Pot Bunga Mawar Kuning

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pot Bunga Mawar Kuning[sunting]

Pot Bunga Mawar Kuning

Oleh: CH Tutut Hastuti

Fani masih bersandar pada pembatas tembok setinggi dadanya di balkon atau teras rumahnya yang di lantai dua. Memang tempat itu sangat nyaman untuk memandangi lingkungan sekitar perumahan yang berlatar belakang bukit-bukit yang asri. Matanya yang bening terlihat bersinar penuh kegembiraan, sedang mengamati tetangga baru yang menempati rumah di seberang jalan.

“Kira-kira punya anak sebaya aku, nggak, ya?” tanyanya lirih pada dirinya sendiri. Rambut hitamnya yang dikucir kuda melambai-lambai pelan tertiup angin sejuk sore yang cerah.

“Apa aku main saja ke rumahnya sambil menyapa?” tanyanya lagi sendiri sambil menopangkan dagu di meja kecil sambil duduk santai di kursi yang masih di teras atas rumahnya.

“Ah, tapi tidak sopan, kan, kalau aku tiba-tiba datang ke rumah mereka?” Kali ini seperti ada kata hati lain yang mencegah niatnya itu.

“Fani, kenapa bengong di sini?” Suara Bunda tiba-tiba sudah terdengar dekat sekali di telinga Fani.

“Eh, Bunda. Oya, Bun. Aku mau tanya, Itu tetangga yang baru pindah punya anak sebaya aku, nggak?” tanyanya polos sembari menatap penuh harap pada Ibunya.

“Oh, kalau itu Bunda belum tahu. Kan, mereka baru saja datang. Mungkin, sekarang masih sibuk berbenah rumahnya. Kita tunggu saja sampai mereka menyapa kita. Berarti, kondisinya sudah santai dan kita bisa berkenalan dengan mereka,” Saran Bunda dengan lembut.

“Tapi, aku tidak sabar lagi, Bun. Selama tinggal di rumah ini, aku tidak punya teman yang bisa kuajak bermain,” Fani menggerutu sambil menekuk mukanya. Matanya yang bersinar riang tadi sudah tidak terlihat lagi.

“Sabar, dong. Fani sudah besar, lho. Masak sudah kelas lima tidak bisa menahan diri. Kalau kita langsung mendatangi rumahnya, itu seperti sikap tidak sopan karena mereka baru saja pindah. Ingat, tidak? Saat kita pindah ke rumah ini, sangat melelahkan dan banyak barang yang harus diatur. Belum masalah lain yang harus diurus. Sangat capek, kan?” Bunda mencoba memberi pengertian pada Fani yang masih tampak kesal.

“Oya! Bunda ada ide, nih.”

“Apa, Bun?!” secepat kilat fani bertanya. Wajahnya yang manis kembali bersinar ceria seperti sedia kala. Kali ini, matanya menatap serius wajah Bundanya yang tersenyum penuh arti.

“Bagaimana kalau sekarang, Fani bantu Bunda membuat kue. Jika nanti tetangga kita datang berkunjung, mereka bisa menyicipi kue buatan kita. Bagaimana, setuju?” Nada suara Bunda yang penuh semangat langsung mengubah suasana hati Fani yang sempat muram dan sedih kembali gembira.

“Waah, aku setuju, Bun. Ayo, kita lakukan sekarang, Bun,” Suara Fani kembali bersuka cita. Sifatnya yang periang, cepat sekali menghilangkan rasa sedih yang sempat hinggap. Tangan mungilnya segera menggandeng Bunda untuk melangkah dan mereka tertawa bersama sambil menuju dapur di lantai bawah.

***

“Namaku Anjani.”

Ternyata benar dugaan Fani bahwa tetangga barunya mempunyai anak sebaya dia. Pada suatu sore, setelah satu hari sejak kepindahan mereka di dekat rumah Fani, keluarga Anjani berkunjung ke rumah Fani. Pastinya, Fani sangat gembira karena harapannya terkabul. Apalagi Anjani adalah anak perempuan sebaya dengannya yang gampang bergaul meskipun anaknya terlihat pendiam dan sangat tenang sikapnya. Sangat berbanding terbalik dengan karakter Fani yang banyak bicara, ceplas-ceplos, periang, dan cepat tanggap dalam menghadapi situasi di sekitarnya.

