Ramuan Rahasia Niang Kadek

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Premis:[sunting]

Dayu bertemu dengan Niang Kadek, seorang Nenek yang suka membuat ramuan rahasia. Menurut Nengah, Niang Kadek adalah seorang dukun jahat, namun tuduhan itu terbantahkan setelah Dayu bermain ke rumah Niang Kadek.

Lakon:[sunting]

Dayu

Niang Kadek

Nengah

Ibu

Lokasi:[sunting]

Desa Penglipuran, Bangli, Bali

Cerita Pendek[sunting]

           “Lihatlah botol-botol berisi ramuan kecokelatan itu! Di luarnya ditempeli kertas mantra! Niang Kadek seorang Balian Pangiwa,” bisik Nengah. Di daerahku, Niang adalah panggilan seorang nenek. Dan Balian Pangiwa adalah dukun yang menguasai ilmu hitam. Aku menyembunyikan tubuh di balik rumpun Bunga Pucuk (bunga kembang sepatu). Sementara mulut Nengah tak henti berbicara.

           “Dukun jahat?” tanyaku ketakutan.

           “Balian Aji Wegig! Dukun yang suka mencelakai orang lain!” Bola mata Nengah membesar. Nyaliku menciut. Balian Aji Wegig adalah dukun jahat yang suka mencelakai orang lain.

           Tiba-tiba Niang Kadek menoleh ke arah rumpun Bunga Pucuk, seolah menyadari kehadiran kami. “Hai, siapa di situ?” Suaranya serak dan dalam. Mirip nenek Kebayan dalam film Ipin dan Upin.

Ida Sang Hyang Widhi, lindungi kami. Tanpa memedulikan Nengah, aku berlari lintang pukang menjauhi rumah itu.

@@

“Dayu, Ibu mau membuat Canang Sari, untuk Banten petang nanti. Tapi Ibu lupa tak membeli bunga ke pasar. Tolong belikan bunga ya, ke rumah Niang Kadek!” kata Ibu. Canang Sari adalah perlengkapan keagamaan untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Sedangkan Banten berarti upakara/persembahan.

“Niang Kadek?” teriakku ketakutan. Rumah Niang memang hanya 500 meter dari rumahku. Tapi dia kan…

“Kenapa Dayu?” tanya Ibu.

“Bukannya Niang Kadek itu seorang Balian Pangiwa yang…”

“Hus! Tak baik berburuk sangka. Setahu Ibu, Niang Kadek adalah pensiunan guru IPA. Bulan lalu, beliau masih mengajar di sebuah SMP di Surabaya,” ucap Ibu. Dan Ibu tetap menyuruhku pergi.

Ragu, kulangkahkan kaki ke rumah Niang sambil merapalkan doa. Sampai di depan gapura, rumah terlihat sepi. Kupandangi pekarangan Niang yang penuh bunga warna warni.

“Hayo, kamu yang mengintip tiang kemarin kan?” Sebuah suara serak mengagetkanku.

“Ti... tiang Dayu, disuruh Ibu mem… beli bunga untuk Canang Sari,” ucapku gemetar.

“Kamu putrinya Bu Laksmi? Masuklah!” ajaknya ramah.

“I… itu… apa?” tanyaku sambil menunjuk botol-botol plastik berisi cairan kecokelatan yang berjejeran di aling-aling rumahnya. Aling-aling adalah semacam gazebo yang terpisah dari rumah utama. Beberapa rumah di Bali terlihat sangat cantik dan unik, karena memiliki aling-aling ini.

“Oh, rupanya itu yang membuatmu penasaran sampai mengintip tiang kemarin? Itu namanya Eco Enzyme. Pupuk cair buatan sendiri dari sampah buah-buahan, untuk menyuburkan tanaman. Ayo tiang ajari, biar tidak penasaran lagi!”

           Niang Kadek, baik sekali. Pertama-tama ia menunjukkan alat dan bahan yang diperlukan untuk membuat Eco Enzyme. Ada botol air mineral bekas berukuran 1,5 liter, timbangan digital, corong, selang, saringan, gula aren, kulit buah jeruk, dan air.

           “Agar hasil fermentasi limbah organik ini bagus, maka perbandingan antara gula, kulit  buah dan airnya harus pas Nak, yaitu 1:3:10. Kalau gula arennya 100 gram, berarti berapa gram kulit jeruknya?”

