Permainan tradisional asal Gorontalo

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Permainan tradisional tujuan utamanya, selain untuk bersenang-senang, biasanya adalah untuk memupuk kebersamaan karena bisa dimainkan banyak pemain, walau tanpa melupakan unsur kompetisi dan sportivitas.

Permainan tradisional setiap daerah dan komunitas dibentuk oleh budaya dan lingkungan lokal. Ruang fisik, bahan yang tersedia serta musim menentukan kapan dan dimana permainan tersebut dimainkan, alat bantu yang dipakai serta bentuk permainan. Norma budaya dan sosial serta ekspresi bisa menunjukkan siapa yang bermain, bagaimana permainan itu dimainkan, serta tujuannya. Singkat kata, tiap daerah punya kekhasan, sepertii kata pepatah, “lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”.

Gorontalo adalah nama daerah sekaligus suku dan bahasa dari penduduk yang mendiami semenanjusng Sulawesi Utara bagian barat. (Menyebut daerah yang diapit Laut Sulawesi di utara dan Teluk Tomini di selatan Semenanjung Gorontalo tidak tepat karena semenanjung adalah daratan yang di ketiga sisinya dikelilingi lautan.)

Seperti kebudayaan Nusantara lainnya, suku Gorontalo juga punya banyak koleksi permainan tradisional. Sayangnya sebagai budaya tutur — dimana transfer pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya kebanyakan melalui tradisi lisan, dokumentasi tentang beragam jenis permainan ini sangat minim.

Awuta (Congklak)[sunting]

Awuta berasal dari kata “huta” yang berarti tanah. Pada zaman dahulu biasa dimainkan saat kedukaan. Makna filosofisnya adalah untuk mengingatkan bahwa manusia berasal dari tanah, dan suatu saat nanti akan kembali ke tanah.

Cara memainkannya dengan membuat lubang di tanah berjumlah 14 buah, dengan 2 buah lubang berukuran besar dimasing-masing sisi serta 12 lubang berukuran kecil yang saling berhadapan, yang pada awal permainan diisi masing-masing 4 buah biji, jadi tiap pemain punya 24 buah biji. Barisan lubang yang lebih dekat dengan dia, serta sebuah lubang besar yang berfungsi sebagai penampungan, adalah milik pemain tersebut.

Pemain, yang terdiri dari dua anak gadis berusia 8-12 tahun, secara bergantian mengambil dan mengisi biji dari sebuah lubang ke lubang di sebelah kanannya, searah berlawanan arah jarum jam. Bila biji jatuh di sebuah lubang berisi, pemain mengambilnya dan melanjutkan pengisian lubang. Bila biji jatuh di lubang kosong, pemain mengucapkan kata “denggu”, dan permainan dianggap selesai. Pemenangnya adalah yang mengumpulkan paling banyak biji di lubang besar miliknya.

Permainan awuta (congklak) dengan segala bentuk dan variannya adalah salah satu permainan tertua di dunia, diperkirakan telah ada sejak zaman Mesir Kuno. Di kepulauan Nusantara, hampir semua daerah mengenalnya, namun di Sulawesi ada satu keistimewaan yang membedakannya dari daerah lain.

Pada beberapa kebudayaan di Sulawesi, permainan ini bernuansa magis karena pada zaman dahulu hanya dimainkan saat ada anggota keluarga meninggal, bahkan tabu dimainkan di luar acara berkabung, seperti yang terlihat pada tradisi suku Minahasa di Provinsi Sulawesi Utara khusunya di kota Manado, yang menyebut permainan ini “mokaotan”.

Dalam tradisi suku Kaili di Provinsi Sulawesi Tengah yang menyebutnya “nogarata”, dan suku Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan yang menyebut permainan ini “maggaleceng”, untuk memainkan permainan congklak dalam waktu lebih lama dari 7 atau 40 hari hanya bisa dilakukan bila yang meninggal adalah seorang raja atau bangsawan.

Bila seseorang meninggal ada kenduri yang berlangsung pada hari pertama, ketiga, kelima, ketujuh, kesepuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, dan keseratus, yang biasanya diisi dengan tahlilan dan tadarusan atau khataman Al Quran (dalam bahasa Gorontalo “mo hatamu”). Pada hari keempatpuluh ada acara pemasangan batu nisan, “pa’ita”. Di sela-sela acara seperti inilah congklak biasanya dimainkan, untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan, atau takziah, yang sangat dianjurkan dalam tradisi Islam.

Manfaat bermain congklak antara lain adalah untuk megajari pemain, utamanya anak-anak, keahlian berhitung. Beberapa penelitian psikologi mengaitkan permainan ini dengan pengetahuan kognitif, memori dan pemecahan masalah.

Permainan tradisional awuta (congklak) dikenal dengan berbagai nama di Indonesia. Congklak berasal dari bahasa Jawa, yang juga menyebutnya dakon (dakon atau dhakon sebetulnya adalah papan tempat bermain). Jumlah lubang lebih banyak dari awuta, yakni 16 buah, 7 buah lubang kecil dan 1 lubang besar untuk tiap pemain. Jumlah bijinya pun lebih banyak, yaitu 98 buah, atau tiap lubang kecil diisi masing-masing 7 buah biji pada awal permainan.

Di beberapa daerah di Sumatra dengan kebudayaan Melayu, congklak dikenal dengan nama congkak, sedangkan di Lampung disebut dentuman lamban.