“Panggil saja aku Fani. Mau lihat pemandangan dari balkon di atas?” ajaknya pada Anjani dengan tujuan agar teman barunya merasa senang melihat-lihat isi rumahnya. Wajahnya penuh kegembiraan karena mendapatkan teman sebaya di lingkungan rumah yang selama ini diimpikan. Lalu, Anjani menanggapi dengan anggukan kepala disertai senyuman lebar pada Fani, teman barunya.

“An, masuk di sekolahku saja. Nanti, kita bisa berangkat bersama diantar Bundaku,” ujar Fani antusias penuh semangat. Mereka telah sampai di balkon atas rumah Fani. Anjani tak henti berdecak kagum melihat pemandangan bukit indah yang melatar belakangi komplek perumahan mereka.

“Ah, ya. Mamaku bilang juga begitu. Mulai besok aku sudah bisa ke sekolah bareng kamu,” Anjani membalas ucapan Fani dengan tenang dan tersenyum sambil menatapnya.

“Mulai sekarang kita berteman, ya. Maukah kau bersahabat denganku, An?” tanya Fani penuh harap.

“Ya, tentu. Aku senang sekali kamu mau berteman denganku. Kupikir, aku akan kesulitan ketika orang tuaku berencana pindah ke sini. Aku sempat tidak makan dan sakit karena takut. Ternyata Mamaku benar, ketakutan karena belum mengalami kejadian sebenarnya akan jadi sia-sia saja. Makasih, Fani. Kita akan berteman selamanya, ya,” Tak disangka Anjani yang pendiam bisa mengungkapkan isi hatinya karena saking bahagianya bisa bertemu dengan Fani, teman barunya.

Sejak itu, Fani dan Anjani selalu terlihat bersama di sekolah maupun di rumah, kecuali jika Fani sedang mengikuti les melukis. Tak diragukan lagi, bakat melukis Fani sudah sangat terlihat bahkan sering memenangkan lomba sehingga dia menjadi terkenal di mata siswa dan guru karena bakatnya itu. Bahkan lukisan hasil kemenangannya telah menghiasi dinding-dinding sekolahnya.

***

Musim ulangan semester akhir menuju kenaikan kelas sudah berakhir. Tak terasa hampir satu tahun Anjani menjalani hari di sekolahnya Fani. Dia merasa keadaan begitu menyenangkan. Meskipun tidak setenar Fani karena bakat melukisnya yang luar biasa, Anjani telah dikenal sebagai anak cerdas di kelasnya. Walaupun menempati peringkat pertama pada semester lalu dan semester akhir, tapi hatinya merasakan sedih dan mulai kesepian karena Fani mulai berubah dan jarang berbicara dengannya. Apalagi libur kenaikan kelas sudah di depan mata, Anjani tidak ada kesempatan lagi naik mobil Bunda Fani yang selalu mengantar-jemput mereka berdua.

“Ma, Anjani bingung harus bagaimana?” tanya Anjani serius pada Mamanya ketika sedang menyirami tanaman bunga mereka yang beraneka warna di samping rumah asrinya pada suatu sore. Kebetulan Mama Anjani sedang libur kerja. Anjani juga belum ada rencana mengisi liburan sekolah yang cukup panjang ini.

“Ada masalah di sekolahmu?” Mamanya malah balik bertanya pada Anjani yang mengekor mengikuti langkahnya sambil menyirami tanaman.

“Kayaknya Fani marah sama aku, Ma. Kemarin-kemarin jarang ngobrol di mobil,” ujar Anjani perlahan. Mamanya langsung menghentikan pekerjaannya, lalu membimbing Anjani untuk duduk bersama di bangku.

“Coba, ceritakan pada Mama apa yang terjadi, sayang,”  bujuknya dengan lembut.

“Aku pernah dengar ada temen yang berbicara, Ma. Dulu sebelum  ada aku, Fani selalu mendapatkan juara satu di kelas. Tidak ada yang bisa ngalahin, dia juga jago melukis. Kalau sekarang aku yang mendapat juara, bukan salahku, kan?” Anjani mengungkapkan uneg-uneg di hatinya.

