Petualangan di Gunung Singgalang
Premis
[sunting]Avery, seorang remaja petualang menemukan tantangan pada misi tak terselesaikan yang menghilangkan rekan-rekan sesama Petualangnya. Bersama dua sahabatnya, Arlo dan Deo, mereka mendaki Gunung Singgalang untuk menemukan rekan-rekan mereka, serta menyelesaikan misi tak terselesaikan tersebut.
Lakon
[sunting]- Avery
- Arlo
- Deo
- Markus
- Dion dan Diana
Lokasi
[sunting]Gunung Singgalang, Sumatera Barat
Cerita Pendek
[sunting]Misi
[sunting]“Dibutukan air dari dasar Telaga Dewi! Bawakan untuk saya, ada hadiah Rp 30.000.000,-40.000.000 100.000.000 menanti! Berminat? Hubungi +628xxxxxxx”. Begitu tulisan salah satu dari misi yang terpampang di papan misi Balai Desa. Melihat dari coretan harganya yang diganti-ganti, belum ada yang bisa menaklukan misi ini. Semua petualang yang mencoba sampai saat ini belum kembali, entah mereka masih hidup atau…
Avery menggelengkan kepalanya, dia bergidik ngeri memikirkannya, namun demikian Avery merasa tertantang sekaligus penasaran. Dia yakin rekan-rekan sesama petualangnya itu belum meninggal, Avery yakin mereka hanya tersesat, maka dari itu dia berniat menjemput mereka kembali, sekaligus menyelesaikan misi yang misterius ini.
Setelah melalui proses registrasi dan administrasi untuk menjalankan misi tersebut, Avery ditemani dua sahabatnya Arlo dan Deo, berangkat menuju Gunung Singgalang.
Sembari mendaki, mereka berbincang-bincang mengenai misi yang sedang mereka emban tersebut.
“Sejauh ini ada 3 petualang yang menghilang, Markus yang pergi sendirian adalah yang pertama, kemudian Dion dan Diana menyusulnya namun juga tidak kembali” kata Deo sambil menatap ke kamera Sony Alpha A5100 yang dipegangnya, Deo merupakan seorang Vlogger, jadi sudah menjadi kebiasaannya mendokumentasikan petualangan mereka selama menjalankan misi-misi yang mereka ambil dari papan Balai Desa.
Arlo terlihat sedih, dia mengenal Markus karena dulu pernah mengerjakan misi bersama. Dia berharap Markus baik-baik saja dan mereka bisa menemukannya.
Satu-satunya gadis dikawanan itu kemudian buka suara, “Kalian tahu? Kurasa aku punya petunjuk tentang apa yang terjadi pada mereka”
Arlo menatap penuh harapan pada Avery, Deo langsung mengarahkan kameranya kearah Avery. Dengan nada bicara bak wartawan dia berkata, “Mohon penjelasannya Nona Avery!”
“Untuk petualang-petualang muda seperti kita mungkin tidak banyak yang tahu bahwa ada legenda tentang Gunung Singgalang ini. Nenekku pernah bercerita bahwa orang-orang yang hilang itu bisa jadi diculik Sibunian… Deo! Hati-hati, jangan jalan mundur-mundur begitu dong!” teriak Avery, kehilangan fokus akibat tingkah Deo.
“Tunggu benjol dulu Ry, baru paham dia” timpal Arlo, sudah terbiasa dengan tingkah Deo. Deo balas mencibir pada Arlo kemudian berjalan di samping Avery, “Lanjutkan Ry” katanya setelah menemukan sudut yang tepat untuk merekam.
Avery memutar mata dengan malas, memang Deo tidak bisa lepas dari kameranya itu, “Sibunian ini bisa dibilang penduduk dari Gunung Singgalang, tampak seperti manusia dengan wujud gaib, mereka tidak jahat, akan tetapi jika kamu melakukan hal yang tidak mereka senangi atau semacam ‘pelanggaran’ di Gunung Singgalang ini, maka mereka akan menculikmu, menjadikanmu bagian dari mereka, begitu cerita nenekku”
Deo dan Arlo manggut-manggut saja mendengarkan cerita Avery.
“Pelanggaran seperti apa yang dimaksud Nenekmu Ry?” tanya Arlo
Avery mencoba mengingat-ingat kembali apa yang diceritakan neneknya, “Hmm… cerita ini sudah lama sekali kudengar, sebenarnya aku sudah mulai lupa… Oh! Kita sudah sampai di hutan lumut! Wah indah sekali ya!” pemandangan di depan mata Avery membuyarkan sesi berceritanya.
