Lompat ke isi

Pesta untuk Nenek

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Abira sangat menyayangi neneknya. Sedih rasanya ketika Abira harus berpisah dengan sang Nenek. Tetapi, mau tak mau, Abira tetap harus berpisah dengan Nenek. Apa yang bisa Abira lakukan supaya bisa tetap bersemangat meskipun sang Nenek telah pergi?

Cerita Pendek[sunting]

           “Nenek, ini sayur tuttu. Masih panas, Nek. Ayo, kita makan sama-sama.” Bira meletakkan semangkuk sayur daun ubi tumbuk yang dicampur dengan daging. Itu adalah sayur khas Toraja kesukaan Nenek. Berikutnya, Bira juga menyiapkan sebakul nasi dan perlengkapan makan.

           “Nenek mau Bira ambilkan?” tanya Bira.

           Tanpa menunggu jawaban, Bira mengambil piring, lalu mengisinya dengan nasi dan sayur. Diletakkannya piring itu di dekat tempat tidur.  Tak lupa, Bira juga membuatkan kopi pahit kesukaan neneknya.

Setelah mengambilkan makanan dan minuman untuk Nenek, Bira mengambil sendiri makanan untuknya. Sambil makan, Bira bercerita kepada neneknya. Bira bercerita tentang sekolah, tentang teman-teman, juga tentang kedua orangtuanya yang hanya bisa pulang setiap akhir pekan karena bekerja di luar kota. Mereka bekerja di Makasar, kira-kira 8 jam perjalanan naik mobil dari Rantepao, sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan tempat Bira dan neneknya tinggal.

“Nek, bulan depan keluarga Elsy akan datang dari Manado. Bira rindu sekali pada Elsy. Sudah setahun Bira tak bertemu Elsy. Dia pasti mendapat juara lagi di sekolahnya. Anak itu benar-benar cerdas. Bira senang akan bertemu Elsy, tetapi ….” Bira menelan ludah. Tatapan matanya mendadak sayu.

           “Bira masih ingin bersama Nenek,” ucap Bira lirih dan sedih. “Nek, Nenek tahu, kan, bulan depan akan ada upacara Rambu Solo’ untuk Nenek? Kalau sudah dipestakan, Nenek akan pergi, tidak akan bersama Bira lagi.”

Pesta Rambu Solo'

           Rambu Solo’ adalah upacara pemakaman bagi orang Toraja di Sulawesi Selatan. Orang Toraja punya kepercayaan, apabila seseorang yang telah meninggal belum sempat diupacarakan, dia hanya dianggap sakit atau lemah. Keadaan ini sering disebut tomakula’. Maka, perlu diadakan sebuah upacara kematian untuk mengantarkannya menuju puyo atau tempat peristirahatan terakhir bagi jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Upacara Rambu Solo’ sering disebut sebagai pesta karena dirayakan dengan meriah. Ini merupakan penghormatan terakhir kepada jenazah yang meninggal.

           Sudah setahun yang lalu Nenek Bira meninggal. Namun, karena belum dipestakan, Nenek Bira masih dibaringkan di tempat tidur. Hampir setiap hari Bira menyiapkan makan dan minum untuk Nenek. Sesekali, ada Paman, Bibi, atau kerabat lain yang menggantikannya. Menurut mereka semua, Nenek memang sedang sakit dan lemah. Jadi, harus bergantian merawatnya. Kalau dulu Nenek yang merawat Bira. Sekarang saatnya Bira yang menemani dan merawat Nenek.

           Tetapi, bulan depan Nenek akan diupacarakan. Artinya, jiwa Nenek akan segera berangkat ke puyo. Air mata Bira menitik. Rasanya berat untuk berpisah dengan Nenek. Selama ini, Nenek selalu menemani Bira. Setahun belakangan pun, Bira masih bisa merasakan kehadiran Nenek.

           “Kalau Nenek sudah sampai puyo, selalu doakan Bira ya, Nek,” ucap Bira dengan suara bergetar menahan tangis.

