Rencana di Bawah Pohon Akasia

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar[sunting]

Data Diri Penulis[sunting]

Ira Febriyanti adalah seorang ibu, seorang istri, dan seorang pegawai di salah satu instansi pemerintah. ASN kelahiran Pacitan, 32 tahun silam ini sudah sejak lama memiliki ketertarikan terhadap dunia tulis menulis. Bermodalkan kemauan yang tinggi untuk terus belajar, menguatkan tekadnya untuk merealisasikan ketertarikannya dan mencoba menggali kreativitas di bidang penulisan.

Premis[sunting]

Cerita Pendek berjudul “Rencana di Bawah Pohon Akasia” mengisahkan tentang obrolan dua anak remaja bernama Farel dan Abdul, yang sedang memikirkan cara pengelolaan keuangan yang tepat untuk mencapai tujuan mereka. Akankah mereka berdua berhasil mencapai tujuan itu? Pohon akasia menjadi saksi perjuangan mereka berdua.

Cerita Pendek[sunting]

Awal Mula Rencana[sunting]

“Kamu lihat kan mobil remote control punya Bima tadi, keren banget!” cerita Abdul siang itu bersemangat. Rimbunnya pohon akasia tidak membantu meredakan panas kedua remaja yang sedang duduk di bawahnya. Cerita Abdul barusan malah semakin membuat dua siswa kelas 1 SMP itu makin kepanasan.

“Iya! Apalagi saat mobil itu bisa salto, waaah!” tambah Farel tak kalah semangatnya menjelaskan mobil sporty berwarna biru metalik yang baru saja mereka lihat di jam istirahat sekolah tadi. Pemandangan yang jelas membuat kedua remaja laki-laki di bawah pohon akasia itu iri bukan main.

“Aku jadi membayangkan akan membeli warna apa ya nanti? Pastinya ngga akan kalah keren!” kata Abdul sambil menengadahkan kepalanya ke atas, dengan posisi kedua tangan yang diletakkan di belakang kepalanya, ia membayangkan impiannya dengan sangat khidmat.

Abdul dan Farel sedang berada di bawah pohon akasia

“Hush! Hush! Cukup, mari kita fokus! Jadi dia benar membelinya dengan uang sendiri? Bagaimana caranya?” kata Farel yang seketika membuyarkan lamunan Abdul untuk mengungkapkan kebingungannya.

“Iya, dia membelinya dengan cara menyisihkan uang jajannya,” jelas Abdul yang dilanjutkan dengan menirukan kata-kata Bima saat itu “Jangan pernah menabung dengan uang sisa, justru sisihkan dahulu untuk ditabung, baru sisanya untuk jajan,”

Catatan Farel terhadap ucapan Bima

“Oke, aku catat,” tegas Farel yang sedari tadi sibuk memainkan pensil di atas buku catatannya.

“Lalu bagaimana hasil pembicaraanmu dengan Chika tadi pagi?” Abdul mengajukan pertanyaan kepada temannya itu.

Farel membalikkan kertas di bukunya dan mencoba menjelaskan catatan hasil berbincang dengan temannya Chika pagi tadi “Chika selama ini mengumpulkan uang dengan cara berdagang. Dia membuat prakarya dari kardus bekas dan menjualnya kepada teman-teman di sekolah. Sebenarnya sih idenya sederhana, ia hanya membuat pigura dari kardus bekas yang ia hias menggunakan bunga kering, membuat kotak tisu yang dia hias dengan cat warna, dan juga celengan yang dia lengkapi dengan plastik mika, yang mana plastik mika tersebut dapat digunakan untuk menyelipkan foto/gambar tujuan tabungan kita, misalkan saja tabungan tersebut akan digunakan untuk membeli sepeda, maka plastik tersebut diisi oleh gambar/foto sepeda,”

“Wah kreatif ya idenya!” Abdul dibuat terkagum-kagum dengan penjelasan Farel tadi. “Lalu bagaimana cara kita agar bisa menabung ya, Farel?”

“Bagaimana kita mau menabung, kalo kita malah jajan es ini?” jawab Farel seraya mengacungkan seplastik es teh berwarna coklat dengan sebongkas es batu besar mengapung di dalamnya. Abdul hanya bisa nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Tapi sepertinya aku akan meminta uang jajan mingguan dari orang tuaku, sehingga aku bisa menyisihkan seperti yang diucapkan Bima tadi,” cetus Farel menjelaskan keinginannya.

“Wah ide bagus, Farel, tapi sepertinya aku tidak bisa begitu, karena penghasilan orang tuaku harian, tidak seperti penghasilan keluargamu, Rel,” jelas Abdul yang merupakan anak dari pemilik warung makan sedangkan Farel merupakan anak dari pegawai pemerintahan di kotanya.

“Tidak masalah, Dul, yang penting tujuan kita sama,” keduanya pun berjabat tangan tanda sepakat.

“Tapi ide berdagang seperti Chika tadi sepertinya menarik, Rel,”

“Iya, kita mau dagang apa ya, Dul?” pertanyaan Farel membuat keduanya terbawa pada pikirannya masing-masing.

Keheningan terjadi kembali di antara keduanya. Sampai suara cempreng Nando yang ternyata sudah menyimak obrolan mereka sedari tadi memecah keheningan itu “Memangnya kalian mau beli apa sih, Farel, Abdul?”

“Eh ada kamu, Nando. Mari duduk sini,” sapa Abdul yang setengah kaget akan kehadiran Nando dan menyuruhnya ikut serta untuk duduk di bawah pohon akasia besar itu.

“Emm.. ini loh Nando, kami sedang mencari cara untuk mengganti kaca jendela Pak Baskoro yang kami pecahkan,” terang Farel kepada teman sebangkunya, Nando.

“Pecah? Kok bisa?”

“Iya, kami berdua sedang bermain lato-lato di lapangan samping rumahnya dan seketika benda itu mental dan memecahkan kaca rumah Pak Baskoro,” jelas Abdul sampai meringis membayangkan kejadian menegangkan waktu itu.

“Lalu apa yang terjadi? Kalian dimarahi?”

“Tentu saja, tapi kami janji akan menggantinya,”

“Kalian punya uang?” pertanyaan Nando sontak membuat kepala Farel dan Abdul menggeleng hampir bersamaan.

Layang-layang tersangkut di dahan pohon akasia

Mereka bertiga pun terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Di bawah pohon akasia yang cukup rindang ini mereka pun bersandar sambil melihat lebih dalam cabang-cabang pohon dan daun yang bergoyang karena semilir angin. Sampai mata Farel terpaku pada sebuah layangan yang tersangkut di salah satu tangkai pohon akasia itu dan sebuah ide tercetus olehnya.

“Dul, aku punya ide! Bagaimana kalo kita membuat layangan dan menjualnya!”

“Wah ide yang bagus, Rel, di musim seperti ini memang cocok bermain layangan,”

Nando yang sedari tadi hanya menyimak pun turut bahagia dengan ide kedua sahabatnya itu. Pohon akasia yang sebelumnya sepi, saat ini menjadi ramai dengan diskusi penuh semangat antara Farel dan Abdul yang membicarakan rencananya untuk menjual layang-layang.

***

Akhir dari Rencana[sunting]

Tepat satu bulan kemudian, Farel dan Abdul bertemu kembali di bawah pohon akasia yang rindang itu. Kali ini wajah mereka berdua tampak cerah setelah kemarin malam Farel menelpon Abdul dan mengabarkan bahwa uang untuk mengganti kaca Pak Baskoro sudah terkumpul. Mereka tidak menduga penjualan layang-layang mereka akan laris secepat itu.

“Kamu siap, Dul?” tanya Farel pada Abdul sore hari itu. Sesuai janji, sepulang sekolah mereka akan bertemu di tempat biasa dan bersama-sama untuk pergi ke rumah Pak Baskoro.

“Siap, Rel, kita sudah sebulan mengumpulkan uang seharga dua remote control itu,” jawab Abdul sambil memainkan ujung kemejanya. Terlihat sedikit keraguan dari raut wajahnya.