Jajaran pepohonan yang dibaluti lumut membentang sejauh mata memandang, akar-akar pohon mencuat kepermukaan tanah, sinar matahari menyeruak masuk disela-sela pepohonan. Aroma alami hutan yang rindang serta oksigen yang mengalir ke paru-paru memicu hormon dopamin didalam tubuh. Sungguh indah ciptaan Tuhan.
Avery duduk dibawah suatu pohon setelah meminta izin kepada pohon itu untuk melepaskan penat sejenak, mereka bertiga sepakat untuk beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Deo terheran-heran melihat Avery yang bicara pada pohon, namun teringat bahwa Avery mungkin saja meminta izin kepada Sibunian yang tidak terlihat mata, langsung saja Deo ikut berkata “permisi” dengan suara kecil.
Setelah menghabiskan bekal makanan dan merapikan tempat tersebut seperti semula, mereka bangkit dan melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan mereka kesal mendapati jejak sampah yang ditinggalkan pendaki-pendaki yang pernah beristirahat dikawasan tersebut. Mereka bertiga memunguti sampah-sampah itu dan berjanji akan membuangnya ketika turun nanti, mereka tidak habis pikir dengan perilaku orang-orang yang meninggalkan sampah sehingga mengotori lingkungan. Bukankah sebagai makhluk hidup yang berakal kita seharusnya menjaga lingkungan tetap bersih?
“Hei, mungkinkah Sibunian sudah muak dengan pendaki yang meninggalkan sampah dan memutuskan untuk menculik Markus, Dion dan Diana sebagai hukuman?” kata Arlo menyuarakan pemikirannya, dia kembali teringat topik ‘pelanggaran’ tadi.
“Bisa jadi, seingatku peraturannya sangat sederhana, mirip seperti apa yang selalu kita pelajari, makanya aku jadi lupa. Tidak boleh mengotori Gunung Singgalang, tidak boleh berbohong dan berkata kotor, lalu… apa lagi ya?”
“Ry, apakah nenekmu bilang ada yang kembali dengan selamat setelah menghilang?” tanya Deo.
“Nenekku bilang kita bisa menemukan mereka, atau sebaliknya mereka bisa menemukan kita, tapi aku tidak tau bagaimana caranya. Setidaknya hal itulah yang membuatku yakin untuk mencoba menjalankan misi ini” jawab Avery. Arlo mulai memutar otak untuk mencari cara menemukan rekan mereka sekaligus menyelesaikan misi, yaitu membawa sebotol air dari dasar Telaga Dewi, yang berarti mereka perlu menyelam, tiba-tiba Arlo terkesiap menyadari sesuatu.
“Kenapa Lo? Wajahmu pucat, ada apa?” tanya Deo, khawatir melihat temannya.
Arlo ragu-ragu mengutarakan pemikirannya, “Bagaimana kalau… mereka sebenarnya mati tenggelam ketika menyelami Telaga? Entah itu karena mereka ceroboh atau… karena ‘penduduk’ disini tidak senang…”
Mereka bertiga hanya terdiam, tentu saja kemungkinan itu ada, namun sampai saat ini mereka bertiga menghindari pemikiran bahwa rekan-rekan mereka mungkin saja sudah tidak bernyawa lagi.
“Pokoknya kita cari tahu dulu kebenarannya. Jangan putus asa dulu teman-teman. Jika mereka masih hidup, aku yakin mereka pasti menunggu pertolongan kita. Sebaiknya kita tidak mengecewakan mereka dan tetap percaya pada mereka”, kata Avery, berusaha membangkitkan semangat teman-temannya. Arlo dan Deo hanya bisa mengangguk.
Pertemuan
[sunting]Akhirnya mereka sampai di Telaga Dewi yang berarti mereka sudah berada di ketinggian 2.762 mdpl dari total ketinggian Gunung Singgalang 2.877 mdpl. Kabut yang menyelimuti seputar Telaga itu tidak mengurangi keindahan pemandangan danau seluas 1 hektar itu. Permukaan airnya biru jernih bak cerminan warna langit, mereka terpukau akan pemandangan di hadapan mereka.
Sayangnya lagi-lagi mereka mendapati sampah yang bertebaran, ulah pendaki tak bertanggung jawab yang suka seenaknya. Mereka bertiga saling tatap dan sepakat dalam diam untuk mengumpulkan sampah-sampah itu dan membuangnya nanti ketika turun gunung.
