Pilu Buku
Tentang Penulis
[sunting]Kurmawan, memiliki nama pena Mawan Belgia. Lahir pada, 15 November 1997. Berasal dari Mamuju, Sulawesi Barat. Dua buah novelnya yang telah terbit; Sampah di Laut, Meira dan Bumi Hutan Tropis (novel ini telah menginspirasinya untuk menulis cerpen Pilu Buku). Beberapa cerita pendeknya telah tayang di media lokal dan nasional.
Sinopsis
[sunting]Kesedihan sebuah buku cerita (Bumi Hutan Tropis) karena sudah tak terbaca oleh pemiliknya, seorang anak perempuan bernama Yuka. Di tengah kesedihan itu, ia mengenang kebersamaannya yang singkat namun menyenangkan tatkala dibaca oleh anak laki-laki bernama Lodi.
Lakon
[sunting]- Aku (buku; Bumi Hutan Tropis)
- Lodi
- Yuka
Cerita Pendek
[sunting]Aku sebuah buku. Semua kesedihan yang kualami sekarang, bermula di hari itu. Lonceng berdering panjang, tanda pembelajaran telah usai. Decit suara sepatu menggesek lantai seperti pertunjukan musik yang kacau balau. Siswa kelas V berhamburan keluar ruangan.
Seharusnya aku berada di dalam tas Yuka. Dia lupa, aku tergeletak di atas meja. Aku kesal sekali.
Sempat kukira, aku akan mengalami hari yang panjang, berada di ruang kelas yang sunyi. Hanya ada meja, bangku, papan tulis, serta pajangan ramai di dinding. Keadaan itu sangat menjengkelkan. Aku ingin tetap bersama Yuka. Walau bagaimana pun, aku belum habis terbaca olehnya.
Kecurigaanku keliru. Siswa terakhir keluar ruangan adalah bocah bernama Lodi. Tatkala langkahnya sudah sangat dekat menjangkau pintu, tiba-tiba menyadari keberadaanku. Lodi pun berjalan ke meja Yuka. Tangannya lantas menyambarku.
Mulutnya bergerak, saat membaca tulisan di sampulku; Bumi Hutan Tropis. Lodi tersenyum, membaui isi halamanku. Aku masih terbilang baru, belum genap seminggu ayah Yuka membeliku di sebuah toko buku yang ada di kota. Kertas-kertas halamanku masih wangi.
Aku kira Lodi akan gegas keluar kelas, mengejar Yuka, untuk mengembalikanku. Aku salah, Lodi malah membuka tasnya.
“Hei, aku milik Yuka, tahu, kembalikan aku padanya dong!”
Sia-sia saja aku protes. Manusia bisa membaca buku tapi tidak bisa berbicara dengan buku. Lodi tahu apa kalau aku sangat kesal.
Awalnya aku tak suka berada di dalam tas Lodi yang bau. Amat berbeda dengan suasana di dalam tas Yuka, wangi dan sangat menyenangkan.
Malahan aku mulai menganggap Lodi sebagai anak jahat. Karena tak mengembalikanku kepada Yuka. Aku nilai perbuatannya itu adalah tindakan pencurian buku. Aku ingin sekali berteriak kepadanya, "Woi! Mencuri buku itu, jahat."
Ketika aku dikeluarkan dari dalam tasnya yang bau apak, aku tidak berada di ruang kelas lagi. Aku sudah berada di rumah Lodi. Tepatnya di dalam kamarnya.
Kamar Lodi sangat beda dengan kamar Yuka yang penuh warna. Dinding kamar Lodi dari kayu yang mulai melapuk. Tak ada pajangan, sebagaimana dinding kamar Yuka terpajang beberapa poster Raisa, penyanyi favoritnya.
Buku-buku sepertiku juga tak ada. Aku seolah berada di tempat yang asing bagi buku bacaan. Di atas meja belajarnya, hanya ada buku tulis dan buku gambar. Buku bacaan adalah barang langka bagi Lodi. Di kamar Yuka, buku cukup banyak, memenuhi rak mungil. Sampai-sampai Yuka tak punya waktu menamatkan semua buku itu. Terhadapku saja, kadang Yuka malas-malasan membaca.
Ah, bisa-bisanya aku merindukan Yuka. Aku ingin merasakan suasana kamarnya, merasakan tangan mungilnya menyentuhku, membuka lembaran-lembaran halamanku. Lodi memang mulai membacaku, duduk di depan meja belajar. Dia serius sekali, tapi aku tidak senang.
