Pesan Bapak dalam Batik Kawung

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Tentang Penulis[sunting]

Dee, nama pena dari sang penulis. Dee adalah nama panggilan kesayangan dari teman-teman, sahabat, dan kerabat, kepada sang penulis. Penulis masih aktif menulis sampai saat ini, mulai dari menulis karya fiksi atau pun non fiksi.

Sinopsis[sunting]

“Pesan Bapak dalam Batik Kawung” adalah sebuah cerita pendek dengan tema kebudayaan Indonesia. Batik, salah satu kebudayaan tak benda yang menjadi warisan dunia, menjadi kebanggaan Indonesia, tetapi tak banyak yang mau ikut aktif melestarikan. Salah satunya adalah Ali, putra dari pengusaha batik tulis yang harus mengambil keputusan apakah dirinya mau melanjutkan usaha batik tulis milik orang tuanya atau membiarkan usaha itu menghilang ditelan waktu.

Bagaimana jajaran kawung dalam motif yang terlukis berbicara pada Ali? Mampukah Ali menangkap semua makna jajaran kawung dalam kehidupan nyata? Ceritanya ada pada “Pesan Bapak dalam Batik Kawung”.

Lakon[sunting]

Lakon dalam cerita pendek berjudul “Pesan Bapak dalam Batik Kawung” antara lain

1. Ali, putra bungsu Pak Handoyo

2. Pak Handoyo, pemilik usaha batik tulis yang sekaligus Ayah Ali

3. Lia, istri Ali

4. Perempuan-perempuan yang membatik

5. Sugeng, teman Ali

Genre[sunting]

Genre cerita pendek berjudul "Pesan Bapak dalam Batik Kawung" adalah genre slice of life.

Cerita Pendek[sunting]

Mata Ali menyisir bagian belakang rumah milik orang tuanya. Dia mengingat bagaimana dulu banyak sekali kain-kain batik bermotif Kawung memenuhi bagian belakang rumah, dengan perempuan yang duduk membatik. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan setengah baya. Di bagian belakang rumah inilah dulu dia dan kakaknya—Setyo—tak hanya bermain, tetapi juga mendapatkan cerita dari sang ayah tentang kegemarannya pada kain batik hingga menekuninya sebagai usaha.


Siang tadi Ali masih melihat beberapa perempuan yang duduk membatik di tempatnya sekarang berdiri. Duduk setia dengan canting dan wajan di sisi kanan. Namun, jumlahnya tidak sebanyak dulu saat dia masih berusia sepuluh tahun. Ali menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Bau malam panas dalam wajan masih sangat melekat dalam ingatan Ali. Dia masih sangat merindukan bau itu di balik hati terdalamnya.


“Kopinya belum diminum, Mas? Sudah dingin. Dibuatkan kopi baru?” suara seorang perempuan memecahkan keheningan.


Ndak usah, Dek. Anak-anak sudah tidur?” tanya Ali pada Lia, istrinya.


“Sudah. Mereka cukup lelah hari ini. Mas sudah ngobrol dengan bapak?” tanya perempuan itu lagi.


“Belum. Sampai hari ini saya belum ngobrol dengan bapak. Besok saya akan menemui bapak,” jawab Ali lalu menarik napas panjang sekali lagi.


“Ya sudah. Aku menemani anak-anak tidur dulu ya, Mas.” Perempuan itu pamit. Sebelum menghilang dari pandangan, dia sekali lagi melihat Ali dan meyakini jika laki-laki itu bisa mengambil keputusan terbaik.


***


“Ali, bapak mau kamu pulang dan meneruskan usaha batik tulis keluarga,” kata Pak Handoyo.


“Pak, saya ndak klik sama usaha batik. Kenapa ndak dikasih saja ke Mas Setyo?” tanya Ali.


“Lha sudah bapak kasih toh Mas Setyo-mu itu usaha batik bapak yang ada di Semarang. Yang di sini, di Jogja, mau bapak kasih ke kamu, Li,” lanjut Pak Handoyo.


“Maksud saya dikasih semua ke Mas Setyo, Pak. Saya ndak suka usaha batik. Riweh Pak, apalagi batik tulis,” jelas Ali.