           Nenek hanya diam. “Mungkin, Nenek juga sedih,” pikir Bira. Tangannya membetulkan selimut neneknya yang sedikit melorot. Bira menyentuh tangan Nenek. Dingin. Tetapi, Bira sudah terbiasa. Bira mencium tangan neneknya dengan penuh rasa sayang.

           “Oiya, Nenek sudah selesai makan? Bira pergi dulu, ya. Sore ini Bira mau belajar membuat tenun bersama teman-teman. Kalau sudah pintar menenun, Bira akan membuatkan kain tenun yang cantik untuk Nenek.”

           Bira ingat, waktu kecil, Bira sering menunggui Nenek menenun. Bira senang melihat tangan terampil Nenek yang bergerak dengan cepat di antara benang-benang tenun. Nenek pintar membuat berbagai motif. Ada yang berupa garis warna-warni. Ada yang berbentuk bunga. Juga ada yang bergambar tedong atau kerbau yang menjadi binatang istimewa di Toraja. Nenek pernah menghadiahkan selendang bermotif bunga untuk Bira. Bira menyimpan baik-baik selendang itu.

           “Kalau rindu pada Nenek, Bira akan mengenakan selendang bunga-bunga buatan Nek,” janji Bira.

           Hari Sabtu pagi. Bira menyambut kedatangan Papa dan Mama dari Makasar. Seperti biasa, mereka langsung mendatangi Nenek, menyiapkan makan, dan mengajak Nenek bercerita. Bira ikut mendengarkan. Bira senang saat-saat seperti ini. Rasanya seperti Nenek masih ada di tengah mereka.

           “Bira, kamu mau ikut ke rumah Paman Eddo?” tanya Papa.

           Mata Bira membulat bersemangat. “Mau!” sahutnya.

Tau-tau adalah patung kayu yang dibuat menyerupai orang yang meninggal.

Bira selalu senang jika diajak ke rumah Paman Eddo. Banyak yang bisa Bira lihat di sana. Di depan rumah Paman Eddo ada bangunan kecil tempat Paman Eddo bekerja. Bira mengamati bangunan berukuran kira-kira 8 x 10 meter itu. Penuh dengan patung kayu berbentuk orang, mulai dari yang kecil setinggi jari tangan, sampai yang seukuran orang sungguhan. Paman Eddo adalah seorang pembuat tau-tau, patung khas Toraja untuk upacara orang yang meninggal. Tau-tau dibuat semirip mungkin dengan orang yang meninggal itu.

Paman Eddo menyambut Bira dan papanya sambil tersenyum lebar. “Cepat sekali datang ke sini. Tau-tau belum selesai kubuat,” ujar Paman Eddo.

           “Tak apa,” sahut Papa Bira. “Kami hanya ingin melihat, sudah jadi seperti apa.”

           Bira mengamati patung yang ditunjuk oleh Paman Eddo. Bira menahan napas. Dadanya terasa sesak. Patung itu mirip, sungguh mirip sekali dengan Nenek. Bahkan, Bira merasakan, patung itu memiliki jiwa Nenek.

           “Kira-kira seminggu lagi, ya, semua akan selesai,” kata Paman Eddo. “Masih dua minggu lagi, ya, pestanya? Sudah pulangkah semua anak-anak?”

           “Minggu depan baru semua akan berkumpul. Kasihan kalau terlalu lama izin dari tempat kerja. Pesta paling tidak perlu waktu satu minggu. Akan lebih lama jika ditambah dengan persiapannya. Setelah itu, akan sepi lagi,” jelas Papa Bira.

           Bira menelan ludah mendengar kata-kata papanya. Ya, setelah semua saudara berkumpul dan berpesta, dia akan merasa kesepian. Mendadak, Bira merasa sedih kembali. Kalau bisa, Bira ingin menghentikan waktu, supaya tidak ada pesta dua minggu lagi. Tetapi, pesta harus tetap diadakan, supaya Nenek punya bekal yang cukup untuk sampai ke puyo.

