Pukul Enam Sore
Gabriel Dimas Hayon adalah nama lengkapnya. Pria kelahiran Lembata, 20 Juli 2000 ini adalah alumni SMAS Seminari San Dominggo Hokeng- Flores Timur-NTT. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta dengan program studi Hubungan Internasional. Aktif menulis cerpen sejak dibangku SMA, sering mengikuti berbagai lomba menulis cerpen, puisi dan quotes. Ia juga mempunyai blog kompasiana yang berisikan beberapa tulisan seperti cerpen dan artikel.
Cerita Pendek
[sunting]Sudah yang kesekian kalinya, aku dan teman-teman bermain di tanah lapang dekat rumah. Lokasinya bisa dibilang bagus karena berada tidak jauh dari rumah kami. Pemiliknya adalah tetangga kami sehingga tidak masalah jika kami menghabiskan waktu bermain di situ. Pulang dari sekolah jam 12 siang, aku menyalami ibu dan ayah di rumah. Kemudian makan bersama mereka di meja makan lalu berpamitan untuk pergi bermain di tanah lapang. Banyak hal yang kami mainkan di sana seperti bermain kelereng, karet gelang, mobil-mobilan dari dus rokok dan masih banyak lagi. Saat hari sudah mulai sore, kami sering bermain bola kaki dengan bola plastik dan tanpa sepatu bola seperti pemain bola pada umumnya. Tiang gawangnya kami buat dari batang kayu kering atau bambu kering yang kami cari dan temukan disekitar rumah. Tanah lapang itu tidak berumput sehingga selalu berdebu kalau bermain di situ. Kebetulan hobi aku dan sembilan teman yang lain sama sehingga semua permainan ini selalu kami mainkan bersama-sama.
Setelah mengakhiri pertandingan bola ala anak kampung, kami tidak langsung pulang ke rumah tetapi duduk di tengah tanah lapang sambil bercerita tentang pertandingan yang kami mainkan barusan. Wajar saja kami banyak bercerita karena sudah saling kenal dan selalu begitu setelah bermain. Pertemuan itu akan berakhir ketika mendengar suara teriakan mama dari rumah. Kebetulan si Andre rumahnya paling dekat dengan lapangan sehingga kami akan menunggu suara lengkingan teriakan dari ibunya lalu bubar. Besok dan seterusnya akan selalu begitu.
Aku sering pulang ke rumah di atas jam 6 sore. Saat tiba di rumah, aku akan diomelin dengan ciri khas ibu dari timur. Kalau bukan dengan kata-kata berarti yang mendarat di badan adalah sapu ijuk atau tangan ibu. Bisa juga disuruh berlutut, berdiri dengan satu kaki atau yang lainnya. Akhir dari hukuman itu ialah duduk makan bersama ayah, ibu dan kakak. Ketika dihukum aku pantang menangis karena bukannya dikasihani, menangis hanya akan menambah hukuman. Karena itu, aku lebih memilih diam dan menjalani hukumannya.
Ibu kemudian menasehati begini, “mulai besok pulang ke rumah harus di bawah jam 6 sore karena kalau di atas jam 6 sore, setan keluar cari anak-anak kecil untuk dibawa kabur.” Aku kaget mendengar ibu bercerita begitu. Kemudian ayah melanjutkan, “Kalau sudah ditangkap setan, kamu tidak bisa pulang lagi ke rumah.” Aku lebih ketakutan mendengar cerita tambahan dari ayah.
Besok saat kembali berkumpul bersama teman-teman, aku bercerita tentang setan di jam enam sore. Teman-teman yang lain juga menyahut bahwa ibu dan ayah mereka juga bercerita seperti itu. Sebagian teman-temanku tidak percaya tetapi kami yang lain bertanya-tanya tentang wujud setan seperti apa, datangnya bagaimana, pakaiannya seperti apa dan pertanyaan-pertanyaan polos anak usia 9 tahun lainnya.
Hari itu, kami bubar di jam lima sore tanpa ada cerita di tengah tanah lapang seperti hari-hari sebelumnya. Aku tiba di rumah dan ibu tersenyum bahagia. Mungkin ibu senang karena ceritanya sudah membuat aku sadar tentang bahaya setan di jam enam sore.
Di hari-hari berikutnya, kami selalu pulang lebih awal. Di bawah jam enam sore tanah lapang itu kosong. Suara teriakan ibunya Andre sudah tidak terdengar lagi. Walaupun begitu, kami tetap menaruh rasa penasaran dengan cerita ibu dan ayah di rumah.