“Aku tidak sudi dibaca olehmu, tahu,” kataku kepadanya.
“Siapa suruh kau mencuriku, aku tidak akan pernah ikhas, sekalipun kau membacaku seratus kali. Dasar pencuri buku!”
Demikianlah pendapatku waktu itu. Hanyalah pendapat sesaat. Emosiku sedang jelek. Aku memelihara prasangka buruk kepada Lodi. Aku selalu ingin menganggapnya anak yang jahat.
Kemudian terkejutlah aku, setelah kutahu satu fakta baru tentang Lodi. Dia betul-betul gemar membaca. Dia betah sekali duduk di depan meja belajarnya, membacaku nyaris seperempat dari total jumlah halamanku. Itu tak pernah dilakukan Yuka sebelumnya.
Pandangan Lodi seolah tak mau lepas dariku. Bibirnya bergerak membaca tulisan-tulisan di tubuhku. Membacaku, Lodi seperti sedang menemukan harta karung yang sangat berharga. Aku tak bisa menyembunyikan lagi perasaan senang. Tak ada hal yang paling menyenangkan bagi buku selain dibaca oleh manusia, dan menemukan kebermanfaatan dari buku itu.
Tampaknya Lodi tidak ingin aku jauh-jauh dari genggamannya. Sementara Yuka hanya menyentuhku saat di dalam kamar. Tidak pernah aku dibawa ke taman depan rumahnya. Perjalanan terjauhku bersama Yuka adalah menemaninya ke sekolah.
Ke mana pun Lodi melangkah, aku selalu digenggam. Bahkan ketika hari sudah sore, dia membawaku ke sawah.
Musim tanam padi belum tiba, sawah-sawah di sana sejenak menjadi lahan untuk berburu makan bagi hewan ternak. Ada ratusan itik dibiarkan berkeliaran di sawah. Ada puluhan sapi senang melahap rumput-rumput liar.
Tiga ekor sapi milik keluarga Lodi termasuk penghuni sawah itu. Ternyata setiap pagi, ayah Lodi membawa sapi-sapi itu ke sawah. Diikat di sana dengan tali panjang. Sore menjadi tugas Lodi memulangkan sapi-sapi itu ke belakang rumah.
Lodi tak ingin terburu-buru membawa sapi-sapinya pulang. Sore masih panjang, dia duduk di bawah pohon. Halamanku kembali dibuka, Lodi lanjut membacaku. Sangat menyenangkan. Perlahan-lahan prasangka burukku terhadapnya runtuh. Dia tidak sejahat yang kukira. Tapi, tetap ada yang mengganjal bagiku.
“Seandainya aku bukan buku curianmu, aku akan berkali-kali lipat merasa senang,” kataku.
“Atau begini saja, Lodi. Besok kasih tahu Yuka bahwa kau menemukanku di mejanya. Selanjutnya kau pinjam aku darinya. Yuka pasti meminjamimu kok.”
Mulut Lodi bergerak, bukan membalas omonganku, tapi serius membaca halaman-halamanku.
Ah, aku sudah tidak sabar ingin melihat apa yang terjadi keesokan harinya di sekolah. Tapi, malam lebih dulu tiba. Aku mendapat kejutan lain dari Lodi.
Itu terjadi ketika Lodi berada di rumah Paman Muh, tempatnya belajar mengaji. Tentu saja aku dibawa serta ke rumah Paman Muh. Setelah Lodi selesai mengaji, di teras rumah Paman Muh, Lodi kembali membacaku.
Teman-teman Lodi penasaran terhadapku. Lodi penuh semangat menjelaskan aku. Dalam waktu singkat, Lodi telah tahu banyak cerita-cerita yang memenuhi halamanku. Teman-teman Lodi ingin tahu lebih detail ceritaku. Lodi pun membacaku untuk mereka.
Mereka tergugah mendengar cerita dariku, Bumi Hutan Tropis. Terutama bab tentang Pange seekor gajah tua yang memulai perjalanan ke Pusat Hutan, untuk melaporkan kematian keluarganya oleh kawanan pemburu.
“Pinjam bukunya dong! Satu malam aja,” ucap salah satu teman Lodi.
“Ah, ini bukan bukuku, tapi punya teman di sekolah,” balas Lodi.