Di Sulawesi Utara khususnya di kota Manado, permainan ini disebut mokaotan,. Berbeda dengan awuta versi Gorontalo, pada permainan mokaotan lubangnya ada 16 buah - 14 buah lubang kecil serta 2 lubang besar, atau masing-masin pemain punya 7 lubang kecil dan 1 lubang besar. Jumlah bijinya pun berbeda, dengan total 98 buah biji, atau tiap lubang kecil berisi 7 biji pada awal pertandingan.

Di Sulawesi Selatan dikenal dengan nama maggaleceng atau aggalacang, sementara di Sulawesi Tengah, congklak dikenal dengan beberapa nama: nogarata, nogalasa garata, atau galasa (Galasa adalah nama tumbuhan berduri dengan biji bulat. Biji galasa inilah yang dijadikan biji permainan congklak, dan asal nama permainan dalam bahasa lokal). Jumlah lubang sama dengan awuta dari Gorontalo, dengan jumlah biji lebih banyak yaitu 36 buah, atau tiap lubang diisi 6 buah biji pada awal permainan.

Bunggo (Meriam bambu)[sunting]

Permainan “bunggo” (meriam bambu), atau beberapa orang menyebutnya “panabulu”, biasanya dimainkan untuk menyambut bulan puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Permainan ini sangat populer di tahun 1990an.

Bunggo dibuat dari sepucuk bambu, biasanya dari jenis yang oleh penduduk lokal disebut “wawohu” yang memiliki ciri rongganya besar dan kulitnya lebih tipis dan licin dari jenis bambu yang biasa digunakan untuk membangun rumah.

Pucuk yang berukuran 1-2 meter ini, dilubangi semua ruasnya kecuali yang paling ujung. (Proses melubangi ruas-ruas bambu ini dalam bahasa Gorontalo disebut “mo lola’o”.) Di bagian ini lalu di buat sebuah lubang kecil berdiameter 10 cm.

Cara memainkan bunggo adalah dengan mengisi minyak tanah ke dalamnya, meniup untuk mengeluarkan asap, dan menyulutkan api ke lubang kecil tersebut, layaknya seperti meriam. Reaksi minyak tanah yang panas dan api akan mengeluarkan suara ledakan khas. Kadang juga karbit dan air digunakan untuk mengganti minyak tanah, tapi walaupun suara dentumannya lebih kencang, pemakaian karbit lebih bahaya karena bisa menyebabkan bunggo mudah pecah, bahkan pemain bisa terluka dari percikan atau semburan api.

Bunggo sering dipertandingkan sebagai kompetisi antar kelompok.

Sewaktu masa kejayaannya di tahun 1990an dulu, banyak orang berseloroh bulan puasa tidak akan tiba tanpa adanya suara dentuman bunggo bersahut-sahutan. Sayangnya sekarang permainan tradisional ini sudah terpinggirkan, digantikan petasan.

Manfaat permainan bunggo adalah untuk menandai, menyambut datangnya, dan memeriahkan hari-hari besar keagamaan. Selain itu permainan ini akan mengasah kreativitas, serta belajar bertanggung jawab karena bagaimanapun dan sekecil apapun, bunggo bisa menimbulkan bahaya karena itu pemain dituntut untuk memitigasi dan meminimalisasi dampak yang tidak dinginkan terhadap dirinya, lingkungan, serta teman sepermainan. Bagi mereka yang mencintai ilmu pengetahuan, permainan tradisional ini bisa menjadi ajang untuk belajar ilmu kimia — seperti fakta bahwa reaksi antara air dengan karbit dan garam akan mengeluarkan suara dentuman yang lebih keras daripada bunggo yang berbahan bakar minyak tanah. (Bukan tidak mungkin, dengan mempelajari bunggo akan lahir para pakar ledakan sekaliber Alfred Nobel — asal jangan jadi teroris saja atau mengaplikasikan keahliannya untuk mengganggu kemaslahatan publik.)

Permainan meriam bambu tersebar merata di kepulauan Nusantara, bahkan ada di Malaysia dan Filipina. Konon katanya permainan tradisional ini adalah upaya warga lokal meniru meriam Portugis di abad XVI, walau tidak ada bukti historis yang mendukungnya. Faktanya minyak bumi baru ditambang pada akhir abad XIX, 300an tahun setelah kedatangan Portugis di Nusantara. Periode waktu permainan tradisional meriam bambu berawal yang paling mungkin adalah antara pasca kemerdekaan sampai tahun 70an karena pada saat itu rakyat biasa punya akses ke minyak tanah sebagai bahan bakar yang tersedia dengan harga terjangkau karena disubsidi pemerintah. Pada masa itu pula kontrol pemerintah pusat atas daerah agak longgar sehingga rakyat di daerah bebas mengekspresikan diri. Sampai tahun 1960an kekuasaan pemerintah selalu dirongrong pemberontakan bersenjata, dan mereka tentu tidak akan mengizinkan rakyat memainkan permainan yang mengeluarkan bunyi seperti senjata.

Menurut tradisi, permainan meriam bambu berasal dari daerah-daerah dengan kebudayaan Melayu, dan tiap daerah punya nama berbeda. Di Bangka dan Belitung, meriam bambu disebut bedil bambu. Di Sumatra Barat disebut “badia batuang” atau meriam betung — “betung” artinya bambu. Di Jawa Tengah, disebut long bumbung, sementara di Yogyakarta disebut mercon bumbung — “bumbung” artinya bambu. Di Jawa Barat, meriam bambu disebut bebeledugan. Di Subang, Jawa Barat, permainan ini dikenal dengan nama meriam lodong, sementara di Sumedang, Jawa Barat, disebut bedil lodong — “lodong” dalam bahasa Sunda artinya bambu. Dalam bahasa Tagalog di Filipina, permainan ini disebut lantakang kawayan.

