Lompat ke isi

Pondok Biru

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Sinopsis[sunting]

Arif sedang liburan sekolah. Untuk mengisi waktu liburnya, ia menemani Bunda berjualan aneka jajanan di Pondok Biru, pondok kecil di samping rumahnya. Arif paling senang ketika bertugas menjadi 'kasir' saat berjualan.

Lakon[sunting]

  1. Arif
  2. Bunda
  3. Ayah
  4. Bu Ratna
  5. Tina
  6. Anwar

Lokasi[sunting]

Gang Teratai

Cerita Pendek[sunting]

Rumah beratap biru dengan pintu kayu coklat yang berada di Gang Teratai itu sangat menarik dan nampak menonjol dibandingkan rumah yang lain. Rumah itu unik karena di hamparan rerumputan rumahnya ada tenda biru yang tegak kokoh dengan meja dan beberapa kursi di sana. Tenda kecil itu dinamai Pondok Biru oleh orang-orang.

Pondok Biru adalah tempat Bunda dan Arif menjual jajanan pagi untuk warga yang tinggal di sekitar Gang Teratai. Tempatnya tidak terlalu besar, namun dibuat nyaman dengan kursi kayu yang panjang dan meja kayu yang cukup luas. Di luar Pondok Biru tersusun pot bunga yang berisi berbagai macam bunga berwarna-warni. Bunga-bunga itu membuat Pondok Biru semakin asri. Pondok Biru menjadi tempat favorit orang-orang di Gang Teratai setiap pagi, apalagi di hari Minggu. Jajanan yang dijual Arif dan Bunda bermacam-macam, ada donat, risoles, kroket, bakwan, dan pisang coklat. Semuanya dijual seharga Rp2.000,- per buah.

Pagi ini, pintu kayu rumah tersebut perlahan terbuka dan Arif muncul sambil membawa sekotak donat yang baru saja dibuat Bunda. Arif yang sedang libur semester sekolah berjalan kecil menuju Pondok Biru. Di sana sudah ada Bunda yang sedang menyusun donat-donat yang sudah lebih dulu di goreng dan diberi aneka selai. Ia senang membantu Bunda mempersiapkan jajanan di dapur. Arif paling suka mengoles berbagai macam selai di atas donat dan menaburkan meses di donat-donat itu. Ada selai coklat, stroberi, dan anggur. Biasanya, setelah semua donat diolesi, Arif membantu Bunda membungkus gorengan dengan wadah kertas supaya gorengan-gorengan tersebut tersusun rapi. Ketika semua sudah selesai, Arif dan Bunda mengangkat jajanan tersebut ke Pondok Biru dan menyusunnya di meja panjang.

Arif paling senang jika diajak Bunda berjualan. Ia merasa seperti menjadi seorang pengusaha yang memegang banyak uang saat menolong Bunda ketika ada yang mau membayar. Kali ini, pelanggan pertama mereka adalah Bu Ratna yang tinggal di ujung Gang Teratai. Ia sangat rapi menggunakan kemeja abu-abu dan sepatu hitam. Bu Ratna adalah seorang wartawan. Ia sering keluar kota untuk meliput berita-berita. Arif sangat kagum padanya.

“Selamat pagi, Bu Ratna. Ibu mau beli jajanan yang mana?” Sapa Arif dengan ceria. Ia senang karena Pondok Biru baru saja buka dan sudah ada pelanggan.

“Selamat pagi, Arif. Ibu mau dua buah donat selai coklat dan dua buah risoles ya. Mau Ibu jadikan bekal untuk di kantor nanti.” Bu Ratna menunjuk dua donat dan risoles pilihannya. Bunda dengan sigap membungkusnya dalam plastik kecil. Bau wangi risoles tercium semerbak di Pondok Biru. Sementara itu, Arif langsung menghitung total belanja Bu Ratna.

“Dua donat harganya Rp4.000,- dan dua risoles harganya Rp4.000,- juga, jadi totalnya Rp8.000,-, Bu Ratna.”

Bu Ratna menyerahkan selembar uang Rp20.000,- kepada Arif. Dengan cepat, Arif meraih dua lembar uang Rp2.000,- dan selembar uang Rp10.000,- sebagai kembaliannya. Bu Ratna menerimanya sambil tersenyum. “Terima kasih, Arif. Kamu sudah semakin hebat ya, menghitung uang kembalian.” Arif tersenyum dan mengangguk. Ia menjadi sangat bersemangat.