“Anak jaman sekarang memang kurang senang dengan kegiatan yang bermakna dalam. Sukanya main hape, main game, itu satu lagi mbuh joget-joget ndak karuan,” kata Pak Handoyo. Kali ini nada bicaranya membuat Ali diam.


“Batik itu bukan hanya bicara kain yang diberi corak. Membatik bukan hanya menggambar pada kain. Bapakmu ini menyukai batik tulis dengan motif Kawung. Sesekali saja bapak mengeluarkan kain batik dengan motif lainnya. Kamu masih paham toh, yang bagaimana motif Kawung yang digambarkan oleh perempuan-perempuan yang membatik itu?”


Ali mengangguk menjawab pertanyaan bapaknya. Dia selalu diajak berkeliling setiap siang setelah pulang sekolah. Pak Handoyo mengajak Ali melihat satu per satu proses membatik. Motif pada kain yang berbentuk bulatan menyerupai buah Kawung atau aren yang disusun secara geometris, teringat jelas di kepala Ali.


“Kawung dengan susunan geometris menandakan terjadinya kehidupan. Manusia jangan sampai lupa dengan asal usulnya yang murni dan bersih, kosong dari nafsu duniawi. Mengosongkan nafsu akan membuat manusia menjadi lebih bijaksana. Kebijaksanaan akan melahirkan kehidupan. Kehidupan yang benar-benar sejati.” Pak Handoyo mengakhiri kalimat dengan menekankan suara, berharap anak laki-lakinya itu paham dengan maksudnya.


Perlahan, Pak Handoyo mengangkat cangkir teh yang ada di meja dan meminumnya. Aroma melati dari teh tercium jelas memenuhi ruangan yang setengah terbuka. Ali mengikuti jejak Pak Handoyo mengangkat cangkir dan meminum isinya. Dia paham, jika sudah begini biasanya bapaknya akan berlama-lama duduk dan bercerita dengannya.


“Bapak tidak memintamu untuk beralih usaha dari usaha yang sudah kamu tekuni ke usaha batik tulis ini. Bapak hanya meminta, teruskan usaha ini sampai napas terakhir. Jangan berhenti sebelum habis perempuan-perempuan yang mau duduk membatik. Pertahankan sampai tidak ada lagi perempuan yang mau duduk membatik, mengingat pola dari motif yang dia gambar, dan mengingat maknanya.”


Ali tidak segera menjawab Pak Handoyo. Ada hal lebih yang diminta laki-laki tua itu padanya, tidak sekadar meneruskan usaha, tetapi juga menjaga makna dan hidup. Berat, batin Ali.


“Iya, Pak. Paham. Saya coba dulu. Jujur, saya tidak berpikir untuk melanjutkan usaha batik tulis Bapak di sini. Saya memang lebih menyukai usaha konveksi yang saat ini saya geluti. Tapi, mohon Bapak melepas pikiran jika saya tidak mencintai apa yang Bapak cintai. Mencintai proses menerjemahkan makna dalam sebuah simbol yang menjadi motif,” jelas Ali. Telapak tangan Ali keduanya saling berkait dan meremas. Jantungnya berdebar. Ini pertama kalinya dia mengungkapkan pendapat yang tidak sejalan tentang usaha bapaknya yang sudah melekat dengannya sejak kecil.


Pak Handoyo tampak memahami keraguan putra bungsunya. Laki-laki itu memilih menahan diri dan menghabiskan waktu dengan membicarakan cucu-cucunya dengan Ali. Sesekali tawa lebar menghiasi obrolan antara anak dan bapak tersebut.


***


Ali duduk di pinggir tempat tidur dengan perlahan. Seakan beban berat sedang dia bawa di kedua pundaknya. Matanya masih belum merasakan kantuk hingga pukul sepuluh malam.


“Sudah ngobrol dengan bapak?” tanya istrinya. Perempuan itu duduk di samping Ali.


“Sudah. Bapak masih mau usaha batik tulis yang di sini untuk saya kelola. Bapak mau usaha batik tulisnya terus berjalan. Sampai napas terakhir,” jelas Ali.


“Masih ada waktu satu minggu lagi untuk memberikan keputusan final pada bapak. Besok pagi Mas Ali cobalah berkeliling untuk melepas sejenak masalah ini. Mungkin dengan begitu Mas bisa merasa lebih baik,” lanjut istrinya.