“Tidak salah, sayang. Mama percaya Anjani telah berusaha sebaik mungkin dan juga rajin belajar. Kamu tidak perlu takut dan minder dengan segala omongan dari temanmu. Apa sebaiknya, Anjani menemui Fani di rumahnya? Siapa tahu, Fani lagi ada masalah lain,” Mamanya berusaha menenangkan Anjani dan memberinya saran yang positif padanya.

“Tapi Fani selalu sibuk sekarang, Ma. Mungkin sudah punya rencana bepergian karena sudah libur.”

“Coba, kamu mulai ngobrol lewat *chat *WA. Ada nomor Hapenya, kan?” saran Mamanya lagi dengan lembut.

*(Chat : perbincangan di media sosial. WA : WhatsApp, aplikasi atau tempat untuk mengirim pesan di ponsel pintar atau smartphone.)

“Ada, Ma. Tapi, selama ini kami tidak pernah ngobrol lewat WA karena setiap hari ketemu. Bahkan Bundanya Fani sering mengajak makan siang di rumahnya sepulang dari sekolah,” kata Anjani bercerita, mengingat kebaikan Bundanya Fani.

“Bagaimana kalau kamu kirim pesan sekarang ke Fani dan kita tunggu reaksinya?” Mamanya Anjani memberikan ide untuk berkomunikasi.

“Baiklah,” Anjani menuruti saran Mamanya. Dia mulai menulis kata-kata di pesan WA lewat telepon genggamnya.

( Fani, kamu marah sama aku?). Tring. Ah, langsung ada balasan.

(Nggak). Anjani terdiam memandangi jawaban Fani yang sangat singkat.

(Kamu di mana? Aku mau ke rumahmu). Anjani terdiam lagi menunggu balasan pesannya yang sudah terbaca dari tadi.

(Aku tidak di rumah). Hanya begitu saja jawaban Fani. Anjani masih bingung, lalu membalasnya.

(Kapan aku bisa main ke rumahmu?). Kali ini, pesan Anjani tidak dibalas. Dan, pembicaraan lewat WA berhenti sampai di situ. Lalu Anjani menghampiri Mamanya yang masih sibuk mengurusi tanaman bunganya.

“Fani tidak ada di rumah, Ma. Dan, katanya dia nggak marah sama aku. ”

“Oh, begitu. Betul, kan? Mama bilang mungkin Fani lagi kesal dengan suatu hal yang tidak bisa diceritakan padamu. Mama yakin, Fani anak yang baik juga cerdas. Dia juga terlihat  gembira saat bersama dengan Anjani. Bersabarlah saja, kita tunggu sampai Fani berbagi cerita denganmu, *OK?” Mama Anjani memberikan semangat padanya agar tidak berpikiran negatif pada temannya.

*(OK. Adalah kata dari bahasa Inggris : Okay, artinya menunjukkan persetujuan, pembenaran.)

***

Sementara beberapa hari telah berlalu sejak percakapan itu. Kini sosok Fani berdiri di depan pintu rumah Anjani. Seperti tidak percaya, Anjani membuka pintu dan hanya diam terpaku di hadapan Fani yang tersenyum manis. Wajahnya juga terlihat berseri bagaikan bunga yang sedang mekar. Ditangan kirinya tampak menjinjing bingkisan dalam keranjang.

“Anjani, aku baru nyampai rumah hari ini. Jadi, aku langsung ke sini. Oya, ini ada oleh-oleh untukmu. Maaf,ya. Aku tidak mengabarimu karena beberapa hari ini aku keluar kota dengan Bunda. Ada lomba melukis yang harus kudatangi,” Ungkap Fani sedikit panjang dan membuat Anjani langsung gembira dan lega. Ah, ternyata begitu. Lalu, Anjani mengajak Fani duduk di taman bunga samping rumahnya yang terasa lebih sejuk.