Setelah itu Pondok Biru menjadi semakin ramai. Arif dan Bunda sedikit kewalahan tapi juga sangat senang karena banyak yang membeli jajanan di Pondok Biru. Sekitar jam 11 siang, Ayah datang membawa tiga gelas teh es manis. Karena hari ini hari sabtu, Ayah pulang kerja lebih cepat. Kemudian mereka duduk sambil meminum teh es yang dibawa Ayah. Beberapa saat kemudian, dua anak-anak berhenti di Pondok Biru. Mereka adalah Anwar dan Tina, dua bersaudara yang tinggal dua rumah di samping rumah Arif. Keduanya adalah saudara kembar dan sekarang kelas empat SD, seumuran dengan Arif

“Aku mau beli tiga pisang coklat!” Anwar menunjuk ke kotak yang berisi pisang coklat.

“Kalau aku mau dua bakwan, Tante.” Ujar Tina.

Arif langsung melompat dari tempat duduknya dan membungkus pesanan Anwar dan Tina. “Tiga pisang coklat harganya jadi Rp6.000,- dan dua bakwan harganya Rp4.000,-, jadi totalnya jadi Rp10.000,- ya Anwar.” Arif menyerahkan bungkusan jajanan milik mereka.

Tina merogoh kantong celananya dan mengeluarkan uang Rp2.000,- sebanyak enam lembar. Bersama saudara kembarnya, keduanya langsung berjalan dengan riang menuju rumah mereka. Arif menghitung dengan tenang lembaran uang yang diberikan Tina. Ternyata, enam lembar uang Rp2.000,- adalah Rp12.000,-. Tina menyerahkan terlalu banyak uang untuk membayar jajanannya. Arif melaporkannya kepada Bunda.

“Bunda, Anwar dan Tina membeli jajanan seharga Rp10.000,- dan menyerahkan uang sebesar Rp12.000,-.”

Bunda kemudian meminta Arif menghampiri Tina yang sedang dalam perjalanan kembali pulang. “Kembalikanlah lagi uang yang berlebih itu, Arif. Tina pasti tadi tidak sadar uangnya berlebih ketika membayar.” Arif mengangguk paham. Ia meraih selembar uang Rp2.000,- seraya berlari kecil menghampiri Tina dan Anwar.

“Tina, uang yang kamu berikan berlebih. Jajanmu tadi hanya Rp10.000,- tapi kamu membayar Rp12.000,-” Ujar Arif sambil menyerahkan uang yang berlebih itu.

Tina agak kaget. “Terima kasih Arif! Aku tidak sadar menyerahkan seluruh uang jajanku. Padahal sisa uangku hari ini untuk ditabung. Kalau tidak kamu beri tahu, mungkin hari ini aku tidak jadi menabung.” Tina menerima uang itu dengan lega. Arif mengangguk.

“Dengan senang hati, Tina! Lain kali kamu bisa menghitung terlebih dahulu uangmu sebelum membayar.” Tina tersenyum dan mengiyakan. Ia menerima saran Arif dan mengingatnya. Arif kemudian kembali ke Pondok Biru. Jajanan yang mereka jual sudah habis. Ayah dan Bunda sedang membereskan kotak-kotak jajanan yang sudah kosong.

Ayah tersenyum melihat kedatangan Arif. Ia bangga anaknya bisa berjualan dengan jujur dan tidak mengambil hak milik orang lain. Ayah memeluk Arif. “Anak ayah yang jujur dan hebat!” Puji Ayah.

Secercah senyum muncul dari bibir kecil Arif. Meski berjualan membuatnya capek, ia selalu senang karena bisa menolong Bunda. Kini, Ayahnya pun bangga padanya. Arif sangat senang berjualan. “Pondok Biru yang asri, tetaplah asri agar aku bisa terus berjualan!” Batinnya. Sambil membawa kotak-kotak jajanan yang sudah kosong, Arif, Bunda, dan Ayah kembali masuk ke rumah, meninggalkan Pondok Biru. “Sampai bertemu lagi besok pagi, Pondok Biru-ku!”