Suatu kali kami memutuskan pulang di atas jam 6 sore seperti kebiasaan lama kami. Saat sampai di rumah, aku sudah ditunggu ibu. Ayah tidak ada. Mungkin ke pasar membeli ikan atau sayur. Aku tidak tahu pasti. Sebelum ibu berbicara, aku langsung bilang begini “ibu, setan tidak ada di lapangan. Kami tunggu-tunggu tetapi tidak datang.” Ibu tidak membantah. Aku disuruhnya untuk berdiri satu kaki sampai ayah pulang. Sambil menahan tangis, aku menunggu ayah pulang dengan satu kaki diangkat.
Ayah tiba di rumah saat aku sudah lelah dengan hukuman. “Ada apa ini?” Tanya ayah ke ibu. Ibu kemudian menjawab “Dia pulang terlambat lagi.” Ayah tidak merespon dan membiarkanku berdiri begitu saja. Tidak lama kemudian ibu menyuruhku membersihkan badan lalu makan malam bersama. Percakapan kami di meja makan tidak banyak. Kami bubar setelah doa tutup makan. Aku langsung beranjak menuju ke kamar tidur karena perasaanku masih bercampur antara kesal, marah dan takut sehingga tidak berani duduk lebih lama bersama kedua orang tuaku.
Aku masih penasaran dengan setan yang dimaksud ibu. Mungkin teman-teman yang lain juga begitu. Perasaanku takut tetapi tidak begitu percaya dengan cerita itu. Sampai suatu waktu, kami pulang terlambat lagi dan masih bercerita di tengah tanah lapang. Pukul enam sore waktu itu. Langit sudah gelap karena mendung sehingga jam enam sore seperti sudah malam sekali. Saat sedang bercerita, tiba-tiba kami mendengar suara tangisan dam teriakan. Siapa pun yang bercanda waktu itu, benar-benar bukan sesuatu yang lucu. Kami berteriak minta tolong dan berlari sambil menangis menuju rumah masing-masing. Jantungku berdetak cepat sekali dan tanganku bergetar saat tiba di rumah. Ibu panik karena tubuhku bergetar dan lemas. Aku merasakan takut yang luar biasa. Sekujur tubuhku mengeluarkan keringat dingin.
“Kamu kenapa Boy?” Ibu bertanya dengan suara gemetar. Ibu benar-benar panik kali ini.
“Ada setan di lapangan.” Aku menjawab dengan gugup.
Seketika ibu mengeluarkan kata-kata ceramahnya. “Ibu sudah bilang jam 6 itu jamnya setan.” Ibu bilang lagi, “Lain kali, kalau orang tua ngomong harus dengar.”
Aku menunduk saja. Perasaanku masih takut seperti tadi. “Ibu benar. Setan ada di jam 6 sore.” Aku bicara dalam hati. Aku kemudian disuruh membersihkan badan. Setelah itu, ibu mulai melanjutkan nasehatnya yang panjang lebar dengan suara yang cukup keras. Ibu benar-benar marah dan sekali lagi memperingatkanku kalau sampai di hari-hari berikutnya seperti ini lagi, aku tidak akan diizinkan bermain lagi di tanah lapang itu.
Besok saat bertemu teman-teman, mereka menyampaikan bahwa mereka sudah dilarang untuk bermain bersama karena peristiwa semalam. Aku sedih tetapi itu jalan keluar yang baik saat ini. Sudah hampir seminggu kami jarang berkumpul bersama. Aku lebih banyak di rumah. Tetapi kami tidak betah terus-terusan di rumah. Rutinitas kami kembali seperti sediakala minggu berikutnya dan seterusnya.
Karena aku selalu di rumah sebelum jam 6 sore maka ibu dan ayah tidak pernah menghukum dan memarahiku. Aku akhirnya menyadari bahwa tujuan ibu untuk menyampaikan bahwa ada setan di jam 6 sore itu supaya aku bisa membatasi jam bermainku, bisa pulang lebih awal ke rumah, bisa menggunakan banyak waktu untuk belajar, berkumpul bersama keluarga dan sebagainya. Ternyata ibu dan ayah bermaksud seperti itu. Mereka tidak melarang aku bermain tetapi semua harus memiliki batas karena sesuatu yang berlebihan tentu tidak baik. Cara orang tuaku mendidik mungkin berbeda dari yang lain. Tetapi percayalah bahwa tujuan mereka baik adanya.
Sekarang, setelah tumbuh menjadi lebih dewasa, aku tahu kapan harus bermain, kapan harus belajar, dan kapan harus tidur. Aku bisa mengatur waktu dengan baik untuk semua kegiatanku. Itu semua aku sadari datang dari kebiasaan ibu menyuruhku pulang sebelum jam 6 sore.