“Padahal aku ingin baca buku itu sampai tamat.”
“Buku ini enggak bisa kalian pinjam. Takut orangnya marah. Tapi, nanti setelah aku punya banyak buku, kalian akan puas baca buku kok,” kata Lodi.
“Kapan kamu punya banyak buku cerita?” Tanya salah satu anak.
“Kalau tabunganku sudah banyak, semua akan kupakai beli buku. Dan juga kalau anak sapiku sudah besar, akan kujual, sebagian hasilnya untuk beli buku. Mama dan papaku sudah mengizinkan.”
“Wah, keren itu, Lodi!” teman Lodi takjub.
“Pokoknya di rumahku nanti akan ada banyak buku. Kalian butuh buku bacaan, ya datang aja. Pasti kupinjami deh. Asal bukunya dibaca betul.”
“Asyik!”
Mendengar itu, aku menyesal salah menilai Lodi sejak awal. Dia ternyata bukan anak jahat. Impiannya punya banyak buku, yang tidak hanya bermanfaat untuknya, tapi juga bermanfaat untuk teman-teman sekitarnya. Aku kagum pada Lodi. Aku ingin selalu berada di genggamannya.
Dan, aku memang masih dia genggam, ketika di atas ranjang menjelang tidurnya. Halaman-halaman terakhirku terus dibaca. Hingga keseluruhan isiku terbaca. Lodi tak butuh waktu lama menamatkanku. Aku senang, aku bertambah kagum.
“Terima kasih, Lodi, kau telah memperlakukanku dengan sangat baik.” Ucapku ketika Lodi tertidur, aku berada di atas meja belajarnya. Aku juga meminta maaf telah keliru menilainya sejak awal kebersamaan kami. Aku percaya Lodi bukan anak jahat. Dia seorang anak yang gemar membaca buku.
***
Tak terasa pagi begitu cepat tiba, Lodi berangkat ke sekolah. Aku berada di dalam tasnya. Tak kupermasalahkan lagi baunya. Diiringi suara langkah kaki Lodi, aku bertanya-bertanya apa yang akan terjadi di sekolah nanti?
Aku sudah tamat dibaca oleh Lodi. Kuharapkan kisahku mengendap di dalam kepalanya. Menjadi pengalaman batin yang tak ternilai harganya, dan pengetahuan baru yang tak terjangkau nilainya.
Setiba di sekolah, ruang kelas V hening sekali. Aku dikeluarkan dari tas, belum ada siswa yang datang selain Lodi. Kulihat Lodi menulis di secarik kertas. Tulisan itu kutahu ketika kertas itu diselipkan di tengah-tengah lembar halamanku.
“Maaf ya, kemarin bukumu kubawa pulang tanpa izin ke kamu. Aku sudah baca sampai selesai kok. Bumi Hutan Tropis yang seru sekali. Aku mendapat banyak pelajaran yang berharga. Terima kasih!” Lembar halamanku ditutup, lalu aku diletakkan di atas meja Yuka.
Begitulah aku berpisah dengan Lodi. Aku sangat menyesalkan perpisahan itu. Tapi, tak bisa aku berbuat apa-apa. Kenyataannya Lodi bukanlah pemilikku.
Sejak perpisahan aku dengan Lodi, aku kembali ke kehidupan semula, menjadi buku milik Yuka. Kini aku buku yang tidak terbaca lagi. Entah kenapa Yuka tidak pernah lagi mau membacaku. Bahkan tulisan Lodi terselip di lembar halamanku tidak tersentuh.
Hari-hariku yang panjang menjadi penghuni rak bersama buku-buku lain. Kadang aku berharap suatu waktu Yuka berkenan membacaku hingga rampung. Tapi, itu tidak terjadi lagi. Buku-buku baru berdatangan lebih menarik perhatian Yuka. Buku lama yang tak selesai dibaca kesannya diabaikan. Aku sedih sekali, aku kecewa kepada Yuka. Aku merindukan perlakuan Lodi kepadaku.
Andai aku masih bersama Lodi, bisa saja aku dibaca berulang-ulang, sampai isiku dihapal di luar kepala. Atau paling tidak aku dipinjamkan ke teman-temannya yang butuh buku cerita. Ah, itu jauh lebih baik daripada menjadi buku yang hanya dipajang di rak. Oh, malang sekali nasib buku sepertiku, buku yang tak terbaca lagi oleh manusia.***
SELESAI