Remaja Sudirman
Premis
[sunting]Gilang remaja di pinggir ibukota. Ia juga ingin ikut menyemarakkan hiruk pikuk di pusat kota. Di jalan Sudirman ia menemukan hal lain yang mengubah sudut pandangnya dalam melihat hidup
Lakon
[sunting]- Gilang
- Ibu
- Remaja figuran lain
Lokasi
[sunting]Rumah dan Pusat kota
Cerita Pendek
[sunting]Kota Sejuta Mimpi
[sunting]Jakarta adalah ibukota kami. Jakarta selalu menjadi cita-cita para pemuda untuk didatangi. Jalan-jalan yang lebar dan besar, transportasi umum yang lengkap dan suasana kota yang ramai seakan memiliki gaya gravitasi yang membuat anak-anak muda ingin datang kesana untuk bekerja, bersekolah atau sekedar berjalan-jalan melihat-lihat kota.
Setidaknya itulah yang dirasakan Gilang, seorang remaja berumur tigabelas tahun yang tinggal di kota yang berjarak puluhan kilometer dari Jakarta. Gilang bersama beberapa teman mainnya nekat mencoba jalan-jalan ke ibukota, ke kawasan Sudirman Central Business District alias SCBD yang memiliki penampilan baru.
Ia ingin merasakan berjalan dan bergaya di Terowongan Kendal, sebuah terowongan yang menghubungkan transportasi umum antara kereta rel listrik yang biasa disebut KRL atau commuter line, Mass Rapid Transit yang terkenal dengan sebutan MRT dan bus Transjakarta. Terowongan ini bukanlah sesuatu yang biasa, suasana dindingnya dipenuhi lukisan yang begitu sedap dipandang dan kala malam ada lampu-lampu berwarna-warni yang berganti tiap beberapa kali hitungan. Tentu saja ini membuat semua yang belum pernah datang menjadi penasaran. Selain itu, jalur pedestrian yang nyaman dan lebar membuat Gilang dan teman-temannya merasa seperti berada di luar negeri, di tempat yang mirip dengan yang ada di film-film dan televisi.
Adanya bimbingan jalur kereta rel listrik yang berangkat dari stasiun Bogor dan singgah di stasiun Citayam lalu berpindah jalur ke arah stasiun Sudirman membuat Gilang akhirnya bisa tiba di kawasan SCBD. Seketika ia merasakan kebanggaan menjalari dada dan kepalanya setelah berhasil tiba di sana. Dari kejauhan ia memandangi suasana yang begitu ramai di pinggir jalan, terlihat anak-anak yang seusianya dan beberapa mungkin lebih tua darinya duduk, sebagian berdiri dalam kelompok-kelompok kecil. Ada juga yang sedang bergaya dan berfoto bersama kawannya. Beberapa anak lelaki begitu serius mengobrol sambil sesekali tertawa.
Gilang melihat para penghuni jalan SCBD ini begitu bermacam-macam gaya berpakaiannya. Pakaian yang menurutnya belum pernah ada di majalah atau peragaan busana. Warna-warna gelap mendominasi penampilan para remaja laki-laki dan tampak beberapa warna-warna ceria memancar dari pakaian remaja perempuan. Berbagai jenis baju dan celana bercampur bebas dengan jaket. Ada juga celana panjang yang sengaja dilubangi di bagian lutut; ada yang satu lubang, kecil dan tipis, terdapat pula lubang besar yang berderet hingga ke bawah. Tidak lupa juga beberapa aksesoris wajib seperti topi, kacamata, kalung yang menguntai dan aneka gelang-gelang yang melingkar di pergelangan.
“Ayo, kita rekam video dulu, gaes!” ujar suara laki-laki kepada gerombolan teman-temannya.
Mereka serempak mengiyakan ajakan tersebut dan segera mengambil posisi di seberang jalan. Tak lama kemudian terdengar aba-aba yang mengomandoi untuk mulai bergaya. Empat orang berdiri di trotoar tengah dan berjalan maju sendiri-sendiri, berlenggang di atas zebracross.
Gilang dan beberapa kawannya begitu tertarik melihat mereka yang sedang bergaya seperti model di atas tempat penyebrang jalan itu. Betapa menyenangkan menjadi mereka yang bergaya, begitu santai memakai pakaian apa saja dan semuanya tampak senang menjadi pusat perhatian.
Cerita ini berasal dari cerita orang-orang yang kudapat dari potongan video-video, foto-foto dan pembicaraan orang mengenai anak-anak muda yang senang menikmati Jakarta di pinggir jalan. Semakin lama orang-orang semakin ramai berdatangan ke lokasi yang berdekatan dengan stasiun Sudirman dan halte bus Dukuh Atas tersebut.