Ali tersenyum dan memeluk istrinya. Dia percaya akan menemukan cara terbaik untuk keluar dari masalah klise antara anak dan orang tua yang sedang dihadapinya.


***


“Kapan kamu pulang ke Surabaya, Li?” tanya Pak Handoyo.


“Sabtu depan, Pak, rencananya. Oia, nanti saya mau mengajak anak-anak berkeliling sekitar rumah, Pak. Biar anak-anak tahu tempat main bapaknya ini,” kata Ali sambil tertawa kecil.


“Iya, sekalian kamu silaturahmi dengan teman-temanmu yang masih ada di sini. Kamu belum keliling toh dari tiga hari kemarin?” tanya Pak Handoyo.


“Iya, Pak,” jawab Ali.


Setelah sarapan, Ali mulai mengajak kedua anaknya untuk berkeliling melalui bagian belakang rumah. Pagi itu sudah datang para perempuan yang akan membatik. Semuanya menyapa Ali dengan ramahnya. Sesekali tangan perempuan-perempuan itu menyentuh pipi kedua anak Ali yang tampak menggemaskan.


“Kok lucu toh Mas Ali, anaknya. Pengen tak cubit pipinya. Umur berapa anaknya, Mas?” tanya salah satu perempuan yang seperti baru berusia empat puluhan.


“Sudah umur enam sama tujuh tahun, Bu,” jawab Ali sambil tersenyum.


“Alhamdulillah, Pak Handoyo punya anak yang mau nerusin usaha batiknya. Mas Setyo sudah di Semarang, makin besar katanya usaha bapak yang di Semarang, yang sama Mas Setyo. Nah, ayo Mas Ali, yang di sini sampeyan rawat. Kita ini ya bersyukur masih bisa membatik di sini. Bisa kerja ndak jauh dari rumah. Masih bisa kerja sambil lihat anak-anak, ngawasin anak-anak,” jelas salah satu perempuan lagi dengan semangatnya.


“Iya bener, Mas. Kita dulu ini ndak sekolah tinggi. Kalau mau kerja yang kayak kantoran yo ndak bisa. Bantu di sawah ya sudah ada orangnya. Alhamdulillah bisa mbatik di sini, Mas,” sahut perempuan lainnya.


Ali mendengarkan semua cerita dari perempuan-perempuan yang ada di depannya tanpa menyela. Dia merasa seperti sedang dibacakan dongeng dari buku yang sudah lama sekali tak dibacanya. Diam-diam dirinya rindu berada di tengah perempuan-perempuan yang membatik sambil menikmati aroma malam dalam wajan.


“Mas, kalau bisa ditambah lagi orang yang kerja di sini. Kapan itu saya ya ditanya sama teman, kalau-kalau masih bisa kerja mbatik di sini. Pernah saya tanyakan ke Pak Handoyo, tapi bapak bilang belum mau nambah lagi orang yang mbatik di sini. Ayo mas, digedein gitu loh usahanya bapak. Katanya kain batik di luar negeri banyak yang suka, coba dijual ke sana gitu loh Mas.” Kali ini, perkataan salah satu perempuan di depan Ali membuat dirinya tersenyum lebar, alih-alih setengah tertawa.


“Iya ibu-ibu, nanti saya sampaikan ke bapak ya. Terima kasih sekali untuk saran dari ibu-ibu semua. Saya pamit mau lanjut keliling lagi. Mau menemui teman main dulu, ibu-ibu,” kata Ali.


Ali melanjutkan kembali perjalanan ke arah pintu keluar. Dirinya menuju ke salah satu rumah temannya yang hanya berjarak lima rumah. Dia menggandeng tangan kedua anaknya sambil menjelaskan banyak hal tentang masa kecilnya dulu.


Assalamualaikum.” Ali mengucapkan salam.


Tak lama, keluarlah laki-laki yang tampak sebaya dengan Ali menjawab salam. Laki-laki itu bertanya pada Ali sedang mencari siapa. Tampaknya dia tak mengenali Ali. Namun, Ali hanya tersenyum. Sebuah tahi lalat di pipi kiri yang tidak terlalu besar menjadi penanda jika laki-laki itu adalah orang yang dicarinya.


