Lompat ke isi

Pertanyaan di Atas Awan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis

[sunting]

Perjalanan kami untuk bertemu dengan Ayah tinggal dua jam lagi. Ini adalah sebuah perjalanan mengarungi awan yang dipenuhi dengan pertanyaan yang terjawab, dan juga yang tidak terjawab.

Cerita

[sunting]

Aku terbangun kaget karena guncangan di pesawat ini. Sudah berapa kali ya? Aku tertidur, lalu terbangun. Lagi dan lagi, sampai aku tidak bisa menghitungnya. Sudah berapa lama aku tidur, aku juga tidak tahu. Perjalanan ke New York sangat panjang, jadi kalau bisa dipakai untuk istirahat. Begitu kata Ayah dan kata Ibu dari jauh-jauh hari. Nasihat itu tidak hanya berlaku untuk aku saja, tapi juga untuk kakakku. Seharusnya begitu, tapi ia masih asyik nonton film di tabletnya.

“Hei,” panggilku pelan, sambil mencolek lengan kirinya. Ia menoleh ke arahku, mencopot sebelah headset-nya. “Tidur.”

“Kamu yang harus tidur, bocah,” jawabnya, sambil menjulurkan lidahnya.

“Ih, apa sih bocah!” balasku agak terlalu keras.

“Sst! Jangan berisik,” ia mendesis sambil melotot. “Yang umurnya dua belas tahun siapa? Bukan aku kan?” lanjutnya. Membuatku terdiam, merasa sebal. Tapi… dia benar sih. Kakakku umurnya dua puluh tahun. Yang bocah… jelas bukan dia.

Aku bangkit berdiri dari kursiku. Tidur sambil duduk rasanya sangat tidak nyaman.

“Kakak,” panggilku pelan, sambil meregangkan badan. “Nanti kita sampai di sana jam berapa?”

“Hampir jam 11 malam. Makanya, tidur,” perintahnya.

“Sekarang jam berapa?”

“Hampir jam 9.”

“Malam atau pagi?”

“Malam.”

“Kalau begitu, di Indonesia jam 9 pagi dong? Bedanya dua belas jam, kan? Aku sudah nggak ngantuk.”

“Yasudah, terserah,” jawabnya ogah-ogahan.

Aku duduk lagi dan memandang ke luar jendela. Gelap. Awannya tidak kelihatan. Yang kelihatan cuma sayap pesawat. Sesekali kelihatan cahaya lampu-lampu jauh di bawah sana. Katanya sih kita di ketinggian 36.000 kaki. Kenapa hitungannya pakai satuan kaki, aku nggak tahu.

“Kakak,” panggilku lagi. “36.000 kaki itu berapa meter?” tanyaku.

“Banyak,” jawabnya. “Jangan ganggu deh.”

“Tapi aku mau tahu.”

Kakak mendengus sebal, lalu dia membuka browser di tabletnya. Dia mengetik “ft to m converter” lalu muncul tabel berisi angka. Ada angka 1, tanda sama dengan, dan angka 0.3048 di sebelahnya. Di bawahnya ada baris yang kosong.

“Itu apa?” tanyaku.

“‘Ft’ itu ‘feet’. Kaki. ‘M’ ya… meter.”

Sepatu yang Kakak kenakan persis seperti ini, tapi talinya putih.

‘Converter’? Itu merk sepatu Kakak kan?” tanyaku sambil menunjuk sepatu merah bertali putih yang ia kenakan. Kakak mendengus tertawa.

“Bukan. ‘Converter’ itu artinya alat konversi. Kita bisa ubah dari satuan kaki ke satuan meter di sini. Tadi kamu tanyanya berapa kaki? Nih, masukkan angkanya.”

Aku memasukkan angka 36.000 kaki dan keluar hasilnya. 10.972,8 meter.

“Nah, sudah kubilang. Banyak.”

Kemudian aku terdiam sambil menatap muka kakak. Kita sedang ada di atas ketinggian SEPULUH RIBU METER.

“Kenapa matamu membelalak begitu?”

“Kak… takut.”

“Hah? Kok tiba-tiba takut?” tanyanya bingung sambil merangkul pundakku. “Tadi dari Jakarta ke Doha kamu nggak kenapa-kenapa. Ini sekarang kita dari Doha ke New York tinggal dua jam lagi.”

“Kalau tiba-tiba jatuh, gimana?” ucapku, tiba-tiba merinding. Aku lihat bulu kudukku berdiri.