           Sayangnya, satu minggu berlalu sangat cepat. Keluarga Bira begitu sibuk menyiapkan pesta. Kerabat dari luar kota mulai berdatangan. Tedong dan babi mulai disiapkan untuk kurban persembahan. Kedua binatang ini memang selalu menjadi bagian persembahan dari upacara adat di Toraja. Kata Papa, untuk pesta kali ini, keluarga mereka akan mempersembahkan 9 tedong dan 50 babi.

           “Abiraaa!” teriakan anak perempuan itu tak asing di telinga Bira.

Bira berbalik. “Elsy!” serunya. Mereka berpelukan. Kedatangan Elsy, sepupu Bira dari Manado sedikit menghapus kegundahan di hati Bira. Setiap hari mereka bertukar cerita, bermain, memasak, dan tentu saja, mengantarkan makanan untuk Nenek yang masih dalam masa tomakula’.

           Hingga, tibalah saatnya, upacara Rambu Solo’ dimulai. Pagi itu, Bira bangun pagi sekali dan segera ikut menyiapkan keperluan pesta Rambu Solo. Setelah siap, Nenek didoakan dengan sebuah ibadat keagamaan. Bira ikut berdoa dengan sungguh-sungguh. Elsy merangkul Bira. “Nenek pasti akan sampai ke puyo dengan selamat, dan tinggal dengan bahagia di sana.”

           Orang-orang sudah ramai di lapangan. Tongkonan, tiruan rumah adat Toraja, yang berukuran kecil sudah disiapkan. Jenazah Nenek sudah dibaringkan dalam peti. Saat ini, Nenek sudah dianggap meninggal dan akan segera dimakamkan. Tau-tau yang sangat mirip dengan Nenek juga sudah siap, lengkap dengan kain kesayangan Nenek. Sekali lagi, Bira menatap tau-tau itu. Senyum Nenek di patung itu seolah mengabarkan bahwa Nenek baik-baik saja. Bira jadi ikut tersenyum. Di patung itu, Nenek terlihat cantik. Perhiasan Nenek juga dikenakan di tau-tau itu.

           Lepas tengah hari, upacara pemindahan jenazah dimulai. Nenek akan dibawa ke tempat persemayaman, sebelum akhirnya dimakamkan. Keluarga mulai berkumpul melingkar, lalu  menyanyikan lagu-lagu sebagai penghiburan. Iring-iringan jenazah Nenek pun berangkat dengan berjalan kaki. Keluarga besar yang mengenakan baju hitam, turut mengiringi.

Peti jenazah dipindahkan ke tempat persemayaman.

           Sekitar lima belas menit perjalanan, jenazah Nenek sampai ke tempat persemayaman. Peti pun dipindahkan. Tangis Mama pecah, menular pada keluarga yang lain. Semua merasa sedih kehilangan Nenek. Dada Bira ikut merasa sesak. Setelah satu tahun ikut merawat Nenek saat tomakula’, kali ini Bira benar-benar merasa kehilangan. Bira sudah terbiasa, ada Nenek di sampingnya.

           Nenek benar-benar sudah diupacarakan. Jiwa Nenek akan segera terbang ke puyo. Jenazah Nenek pun sudah tidak akan bisa ditemui Bira di tongkonan tempat Nenek tidur. Apa yang bisa Bira lakukan jika rindu kepada Nenek?

           Bira menggenggam erat selendang yang dikenakannya. Selendang pemberian Nenek ini pasti akan menguatkannya saat Bira merindukan Nenek. Bira menoleh. Tau-tau. Ya, patung itu juga akan membuat Bira tetap terhubung dengan Nenek.

           Tau-tau akan diletakkan di dekat gua tempat Nenek dimakamkan. Bira bisa mengunjunginya kapan pun dia ingin. Senyum Nenek yang tergambar jelas di tau-tau itu membuat hati Bira terasa tenang. Senyum itu seolah menggambarkan bahwa Nenek akan selalu baik-baik saja di alam keabadian.

           “Baik, Nek. Aku percaya, aku juga akan baik-baik saja meskipun tidak ada Nenek di sampingku. Nenek bisa pergi dengan tenang. Selamat jalan, Nenek,” bisik Bira.