“Makasih Fani. Tapi, beneran kamu tidak marah sama aku? Kamu tidak mendengar pembiacaraan teman-teman di kelas kemarin dulu?” Anjani memberondong pertanyaan-pertanyaan yang masih mengganjal di hati dengan lugunya.

“Ah, ya. Aku mendengar itu. Sebenarnya, sebelum ulangan semester akhir kemarin , aku sangat kesal harus ikut les sana-sini. Tapi, aku juga ingin tetap mendapatkan juara kelas. Lalu Bunda memberiku sebuah saran,” sejenak Fani terdiam.

“Apa itu?” Tanya Anjani penasaran.

“Berusahalah semampumu, dan tidak perlu kecewa apapun hasilnya nanti,” Fani menjawab dengan mantap dan yakin.

“Bundaku juga bilang, fokuslah pada kelebihan yang kamu miliki, maka kamu akan merasa lebih bahagia. Aku akan fokus pada bakatku melukis, yang penting pelajaranku tidak tertinggal. Jadi, sekarang aku tidak terlalu sedih, apalagi marah denganmu,” ujar Fani dengan nada riang, terdengar ringan sekali seakan tidak ada beban yang menghimpitnya.

Anjani mengerti sekarang, bahwa yang dikatakan Mamanya memang benar. Fani adalah sosok teman yang baik dan cerdas juga. Mungkin hatinya saja yang terlalu sensitif atau jadi perasa ketika mendengar perkataan orang lain yang belum jelas kebenarannya. Tiba-tiba Anjani mengingat sesuatu, dan berkata,

“Fani,, kamu masih suka bunga mawar?” tanyanya cepat.

“Iya, masih. Kenapa?” tanyanya agak bingung.

“Aku ingin menjadi sahabatmu selamanya. Kata Mama, aku boleh memberimu bunga mawar kuning ini bila bertemu denganmu lagi. Aku juga masih ada satu pot bunga mawar kuning untukku. Maukah kamu merawat yang kuberikan ini?” Tanya Anjani sambil menyodorkan sebuah pot cantik yang berisi tanaman bunga mawar kuning. Anjani sengaja menaruhnya di rak-rak yang tersusun rapi untuk menempatkan tanaman bunga kesayangan.

“Ah, cantik sekali.  Aku sangat menyukai mawar kuning ini, An. Makasih, ya. Aku janji akan merawatnya setiap hari,” Jawab Fani bersemangat. Hatinya seperti dipenuhi bunga-bunga indah yang beterbangan penuh aroma wangi dan menyenangkan. Berdua, memandangi bunga mawar kuning dalam pot yang berada di pangkuan Fani dan keduanya tersenyum  lebar saling menebar kebahagiaan.

“Halo, Fani,” Suara Mama Anjani menegur dengan ramah yang sudah berdiri berada di belakang mereka. Lantas, seketika Fani menoleh dan menjawab dengan gembira.

“Pa kabar, Tante?” sahutnya sambil beranjak berdiri dan membalikkan tubuhnya. Tangannya masih memangku pot bunga mawar kuning. Anjani pun ikut bangkit dari duduknya dan memandangi Mamanya penuh kegembiraan..

“Fani, suka dengan bunganya?” tanyanya ramah.

“Iya, Tante. Terima kasih,” jawabnya sopan dan terdengar ceria.

“Bagaimana kalau sekarang kita bertiga ngobrol di dalam. Tante ingin sekali mendengar ceritamu yang pastinya sangat seru, kan?” Dan mereka tertawa bersama sembari berjalan beriringan masuk ke rumah. Hari ini, sepertinya terasa begitu indah bagi Anjani, juga Fani. Masing-masing telah menemukan hal yang baru dalam kehidupan mereka dan tentunya itu sangat berharga bagi keduanya.

Tamat

Tio murid kelas lima SD, berambut lurus dan gelap. Wajahnya tirus dengan alis tebal membingkai kedua matanya yang bulat. Kulitnya kecokelatan dan tubuhnya tinggi. Tio tinggal di perumahan Marygold bersama Nenek, Kakek, Paman Adi serta adik sepupunya Frans dan Frida, juga seekor kucing kampung berbulu hitam bernama Mio.