“Hei, kita dari tadi nggak apa-apa, kan? Kita aman-aman aja, tuh,” ujarnya sambil mengusap lenganku, lalu meraih tanganku. Kakak mengusap-usapkan jempolnya di atas punggung tanganku. Aku mempererat genggamanku. Kakak melepaskan rangkulannya, menutup jendela di samping kiriku, lalu kembali merangkulku.

“Oke. Coba atur nafasnya, sambil diingat-ingat: kita mau ketemu Ayah, lho.”

Oh ya.

Kami sudah lama sekali tidak ketemu Ayah. Tahun lalu Ayah pergi ke New York untuk belajar. Ayah jadi mahasiswa, sama seperti Kakak sekarang ini. Tapi katanya beda tingkatan. Ketika lulus nanti, Kakak dapat gelar sarjana. Sedangkan Ayah akan dapat gelar doktor. Aku sempat bingung, kukira Ayah akan pindah kerja di rumah sakit dan bisa praktek menyembuhkan orang. Kata orang, istilahnya “banting setir”. Waktu itu aku tanya ke Kakak, kemudian dia menertawakanku. Menyebalkan. Katanya, ‘doktor’ yang nanti Ayah dapatkan cuma gelar saja, yang menunjukkan kalau tingkatan pendidikan Ayah sudah tinggi. Berbeda dengan dokter yang ada di rumah sakit. Ayah dan Kakak sama-sama belajar tentang manajemen. Tentang keuangan dan perusahaan dan lain-lain. Aku belum paham soal itu. Yang aku pahami saat ini cuma sebatas jual-beli dan uang pas atau uang kembalian. Sementara yang mereka pelajari lebih rumit dari itu, dan yang Ayah pelajari jauh lebih rumit dari yang Kakak pelajari. Katanya sih, begitu.

“Kenapa Ayah kuliahnya jauh banget sih, Kak?”

“Ya… kan Ayah dapat beasiswanya untuk kuliah di sana.”

“Tapi kan, Ayah bisa aja kuliah di tempat yang dekat sama kita. Di Indonesia aja, memangnya nggak bisa?”

“Memang bisa, sih. Tapi hebat, lho, orang yang dapat beasiswa ke luar negeri kayak Ayah. Nggak usah bayar uang kuliah. Dapat uang saku. Daftarnya susah karena banyak banget orang yang bersaing.”

“Oh ya?”

“Iyalah. Proses buat masuk negaranya aja susah. Nih ya, kemarin aku dan Ibu harus siapkan berkas-berkas dari dua bulan sebelum berangkat. Kita harus tunggu satu bulan untuk bisa wawancara di kantor kedutaan Amerika untuk buat visa. Orang-orang yang mau ke sana ada sebanyak itu.”

“Buat visa? Kapan? Kok aku nggak tahu?”

“Anak di bawah empat belas tahun memang cukup diwakili sama orang tuanya aja. Lagipula wawancaranya di jam sekolah, jadi kamu nggak diajak.”

“Lho, Ibu bukannya sudah punya visa?” tanyaku bingung. “Memangnya nggak bisa dipinjamkan saja ke kita?”

“Visanya perorangan. Nggak bisa dioper sana-sini dipinjamkan. Kamu harus punya, aku juga harus.”

“Tapi bukannya visanya Ibu pernah dipinjamkan ke Kakak? Tahun lalu, waktu Kakak beli handphone baru. Perginya sama aku, tapi Ibu nggak ikut. Kakak bayarnya pakai visa.”

Kakak terdiam, mengangkat sebelah alisnya. “Visa yang kamu maksud itu merk kartu kredit, bocah. Visa yang ini maksudnya izin untuk kunjungan ke negara lain.”

Oh. Ternyata berbeda. Aku nyengir.

“Kukira Ibu sudah punya…”

“Visa yang kartu, memang punya. Kalau yang izin kunjungan, Ibu nggak punya.”

“Kenapa nggak sekalian bikin?”

“Ya… buat apa? Ibu kan nggak ikut pergi sama kita. Bikin visa tuh nggak murah, lho. Ngapain buang-buang uang untuk beli sesuatu yang nggak dipakai?”

“Nggak murah memangnya harganya berapa?”

“Di atas dua juta.”

Iya sih. Menurutku, segitu bukan harga yang murah.