“Kulit jeruknya 300  gram, Niang,” jawabku.

“Anak pintar. Bantu tiang menimbang 100 gram gula aren dan 300 gram kulit jeruk, ya. Nanti gulanya kita larutkan dulu dalam 1000 mililiter air, biar perbandingan bahannya sesuai dengan resep. Dayu tahu, 1000 mililiter sama dengan berapa liter?”

           “Satu liter,” jawabku cepat.

           Niang mengacungkan jempol ke arahku sambil tersenyum.

           Lalu kami pun sibuk mencampur semua bahan. Kata Niang, pada minggu pertama, tutup botol harus dibuka setiap hari untuk menghilangkan gas hasil fermentasi. Minggu kedua dan ketiga, tutup botol bisa dibuka setiap dua hari sekali. Niang juga membubuhkan tanggal pembuatan yang dituliskan di kertas label, lalu ditempelkan di luar botol. Rupanya yang ditempel Niang Kadek di bagian luar botol bukan rapalan mantra seperti tuduhan Nengah.

           “Tiga bulan lagi kita panen Eco Enzyme,” ucap Niang.

“Apakah Eco Enzyme ini dijual? Kalau iya, bolehkan tiang membeli satu botol?” tanyaku. Aku ingin sekali memberikan pupuk cair buatan Niang Kadek ini untuk menyiram bunga-bunga milik Ibu. Selama ini bunga pucuk, bunga melati dan bunga mawar milik Ibu susah berbunga. Barangkali kalau diberi pupuk Eco Enzym tanaman di rumahku akan subur dan cepat berbunga. Jadi, Ibu tidak harus membeli bunga ke pasar saat ingin membuat Canang Sari untuk Banten.

“Tentu saja dijual. Bahkan Eco Enzyme ini menjadi penghasilan tiang setelah pensiun. Untungnya lumayan besar lo, Nak. Bayangkan saja, tiang hanya bermodalkan gula aren seharga tujuh ribu rupiah, selang dan corong sepuluh ribu rupiah, sama saringan tiga belas ribu rupiah. Coba kamu hitung modal yang Niang keluarkan!”

“Tujuh ribu, ditambah sepuluh ribu, ditambah tiga belas ribu, total jumlahnya tiga puluh ribu rupiah,” jawabku beberapa saat setelah bisa menjumlah.

“Nah, tiang kalau menjual eco enzyme di toko pertanian, satu liternya dihargai tiga puluh lima ribu rupiah. Kalau sepuluh liter, berarti berapa uang yang tiang peroleh?”

“Tiga ratus lima puluh ribu rupiah,” jawabku cepat.

“Nah, banyak kan laba yang tiang peroleh? Belum lagi kalau Eco Enzym ini dibuat jadi hand sanitizer, kantung pengusir tikus, pengharum ruangan, dan lain-lain. Tentu harganya bisa lebih mahal lagi."

“Wah, lain kali tiang boleh belajar lagi sama Niang, untuk membuat itu semua?” tanyaku antusias.

“Tentu saja boleh. Nah, sekarang biar tiang ambilkan dulu ya, bunga pesanan ibumu,” ucap Niang Kadek sambil beranjak ke halaman untuk memetik beberapa bunga dengan empat warna yang berbeda.

Setelah menerima bunga dari Niang Kadek, aku pun pulang sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Dalam hati, aku berjanji, akan mempraktikkan ilmu dari Niang, untuk memupuk tanaman bunga Ibu. Jadi, saat membuat Canang untuk Banten, Ibu tidak perlu lagi membeli bunga ke pasar. Siapa tahu, aku juga bisa menjadi pengusaha Eco Enzym seperti Niang Kadek. Pasti aku jadi punya banyak tabungan.

           Kupegang erat, bunga-bunga segar dan harum yang berwarna putih, merah, kuning dan biru dari Niang Kadek. Nenek baik hati itu mengantarku sampai gerbang. Saat itu, kulihat Nengah sedang bersepeda. Saat melihat kami, sepeda Nengah oleng dan menabrak rumpun Bunga Pucuk. Mungkin, Nengah kaget setengah mati, melihatku bisa sangat akrab dengan seorang Balian Aji Wegig.@@

Botol Unik
Gambar botol unik