Tio, Frans dan Frida dititipkan di rumah Nenek karena kedua orangtua mereka bekerja jauh di luar Jakarta. Akibat pandemi, orangtua Tio dan Frans yang semula bekerja di Jakarta terkena PHK dan harus mencari pekerjaan baru.

Orangtua Tio mendapat pekerjaan baru di perkebunan nanas di Kalimantan Tengah. Di sana, rumah Mama dan Papa sangat jauh dari sekolah. Tio pun tinggal bersama Nenek agar bisa tetap sekolah.

Frans murid kelas empat SD. Rambut Frans sama lurus dan gelap dengan rambut Tio. Hanya saja badan Frans lebih pendek dan gempal. Orangtua Frans mendapat pekerjaan baru di Korea Selatan. Frans tidak bisa bahasa Korea. Papa dan Mama kuatir Frans tidak punya teman di sana. Frans pun dititipkan di rumah Nenek agar tetap punya teman. Sementara itu, Frida, adik Frans yang masih bayi juga tinggal bersama Nenek agar ada yang menjaga.

Frans dan Tio akrab satu sama lain. Di Marygold, ada anak-anak seumuran Frans dan Tio, dan Frans sudah akrab bermain bersama mereka. Sebaliknya, Tio yang pemalu masih lebih suka diam di rumah.

Frans sering mengajak Tio ikut bersepeda keliling perumahan atau bermain basket di taman perumahan, tapi Tio selalu menolak. Padahal sudah dua minggu mereka tinggal di sini, Tio masih belum mau bermain bersama.

Suatu sore, Frans hendak berangkat les bahasa Inggris, dan Tio menonton TV. Nenek mengajak Tio ke dapur. Di sana, Tio melihat dua panci sangat besar di atas kompor yang nyala apinya kecil sekali mirip api lilin.

“Wua! Panci Nenek besar sekali!” seru Tio takjub. Dia belum pernah melihat panci sebesar bantal.

“Nenek masak apa?”

“Telur pindang. Besok ada acara makan bersama.”

Warga Perumahan Marigold besok mengadakan acara kerja bakti. Usai bersih-bersih lingkungan, mereka akan makan bareng. Semua warga boleh membawa makanan apa saja untuk acara itu. Nenek berencana membawa telur pindang.

Telur pindang adalah makanan khas Jawa Tengah dan Yogyakarta, kota tempat kelahiran sebagian besar penghuni Marygold. Di sini, jarang sekali ada penjual telur pindang daun jambu. Meskipun bisa memasaknya sendiri, tetapi butuh waktu lama dan belum tentu selezat buatan Nenek Tio. Itulah sebabnya telur pindang buatan Nenek selalu dinantikan warga Marygold.

“Telur pindang itu apa?”

“Telur yang direbus dengan daun jambu.”

Tio menatap keheranan ke panci-panci itu. Satu-satunya benda yang dikenalinya di panci itu cuma telur. Nenek lalu menjelaskan kepada Tio, “yang panjang itu lengkuas. Yang bulat-bulat bawang; yang merah bawang merah dan yang putih bawang putih. Daun-daun kecil itu daun salam. Daun yang besar, nah itulah daun jambu.”

Tio manggut-manggut. “Boleh cicip?”

“Itu belum matang,” ujar Nenek sambil menaburkan sejumput garam. “Nanti airnya akan menyusut. Kita harus menambahkan air hangat dan daun jambu lagi,” jelas Nenek. “Sayangnya daun jambu Nenek habis.”

“Kalau daun jambunya kurang, telurnya tidak bisa dimakan?”

“Bisa, tapi rasanya hanya seperti telur rebus biasa.”

“Yah!” Tio mendesah kecewa. Dia penasaran rasa telur daun jambu. “Beli online saja.” Tio hendak berlari mengambil ponselnya tapi dicegah Nenek.

“Kalau beli beli online, Nenek tidak tahu itu daun jambu dari jambu apa. Tidak semua jenis jambu bisa dipakai daunnya.”

“Lalu bagaimana?”

“Pak Umar punya pohon jambu. Tolong mintakan Pak Umar, ya?”

“Aku nggak tahu rumahnya.”