“Yang untukku, aku bayarnya pakai tabunganku sendiri, lho,” lanjut Kakak bangga.

Kakak memang orang yang irit. Dari dulu jarang sekali beli barang baru. Belanja hanya kalau benar-benar butuh. Seperti handphone yang tadi kubilang. Ketika sudah rusak total, baru Kakak beli yang baru. Tadinya ia mau beli dengan uang tabungannya sendiri, meskipun akhirnya Ibu yang belikan sih, pakai kartu kredit milik Ibu.

Tabungan. Hmm… aku punya sih tabungan di celengan. Sumbernya dari uang sakuku yang tersisa setiap bulan. Tapi aku jadi penasaran. Kalau Kakak bayar visa dengan uangnya sendiri, terus…

Aku mau lihat Patung Liberty dari dekat.

“... yang punyaku, bayarnya pakai uang dari mana?”

Duduk santai di Central Park sepertinya asyik.

“Tabungan THR kamu.”

Aku kaget. Selama ini memang THR-ku bertahun-tahun kutitipkan untuk disimpan Ibu. Tapi, itu kan uangku! Dan aku nggak tahu apa-apa!

Kakak malah terkekeh melihat reaksiku, lalu berkata, “Nggak lah. Bercanda. Ayah bilang, visa buat kamu dan tiket pesawat kita, semuanya pakai uangnya Ayah. Ibu nggak sentuh uang tabungan kamu, kok.”

Aku jadi teringat saat Kakak dan Ibu mengurus segala persiapan perjalananku dan perjalanan Kakak. Mulai dari melihat-lihat harga tiket, menentukan tanggal berangkat, dan ternyata mereka harus urus izin kunjungan juga. Aku ikut membuat daftar tempat-tempat yang mau aku kunjungi. Aku sudah membayangkan diriku mengunjungi Central Park dan melihat langsung Patung Liberty sambil makan pretzel atau corndog, seperti di film.

“Ya… begitu deh. Kita untuk dapat visanya susah banget. Mahal. Tiket pesawatnya juga. Padahal kita cuma mau liburan dua minggu. Makanya, Ayah dan Ibu sudah wanti-wanti dari jauh-jauh hari ke kita untuk jaga kesehatan. Karena kalau kita malah sakit, terus batal berangkat, tiket hangus, uang Ayah nggak akan kembali seratus persen. Mau ganti tanggal bisa sih, tapi biasanya kena biaya tambahan lagi. Tiket pesawatnya di bulan Juni-Juli itu mahal karena musim liburan.”

“Berarti… yang dulu Ayah urus jauh lebih susah daripada kita ya?” tanyaku

“Hmm… aku nggak tahu pastinya sih. Tapi yang kutahu, urus beasiswa ke luar negeri memang nggak gampang. Pokoknya, Ayah tuh orang terpilih untuk belajar di tempat pilihannya.”

Aku mengangguk-angguk perlahan, memahami semua yang tadi dijelaskan oleh Kakak. Tapi, masih ada satu hal yang belum kumengerti. Makanya aku bertanya lagi.

“Tapi… berarti Ayah pilih sekolah yang jauh banget dari kita, dong?”

Lalu Kakak terdiam. Aku bisa merasakan badannya jadi tegang.

“Ayah, kan, sudah pisah dari Ibu. Pindah rumah. Jadi jarang ketemu dengan kita. Lalu sekarang pindah negara buat sekolah. Kenapa Ayah pilih tempat yang jauh?” lirihku.

Aku masih ingat kira-kira tiga tahun yang lalu. Suatu hari, Ayah dan Ibu memanggilku dan Kakak ke ruang makan. Mereka baik-baik bicara pada kami kalau mereka memutuskan untuk berpisah. Aku tahu kalau terkadang mereka suka bertengkar teriak-teriak di malam hari. Kadang aku terbangun dan aku menghampiri Kakak di kamarnya, yang kadang belum tidur karena masih belajar. Kalau sudah begitu, biasanya aku minta tidur di kasurnya sambil dipeluk. Tapi biasanya di pagi hari, Ayah dan Ibu sudah baik-baik saja. Makanya, di hari itu, kukira mereka sudah berbaikan. Mereka menjelaskan panjang lebar, tapi aku tidak begitu ingat. Mereka bilang, ini yang terbaik untuk mereka. Aku tidak mengerti.