“Sugeng, ya. Lupa sama aku?” tanya Ali.


Laki-laki di hadapan Ali masih diam. Sepertinya dia berusaha mengingat siapa laki-laki itu. Tak lama, terdengar suara dari mulutnya diiringi tawa yang membuat kedua anak Ali sedikit merapat kepada Ali karena kaget.


“Oalah, Ali? Ali anak Pak Handoyo toh?” tanya lelaki itu. Tak lama keduanya sudah saling berpelukan melepaskan rindu.


Rumah Sugeng sederhana. Bagian teras yang luas dengan kursi-kursi bambu membuat anak-anak Ali senang. Mereka berlarian tanpa mempedulikan ayah mereka yang masih melepas rindu. Tak lama, banyak anak-anak yang datang untuk bermain di teras rumah Sugeng, makin membuat kedua anak Ali asyik dan nyaman.


“Yah, begini lah. Anak-anak tetangga suka sekali bermain di teras. Kubuat sebagai obat kangen sama anak dan istriku,” kata Sugeng.


“Anak istrimu mana?” tanya Ali.


“Sudah meninggal dua tahun lalu, Li. Keduanya sakit, dan aku tak bisa mengobati lebih awal karena keterbatasan ekonomi. Yah, beginilah hidupku.” Mata Sugeng menatap Ali dengan berkaca-kaca.


“Turut berduka atas kepergian anak dan istrimu, yang sabar ya Sugeng. Maaf atas pertanyaanku tadi. Aku sama sekali tidak tahu kabarmu dua tahun ini,” kata Ali.


“Kamu terlalu sibuk sepertinya, Li. Selagi bisa pulang menemani bapakmu, pulanglah, Li. Pak Handoyo beberapa kali bercerita kalau keinginannya besar padamu untuk melanjutkan usaha batik tulisnya. Lagi pula, tak ada salahnya dicoba, Li. Ada banyak orang yang masih bergantung pada kegiatan membatik. Dulu, almarhumah istriku mbatik juga di tempat bapakmu. Sejak sakit dia berhenti mbatik, padahal, kalau boleh jujur, ekonomi keluarga cukup terbantu dari pendapatannya membatik. Aku masih belum bisa berdiri sendiri sebagai pedagang bakso keliling kala itu,” cerita Sugeng panjang lebar.


Perbincangan Ali dan Sugeng terus berlanjut hingga tengah hari. Keduanya saling menikmati kenangan yang pernah terjadi dan menikmati cerita perjalanan hidup masing-masing. Ali sejenak lupa dengan tujuan keberadannya kembali ke rumah masa kecilnya.


***


"Sudah berkemasnya, Dek?" tanya Ali pada perempuan yang sudah mendampinginya selama delapan tahun.


"Sudah, Mas. Mas sendiri bagaimana, sudah mantap dengan keputusan yang sudah diambil?" Mata perempuan itu berusaha mencari kemantapan pada Ali. Dia tak mempermasalahkan apa pun keputusan Ali. Perempuan itu percaya bahwa laki-laki yang sudah dikenalnya selama lima belas tahun itu adalah laki-laki yang selalu memikirkan matang-matang setiap langkah yang akan ditempuhnya.


"Tadinya saya hanya melihat usaha batik tulis bapak hanya sebagai usaha semata. Usaha yang menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ternyata saya salah. Saya tidak terlalu menyadari bahwa bapak konsisten dengan satu motif yang menjadi dominan. Batik Kawung, yang melambangkan terbentuknya sebuah kehidupan. Tidak hanya memproduksi, menjual, tapi banyak, Dek, orang-orang yang punya harapan dengan tetap bertahannya usaha bapak. Itu artinya bapak sudah memulai kehidupan dan berharap kehidupan itu terjaga di tangan saya. Saya memutuskan untuk mencoba mempertahankan apa yang sudah bapak mulai. Temani saya, bisa, Dek?" tanya Ali pada perempuan yang duduk di sampingnya.


Lia hanya tersenyum pada Ali. Tak perlu kata, pelukan Lia sebagai istri adalah jawaban paling nyata atas permintaan Ali.


*TAMAT*