Nenek mengambil selembar kertas lalu mencoret-coret di kertas itu. Ternyata Nenek menggambar peta Perumahan Marygold.


“Nah, nomor lima ini rumah kita. Pak Umar nomor 20, Gang 2. Rumah paling ujung.”

“Tapi aku belum kenal.” Tio merasa gentar. “Nanti saja tunggu Frans. Aku ditemani Frans.”

“Pak Umar itu ayahnya Dion, kan? Aku kenal kok sama Dion.” sahut Frans. Tahu-tahu dia nonggol di ambang pintu dapur. “Nanti pulang les aku temani.”

“Kamu ada ujian Bahasa Inggris dan pulangnya lebih malam.” Nenek mengingatkan Frans.

“Oh, iya aku lupa!” Frans menepuk dahinya

“Kalau kelamaan nanti keburu matang telurnya,” sahut Nenek.

“Aku ditemani Kakek, deh.”

“Nenek mau menggoreng kerupuk dulu, jadi Kakek menjaga Frida.”

“Paman Andi?”

“Aku mengantar Frans les,” sahut Paman Adi dari ruang tengah.

Tio cemberut dan Frans mulai tidak sabaran. “Duh…  Tio, kamu pergi sendiri ya. Aku penasaran sama rasanya telur daun jambu.”

“Aku juga penasaran. Tapi….” Tio menggaruk-garuk kepalanya. Sementara itu, Nenek menunggu dengan cemas keputusan yang diambil kedua cucunya itu. Nenek berharap, Tio mau membantu. Jika tidak, masakan telur pindang bisa terancam gagal. Frans terus berusaha meyakinkan Tio bahwa Dion itu anak yang baik sehingga Tio tidak perlu takut.

Karena sangat penasaran rasa telur daun jambu, Tio menyanggupi permintaan Nenek. Keputusan Tio disambut sukacita Nenek dan Frans. Tio pun memberanikan diri ke rumah Pak Umar berpanduan pada peta buatan Nenek.

Nenek diam-diam mengikuti Tio dan berdiri di depan rumah mengawasi cucunya itu berbelok ke Gang 2. Di gerbang perumahan, dua orang satpam yang sedang bertugas juga mengawasi Tio dari layar CCTV.

Sepanjang jalan menuju rumah Pak Umar, Tio waswas. Dia takut Pak Umar galak. Tanpa terasa, sampailah Tio di rumah Pak Umar. Tio memencet bel. Seorang anak seumurnya berbadan kurus dan jangkung, keluar.

“Eh, halo Tio.” sapa anak itu.

“Oh… eh…” balas Tio grogi. Keringat dingin mengucur dari dahi dan kakinya gemetaran. Ucapannya pun menjadi tersendat-sendat. “Apa… apa… be… benar ini ru… rumah Pak Umar?”

“Benar. Pak Umar itu ayahku. Namaku Dion. Ada apa?” Anak itu menyahut dengan nada bersahabat. Ketakutan Tio pun menyusut dan perkataannya lebih lancar.

“Ne..nek menyuruhku me…minta daun jambu.”

“Wah… Nenek Sri mau buat telur pindang buat kerja bakti besok ya? Asyik!”

Tio terkejut Dion mengenal telur pindang buatan Nenek, dan Tio makin penasaran akan rasanya. “Kamu suka telur pindang buatan Nenek?”

“Iya suka banget. Enak sih. Aku selalu habis dua butir!” Dion tertawa lebar. Mata sipitnya terpejam ketika dia tertawa. “Sebentar ya, aku tanya ayahku dulu.”

Tak lama kemudian, Dion keluar bersama ayahnya. Ayah Dion berkata, “Waduh… maaf Tio, daun jambu di kebunku bolong-bolong dimakan ulat. Daun jambu untuk telur pindang harus daun utuh. Coba deh Tio ke rumah Bu Santi.”

“Bu Santi?” Tio memucat. Jantungnya yang sudah tenang berdegup kencang kembali. Tio belum mengenal Bu Santi. Tio juga tidak tahu yang mana rumah Bu Santi, maka dia mengeluarkan petanya dan menunjukkannya kepada Pak Umar. Ayah Dion menunjuk rumah nomor 13, masih di Gang 2.