Setelah itu Ayah pindah ke apartemen dekat dengan kantornya. Kamarnya hanya satu. Jadi kalau aku dan Kakak berkunjung ke sana, kami tidur di kamar itu, sementara Ayah tidur di sofa ruang tamunya. Awalnya, kami selalu menginap tiap hari Sabtu. Tapi lama kelamaan makin jarang. Mungkin dalam sebulan, kami hanya dua kali berkunjung. Lalu kemudian, suatu hari, Ayah bilang kalau ia diterima untuk belajar di New York. Jadilah Ayah pindah lagi. Kali ini ke apartemen yang dekat dengan sekolahnya. Lagi-lagi kamarnya hanya satu. Jadi nanti aku dan Kakak akan tidur di kamar itu, sementara Ayah akan tidur di sofa ruang tamunya. Kata Ayah begitu.

Aku mendengar Kakak menghela napas, kemudian membenamkan pipi kirinya di puncak kepalaku.

"Kamu tanya padaku karena kamu tidak tahu jawabannya. Betul kan?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan.

“Dan kamu mengharapkan aku punya semua jawabannya. Betul?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk lagi.

“Oke. Memang ada kalanya aku tahu jawabannya, karena memang pengalamanku sudah lebih banyak darimu. Tapi ada kalanya aku harus cari jawabannya di internet karena aku sendiri pun tidak tahu. Dan ada kalanya di internet pun tidak ada jawabannya.”

Kakak melepaskan rangkulannya, kemudian merengkuh kedua pipiku. Membuat kedua mataku dan kedua matanya bertatapan.

"Soal Ayah, soal Ibu, orang tua kita, soal orang dewasa: terkadang ada masalah-masalah yang mungkin belum bisa kita pahami, belum bisa kita mengerti. Yang tadi kamu tanyakan padaku… jujur saja, aku nggak punya jawabannya. Mungkin seiring dengan berjalannya waktu, suatu hari nanti kita akan memahaminya. Mungkin suatu hari nanti mereka akan menjelaskannya sendiri pada kita. Tapi, hingga hari itu tiba, mungkin yang bisa kita lakukan adalah belajar menerima kondisi kita."

Aku menatap raut wajah Kakak. Senyumnya tipis, tapi matanya terlihat sedih.

"Kakak... sudah menerimanya?" tanyaku ragu-ragu.

Kakak melepaskan tatapannya ke mataku untuk menatap ke atas sejenak. Ia bergumam pelan, sepertinya sedang berpikir.

"... mungkin? Karena rasanya sekarang jauh lebih baik.”

Lebih baik? Pikirku. Aku mengangkat sebelah alis dan Kakak terkekeh, mengangkat sebelah alisnya juga. Bakat yang kami berdua warisi dari Ayah.

“Begini. Coba kita lihat sisi baiknya. Kita sudah tidak pernah mendengar Ayah dan Ibu bertengkar lagi, ya kan? Mungkin mereka sudah tidak pernah bertemu, tapi aku yakin mereka masih tetap berkomunikasi soal kita. Aku yakin. Kamu ingat nggak? Waktu itu, setelah Ayah telepon kita untuk mengajak kita liburan ke New York, kita langsung loncat-loncat kegirangan? Terus kita langsung lari turun ke bawah, kita bilang ke Ibu? Ingat nggak, Ibu bilang apa?”

‘Ya, ya. Ayah sudah bilang. Nanti kita urus beli tiketnya ya.’

Kemudian Ibu berusaha menenangkan kami yang bersorak-sorak, tapi tidak berhasil karena kami terlalu bersemangat. Ibu malah tak bisa menahan tawa.

Aku mengangguk, mengingat kenangan itu.

“Yah, mungkin sisi buruknya, Ayah jadi harus jauh dari kita dan kita jadi harus jauh-jauh menempuh perjalanan untuk menemuinya. Tapi yang kulihat, Ayah, Ibu, aku, kamu, kita semua jadi berusaha keras untuk menemukan kebahagiaan. Dan rasanya... jadi lebih spesial."

Aku tersenyum. Kakak ikut tersenyum. Ia mengusap kedua lenganku. Ternyata bulu kudukku sudah turun, entah sejak kapan.

Kakak meraih tabletnya, membuka aplikasi jam dunia, dan berkata, “Sekarang sudah jam 9 lewat. Perjalanannya tinggal kurang dari dua jam lagi.”

Iya. Tinggal kurang dari dua jam lagi dan kami akan bertemu Ayah.