Pintu Geser

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pintu Geser

Seperti biasanya, saya melihat ketiga bocah itu berkelahi dengan menariknya hingga menjadi tontonan orang-orang sekitar. Ketiga bocah itu terbagi dalam dua bentuk yang salah satu bentuknya seperti mainan tentara yang sudah jatuh berkali-kali. Ia adalah anak dari pemilik dimana saya berada. Ia bocah yang berukuran tinggi sehingga saya dapat melihat dengan mudah sosoknya. Kedua bentuk lainnya seperti sapu yang sudah lama tidak digunakan. Kedua bocah lainnya ini selalu diteriaki dengan keras. Perkelahian itu adalah makanan sehari-hari sampai tetangga terdepan di mana warung ini berada sudah hafal. “sarapan lagi, nih!” Perkelahian itu terus berlangsung hingga si anak pemilik warung ini sudah mulai tidak tahan dan kedua bocah yang menyerang anak itu berlari terbirit-birit. Sudah menjadi pembicaraan warga kalau perkelahian di warung yang dekat dengan kontrakan Pak Sani itu adalah akibat pemilik warung yang selalu terlihat menyerah dengan keadaan anak semata wayang itu. Untuk itu, rapat yang diadakan Pak RT adalah rapat yang tak menghasilkan sehingga warga begitu marah dengan perkelahian tak henti ini. Orang yang menjadi bahan pembicaraan rapat selalu saja ditemukan tidak ada atau hanya mencari alasan “ngapain sih kita rapat-rapat gak jelas?” Saya mendengar itu ketika ibu-ibu bergosip dengan asyik sambil mengeluhkan harga sembako yang naik. Sambil membersihkan darah yang mengalir di pelipis kiri dari anaknya, ia mengambil telur dan penyedap rasa berwarna merah. “kok lu masih temenan ama mereka?” “nggak pak, mereka yang mau berantem ama udin.” “gue udah cape ngasih tau lu kalo gak usah temenan ama mereka,” Ada orang baru yang tinggal di kontrakan Pak Sani. Ia telah tinggal seminggu dan sudah berulang kali pula bocah pemilik warung ini marah-marah karena suara karaokenya yang terlalu keras. Namun, tentu saja masalah yang dihadapi warung ini bukan hanya itu saja. Saya merasa badan yang yang sudah lengket dengan goresan-goresan air hujan yang tidak dibersihkan. Badan saya telah beberapa kali dicat dengan berbagai warna namun warna kali ini yang sangat cerah. “eh, sini bantuin gue nih!” “kagak mau ngambil motor dulu” “duh nih anak” Warna ini menjadi begitu cerah ketika terkena matahari dan sesekali saya melihat gelagat kedua bocah SMP itu yang bersiap mencoret-coret dengan cat semprot yang patungan sepuluh ribu per orang. Saya tak suka dengan perbuatan mereka namun ada yang lebih menyebalkan dari sekedar corat-coret tak berarti itu. Sudah menjadi kebiasaan dahulu pemilik warung ini untuk mengajak istri dan anaknya untuk jalan-jalan ke mall yang ada di kota. Hal terakhir yang saya lihat adalah mereka bertengkar dengan hebat namun tak sampai lama saya dibanting dengan keras hingga retakan tembok di sebelah bagian tubuh saya terlihat jelas dan baru setahun lalu diberikan acian yang padat. Si Istri melengok dengan menahan bagian kiri saya dan tak sengaja mengenai bagian karat hingga tak pernah kembali ke warung ini. Saya sudah menjaga mata saya agar tidak mengantuk dengan memperhatikan rerumputan dekat tempat sampah warung ini. Rupanya mereka berdua yang kemarin berantem dengan anak pemilik warung. Mereka menggunakan sarung dan topeng seperti malang pada umumnya namun mereka tak membawa senter sehingga kadang menimbulkan pemandangan lucu ketika mereka terantuk tembok dekat tembok pembatas warung. Keadaan di dalam warung seperti pada malam-malam biasanya penuh dengan dengkuran dan suara cekikian dari ponsel anak pemilik warung yang tak kunjung terlelap hingga ia tersadar bahwa kedua temannya tersebut telah memberi sebuah kepalan tangan dari mereka berdua. Suara si anak yang berontak sontak membangunkan bapaknya yang sedang terlelap dan seketika melihat diri saya yang sedang membuka diri dengan celah sempit menyilaukan matanya. “maling!maling!maling!” Si anak terseret dan salah satu temannya itu mengambil besi panjang di belakang celananya yang lalu dengan sekali pukul kearah punggung bapak menjadi tak sadarkan diri. Teman si bocah yang berdiri itu tampak santai dan terkekeh hingga membangunkan tetangga di Kontrakan Pak Sani. Ia merasa terganggu dengan suara itu dan ketika ia keluar ia telah menemukan stoples berisi permen telah berada di dekat kakinya dan toko ini telah hancur berantakan dan menyisakan Pemilik Warung. Badan saya telah disatukan kembali dan karena besi panjang yang dipukulkan ke bagian kiri tubuh saya berkali-kali hingga rasa memar itu terasa sekali. Si Tetangga itu berusaha membangunkan bapak. “lu bantuin beresin nih toko. Gue mo nyari bocah gue.” Saya