“Aku ingin menemanimu ke rumah Bu Santi. Tapi sebentar lagi guru les matematikaku datang. Maaf ya, Tio.”

“Tidak apa-apa.”

“Besok sehabis kerja bakti kita main sepeda yuk.”

Tio sudah ketakutan akan bertemu dengan Bu Santi. Jadi, dia hanya sanggup menjawab ajakan Dion dengan anggukan lalu cepat-cepat berpamitan.

Dari teras rumah, Pak Umar mengawasi Tio sampai anak itu tiba di rumah yang benar dan bertemu dengan Bu Santi.

Di depan rumah Bu Santi, Tio ragu-ragu hendak menekan bel. Namun, dia teringat sikap ramah Dion dan Pak Umar tadi. Keberanian pun mulai tumbuh dalam hatinya.

“Siapa?” teriak Bu Santi dari dalam rumah. Tio terlonjak kaget.

Suara Bu Santi yang lebih melengking ketimbang suara Pak Umar, membuat Tio mengira Bu Santi marah.

“Ada apa, Tio?” tanya Bu Santi.

Tio memberanikan diri menjawab meskipun mulutnya lebih suka terkunci rapat. “Ngg… ma… maf… Bu… Apa be… benar ini rumah Bu Santi? Nenek mau minta da…daun jambu.” ucap Tio lirih dan terbata-bata.

“Apa?” tanya Bu Santi. “Telingaku sedang sakit, Nak. Bisa tolong lebih keras sedikit suaranya?”

Tio lega Bu Santi berteriak bukan karena marah tapi karena tidak mendengar. Keberanian Tio pun muncul kembali. Dia mengulangi kata-katanya tadi dengan lebih jelas dan keras, “Apa benar ini rumah Bu Santi? Nenek mau minta daun jambu.”

“Iya, aku Bu Santi,” jawab Bu Santi. “Pohon jambuku jambu biji putih, Tio. Telur pindang dimasak pakai daun jambu biji merah. Maaf ya Tio. Coba ke rumah Kakek Iwan.”

Tio mengeluarkan peta dan Bu Santi menunjukkan rumah Kakek Iwan. Rumah nomor 15, gang 2. Tio resah dia masih harus menjumpai orang-orang yang belum dikenalnya. Namun, Tio berusaha menguatkan dirinya demi menuntaskan penasarannya akan telur daun jambu. Toh, tadi Pak Umar dan Bu Santi menerima dirinya dengan bersahabat. Tio berpamitan dan menuju rumah Kakek Iwan.

Dari teras rumah, Bu Santi mengawasi Tio sampai anak itu tiba di rumah yang benar dan bertemu dengan Kakek Iwan.

Di depan rumah Kakek Iwan, Tio memencet bel. Seorang anak laki-laki seumuran dengannya, muncul. Anak itu berkacamata tebal dan berambut keriting. “Halo, Tio. Ada apa?”

“Apa benar ini rumah Kakek Iwan?” ucap Tio hati-hati. Di dalam hati, Tio masih merasa sedikit takut.

“Iya, betul. Kakek Iwan itu kakekku. Aku Lukas. Ada apa?” tanya anak itu. Tutur katanya yang bersahabat membuat Tio merasa aman, sehingga dia bisa menjawab dengan lancar,

“Aku mau minta daun jambu. Humm… nenekku mau buat telur pindang, tapi daun jambunya kurang.”

“Oh… tunggu sebentar. Aku tanya Kakek dulu.” Bocah gempal itu berlari masuk ke rumah sambil memanggil kakeknya.

Kakek Iwan keluar menemui Tio. “Duh… maaf Tio. Pohon jambuku baru saja dipangkas agar cepat berbuah. Hanya tersisa daun yang masih sangat muda. Telur pindangnya nanti jadi pahit. Daun jambu untuk telur pindang tidak bisa terlalu muda, tapi juga tidak terlalu tua,” jelas Kakek Iwan seraya menunjuk pohon jambu yang nyaris gundul itu.

“Tidak apa-apa, Kek.”

“Coba kamu ke rumah Oma Anna, di gang satu.”

