Lompat ke isi

Rahasia Si Burung Beruban

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Pemeran utama dalam cerpen ini

Sinopsis:[sunting]

Ardea Sumatrana biasa dipanggil Arsu, atau Cangak Laut bertemu dengan Dendrocygna Arcuata atau dikenal dengan Belibis Kembang yang sombong. Pertemuan kedua mereka, di tengah hutan mangrove yang hijau dan langit cerah berwarna putih kebiruan dengan keadaan yang berbeda.

***

Terdengar suara rintihan dari bawah pohon. Semakin didekati, suara itu semakin terdengar jelas. Burung itu, kaki dan sayapnya patah. Ia baru saja terjatuh dari pohon yang sangat tinggi. Ternyata, masih ada luka di dekat paruh atasnya. Arsu si burung dengan uban dan jambul pendek itu menatap pilu burung yang terluka. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa burung itu terluka begitu banyak?”

Lakon:[sunting]

  1. Arsu
  2. Dendro

Lokasi:[sunting]

Hutan Mangrove Jawa

Cerita Pendek[sunting]

Pertemuan Kedua[sunting]

Arsu, penghuni hutan mangrove  mendekati seekor  burung yang terluka. Namun, burung yang terluka tersebut justru tak mau menerima bantuan dari Arsu.


Ardea Sumatrana biasa dipanggil Arsu, atau Cangak Laut.  Arsu memiliki tubuh yang sangat besar dari burung penghuni hutan mangrove lainnya. Tinggi Arsu sekitar 115 cm. Tubuh Arsu berwarna abu-abu gelap dan sedikit kecoklatan. Paruh berwarna hitam dan kakinya berwarna abu-abu. Beruban dan berjambul pendek. Penampilan yang tidak memiliki daya tarik dari burung-burung lainnya yang memiliki bulu indah dan berwarna-warni.


Burung-burung jenis Dendrocygna Arcuata di hutan atau sepanjang rawa hingga pesisir pantai memilih menghindari Arsu. Mereka tidak mau bertemu dengan Arsu.

“Arsu itu burung yang aneh,” ucap Dendrocygna Arcuata atau dikenal dengan Belibis Kembang kepada kelompoknya. Burung dengan ukuran 45 cm. Dendro panggilannya, memiliki bulu berwarna coklat dan merah. Dendro memiliki siulan mencicit yang indah dan juga bernada tinggi pada saat terbang. Hal inilah yang membuat Dendro merasa istimewa. Dendro memiliki bulu yang bagus dan suara yang indah. Dendro menjadi ketua di kelompoknya, serta memiliki pengikut burung yang paling banyak.


Berbanding jauh dengan Arsu atau Ardea Sumatrana, suaranya serak, bulunya abu gelap dan beruban. Arsu juga selalu sendirian.

“Hei … burung beruban, sedang apa kamu?” suara Dendro di balik pohon yang tinggi.

“Aku sedang jalan menelusuri pantai, rawa dan tepian sungai,”

“Apa kamu selalu sendirian?” Dendro melirik dan mendekati Arsu.

“Ya, tentu saja, aku terbiasa berjalan sendirian,” jawab Arsu.


Dendro menatap Arsu dengan heran. Di mana yang Dendro ketahui, burung itu selalu berkelompok. Makhluk yang selalu hidup bersama-sama.

“Kamu tahu Arsu, biasanya burung itu terbang berkelompok,”

“Ya,” jawab Arsu cepat.

“Kemudian, berburu ikan bersama,” lanjut Dendro dengan suara yang tinggi.

”Ya, benar.”

“Lalu kenapa denganmu itu semuanya berbeda?” suara Dendro semakin tinggi dan napasnya tidak beraturan.

“Karena Tuhan menciptakan makhluknya tidak semuanya sama,”

“Maksudmu?”


Arsu  berjalan pelan. Matanya melihat ke tepi sungai, ada sekumpulan ikan yang sedang berenang.

“kamu lihat di sungai itu, ada apa saja?”

“Ada sekumpulan ikan yang berenang, batu sungai dan air sungai yang jernih,” jawab Dendro.

“Ya, itu semua ciptaan Tuhan. Ikan, batu, dan air. Berbeda, bukan?  Tetapi saling bersinergi!” jelas Arsu.


Dendro mulai menghela napas pelan. Kemudian, terbang rendah di atas Arsu. Mengepakkan sayapnya yang indah. Arsu melihat sayap-sayap Dendro yang gagah, terbang dengan lincah dan berputar-putar ke arahnya.


“Bagaimana jika gerombolan ikan itu merasa paling hebat?”

“A.…” Dendro tak bisa menjawab.

“Ikan itu merasa penghuni yang sempurna, lalu tak butuh batu jelek dan air sungai. Apakah bisa hidup?”


Kali ini hati Dendro merasakan ada kesejukan dari kalimat Arsu. Dendro pun mendarat di depan Arsu. Mengikuti langkah Arsu dan berjalan beriringan.  


“Tidak bisa,” ucap Dendro pelan.

"Sama seperti kita semua di sini. Ada berbagai jenis burung. Ada burung yang terbangnya tinggi, bulunya bagus, suaranya merdu dan hidup secara berkelompok. Namun, ada juga burung yang biasa melakukan hal sendirian, suara serak, bahkan ada burung yang tidak bisa terbang,” jelas Arsu.


Namun, rasa sombong yang sudah mengakar, membuat Dendro tak ingin menerima petuah bijak Arsu. Dendro pun terbang kembali ke langit. Dendro mengepakkan sayapnya dan mengeluarkan suaranya yang indah. Meninggalkan Arsu di bawah hutan mangrove seorang diri.

Rahasia Ksatria[sunting]

Waktu berlalu jauh. Kini, Dendro berjumpa kembali dengan Arsu. Bukan dalam keadaan gagah, tetapi penuh luka ditubuhnya.