Tenggedi (Egrang)[sunting]

Tenggedi berasal dari kata “tengge” yang artinya jingkat walaupun nyatanya dalam memainkan permainan tradiisonal ini pemain tidak berjingkat.

Permainan tenggedi (egrang) adalah permainan yang menggunakan sepasang tongkat bambu sepanjang 1,5 sampai 2,5 m yang diberi pijakan kaki. Cara memainkannya adalah pemain menaruh kakinya pada pijakan dan berjalan menggunakan egrang.

Ada juga varian lain yang menggunakan dua buah tempurung kelapa (dalam bahasa Gorontalo “bu’awu”) yang bagian tengahnya dilubangi dan diberi tali rafia. Pemain meletakkan kakinya di atas tempurung dan berjalan dengan mengangkat tempurung dengan bantuan tali.

Permainan ini sangat mengandalkan keseimbangan dan kelenturan tubuh terutama kaki, oleh karena itu pemain yang terjatuh dan menginjak tanah dianggap kalah.

Pada acara 17 Agustusan, biasanya ada balapan tenggedi. Pemain akan berlomba layaknya cabang atletik jalan cepat atau lari. Tapi karena ini dilakukan dengan sepasang tongkat bambu yang panjang atau tempurung kelapa yang diikat tali, pertandingan akan terlihat lucu. Tak sedikit pemain jatuh dan tidak sanggup menyelesaikan lomba. Namun seperti halnya aktivitas komunal lainnya, khususnya acara memperingati Hari Kemerdekaan, menjadi juara bukan tujuan utamanya, melainkan partisipasi untuk memeriahkan acara.

Bagi kepulauan Indonesia yang sebagian besar daerahnya sering dilanda bencana hidrometeorolgi seperti banjir, egrang yang proses pembuatanyya lebih mudah dan murah daripada perahu atau rakit, bisa digunakan untuk menjelajahi area yang terendam.

Manfaat bermain egrang lainnya adalah unutk mengasah keterampilan motorik halus, utamanya bagian kaki beserta jari-jarinya.

Permainan tradisional tenggedi (egrang) dengan nama dan aturan berbeda tersebar merata di Indonesia.

Kata “egrang” sendiri berasal dari bahasa Lampung yang artinya terompah pancung yang terbuat dari bambu panjang. Di Sumatra Barat permainan ini dikenal dengan nama tengkak-tengkak yang asal katanya “tengkak” yang berarti pincang. Di Bengkulu, egrang disebut ingkau. Sementara di Jawa Tengah, egrang disebut jangkungan. Di Kalimantan Selatan, permainan ini dikenal dengan nama batungkau.

Berawal di zaman Yunani Kuno, egrang sudah menjadi bagian budaya Eropa sejak lama. Hingga kini biasanya dipertunjukkan di sirkus atau atraksi.

Di film Kiyosu Kaigi (2013), Toyotomi Hideyoshi, seorang penguasa di Jepang di abad XVI, digambarkan membantu Oda Nobukatsu — anak Oda Nobunaga dan calon penggantinya — berjalan menggunakan egrang. Walaupun film tersebut fiksi dan parodi, tapi ini menunjukkan bahwa bangsa Jepang telah mengenal egrang sejak dulu.

Palapudu (Bedil bambu)[sunting]

Palapudu (bedil bambu) adalah permainan tradisional Gorontalo lainnya yang terbuat dari bambu, atau lebih tepatnya cabang/pucuk bambu yang berukuran kecil, yang dalam bahasa Gorontalo disebut “langgango”.

Pucuk bambu sepanjang 40-50 cm, dipotong menjadi dua bagian. Bagian yang lebih panjang akan berfungsi sebagai “laras” bedil, sedangkan bagian yang dekat dengan ruasnya, sekira 10 cm, akan berfungsi sebagai “pelatuk”. Di bagian pelatuk ini dimasukkan sebilah bambu sekira 25-35 cm (lebih pendek dari bagian laras tadi.)

Cara memainkannya adalah kertas koran yang telah direndam semalaman dan digulung sebagai peluru dimasukkan ke dalam laras bedil, lalu ditembakkan dengan cara mendorongnya dengan pelatuk. Peluru kertas palapudu akan terasa perih seperti dicubit bila mengenai kulit.

Anak-anak kecil biasanya suka bermain perang-perangan dengan palapudu di sawah atau kebun kosong yang telah dipanen.

Manfaat bermain palapudu, terutama perang-perangan, adalah untuk mejaga kebugaran karena berupa aktivitas fisik, sekaligus untuk menghirup udara segar. Untuk memenangkan perang-perangan tentu butuh keahlian untuk mengatur strategi. Selain itu, karena perang-perangan palapudu adalah permainan berkelompok, bisa mengajarkan anak-anak tentang kejasama tim dan solidaritas serta sportivitas.

