga menggunakan air. Jika permainan dilakukan di sawah, maka garis batasnya dibuat dari jerami yang dibakar.
  3. Setelah persiapan selesai, pemain yang menjadi Kudung berdiri di garis batas yang melingkar. Sedangkan pemain yang lain berada di dalam lingkaran.
  4. Kemudian Kudung mulai menyentuh pemain yang ada di dalam sambil berlari mengitari lingkaran.
  5. Pemain yang tersentuh secara sah akan bergantian menjadi Kudung dan yang diganti akan masuk ke dalam lingkaran bergabung dengan pemain lainnya.
  6. Pada permainan Kudung yang memakai lorong, mula-mula para pemain berkumpul dalam satu lingkaran. Jika terpojok boleh lari ke lingkaran lain melalui lorong yang ada. Ketika melewati lorong pemain boleh disentuh sesuai dengan aturan permainan. Dalam permainan ini terdapat semacam time out yang disebut "ngecop". Pemain yang menggunakan kesempatan ini harus meneriakkan kata "cop" apabila kainnya terlepas atau sebab-sebab lain yang mendesak.
  7. Permainan dilakukan terus menerus dan baru berakhir jika mereka sudah merasa lelah, bosan atau jika waktu sudah menjelang malam.
  8. Sebagai tanda berakhirnya permainan, biasanya mereka akan berteriak "rae-rae" yang akan disambut oleh anak-anak yang menonton dengan teriakan yang sama.[1]

Referensi[sunting]

  1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1984). Permainan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan