Lompat ke isi

Putri Khayalan

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
           Perlahan Mita membuka matanya. Samar-samar dilihatnya bayangan seorang perempuan di hadapannya. Dengan suara lemah ia berkata, “Di mana aku…?”
           “Kamu berada di dalam istana, Sayang,” kata perempuan itu lembut.
           “Istana???” Mita terperanjat kaget. Seketika ia terbangun, duduk sambil mengedarkan pandangannya.
           Untuk beberapa saat ia tertegun, seperti tak percaya melihat pemandangan di sekitarnya. Dirinya sekarang berada di dalam sebuah ruangan yang cukup luas dan mewah. Kasur yang didudukinya sangat empuk berlapis kain sutra halus. Berbagai perabotan mewah melengkapi kamar ini.
           Sejurus kemudian tatapannya terpaku pada sosok perempuan berwajah cantik dan anggun yang duduk di hadapannya. Perempuan itu memakai gaun yang sangat indah sekali.
           “Siapa kamu?” tanya Mita merasa asing.
           “Aku adalah ibumu. Aku seorang permaisuri. Ini adalah istana tempat tinggal kita,” jawab perempuan cantik itu kalem.
           “Ibu? Istana…?” Mita masih belum mengerti.
           “Ya! Seperti yang kamu angankan, kini kamu bisa bertemu lagi dengan orang tuamu. Kamu bisa kembali ke tempat asalmu yang sebenarnya…”
           Mita tercenung. Ia baru teringat. Ia memang merindukan bertemu kembali dengan orang tuanya. Sejak kecil ia tidak pernah melihat kedua orang tuanya. Ia tinggal di sebuah asrama panti asuhan dan hidup bersama anak-anak yatim piatu lainnya. Kata Ibu pengasuh, dirinya dititipkan oleh orang tuanya di tempat itu untuk sementara waktu.
           Ibu pengasuh bilang, suatu saat orang tuanya akan datang untuk mengambilnya. Namun sampai ia berusia sebelas tahun, ayah dan ibunya tidak juga datang menjemput. Mita merasa resah dan gundah. Ia selalu berdoa siang dan malam agar orang tuanya segera datang. Tapi doanya tidak juga dikabulkan oleh Tuhan.
           Sementara Mita sudah tidak betah lagi tinggal di asrama. Ia sering diejek dan dijahili teman-temannya. Mita jadi kesal. Apalagi kehidupan di asrama serba memprihatinkan. Tidur di atas kasur yang keras dan berbagi tempat dengan anak lain. Makan dengan lauk seadanya, bahkan terkadang cuma dua kali sehari. Baju yang dipakainya pun sudah usang dan tidak banyak barang mainan yang dimiliki.
           Mita yakin orang tuanya adalah orang kaya. Jika nanti ia dijemput oleh orang tuanya, maka berakhirlah kehidupan memprihatinkan yang selama ini dijalaninya di dalam asrama panti asuhan.   Ia akan tinggal di rumah orang tuanya yang mewah bak istana. Tidur di atas kasur yang empuk, makan makanan yang serba lezat, dan memiliki banyak barang mainan.
           Ah, Mita membayangkan dirinya seperti putri raja. Angan-angannya yang serba indah itu lalu diceritakan pada teman-temannya. Tapi mereka malah menanggapinya dengan sinis. Bahkan ada yang mencibir.
           “Alaah, siapa bilang kamu anak orang kaya? Paling kamu anak orang miskin!”
           “Atau anak gelandangan yang tinggal di gubuk reot!”
           “Kamu memang seorang putri, tapi putri di istana khayalan. Ha ha ha…!”
           “Kamu sudah dibuang oleh orang tuamu, jadi tidak mungkin mereka akan datang mengambilmu!”
           “Weee, kacihan deh lo!”
           Demikian ejekan dari teman-temannya. Mita hanya bisa memendam pedih dan kesal dalam hati. Awas, nanti kalau orang tuaku benar-benar datang, aku laporkan ulah kalian. Aku tidak sudi lagi berteman dengan kalian, demikian ucapnya dalam hati geram.