Tidak ada yang tahu bagaimana dan dari mana asal permainan tradisional ini, tapi prinsip kerjanya mirip senjata sumpit atau semprotan air bambu. Masyarakat Gorontalo hidupnya memang erat dengan bambu, yang tidak saja dipakai sebagai bahan baku utama untuk rumah atau struktur bangunan lainnya, tapi juga untuk perabotan, perangkap ikan “olate”, pengganti pipa PVC sebagai saluran air. Bambu muda atau rebung — dalam bahasa lokal “lombu” — sering disantap sebagai sayuran. Tidaklah heran bila ada yang kreatif memanfaatkan bagian bambu yang dianggap tak berguna.

Di Jambi ada permainan tradisional, bedil buluh namanya, yang prinsip kerjanya mirip palapudu tapi pelurunya menggunakan putik jambu.

Alanggaya (Layang-layang)[sunting]

Generasi tahun 80an dan 90an tentu sangat familiar dengan lagu Layang-layang ciptaan A.T. Mahmud yang sering dinyamyikan di preschool dan Taman Kanak-kanak (TK):

♪ Kuambil buluh sebatang ♪ Kupotong sama panjang ♪ Kuraut dan kutimbang dengan benang ♪ Kujadikan layang-layang ♪ Bermain, berlari ♪ Bermain layang-layang ♪ Berlari kubawa ke tanah lapang ♪ Hatiku riang dan senang

Alanggaya (layang-layang) adalah sebuah permainan yang kerangkanya terbuat dari bilah-bilah bambu yang diraut dan ditempeli kertas lampion, sehingga ringan dan mudah diterbangkan dan dikendalikan menggunakan benang atau tali nilon dengan bantuan hembusan angin.

Ada banyak bentuk alanggaya tapi yang paling banyak adalah yang berbentuk segilima yang di bagian bawahnya diberi ekor panjang. Bentuk ini disebut “alanggaya tulidu” (layang-layang ular), mungkin bentuknya terinspirasi dari naga Barongsai yang biasanya diarak pada acara Cap Go Meh (hari ke-15 setelah Tahun Baru Tionghoa, Imlek). Ada juga yang bentuknya lebih rumit, mirip burung elang dengan ekornya berupa rumbai-rumbai sehingga disebut “alanggaya buliya”. Jenis inilah yang paling banyak diikutkan dalam perlombaan.

Perlombaan layang-layang, atau dalam bahasa Gorontalo “tuhiya lo alanggaya”, biasanya dilangsungkan saat musim kemarau di sebuah lapangan luas. Pemain menerbangkan alanggaya setinggi 100-200 m. Pada ketinggian ini biasanya tekanan udara tinggi sehingga mengendalikan alanggaya sulit, yang bisa dilihat dari benang atau tali nilon yang mengencang serta terasa berat. Pemenang lomba adalah pemain yang bisa membuat alanggayanya dalam posisi statis selama mungkin.

Konon menurut para maestro, rahasia bikin alanggaya yang layak diikutkan lomba terletak pada pemilihan bilah bambu yang dijadikan kerangkanya, yaitu berasal dari batang bambu yang telah lama diasapi.

Rumah-rumah di Gorontalo pada zaman dahulu kebanyakan terbuat dari bambu, dindingnya dari kulit bambu yang dianyam atau “tehilo” serta dirancah atau “tolotahu”. Termasuk bagian dapurnya. Tiang-tiang bambu yang berada tepat di atas tungku inilah yang dimaksud mereka.

Bambu-bambu yang tealh diasapi ini, masih menurut para maestro alanggaya tadi, memiliki karakteristik lebih ringan relatif bila dibandingkan dengan bambu yang baru saja ditebang karena kandungan airnya sudah jauh berkurang, sekaligus lebih mudah dibentuk. Dan karena panas api serta asap dari tungku dapur, tidak dimakan rayap (dalam bahasa Gorontalo “wua’ango”), seperti halnya kayu atau bambu yang dijadikan bahan pembuatan rumah di daerah tropis.

Semua klaim ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah, tapi logikanya cukup masuk akal. Demikianlah bentuk kearifan lokal dan warisan budaya berdasarkan pengalaman beberapa generasi.

Ada juga jenis perlombaan lain, yaitu adu layang-layang. Untuk dapat memainkannya pemain harus punya benang gelasan. Benang gelasan adalah benang biasa yang telah diolesi serbuk kaca, jadi agak tajam. Cara memainkannya adalah dengan menggesek benang layang-layang lawan. Pemain yang benag layang-layangnya putus dianggap kalah.

Permainan layang-layang khususnya layang-layang aduan adalah satu dari sedikit permainan tradisional yang masih dimainkan dan populer hingga saat ini. Di toko-toko daring bisa dijumpai banyak penjual yang menjajakan peralatan untuk memainkan layang-layang dengan harga yang relatif terjangkau.

Karena sering dipakai untuk tujuan praktis seperti alat bantu penelitian cuaca, menangkap kelelawar atau memancing ikan, serta bagian dari ritual tertentu, tak ayal lagi layang-layang adalah pesawat nirawak drone zaman baheula.

Indonesia sebagai negara yang sering dilanda kebakaran hutan dan lahan harusnya bisa memanfaatkan layang-layang yang ditempeli kamera dan diberi koneksi internet seluler sebagai semacam sistem peringatan dini (early warning system) untuk titik-titik panas supaya bisa ditanggulangi secepatnya. Ini bisa jadi solusi alternatif yang lebih murah dari drone yang jangkauannya mungkin terbatas citra satelit yang belum bisa real-time.

