Raksasa-Raksasi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Merupakan bagian dari kumpulan cerpen Rintik gerimis di jendela oleh Anta Samsara

Lukisan [The] Giant Skrymir and Thor oleh Louis Huard, dibuat tahun 1900.

Raksasa dan raksasi telah muncul dari Samudera Indonesia. Menyerbu perkampungan di Pulau itu laksana cakra dewata yang menghancurkan manusia pengingkar. Mereka terus-menerus berseru ke seluruh kampung, “Katakan, di mana ayah-ibuku?” Dan jika mereka tak menjawab, mereka mengangkat manusia yang rapuh itu tinggi-tinggi hingga hampir mencecah awan dan kemudian membantingnya keras-keras. Penduduk pulau itu mulai dilanda ketakutan yang tiada terperi. Mata mereka menyorotkan isyarat minta dikasihani, namun raksasa-raksasi tidak menghentikan perbuatannya. Mereka tiba pada suatu keadaan yang memaksa mereka menghadap pada patih di kerajaan tetangga untuk meminta tentara kerajaannya turun tangan. Mereka takkan bisa meminta bantuan tentara kerajaannya sendiri, sebab sang raja dan patihnya telah terlalu tua, dan pewaris tahta keduanya telah terbunuh dalam sebuah perebutan kekuasaan berdarah. Sang raja dan patihnya selamat namun kejadian itu telah melumpuhkan jiwa mereka berdua, maka jadilah mereka raja dalam perlambang dan bukan raja yang sebenar-benarnya.

Malam itu sang raksasa dan raksasi berdiam di tepi pantai. Rembulan sempurna tak muncul, karena rembulan itu telah ditelan oleh sang raksasa dan sang raksasi. Rembulan sempurna sungguh adalah santapan yang lezat bagi mereka malam itu. Manusia bukanlah santapan yang lezat karena hati mereka telah dipenuhi jelaga dosa. Rembulan sempurna jauh lebih enak, karena kerjanya hanyalah menerangi dalam kegelapan, membawa cahaya bagi dunia yang sedang malam-temaram.

Angin pantai yang keras telah menggoyang-goyangkan rambut lir-tali rami sang raksasa dan sang raksasi. Badan mereka tak bergerak karena diterpa angin. Sang raksasi tidur, karena memakan setengah rembulan telah membuatnya mengantuk.

Pasukan kerajaan tetangga telah datang dengan pedang, tombak, dan trisula. Meriam ramai-ramai diarahkan ke kepala mereka. Sang raksasa dan raksasi telah menghancurkan penerang malam mereka. Siapapun yang memakan rembulan ciptaan dewata, harus mati, mayatnya dicemplungkan ke dalam kawah Mahameru, agar lebur dengan lahar.

Dengan senjata yang siap dihujamkan, mereka mendekati sang raksasa dan sang raksasi. Sang patih, yang turut datang bersama pasukan kerajaannya, berdiri di atas batu besar. Sang raksasa dan sang raksasi amat tinggi tubuhnya. Walaupun ia telah berdiri di atas batu, ia terpaksa masih mendongak untuk menatap dengan tajam ke wajah sang raksasa dan sang raksasi.

Ia berkacak pinggang, dan kemudian berkata, “Hai, sepasang raksasa, apa sebenarnya yang kalian mau? Mengapa kalian datang ke mari dan mengganggu ketenangan kami? Benarkah kalian mencari orangtua kalian? Bukankah kalian raksasa dan mengapa kalian tidak mencarinya di dunia kalian sendiri. Ini adalah dunia manusia dan bukan dunia raksasa. Tak ada raksasa di sini, semuanya hanya manusia! Jika mereka memang ada, kami pasti sudah mengetahuinya. Karena badan mereka amat besar dan jalannya menggetarkan bumi. Tak ada apapun yang raksasa di sini kecuali Sang Mahameru!”

Sang raksasi bangun dari tidurnya dan mengucek-ngucek mata. Sang raksasa menggeram panjang dan membuat kumpulan pasukan kerajaan mundur setapak. Ia lalu berkata dengan suara dalam dan beratnya yang membuat baju-baju para tentara berkibaran.

“Ibuku adalah manusia, ayahku adalah manusia. Dengan demikian kami berdua adalah keturunan manusia. Paman kami yang mendampingi kami telah bercerita sepenuh-penuhnya dan sedalam-dalamnya. Paman kami adalah manusia juga. Kami telah selama dua puluh tahun tinggal di atas pulau di seberang samudera, hingga paman kami meninggal pada sekitar dua bulan yang lalu. Tak ada manusia atau makhluk bernyawa lain yang tinggal bersama dengan kami selain paman kami. Ketika kami dewasa paman kami mengatakan bahwa orangtua kami adalah manusia dan tinggal di Pulau Jawa. Oleh karena itu kami mencarinya ke sini. Janganlah takut, kami takkan memakan kalian para manusia, karena kami hanyalah memakan benda-benda antariksa.  Biasanya kami hanya memakan bintang-bintang yang banyak, namun maafkan kami karena amat lapar semalam setelah menyeberang samudera yang demikian luas. Kami terpaksa memakan rembulan karena bintang-bintang di Pulau Jawa amat ketakutan melihat kami, sama seperti kalian para manusia yang tinggal di sini.”

Sang patih tersenyum mengejek dan meludah ke tanah. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu masih dengan senyum mengejek ia mengahrdik sang raksasa dan sang raksasi, “Kalian sungguh pandai memutar balik lidah untuk menyembunyikan niat busuk kalian. Kalian telah meremukkan badan puluhan manusia hingga mereka meregang nyawa. Cerita kalian hanyalah bualan. Kalian berdua ke mari karena memang kalian haus darah, kalian ingin memakan kami semua! Kalian memang makhluk kutukan dewata, sehingga membual bagi kalian bukanlah perbuatan nista!”

Sang raksasi keluarkan suara menggeram panjang dengan keras. Ia nampak tertunduk lesu, dan terlihat lelah dengan segala purbasangka. Kemudian ia berkata, “Kami bukanlah makhluk jahat, kami raksasa-raksasi yang baik. Walaupun kami sering memakan benda-benda antariksa, kami takkan pernah mencelakai kalian, karena kami adalah keturunan kalian juga.”

Sang patih meludah lagi ke pasir pantai. Matanya tambah merah karena amarah. Ia mendongak lagi dan kali ini berbicara lebih kasar. “Kau dan kau!” katanya sambil menunjuk kepada keduanya secara bergantian, “Kalian adalah makhluk yang jahat, pendusta, dan penuh dosa. Sudah saatnya kalian mati!”

Sang patih kemudian berteriak memerintah pasukannya, “Bunuh keduanya!”

Pasukan yang dipimpinnya kemudian maju dan memanjat pakaian sang raksasa dan sang raksasi. Dengan pedang, tombak, dan trisula mereka menyerbu dan secara bersamaan menusuk-nusuk badan mereka berdua. Namun tampaknya mereka tak merasakan itu semua. Mereka berdua hanya berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Para prajurit berserak berjatuhan. Mereka kemudian meniup dengan mulut mereka. Pasukan bersama mahapatihnya bergulingan terbawa anginnya ke belakang.

Sang patih kemudian berdiri dan kemudian memerintahkan setelah serangan mereka gagal. “Hantam dengan meriam, bunuh mereka berdua dengan menghujani kepalanya.”

Dua puluh satu meriam menggempur kepala mereka berdua secara bertubi-tubi. Sang raksasa dan sang raksasi nampak menjadi tidak sanggup dengan bola besi yang meledak di wajah mereka. Luka terlihat makin lama makin banyak karena gempuran mereka. Mereka tak dapat menahan lagi, akhirnya mereka mengalah dan lebih memilih untuk menceburkan diri ke samudera. Air laut yang asin membuat luka mereka tambah pedih, namun mereka tak punya pilihan lain selain mereka melarikan diri, karena mereka sebenarnya tak mau melukai umat manusia, walau kejadian sejak dua hari sebelum itu mereka kehilangan kendali atas emosi mereka. Mereka membatin dalam hati mereka. Mereka hanyalah mencari orang tua mereka. Mengapa cerita mereka tak dipercaya, dan mereka malah dilukai padahal mereka hanyalah haus akan kasih sayang? Mereka menyadari sembari berenang di atas samudera, bahwa mereka mungkin takkan bertemu selama-lamanya dengan orangtua mereka, karena tubuh mereka telah sangat berbeda dengan manusia, dari dunia ayah dan ibunya. Lagipula mereka berdua telah makan rembulannya manusia, mereka pasti sangat marah dan menyimpan dendam kepada mereka berdua. Mereka berdua pasti akan berhadapan lagi dengan ledakan bola meriam jika mereka datang lagi ke Pulau Jawa.

Sang patih pulang ke kerajaannya, ia lalu melakukan hal yang sama nista dengan sang raksasa dan sang raksasi kemudian, yaitu membunuh raja dan patih setempat, agar ia kemudian marak jadi mahapatih yang berkuasa di seluruh Jawa Dwipa.

Kini, pada malam hari, ketika manusia ingin memandang rembulan tapi ia tak ada di sana, mereka teringat kepada sang raksasa, sang raksasi dan sang patih. Kini mereka menjadi semakin menyadari, alangkah tipisnya perbedaan jiwa raksasa-raksasi dan umat manusia. Dan mereka mulai menyadari pula, mungkin sang raksasa dan sang raksasi benar merupakan keturunan manusia. Betapa menyesalnya mereka telah melukai keduanya dengan meriam sehingga keduanya terusir. Mereka berjanji dalam pikiran mereka masing-masing, jikalau raksasa-raksasi kembali ke Pulau Jawa, mereka pasti akan menawarkan perdamaian. Karena hati raksasa dan hati manusia adalah sama. Tiada beda.