“Ingat ya para penonton channel Deo the Explorer, kalau mendaki gunung jangan buang sampah sembarangan. Ini namanya merusak alam, contoh yang tidak baik!”, kata Deo sambil meliput keadaan disekitarnya dengan kamera Vlog nya, Arlo dan Avery mengangguk-angguk sambil bergumam “setuju setuju!” dibalik layar.
Setelah membersihkan sampah-sampah, mereka duduk di tepian danau sambil menatap kearah telaga untuk beristirahat sambil memikirkan langkah selanjutnya yang harus mereka ambil.
Ditengah kesunyian itu samar-samar terdengar langkah kaki dari belakang ketiga remaja itu, suara langkah kaki yang terseret-seret diatas hamparan rumput. Langkah kaki itu terdengar jauh namun hawa si pemilik langkah rasanya sudah berdiri tepat dibelakang mereka. Ketiganya hanya saling pandang, tidak berani mengeluarkan suara atau berbalik melihat sumber suara, satu hal yang mereka sepakati, si pemilik langkah kaki bukanlah hewan liar yang kebetulan lewat ataupun manusia, hawanya tidak seperti makhluk hidup.
Avery pikir mereka akan dilemparkan dan ditenggelamkan kedalam danau oleh siapapun itu yang berdiri di belakang mereka.
“Ampun roh penunggu Gunung Singgalang! Kami tidak bermaksud buruk, kami hanya ingin menjemput teman-teman kami kembali! dan… minta air telaga kalau boleh”, teriak Deo tiba-tiba, tangannya disatukan di depan wajahnya dengan gestur memohon maaf, matanya dipejamkan rapat-rapat.
Suara tawa yang terdengar setelah itu menaikkan bulu kuduk, merdu namun mencekam. Bak hembusan angin di tengah malam yang sepi.
Keberanian Deo menginspirasi Avery untuk mencoba berbicara kepada ‘roh’ tersebut, tidak adanya respon kekerasan juga membuat Avery yakin bahwa ‘roh’ ini masih bisa diajak bicara. “Penjaga Gunung, kami mohon maaf karena sudah mengganggu ketenangan disini, maafkan perilaku kami maupun para pendaki terdahulu yang sudah mengotori ekosistem Gunung ini. Kami ingin menjemput kembali teman-teman kami. Kami mohon maafkan mereka dan tuntunlah mereka kembali pada kami”
Tidak ada balasan. Hanya keheningan yang menyelimuti suasana di kawasan Telaga Dewi siang itu. Perlahan hawa asing tersebut menghilang. Arlo membuang nafas lega, sepertinya makhluk itu sudah pergi. Namun alangkah kagetnya dia ketika sebuah tepukan mendarat dipundaknya. Ini manusia, batinnya yakin. Arlo melihat kebelakang, dia terbelalak melihat Markus, temannya yang menghilang itu sedang berdiri sambil tersenyum menatapnya.
“Hai Arlo”
“Kus? Ya ampun! Aku senang bisa melihatmu kawan!”, jawab Arlo kaget bercampur senang, dirangkulnya kawannya itu. Markus tampak sehat, wajahnya cerah, rambutnya yang panjang sebahu diikat rapi, dia memakai baju koko putih lengkap dengan celana semata kaki berwarna putih, seperti orang mau ke masjid.
“Yuk Kus, turun bareng aku dan teman-temanku. Aku kesini menjemputmu, maaf aku agak lama, kamu gak apa-apa kan?”, kata Arlo lagi, diamatinya penampilan temannya itu, memastikan Markus baik-baik saja.
Yang diajak bicara hanya menggeleng pelan, tersenyum sedih melihat Arlo. Markus tidak bisa mewujudkan keinginan Arlo.
“Maaf Lo, aku tidak bisa. Sebaliknya, aku ingin pamit. Aku ingin tetap disini Lo, terimakasih kamu sudah peduli padaku ya”
Tidak hanya Arlo, Avery dan Deo terkejut mendengar pernyataan Markus itu.
Markus terlihat sedih dan merasa bersalah. Dia tidak menyangka Arlo akan mencarinya. Ternyata Arlo sangat peduli padanya. Sayangnya sekarang sudah terlambat, ikatan kekeluargaan yang selalu dirindukan Markus yang sebatang kara itu kini ia rasakan dengan menjadi bagian dari ‘penduduk’ Gunung Singgalang, Sibunian.