Manfaat bermain layang-layang selain untuk bersenang-senang, seperti kata lagu diatas, adalah untuk mengasah kreativitas — bagaimana menciptakan bentuk layang-layang yang unik dan indah. Selain itu ada faedah ilmiah, yaitu memepelajari tentang arah dan tekanan angin, serta bagaimana menggunakan pengetahuan tersebut untuk menerbangkan layang-layang dengan baik. Manfaat kesehatannya adalah mencegah rabun dekat akibat terlalu sering menatap layar gawai dan komputer karena permainan ini dimainkan di luar ruangan.

Layang-layang berasal dari Tiongkok, sebelum menyebar ke banyak bagian dunia lain. Di Indonesia, permainan ini tersebar merata, dengan segala macam bentuk dan namanya yang berbeda.

Di Sulawesi Utara, layang-layang disebut palinggir. Di Semenanjung Malaya dikenal dengan nama wau.

Kaneka (Kelereng)[sunting]

Permanain kelereng mungkin yang paling populer karena bisa ditemui di hampir semua daerah di Nusantara, dan bahkan telah diabadikan dalam pantun jenaka:

  Sedang menangis nenek tertawa
  Melihat kakek bermain gundu

Untuk memainkannya peserta harus punya satu buah kelereng (atau “kanike”, dalam bahasa Gorontalo), yang terbuat dari plastik, seukuran bola golf tapi dengan permukaan licin. Bagi yang tidak mau beli kelereng yang sudah jadi, mereka bisa membuatnya sendiri.

Aturannya mirip olahraga golf dan biliar. Peserta dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri dari 2-6 orang. Pemain harus memasukkan kelereng ke tiga buah lubang di tanah, yang masing-masing berjarak 2-3 meter. Tapi bedanya, pemain bisa menghantam kelereng lawan, menjauhkannya dari lubang.

Pemenangnya adalah pemain atau kelompok yang pertama memasukkan kelerengnya ke semua lubang.

Permainan kelereng telah ada sejak zaman Mesir Kuno, dan menyebar merata di Nusantara dengan nama serta cara bermain yang berbeda. Suku Betawi di Jakarta dan sekitarnya menyebut kelereng gundu. Di Jawa disebut keneker — mungkin berasal dari bahasa Belanda knikkers, sementara dalam bahasa Sunda kaleci. Dalam kebudayaan Melayu, kelereng dikenal dengan nama guli, yang hampir mirip dengan suku Bugis baguli.

Tengge-tengge (Jingkatt-jingkat)[sunting]

“Tengge-tengge” artinya jingkat-jingkat dalam bahasa Gorontalo, walaupun nyatanya dalam memainkan permainan tradiisonal ini, pemain tidak berjingkat, melainkan melompat dengan menggunakakn satu kaki.

Ada dua jenis permainan tengge-tengge: tengge-tengge biasa dan tengge-tengge tambango. “Tambango” artinya kangkang.

Pada permainan tengge-tengge biasa ada 9 petak: 3 petak disusun 2 baris vertikal, serta 3 petak horisontal, tegak lurus terhadap 2 baris petak vertikal tersebut. Tiap petak berukuran 30 x 60 cm. Pemain akan memulai dari petak horisontal paling bawah, bergerak keatas dengan arah berlawanan arah jarum jam, atau kearah kanan, dan berakhir pada petak ditengah pada petak vertikal baris pertama (petak ke-9). Di petak ini pemain bisa menginjakkan 2 kakinya, beda dengan petak lainnya yang cuma bisa menginjakkan satu kaki.

Tengge-tengge tambango terdiri dari 8 petak: 3 petak vertikal serta dua baris 2 petak horisontal yang diselingi sebuah petak tunggal. Seperti pada tengge-tengge biasa, setiap petak berukuran 30 x 60 cm. Pemain memulai dari petak vertikal paling bawah, bergerak keatas, sampai ke baris pertama petak horisontal dia harus memijakkkan masing-masing kakinya pada kedua petak bersamaan, seperti posisi mengangkang, keculai bila pada salah satu petak ada batu. Dari sinilah nama tengge-tengge tambango berasal. Dari petak ke-6 ke baris kedua petak horisontal, sang pemain harus menginjak kedua petak tersebut sambil memutar badannya 180 derajat. Posisi inilah yang tersulit selama permainan, terutama jika pada kotak ke-6 ada batu, jadi si pemain butuh tenaga ekstra untuk melompat dari baris pertama petak horisontal, sembari membalikkan badannya.

Cara memainkan kedua jenis tengge-tengge ini sama. Pemain melempar batu ke petak terdekat, kemudian dia harus melewati petak tersebut dan tidak boleh menginjaknya. Pemain cuma bisa menginjak tiap petak dengan satu kaki. Setelah kembali dari petak-petak diatas, barulah pemain bisa mengambil batunya. Bila semua proses ini sukses dilakukannya, pemain akan mendapatkan poin, lalu bisa melanjutkan ke petak berikutnya. Pemenang permainan adalah pemain yang mengumpulkan poin terbanyak.

Tengge-tengge bisa dimainkan 2 orang, atau berkelompok yang tiap kelompok terdiri dari 2 orang pemain, dan sangat digemari anak perempuan.