“Jadi kamu ikhlas ngga, Dul? Harus ikhlas dulu biar berkah” sambung Farel meyakinkan Abdul.

“Ikhlas, Rel, ini hutang,” jawab Abdul kemudian dengan penuh keyakinan “Tapi nanti kita nabung bareng lagi ya, Rel, buat beli remote control.” mendengar ide itu, Farel menjawabnya dengan senyuman dan acungan jempol yang tinggi, tanda setuju.

Sesampainya mereka di depan rumah Pak Baskoro, tiba-tiba lutut mereka kembali lemas. Persis seperti saat kejadian pecahnya kaca jendela satu bulan yang lalu.

Dengan sedikit bergetar mereka berdua mengucapkan salam, hampir bersamaan “Assalamualaikum,”

Pada salam kedua muncullah sosok yang mereka takuti dari dalam rumah sembari menjawab ucapan salam yang tak kalah lantangnya “Waalaikumsalam, siapa di sana?”

“Sore, Pak, saya Farel dan ini teman saya, Abdul. Kami berdua sebulan yang lalu memecahkan ka..” belum selesai ucapan Farel menjelaskan maksud kedatangannya sore itu, tiba-tiba suara tawa Pak Baskoro menggelegar.

“Jadi bagaimana? Kalian sudah bisa mengganti biaya kerusakan kaca jendela saya?” tanya Pak Baskoro sambil terus tertawa.

Dengan sedikit bingung Abdul menjawab “Sudah, Pak, sesuai janji, kami ganti sebulan kemudian, Pak, mohon maaf kalau terlalu lama,”

“Ini uang yang berhasil kami kumpulkan, Pak,” tambah Farel sambil menyodorkan sebuah amplop putih kepada Pak Baskoro berisi lima lembar uang seratus ribu.

“Jadi dari mana kamu dapatkan uang sebanyak ini dalam waktu sebulan?” tanya Pak Baskoro sambil menerima amplop putih itu dan mengintip isinya.

“Kami menyisihkan uang jajan kami, Pak,” jawab Farel yang segera disambut dengan penjelasan Abdul meyakinkan Pak Baskoro “Kami juga menjual layang-layang buatan kami sendiri, Pak, insyaAllah halal, Pak,”

Seketika Pak Baskoro kembali tertawa dengan suara menggelegarnya.

“Seperti yang kalian sudah bisa lihat di sana, jendela saya sudah terpasang,” ucap Pak Baskoro seraya menunjuk ke arah jendela rumahnya yang saat ini telah rapi seperti semula “Jadi ini tidak perlu, buat kalian berdua saja. Tapi saya sangat apresiasi tanggung jawab kalian. Kalian hebat,”

“Tapi, Pak, kami sudah janji, kami tidak mau jadi hutang,” ucap Farel dengan cepat.

“Tidak, saya sudah menganggap lunas. Jadi kalian tidak ada hutang apa-apa,”

“Tapi, Pak..” Abdul pun ingin menambahkan namun ucapannya terhenti oleh kata-kata Pak Baskoro.

Pohon jambu air di pekarangan rumah Pak Baskoro

“Oke begini saja, untuk menebus rasa bersalah kalian, bantu saya memetik buah jambu air di depan itu ya, sepertinya sebentar lagi akan berjatuhan,”

Kedua pasang mata remaja laki-laki itu berpandangan satu sama lain dan dalam hitungan detik mata mereka mendapati dengan kagum pohon jambu air yang nyaris berwarna merah karena lebatnya buah.

Dengan bersemangat Farel dan Abdul memanjat pohon jambu air yang cukup rindang itu. Di tengah semangat mereka memetik jambu air yang ranum, Abdul memecahkan kesunyian.

“Rel aku sudah memutuskan, aku ingin warna merah saja,”

“Hah? Apanya yang merah? Jambu ini memang semuanya merah, Dul,”

Remote control, Rel.” kata Abdul riang memamerkan seluruh gigi putihnya yang berbaris rapi.

Di atas pohon itu mereka berdua tertawa bersama penuh rasa bahagia membayangkan setelah ini mereka akhirnya bisa membeli remote control impian dengan uang mereka sendiri.

***

TAMAT