Melihat tatapan Markus, Avery memahami bahwa Markus bukan lagi bagian dari mereka, seolah-olah Markus sudah menyatu dengan Gunung Singgalang, Avery tidak yakin hawa apa yang dirasakannya dari Markus, dia tidak terasa seperti arwah orang yang sudah meninggal, namun tidak juga terasa seperti orang yang masih hidup. Deo juga sepertinya merasakan hal yang sama dengan Avery. Tidak ada yang bisa mereka lakukan terhadap Markus. Markus tampak sudah bulat tekadnya untuk tinggal.
“Apa maksudmu? Kenapa kamu ingin tinggal? Jangan bercanda Kus. Ini bukan tempatmu!”, kata Arlo, dicengkeramnya kedua pundak Markus dengan upaya ingin menyadarkan temannya itu, Arlo pikir sepertinya Markus sudah mulai gila. Namun begitu tangannya menyentuh pundak Markus, Arlo langsung terkulai lemas, dia pingsan, untungnya disambut oleh Markus, kalau tidak wajahnya pasti sudah terhempas ke tanah.
Avery dan Deo kaget, mereka bermaksud menghampiri Arlo yang tak sadarkan diri itu namun dihentikan oleh Markus.
“Tenang saja, dia hanya tertidur. Aku tidak ingin membebani pikiran Arlo lebih lama lagi. Aku juga minta maaf pada kalian karena sudah repot-repot berusaha menjemputku”, jelas Markus, direbahkannya tubuh Arlo ke tanah.
“Tidak masalah Markus. Kalau itu memang sudah keputusanmu maka kami juga tidak bisa apa-apa, kamu terlihat baik-baik saja dan itu sudah cukup”, jawab Avery.
“Ya, lambat laun Arlo pasti mengerti” timpal Deo, menatap sedih ke arah Arlo.
“Terimakasih. Sekarang, kalian pasti penasaran dengan keadaan Dion dan Diana”
Avery dan Deo langsung menoleh kearah Markus penuh harapan, Markus terkekeh kecil kemudian menjawab, “Mereka baik-baik saja. Kalian bisa kembali bersama mereka, jujur saja penduduk Gunung Singgalang tidak senang dengan perbuatan mereka. Mereka berbuat kerusakan, berlaku sombong dengan menantang Dewi, padahal sikap takabur sangat dilarang di Gunung Singgalang”
“Berkat ketulusan dan sopan santun kalian, Dewi memutuskan untuk memaafkan dan mengembalikan si kembar itu, dengan catatan mereka tidak boleh lagi menginjakkan kaki disini. Terimakasih juga sudah membersihkan sampah-sampah di Gunung. Aku titip Arlo pada kalian”, kata Markus, ditatapnya lagi Arlo yang sedang tertidur dengan tatapan sendu.
“Tunggu! Siapa itu Dewi? Dan bagaimana dengan sebotol air dari dasar telaga? Apakah kami benar-benar tidak boleh mengambilnya? Sedikit saja?”, tanya Deo, semua situasi ini membuatnya bingung. Avery ingin membekap mulut Deo, siapa yang peduli dengan misi itu? Yang penting sekarang mereka sudah bisa menyelamatkan rekan mereka yang hilang, kecuali Markus tentunya, sayang sekali. Avery takut ‘Dewi’ berubah pikiran dan malah menendang mereka ke dalam danau.
Markus tersenyum penuh misteri.
“Sampai jumpa para petualang pemberani” kemudian dijentikkannya jarinya.
Pandangan Avery menghitam, begitu juga dengan Deo. Mereka kehilangan kesadaran.
Seminggu kemudian
[sunting]Sudah seminggu berlalu sejak misi mereka ke Gunung Singgalang, tidak ada satupun dari mereka yang ingat bagaimana mereka bisa turun Gunung, bagaimana mereka bisa menemukan Dion dan Diana yang sekarang jadi lebih pendiam dan sudah kembali ke kampung halaman mereka, dimana keberadaan Markus, bagaimana mereka bisa mendapatkan sebotol air dari dasar telaga yang tergeletak begitu saja di samping Avery ketika dia terbangun hari itu. Begitu banyak pertanyaan yang tidak terjawab, namun entah kenapa ada saja bisikan di hati mereka yang mengatakan itu semua tidak penting, yang penting sekarang mereka bisa berbangga hati mengatakan bahwa mereka berhasil menyelesaikan misi itu dan tidak lupa, hadiah Rp 100.000.000,- dari Pak Rahmad, si pemohon yang membuat tiga sekawan, Avery, Deo dan Arlo jadi kaya raya.