R Ketika Cinta Terus Tumbuh Namun Raga Tak Lagi Dapat Disentuh
Sinopsis
[sunting]
Ketika apa yang kita miliki telah berlalu menjadi sebuah kenangan, taukah bahwa itu takan pernah kembali kepada kita. Semua hanyalah goresan pena kehidupan yang tak bisa kita hindari. Namun, apa yang kita milik lagi jika justru ia membawa seluruh hati kita. Membawa cinta, cita bahkan pengharapan kita?
Meninggalkan bekas perih, sayatan dan kerinduan yang mendalam.
Akankah kau menyalahkan pertemuan?
Atau perpisahan? Atau justru hujan yang tak kunjung mereda?
Menghadirkan kenangan itu kembali. Memaksa kita untuk memutar ulang setiap memori yang justru ingin kita lupakan?
Jika pilihanmu jatuh kepada bertemu untuk berpisah tanpa kembali, maka kau memilih untuk tidak pernah bertemu. Bukan seperti bayangan, yang ada tapi tak pernah bisa disentuh, dekat namun terasa jauh. Bukan seperti rintiik yang membuatmu ingin berlari dan menari dibawahnya. Bukan seperti membuatmu terus berharap pelangi akan datang setelah badai. Yang sementara kau tau, yang pernah hadir, pergi yakan pernah kembali.
Ini tentang.
Kerinduan, Cinta, Penyesalan dan Hujan.
===Bagian Satu===
Saat itu hujan turun dengan derasnya, sedikitpun ia tak memberi cela pada siapapun yang ingin menerjangnya. Saat itu pula, dikala hujan itu juga Rain sedang berada di halte dekat sekolahnya, ikut terhanyut dengan ritme merdu derasnya hujan sembari menutup mata. Ia menghidup dalam aroma petricor seolah tengah menghirup aroma lezat dari roti yang beru sana keluar dari panggangan. Sedikit melirik kekiri dan kanan, ia tersenyum. Sedikit tertawa mengingat hanya dirinya sendiri yang tidak mengenakan payung atau jas anti hujan yang melekat pada badannya. Rasa sukanya pada hujan membuat dirinya selalu mengambil keputusan untuk tak membawa apapun yang akan melindungi dirinya dari hujan.
Entah apa yang membuatnya begitu menyukai hujan, lembar demi lembar ia tulis, setiap tinta yang ia torehkan semua selalu tentang hujan. Tentang kisah disetiap tetes hujan, dahsyatnya badai saat hujan marah, juga perjuangan pembiasan pelagi setelahnya.
"Petichor" Ucapnya sambil memejamkan mata dan menghidu oksigen dengan dalam.
"Apa petrichor?" Tiba-tiba seorang laki-laki yang berdiri tepat disampingnya bertanya.
"Hmm...: Rain menjawab dengan senyuman, ia sedikit menjauh dan kembali menjalankan ritualnya saat hujan turun.
"kamu ngapain sih?" Tanya laki-laki itu kembali. Tanpa menjawab Rain pun langsung pergi meninggalkan ia yang masihd engan tanda tanya dikepalanya.
"Siapa sih, mau tau urusan orang aja" Gumam Rain dalam hati.
Rain berlari menerjang hujan yang sukses membasahi bumi Yogyakarta itu. Bukan berlari menuju arah rumahnya, ia justru berlari kearah taman yang ada di dekat sekolahnya itu. Namun, ternyata tanpa ia ketahui ada seorang laki-laki yang mengikutinya dari jauh. Melihat Rain yang saat itu sedang merentangkan tangan di tengah rintikan hujan, berputar-putar di taman layaknya orang yang sedang berdansa diiringi musik instrumental dari setiap tetesan hujan kala itu.
"Cantik"
"MasyaAllah Raiinataaaa..." Jerit bunda dari ruang tamu.
"ada apa sih bun?" Tanya Rain dengan malasnya.
"Apa-apaan ini Rain? Berantakan banget, ya Allah.... Siang ini temen-temen bunda bakalan datang mau arisan! Bunda gak mau tau ayo diberesin sekarang semuanya! Rainataaaaaaa!!!" Titah Jihan bundanya Rain.
"Sebentar lagi bun, Rain masih ngantuk." Jawabnya sambil membalikkan tubuh hendak kembali meringkuk keatas singgasanahnya yang empuk.
"S E K A R A N G !!!" Kata bundanya dengan tegas.
"Baik bun, siap laksanakan" Jawba Rain yang langsung berbalik dan terbagun dari rasa malasnya begitu mendengar suara bundanya yang bernada tinggi.
Hari itu adalah hari yang sangat tidak rain sukai, hari dimana para ibu-ibu berkumpul dan berteriak hanya karena melihat secarik kertas dengan satu nama keluar dari sebuah botol yang ujungnya sengaja diberi lubang agar memudahkan kertas si pembuat keributan itu keluar dari botol.
Ruang tamu yang akan menjadi tempat berkumpulnya para ibu-ibu itu menjadi sangat berantakan, kertas dan pinsil dimana-mana. Laptop pun belum juga disimpan pada tempatnya, semua kertas berisi coretan-coretan tangan, kata kiasan, tajuk, sajak bahkan cerita-cerita singkat angak remaja. Ya, itu adalah ulah dari Rain. Ia sangat suka menulis dan pastinya ia mampu untuk menyelesaikan seluruh tulisan-tulisannya.
Satu persatu ia pungut semua kertas yang berserakan di ruangan itu. Dengan mata yang masih menahan kantuk, pama bunny pink dan rambut yang diikat secara asal pun ia bergegas. Berharap setelahnya ia bisa kembali ke kamarnya dan berjumpa dengan kasur kesayangannya yang empuk. Melanjutkan mimpinya yang tertunda. Namun, apa daya setelah itu semua selesai, sang bunda justru langsung menyuruhnya mandi dan bersiap-siap untuk ikut serta dalam ritual para ibu-ibu yang diadakan setiap sebulan sekali itu.
"Sayang habis itu kamu mandi ya, yang cantik" Pinta bundanya.
"Mau ngapain sih bun? Aku ngantuk banget ini, mau tidur lagi." Rengek Rain
"No! Mandi! Danadan yang cantik, terus turun lagi temani bunda di sini, nanti bunda kenalin sama teman-teman bunda. Atau kalau kamu gak mau, bunda bakalan sita laptop dan semua buku kamu. Bunda tidak menerima penolakan Rain." Ancam bunda sengan senyuman yang mengerikan.
"Fine, emang sejak kapan bisa selamat dari ancaman bos besar di rumah ini?" Ucapnya dengan suara kecil.
"Apa kamu bilang tadi sayang?" Tanya bunda sambil membesarkan bola matanya.
"Gak, Rain gak ada ngomong apa-apa. Nih, Rain mandi dulu ya bundaaaaa..." Balas Rain menyerah. Bundanya selalu tau bagaimana cara membuat anaknya itu menyerah sebelum berperang.
Rain naik ke kamarnya mengambil handuknya dengan malas, dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Selesainya ia langsung bersiap dengan tatapan takjub ia melihat ke atas kasur empuknya sudah tersedia dres dengan warna peach, senada dengan pita di pinggangnya, ia tau betul siapa yang