           Namun, dinanti dengan penuh harap, orang tuanya tak juga muncul. Sementara ejekan dari teman-temannya terus memerahkan kupingnya. Lama-lama Mita jadi hilang kesabaran. Ia tak tahan lagi tinggal di asrama. Diam-diam ia nekad pergi dari asrama tanpa pamit. Ia menerobos pagar dan berlari menuju jalan raya. Ia akan mencari sendiri di mana keberadaan orang tuanya.
           Tapi sebuah kejadian luar biasa telah merubah segalanya. Saat hendak menyeberang jalan, tiba-tiba ia terserempet mobil. Ia sempat terpekik kesakitan sebelum kemudian jatuh di aspal jalan, tak sadarkan diri.
           Saat terbangun, ia mendapati dirinya sudah berada di sebuah ruangan mewah. Ditemani oleh seorang perempuan cantik yang mengaku sebagai ibunya.
           “Ibu…?” ucap Mita dengan diliputi kecamuk perasaan tak menentu.
           “Iya, Nak. Ini ibumu. Peluklah ibu…!” Perempuan itu membentangkan kedua tangannya.
           Mita segera menghambur memeluk ibunya dan menangis tersedu-sedu di dada sang ibu. Perasaan bahagia menyelimuti hatinya.
           Sejak itu Mita tinggal di dalam istana yang megah dan mewah. Apa yang diangankannya telah terwujud. Ia menjadi seorang putri raja. Ayahnya seorang raja dan ibunya permaisuri. Mita bisa menikmati kehidupan mewah dan nyaman seperti yang diangankannya.
           Setiap saat ia dilayani oleh para dayang yang siap diperintah. Ia bisa menikmati makanan yang serba lezat dan enak. Tidur di atas kasur yang empuk berlapiskan kain sutra halus, memakai pakaian serba mewah dan indah, serta mendapatkan barang-barang mainan yang diimpikannya.
           Namun, sayang, ia tidak bisa pergi ke mana-mana. Sebagai putri raja ia harus tetap tinggal di dalam istana, tidak boleh keluar dan tidak bisa sembarang bergaul dengan orang lain. Temannya hanyalah para dayang yang setiap hari melayaninya. Hal ini membuat Mita merasa kesepian.
           Suatu hari ia bertanya pada Ibunda Permaisuri. “Ibunda Permaisuri, ijinkan saya pergi menemui teman-teman saya. Saya rindu pada mereka. Saya ingin bermain bersama mereka,” kata Mita memohon.
           “Tidak, Anakku! Kamu tidak boleh pergi ke mana-mana. Kamu sekarang adalah putri raja. Kamu tidak boleh bergaul dengan sembarang orang. Jika ada orang jahat melihatmu berada di luar istana, mereka bisa menculikmu dan berbuat jahat kepadamu. Ibu tidak ingin kamu celaka!” jawab Ibunda Permaisuri.
           “Tapi, Ibunda, saya merasa kesepian dan tidak betah tinggal terus menerus dalam istana. Saya ingin melihat dunia luar!”
           “Tidak, Anakku. Itu sudah peraturan. Kamu tidak boleh melanggarnya!”
           Hati Mita jadi sedih bukan main. Ternyata menjadi seorang putri raja tidak selamanya menyenangkan. Ia hidup terkungkung dan terbelenggu dalam istana. Meskipun di sekelilingnya banyak mainan yang serba indah dan menarik, disuguhi berbagai makanan lezat, namun bila hanya sendirian saja, rasanya tak nikmat. Mita rindu berkumpul bersama teman-temannya di asrama panti asuhan.
           Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di taman, sayup-sayup terdengar oleh telinganya sorak-sorai anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Mita segera mencari mereka. Ternyata suara itu berasal dari balik dinding benteng istana. Suara-suara itu seperti memanggil namanya. Rasanya Mita tak tahan lagi, ingin bergabung bersama mereka.