Pada hari kelima, Gilang melihat para pengunjung area itu diwawancarai oleh beberapa orang. Mereka menanyakan asal tempat tinggalmu dimana? Ada yang menjawab dari Citayam, Depok dan Bojonggede. Menurut yang diwawancarai, di sekitar tempat tinggal mereka tidak ada tempat yang sebagus di sini. Di sini jalan raya saja sangat keren untuk dijadikan tempat berfoto dan yang membuat mereka juga senang adalah bisa menikmati semua itu cukup dengan naik kereta. Kebetulan juga di minggu itu sekolah sedang libur akhir tahun ajaran sehingga mereka bisa memiliki banyak waktu untuk bermain.
Mereka yang datang rata-rata memang tidak tinggal di dekat pusat Jakarta. Anak-anak yang berdatangan semakin ramai dari pinggir Jakarta, seperti kawasan Priok di utara, Rawa Buaya di barat dan Pondok Gede di timur Jakarta. Semuanya memiliki hasrat yang sama, ingin mengetahui rasanya berjalan-jalan di ibukota sambil bergaya yang tentunya akan ditangkap kamera.
Di hari ketujuh dunia tak lagi sama bagi mereka yang senang nongkrong di kawasan SCBD. Sekejap saja mereka menjadi terkenal, seperti politisi yang ketahuan korupsi. Pemberitaan di media sosial dipenuhi dengan wawancara, video dan foto-foto aktivitas anak-anak muda yang bergaul di SCBD. Gilang sedikit saja turut merasakan nikmatnya pergaulan dan kepopuleran, sebab tak lama setelah ibunya melihat video anak-anak di sana, ibunya melarangnya pergi.
"Tidak berguna! Untuk apa habiskan waktu duduk-duduk, tertawa-tawa kau di sana, sedangkan aku berjualan dengan menahan panas dan hujan," Ibunya mengomel sambil menyiapkan sayur dan bumbu kacang.
"Kalau ibu tahu, dari sana aku bisa dapatkan uang bu, hanya bermodal handphone dan kuota," kata Gilang membela diri yang semakin membuat ibunya menggerutu.
Menurut dirinya sendiri Gilang tidak salah, ia mencoba membuat konten setelah melihat anak lain yang sudah lebih dulu menjadi terkenal dan mendapat bayaran atas pekerjaan mereka di SCBD. Bahkan menurut salah satu sumber terpercaya, si Beno dan Jami bakalan diajak syuting jadi model. Inilah yang membuat Gilang tergiur untuk mencoba melakukan yang sama tetapi baru saja mulai, langkahnya dicegat ibunya sendiri. Aku melihat Gilang dalam kemalangan yang menyesakkan. Ketika ada kesempatan yang menurutnya bisa mendongkrak kondisi ekonomi keluarga malah dinihilkan oleh ibunya.
Semakin lama area yang menjadi tempat kumpul anak-anak remaja itu semakin ramai. Orang-orang berdatangan karena penasaran dan ingin melihat langsung anak-anak yang sering muncul di media sosial dan mengajak mereka foto bersama. Bagi anak-anak waktu seolah berhenti berputar dan membuat mereka lupa bahwa hari makin malam. Kereta terakhir telah berangkat dan mereka tertinggal. Akibatnya, mereka semua tidak bisa pulang ke rumahnya, tidak ada kendaraan umum lain. Mereka terjebak di tengah kota di malam yang mulai sepi dan semakin gelap. Tak ada pilihan, karena tidak bisa pulang, mereka terpaksa menginap di di area pedestrian atau area pejalan kaki.
Gilang melihat hal itu di berita televisi. Tampak pemandangan anak-anak muda itu bergeletakan di pinggir-pinggir jalan dalam kelompok tiga atau lima orang. Mereka berbaring tanpa alas tidur; tidak ada bantal apalagi kasur. Dalam video di berita itu, setelah pagi hari anak-anak yang tidak bisa pulang itu dibangunkan oleh petugas Satpol PP yang sedang patroli. Wajah lusuh, rambut berantakan dan pakaian yang kusut membuat mereka tampak seperti anak jalanan.
Ibu Gilang melihat berita di televisi itu juga dan segera saja menyeletuk,
“Kan? Kau lihat kan mereka itu sekarang? Apa kubilang kan?”
Aku mendengar Gilang bersyukur ibunya telah melarangnya ikut-ikutan nongkrong di SCBD Jakarta. Gilang begitu ngeri membayangkan jika dirinya dalam kondisi kumal, bau dan berantakan karena tidur di jalanan. Ia pun memikirkan apa yang ada di pikiran anak-anak itu sampai lupa waktu untuk pulang hingga ketinggalan kereta. Menurut Gilang, malam di jalanan bisa berbahaya bagi anak-anak seusianya. Begitu juga menurutku, hal-hal buruk saja bisa terjadi saat kau masih membuka mata, lantas apa saja mungkin tejadi bila kelopak matamu menutup dan kesadaranmu menghilang.