“Aku bantu sembuhkan lukamu,” ucap Arsu pelan sambil membawa tanaman obat yang akan diberikan kepada Dendro.

“Tidak perlu, nanti kelompokku yang akan mengobati lukaku,” jawabnya angkuh.

“Baik, ini ikan kecil untuk kau santap, agar tenagamu kembali.”

Arsu meletakkan ikan kecil di atas daun, dekat dengan sayap Dendro.

“Nanti juga datang kelompokku, menjemputku, tidak usah repot-repot.”


Arsu kemudian meninggalkan Dendro seorang diri di bawah pohon yang tinggi. Arsu kembali seperti biasanya membersihkan sungai dari ranting dan sampah. Hidup sederhana dan selalu memikirkan kesejahteraan penghuni hutan mangrove. Inilah penyebab ada uban di kepalanya. Berjalan seorang diri dari hutan mangrove, rawa, tepian sungai hingga tepian pantai. Arsu sangat memperhatikan kesejahteraan penghuni hutan mangrove, hingga tempat-tempat lainnya. Menyediakan tempat tinggal yang nyaman, aman dan berlimpah bahan makanan. Semua bisa dilihat dari air yang jernih, tumbuhan yang hijau dan bersih dari sampah.


“Aduh … sakit sekali! Ke mana kalian kelompokku? kalian di mana?” teriak Dendro dengan gusar.

Dendro yang sombong kini berwajah sedih. Menunggu selama satu hari, tak jua ada yang datang menghampiri. Lukanya semakin parah. Perutnya juga sangat lapar. Mau makan pemberian Arsu tetapi  dirinya malu. Menerima bantuan dari burung yang dulu dihinanya.

“Aw…” Dendro kesakitan, paruh atasnya mengeluarkan darah.


Dari kejauhan  Arsu memperhatikan Dendro. Matanya kembali melihat luka-luka pada burung itu. Arsu pun mendatangi Dendro.

“Bila tak kuat lagi, jangan paksa diri, segera obati lukanya dan makanlah agar tubuhmu lekas pulih.” Kali ini Dendro menuruti semua perkataan Arsu.


Setiap hari memandang langit, tak ada satupun kelompoknya yang datang mencarinya. Sedangkan Arsu dalam kesendiriannya, ia tetap bekerja. Menjadi Raja tanpa pengawal. Sendirian menyusuri semua tempat tinggal rakyatnya dan ada sesuatu yang berbeda ditangkapan mata Dendro. Membuat Dendro menyadari semua kesalahannya.


Burung-burung lain yang hinggap, mampir sekedar untuk memberi salam hormat. Ada juga yang mengucapkan terima kasih dari hewan lainnya. Seperti kelelawar yang membawa keranjang buah. Elang yang membawa ikan di paruhnya. Serta burung-burung di penjuru langit yang membawa daun obat-obatan. Mereka semua menghormati Arsu. Pemandangan yang tidak pernah dilihat Dendro sebelumnya. Dendro pun belum pernah diperlakukan seperti itu. Ia baru tahu selama ini sombong dan berkata semena-mena. Tidak peduli juga pada kelompoknya. Dendro justru hanya ingin dia yang dimengerti dan harus dihormati.


Seperti saat ini, kondisinya tertembak peluru para pemburu burung dan jatuh dari ketinggian hingga sayapnya patah. Belum terlihat kelompoknya atau juga mendengar pencarian tentang dirinya. Sakit dan sedih menjadi satu. Dendro pun dirawat setiap hari oleh Arsu, yang dulu tidak disukainya.


Arsu mengobati sayap dan kakinya yang patah. Memberi ramuan untuk paruhnya yang berdarah. Satu bulan Dendro dirawat oleh Arsu dengan kesabaran.

Dendro pun belajar mengepakkan sayapnya dan mencoba belajar terbang kembali. Sedikit demi sedikit sudah bisa melewati pohon-pohon pendek. Besoknya pun kembali berlatih dan mulai ada perkembangan terbang tinggi melewati pohon-pohon besar di hutan mangrove.


Kini Dendro beristirahat di tepian air yang terbuka dan berumput. Kemudian, mencari makan dalam air. Dendro pun menyelam berulang-ulang. Bersyukur ia telah pulih kembali. Selanjutnya, dendro terbang menghampiri Arsu.

“Terima kasih Sang Raja, aku belajar banyak padamu. Aku minta maaf atas kesombonganku,” ucap Dendro sambil menunduk di depan Arsu.  

“Tak perlu meminta maaf, jadilah dirimu yang baru, yang baik dan bermanfaat untuk sesama,”

“Baik,”

Dendro tak menyangka kebersamaan selama satu bulan dengan Arsu, membuatnya banyak belajar tentang kehidupan. Tadinya, Dendro merasa banyak pengikutnya, semua takut padanya. Tetapi, ketika tertimpa musibah tak ada satu pun yang mengingat dan mencarinya. Mungkin karena sifat angkuhnya. Sifat merasa sempurna, berbulu indah, bersayap kuat dan memiliki suara bagus ketika terbang tinggi. Semua itu tidak ada apa-apanya, melihat Arsu yang dikenal dengan burung beruban, menyendiri, tak berkerumun, ternyata dihormati seluruh penghuni hutan mangrove. Dihormati bagaikan Sang Raja yang disayangi rakyatnya. Arsu, tetap sederhana, tetap pada kebaikan hatinya yang tak pernah berubah. Rahasia dari seorang satria, hidup bermanfaat seluas-luasnya. Kebaikan yang tulus itu sangat penting, Arsu adalah pahlawan sejati. Penyelamat bagi banyak kehidupan di hutan mangrove.

Tamat.