hanya mengira bagaimana bapak akan membayar semua hutang-hutang untuk barang yang dijual karena setahu saya yang yang dipakai pun berasal dari pinjaman tak berhenti dari koperasi simpan ambil. Bapak bukanlah orang yang pelit namun ia sangat loyal terhadap pembeli dan kejadian malam itu rupanya merubah itu semua. Sejak malam itu, bapak hanya dibantu oleh tetangga yang telah berhenti melakukan karoke dan mendapat beras seliter dan telur empat biji. Hasil yang tak pernah saya bayangkan selama si anak tak kembali penjualan warung menjadi meningkat dan tak ada lagi peminjaman yang saya dengar digunakan oleh bapak namun ada satu hal yang berubah soal menjaga kemana warung. Ia tak membayar uang keamanan dan menjadi perbincangan di rapat Pak RT dan ia tak menggunakan CCTV. Ia menggunakan tetangganya. “bapak, gak nyariin udin?” “ah ntar juga balik.” Si bapak melengos membawa kardus berisi mie dengan rasa kebab rendang “tapi ini sudah dua minggu pak, saya yang bukan siapa-siapa ini kasihan dengan keadaan bapak.” “lu gak usah nanya-nanya, nih masukin ke dalem!” Si tetangga membawa kardus kardus berisi ciki singkong ke bagian rak atas. Pak Sani membersihkan sampah-sampah yang berserakan di depan kontrakannya. Ia berteriak memanggil si tetangga yang ada di dalam warung. Ia menggedor tubuh saya dengan kencang hingga tersisa bekas ceplakan minyak yang mungkin hasil makan gorengan dan nasi uduk. Si tetangga menyahut dengan kencang dan si bapak hanya mendengar dan tak peduli dengan obrolan panjang mereka hingga siang. “eh bapak gimana kabarnya?” “yah gitu deh dikasih tau anaknya ilang. Malah bodo amat.” “ehh bayaran lu mana nih?” “nih.” Si tetangga mengulurkan lima ratus ribu yang berada di saku kirinya. Ia langsung bergegas masuk dan meninggalkan Pak Sani dengan membawa satu plastik sampah yang tergeletak di sebelah kanan tubuh saya. Ia menarik dengan sekuat tenaga dan betapa terkejutnya ia bahwa di dalam plastik sampah itu tergeletak si anak yang selama ini ia tanyakan. Ia terjerembab dan seketika anak itu mengeluarkan suara minta tolong dan begitu suara itu hilang si tetangga memanggil si bapak pemilik warung. Tak semua hal saya ketahui di warung ini. Bagaimana anak itu dibungkus dalam plastik dan masuk dalam warung tanpa diketahui oleh saya pun. Saya seharusnya tahu bahwa semua yang masuk dan keluar ke warung harus melewati saya. Saya hanya mengingat kejadian ketika warung ini diobrak-abrik hanya berbagai tepung yang berhamburan di dekat dua bagian tubuh saya. Toples-toples yang tertumpah dan salah satunya kue kering berwarna coklat dimakan oleh tikus gemuk berekor terpotong. Bagaimana mereka bisa menaruh anak pemilik warung saat ini? Untuk pertanyaan ini, saya hanya memikirkan kenapa bagian atas saya sudah mulai basah dengan hujan yang sedari tadi sudah membasahi warung ini. Si Tetangga memanggil bapak karena si anak mengigau setelah dua hari tidak bangun. Ia hanya berbicara dengan ngigau. Saya hanya melihat si bapak termenung dengan kepulan asap yang keluar dari mulutnya. “kita bawa ke rumah sakit aja, pak?” “kagak. Tar juga bangun.” Si Tetangga merapikan selimut yang berantakan dan diletakan dekat kasur “gue bejek tuh bocah.” Bapak sambil menarik lengan baju koko-nya ke atas. “emang dah tuh bocah.” Baru kali ini saya menanti hingga bulan purnama datang dan kedua bocah teman si anak itu muncul dengan pakaian yang sama ketika mereka mengobrak-abrik warung. Si bapak dan Si Tetangga hanya terkekeh dengan kedua bocah yang datang tanpa mereka minta. Tanpa memberi aba-aba, si Tetangga mengejutkan kedua bocah dengan menyerang secara brutal dan si bapak sambil membenarkan sarung berwarna ungu membanting satu bocah itu hingga muka satu bocah itu tertampar dengan lantai teras warung. “kenapa lu bonyokin anak gue?” Si bocah yang mukanya tertampar lantai teras warung hanya bernapas cepat dan memegangi wajahnya. Si Tetangga dengan cekatan memegangi kedua tangan bocah lainnya yang ternyata perempuan. “capek kita jadi jongos.” Sebelum si bocah satu yang perempuan ini ingin menutup kembali topeng yang terlepas setengah, Si Tetangga sudah menampar dengan kencang Perkelahian itu terhenti dengan hadirnya si hansip “woy setop lu” Kedua bocah yang mendengar suara itu langsung berlari dan meninggalkan tiga orang melongo kebingungan. Kesempatan yang didapat kedua bocah itu langsung ditanggapi dengan pentungan hansip yang melayang. Hal yang saya tahu kedua bocah itu menjadi sering datang ke warung bapak. Mereka disuruh membantu memindahkan barang-barang yang datang dari truk berwarna hitam itu. Si bapak membantu si bocah untuk berjalan dan mereka hanya tersenyum.