Manfaat bermain tengge-tengge adalah untuk kebugaran karena berupa aktivitas fisik, serta melatih kelenturan tubuh dan gerak refleks karena tak jarang tubuh pemain berada dalam posisi tidak lazim. Selain itu permainan ini bisa mengajarkan berhitung, pemecahan masalah, ketaatan mengikuti aturan, serta mengasah kemampuan menyusun strategi. Kalau dimainkan berkelompok, tengge-tengge bisa mengajarkan pemainnya tentang kerja sama tim, solidaritas dan sportivitas.

Permainan tengge-tengge (jingkat-jingkat) telah ada sejak masa prasejarah India. Sangat populer di Eropa bahkan sejak zaman Kekaisaran Romawi, permainan ini masuk ke Nusantara pada zaman kolonial.

Permainan jingkat-jingkat dikenal dengan nama dan cara bermain yang sedikit berbeda. Di Jawa permainan ini diesbut engklek.

Benteng-benteng[sunting]

Benteng-benteng adalah permainan tradisional yang mengandalkan kemampuan pemain untuk berlari, serta mengatur strategi.

Benteng-benteng biasanya dimainkan di lapangan oleh dua kelompok pemain. Tiap kelompok terdiri dari 4-8 orang. Di tiap sudut dari bagian lapangan yang berhadapan adalah benteng masing-masing kelompok yang ditandai dengan tonggak kayu atau sebuah pohon. Di samping benteng, dengan jarak sekira 1-2 m ada penjara yang berfungsi untuk menahan pemain lawan yang tertangkap.

Pemenang permainan benteng-benteng adalah kelompok yang berhasil menduduki benteng lawan dengan cara menyentuhnya, atau dengan menawan seluruh pemain kelompok lawan, juga dengan cara menyentuhnya. Pemain yang tertawan bisa dibebaskan oleh pemain kelompoknya dengan cara menyentuhnya.

Permainan benteng-benteng adalah aktivitas fisik yang mengharuskan pemain untuk berlari kesana kemari, jadi manfaatnya baik buat kebugaran dan kesehatan. Selain itu permainan ini akan mengasah kemampuan pemain untuk mengatur strategi. Dan karena ini adalah permainan berkelompok, benteng-benteng bisa mengajarkan kerjasama tim, solidaritas serta sportivitas.

Permainan benteng-benteng adalah satu dari sedikit permainan tradisional yang masih dimainkan dan cukup populer hingga kini.

Menurut Ari Wibowo Kurniawan dalam bukunya Olahraga dan Permainan Tradisional (Wineka Media, 2019), permainan tradisional benteng-benteng berasal dari daerah Buleleng, Bali.

Kalari (Main hadang)[sunting]

Seperti halnya permainan benteng-benteng, kalari (main hadang) adalah permainan tradisional yang mengandalkan kecepatan berlari serta keahlian mengatur strategi.

Tidak ada aturan baku lapangan yang akan dijadikan arena permainan kalari. Permainan ini bisa dimainkan di lapangan olahraga lain, seperti lapangan bulu tangkis atau lapangan sepak takraw.

Tapi untuk permainan standar digunakan lapangan berukuran 9 x 15 m yang dibagi menjadi 6 petak (2 petak horisontal dan 3 petak vertikal) yang masing-masing berukuran 4,5 x 5 m dan tiap batas petak ditandai dengan garis seukuran 5 cm.

Pemain dibagi menjadi 2 kelompok: kelompok penyerang dan kelompok penjaga. Tiap kelompok berjumlah 5 orang pemain, serta 3 orang pemain cadangan.

Cara memainkannya adalah pemain kelompok penjaga menjaga di garis batas petak horisontal dan vertikal, sementara pemain kelompok penyerang akan berusaha menyeberangi lapangan dari satu ujung ke ujung lainnya tanpa tersentuh oleh pemain kelompok penjaga yang berusaha menghalanginya tanpa keluar dari garis petak. Bila pemain kelompok penjaga menyentuh pemain kelompok penyerang di luar garis batas petak, dia dianggap mati. Bila pemain kelompok penyerang tersentuh pemain kelompok penjaga, dia juga dianggap mati. Setiap pemain mati dari kedua kelompok akan digantikan pemain cadangan. Tiap pemain kelompok penyerang yang berhasil melewati semua petak mendapatkan poin. Pemenangnya adalah kelompok yang mengumpulkan poin terbanyak.

(Pada varian lain permainan kalari, seorang pemain kelompok penyerang yang tersentuh pemain kelompok penjaga dan dianggap mati, akan mengakhiri sesi permainan tersebut. Lalu pada sesi berikutnya, kelompok penyerang berganti posisi menjadi kelompok penjaga.)

Kalari (main hadang) adalah satu dari sedikit permainan tradisional yang masih dimainkan dan populer hingga kini. Dibeberapa provinsi, permainan tradisional ini bahkan dipertandingkan di pekan olahraga tingkat SD/SMP.

Karena permainan kalari adalah aktivitas fisik yang mengharuskan pemainnya untuk berlari dan kadang tubuhnya berada dalam posisi tak lazim, jadi baik bagi kebugaran dan kesehatan, sekaligus melatih kelenturan tubuh dan gerak refleks. Dan karena kalari adalah permainan berkelompok, permainan tradisional ini bisa mengajarkan kerjasama tim, solidaritas serta sportivitas.

Menurut tradisi, permainan tradisional ini berasal dari lingkungan Kraton Kasultanan Yogyakarta, Yogyakarta, dan tersebar merata di Indonesia dengan penamaan dan cara bermain yang sedikit berbeda.