           Tanpa mempedulikan peringatan Ibunda Permaisuri, Mita nekad memanjat tembok benteng istana. Ia ingin melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riangnya. Ketika ia sudah berada di atas benteng, terlihat oleh matanya di kejauhan teman-temannya sedang asyik bermain. Mereka main lompat tali, petak umpet, dan permainan anak-anak lainnya. Mereka terlihat sangat gembira sekali.
           Tiba-tiba mereka melihat ke arahnya. Mereka langsung melambai-lambaikan tangan sambil berseru memanggil namanya.
           “Mitaaa…! Ke siniiiii…!”
           “Mitaaa…! Ayo, ikut bersama kami!”
           Demikian seruan-seruan yang terdengar dari mulut mereka. Diantara mereka terlihat Ibu pengasuh. Hati Mita jadi berbunga-bunga. Ia rindu pada mereka. Tapi tiba-tiba ada angin berhembus kencang menerpa tubuhnya. Mita tak dapat menjaga keseimbangan. Ia terjatuh ke bawah.
           “Aaaaa…..!” Suara jeritannya membahana menembus angkasa.
           Mita merasakan tubuhnya melayang-layang di udara. Rasa takut mencekam jiwanya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Semuanya berubah menjadi gelap.
           Tiba-tiba ia merasakan tangannya dipegang oleh seseorang. Perlahan Mita membuka matanya. Samar-samar dilihatnya wajah orang-orang duduk di sekitarnya.
           “Di mana aku ini?” ucapnya dengan suara lemah.
           “Mita! Kamu sudah sadar? Alhamdulillah! Puji syukur kepada Allah!” ucap seorang perempuan setengah baya.
           “Mita selamat! Mita selamat!” seru seorang anak perempuan dengan nada senang bukan main.
           Mita mulai membuka matanya lebar-lebar. Ia bisa melihat dengan jelas keadaan di sekelilingnya. Ia sedang terbaring di atas sebuah kasur bersprei putih, di dalam ruangan persegi empat yang bercat putih. Di dekatnya tampak Ibu pengasuh, Doni, Maya, Ical, Budi, Irfan, Yeni, dan teman-teman asrama panti. Mereka memandanginya dengan wajah diliputi kegembiraan.
           “Kamu berada di rumah sakit, Sayang. Kamu terserempet mobil di jalan. Kamu menderita koma selama dua hari lamanya. Kami merasa cemas. Tapi syukurlah, berkat pertolongan Allah dan doa dari teman-temanmu, jiwamu selamat!” terang Ibu pengasuh.
           “Maafkan kami, Mita. Kami sering mengejek dan mengolok-olokmu, sehingga kamu pergi dari panti. Kami berjanji  tidak akan melakukan hal itu lagi,” ucap Doni dengan wajah penuh rasa penyesalan.
           “Benar, Mit. Kami tidak akan jahil lagi sama kamu. Tapi kami berharap kamu jangan pergi dari asrama. Kami akan sangat kehilangan bila kamu pergi,” sambung Yeni.
           Mita tersenyum. Rupanya apa yang dialaminya tadi hanya sebuah mimpi atau halusinasi. Gara-gara tertabrak mobil dirinya pingsan dan merasa seolah hidup di dalam istana dan menjadi putri raja. Tapi meskipun menjalani kehidupan mewah di dalam istana khayalan, ia merasa tidak betah. Ia justru rindu berkumpul bersama teman-temannya di asrama panti asuhan.
           Walaupun kehidupan di dalam asrama panti asuhan serba kekurangan, namun mereka merasa bahagia. Mereka bisa saling berbagi dan mengasihi satu sama lain. Keindahan hidup yang tidak didapatkan di tempat lain, bahkan di dunia khayal sekalipun. Mita berjanji, tidak akan berangan-angan lagi mencari orang tua kandungnya dan hidup di istana mewah. Karena kehidupan sebenarnya ada di sini, di tengah teman-temannya yang sudah menganggapnya seperti keluarga!