Tio pun mengeluarkan petanya dan Kakek Iwan membantu Tio menunjukkan rumah Oma Anna. Rumah nomor 4, Gang 1. Itu tetangga sebelah rumah Tio! Semoga Oma Anna punya daun jambu yang dimaksud Nenek, harap Tio dalam hati.

Tio pun berpamitan. Ketika hendak menuju rumah Oma Ana, Lukas melambaikan tangan dan berkata, “Tio, namaku Lukas. Besok kita main sepeda sama-sama yuk.”

Tio balas melambaikan tangan dan berseru, “Ayukkk.”

Dari teras rumah, Kakek Iwan mengawasi Tio sampai anak itu berbelok ke Gang 1.

Tio melangkah ke rumah Oma Anna dengan percaya diri. Dia yakin, Oma Anna juga akan menerimanya dengan bersahabat, sama halnya dengan Pak Umar, Bu Santi, dan Kakek Iwan. Setibanya di rumah Oma Anna, Tio tanpa ragu memencet bel.

Oma Anna menyapa Tio, “Halo Tio. Ada apa?”

“Apa benar ini rumah Oma Anna?”

“Iya, saya Oma Anna. Ada apa Tio?”

“Apa Oma punya daun jambu? Nenek minta daun jambu untuk membuat telur pindang.”

“Oh… ada di kebun belakang. Aku petikkan dulu, ya.”

Tio senang sekali. Akhirnya, misi mencari daun jambu selesai. Beberapa saat kemudian, Oma Anna kembali dengan dua kantong plastik daun jambu. Anak perempuan berambut pendek mengikuti Oma Anna, dan menyapa Tio, “Halo… Tio, aku Tiara.” sapa anak itu tersenyum.

Tio balas menyapa, “Ohai juga. Namaku Tio,” jawabnya tenang.

“Ini daun jambunya,” Oma Anna mengulurkan dua kantong plastik dan Tiara memberikan sekantong lagi.  

“Terima kasih banyak, Oma.” ucap Tio. Lalu Tio berkata kepada Tiara, “Tiara, besok kita main sepeda yuk.” Tiara pun menyambut hangat ajakan teman barunya itu.

Tio pun berpamitan dan pulang.

Setibanya di rumah, Tio memberikan tiga kantong daun jambu itu kepada Nenek. Tio bercerita kepada neneknya bahwa dia bertemu teman-teman baru, namanya Dion, Lukas dan Tiara, juga tetangga-tetangga baru, Pak Umar, Kakek Iwan, Bu Santi dan Oma Anna.

Nenek ikut gembira akhirnya Tio punya teman. Rencana Nenek untuk membantu Tio berkenalan dengan warga Marygold, berhasil. Nenek pun mengirim WA ke grup warga Marygold dan mengucapkan terima kasih kepada para tetangga yang tadi telah membantu Tio.

Malam harinya, Nenek, Kakek, Paman Adi, Frans dan Tio makan bersama dengan menu utama telur pindang.

Tio mengupas telur yang kulitnya telah berubah warna menjadi cokelat pekat itu. Aroma daun jambu sudah tercium dari kulitnya saja, apalagi ketika telur dikupas. “Wah… bagian putihnya menjadi ada garis-garis cokelat.”

“Yang ini, bagian cokelatnya lebih banyak daripada putihnya,” ujar Frans saat selesai mengupas telur pindang bagiannya.

Kedua anak itu mencoba makan telur pindang. Bagian putih telurnya terasa gurih dan sedikit manis, sedangkan bagian kuningnya gurih dan tidak amis.

“Kalian suka?” tanya Nenek.

Frans dan Tio mengangguk sementara mulut mereka sibuk mengunyah telur pindang.

Usai makan, karena daun jambunya masih sisa banyak, Nenek membuat lagi sepanci besar telur pindang untuk dimakan bersama-sama seluruh warga Marygold besok.  

Keesokkan harinya, usai kerja bakti, warga Marygold makan bersama-sama dengan lauk istimewa telur pindang. Tio dan Frans juga ikut makan bersama. Setelah itu, tentu saja, mereka main bersama-sama teman-teman Marygold.