Di Yogyakarta tempat asalnya, permainan ini disebut gobak sodor atau galah asin. Gobak sodor sendiri berasal dari kata “gobak” yang artinya bergerak bebas; serta “sodor yang berarti tombak kayu atau besi yang berukuran 2 meter, yang digunakan pasukan berkuda untuk berlatih. “Sodor” juga bisa berarti garis tengah memanjang. Gabungan kedua kata gobak sodor berarti permainan dimana pemain bergerak melewati penjaga, dengan pemimpin penjaga berada di garis tengah.

Gobak sodor pada awalnya cuma dimainkan oleh anak-anak laki-laki bangsawan Kraton yang berusia 9 sampai 20an tahun untuk mengisi waktu luang di sore hari, meniru para prajurit kraton yang sedang latihan. Jumlah pemain 3-5 orang pemain per kelompok. Pada varian lain yang berasal dari tahun 1930an, gobak sodor dimainkan anak laki-laki dan perempuan, dengan jumlah pemain harus genap, antara 4 sampai 12 pemain.

Cara bermain pada dasarnya sama dengan permainan kalari Gorontalo hanya saja untuk mematikan pemain lawan bisa dengan cara disentuh (dalam bahasa Jawa “jawilan”), atau dipegang/ditangkap (“ceg-cegan”).

Dalam permainan menggunakan metode disentuh, jika pemain dari kelompok penyerang tersentuh pemain kelompok penjaga, pemain kelompok penjaga tersebut berteriak “kejawil”, permainan dihentikan dan kedua kelompok bertukar posisi.

Dalam permainan menggunakan metode ditangkap, pemain kelompok penjaga harus menangkap pemain dari kelompok penyerang yang biasanya akan berteriak “kecandak” (tertangkap), dan kedua kelompok bertukar posisi.

Jika salah satu pemain kelompok penyerang berhasil melewati semua petak tanpa tersentuh atau tertangkap pemain kelompok penjaga, maka pemain tersebut berteriak “butul!” atau “masin!” sebagai tanda kelompok penyerang telah memenangkan pertandingan.

Di Sumatra Barat permainan ini disebut main hadang atau main galah, dengan jumlah pemain 4-5 orang tiap kelompok.

Di kota Makassar, Sulawesi Selatan, permainan ini dikenal dengan nama main asing.

Di beberapa daerah di Jawa Barat seperti Cirebon, Majalengka dan lain-lain, permainan ini disebut gobak galah.

Tambola[sunting]

Tambola adalah permainan tradisional menggunakan karet gelang, atau dalam bahasa Gorontalo “goro”, dan 1 atau 3 batang lidi yang disebut “patumbu”.

Cara memainkannya adalah pemain yang terdiri dari dua sampai lima orang memasukkan goro ke patumbu yang ditanam di tanah dari jarak 2-3 m. Kombinasi faktor karet gelang yang ringan, batang lidi yang lentur, serta hembusan angin dan juga kondisi emosi pemain akan membuat upaya ini sangat menantang sehingga tak banyak orang yang bisa melakukannya. Pemenangnya adalah yang berhasil memasukkan ke patumbu. Bila tidak ada yang berhasil, pemenangnya dalah yang karet gelangnya lebih dekat ke patumbu.

Saking sulitnya permainan ini, bila ada sebuah karet gelang yang berhasil dimasukkan ke sebatang lidi berkali-kali, karet gelang tersebut dinilai istimewa dan disebut “gaco”. Ini sebenarnya cuma efek psilkologis karena semuanya tergantung pada keahlian si pemain. Kalaupun ada ciri fisik gaco ini adalah dia lebih tebal dari kebanyakan karet gelang lainnya, sehingga lebih berat dan mudah dilempar serta dimasukkan ke sebatang lidi.

Jenis lain tambola menggunakan 3-5 buah karet gelang yang dipilin sehingga dalam sebuah untaian ada sepuluh pilinan. Cara memainkannya adalah menembakkan untaian tersebut dari jarak 10 m ke arah pataumbu kayu seukuran 30 cm yang ditanam di tanah. Pemenangnya adalah yang unataian karet gelangnya mengenai, atau yang paling dekat dengan patumbu.

Manfaat bermain tambola adalah mengajarkan pemain untuk bisa memusatkan konsentrasi, mengamati keadaan dan situasi dengan cermat, serta mengambil keputusan dalam waktu sepersekian detik. Semua keahlian yang telah mendefinisikan kita sebagai manusia dan membedakan kita dengan mahluk lain, namun sayang seiring kemajuan teknologi informasi dan teknologi semakin terkikis — tak heran banyak anak sekarang menderita ADHD (Attention Deficiency Hyperactivity Disorder) dan autisme.


Bagi orang luar yang mengamati budaya terutama permainan tradisional asal Gorontalo tentu akan menyimpulkan adanya pengaruh budaya Melayu Islam. Hal ini bisa dilihat dari kemiripan beberapa jenis permainan tradisional Gorontalo dengan permainan tradisional Melayu.

Namun pengaruh budaya lain juga ada. Layang-layang berasal dari kebudayaan Tiongkok. Pengaruh budaya Barat bisa dilihat dalam permainan tengge-tengge (jingkat-jingkat) serta kelereng, sementara pengaruh budaya India bisa dilihat pada permainan jingkat-jingkat.

Ini membuktikan adanya interaksi antar budaya dan akulturasi. Penamaan berbeda atas beberapa jenis permainan yang sama adalah buktinya. Sebuah permainan ditiru dari tradisi budaya lain untuk kemudian disesuaikan dengan lingkungan dan karakteristik penduduk lokal. Pada gilirannya proses ini melahirkan sesuatu yang baru, yang sama sekali berbeda dengan permainan darimana dia ditiru, sehingga berhak punya nama yang berbeda pula. Ini adalah bentuk sinkretisme permainan tradisional. Cuma bedanya dengan sinkretisme agama yang sering dipandang buruk dan harus dibinasakan oleh pengikutnya yang beraliran ortodoks atau terlampau dogmatis, dalam permainan tradisional hal ini justru dilihat sebagai sesatu yang baik.

Penamaan sebuah permainan tradisional juga bisa memberi petunjuk dari mana sebenarnya permainan tersebut berasal. Misalnya permainan kaneka (kelereng), yang di Jawa dikenal dengan nama keneker. Kedua kata tersebut, kaneka dan keneker, sangat mirip dengan kata knikkers dalam bahasa Belanda yang berarti kelereng yang terbuat dari kaca. Sehingga bisa diperkirakan bahwa masuknya permainan kelereng ke kedua wilayah tersebut kemungkinan berasal dari Belanda.

Permainan tradisional telah terbukti memainkan peranan penting dalam sumbangsihnya pada identitas budaya dan perkembangan sosial pada anak.

Manfaat permainan tradisional pada tumbuh kembang anak, secara garis besar bisa dibagi menjadi ranah kognitif, emosional dan psikomotorik.

Ranah kognitif meliputi keahlian untuk berfikir strategis dan pemecahan masalah, kemampuan berhitung, serta berbahasa.

Ranah emosional meliputi kerjasama tim, kolaborasi, dan interaksi sosial; peran kepemimpinan dan pendampingan; rasa memiliki dan identitas; tantangan; pencapaian dan harga diri.

Keahlian dalam ranah psikomotorik meliputi keterampilan motorik halus dan kasar, seperti menggunakan otot kecil dan besar; mengembangkan kelincahan fisik, kekuatan, kelenturan, kontrol, keseimbangan dan koordinasi tangan dan kaki atau seluruh tubuh.

Permainan tradisional berkembang melalui improvisasi, dan diteruskan melalui proses pendampingan oleh anggota komunitas. Oleh karena itu, untuk dapat berkembang dan diwariskan secara berkelanjutan, permainan tradisional memiliki karakterstik yang mudah diterima oleh kalangan generasi muda, antara lain menyenangkan, memiliki unsur ketidakpastian, memiliki aturan longgar dan menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.

Sayangnya keberlanjutan alih pengetahuan antar generasi seperti yang ditunjukkan oleh permainan tradisional yang pada zaman dahulu yang tampak seperti langgeng dan tak akan lekang oleh waktu, kini telah direnggut oleh proses modernisasi. Pergeseran nilai dan perubahan norma sosial seperti meningkatnya standar hidup, barang konsumsi, pendidikan yang kompetitif (terlalu berfokus pada pendidikan dan sekolah formal), berkurangnya kemandirian dan mobilitas anak, serta terbatasnya ruang untuk aktivitas publik, telah mengurangi minat pada permainan tradisional.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat telah membuka luas kesempatan dan membawa dunia ke dalam genggaman pengguna. Pengetahuan tentang segala sesuatu cuma beberapa klik jaraknya, dan tersedia kapan saja, beda dengan zaman dulu yang harus dicari di perpustakaan. Namun di sisi lain, ketergantungan anak pada gawai, karena semua aspek kehidupan modern mengharusnkannya, semakin mengurangi keinginan untuk memainkan permainan tradisional.

Tapi alih-alih melihat teknologi sebagai musuh, kita bisa menggunakannya untuk membantu melestarikan permainan tradisional. Salah satunya adalah mengembangkan ensiklopedia (atau katalog) permainan tradisional, seperti upaya yang dilakukan Wikibuku bahasa Indonesia dengan Proyek Yuwana. Selain itu dengan cara menciptakan versi digital dari permainan-permainan tradisional yang ada. Mungkin dalam hal ini kita bisa meniru metode gamifikasi yang sering dipakai media sosial untuk membuat paenggunanya kecanduan dengan apalikasi dan layanan mereka, walaupun dalam kasus permainan tradisional pengalaman pemain tidak akan bisa menggantikan aktivitas fisik.

Beberapa permainan tradisional seperti benteng-benteng dan kalari sudah masuk pada kurikulum pendidikan Sekolah Dasar (SD). Upaya seperti ini tentu bagus sebagai bagian dari pelestarian permainan tradisional, dan perlu ditingkatkan. Tidak hanya sebatas teori, anak-anak juga perlu diberi motivasi untuk memainkan permainan tradisonal selama waktu istirahat atau setelah pulang sekolah. Atau bahkan mengadakan festival dan kompetisi antar kelas.

Pihak berwenang, seperti pemerintah daerah, perlu menyediakan ruang terbuka tempat permainan tradisional bisa dimainkan atau dipertandingkan.

Dan yang terakhir, para tetua adat sebagai pemangku kepentingan yang tahu lebih banyak tentang permainan tradisional bisa dimintai bantuan untuk mengajarkannya.

Permainan tradisional sebagai warisan budaya dan identitas adalah milik kita bersama. Kalau bukan kita yang melestarikannya, siapa yang melakukannya?