Renji dan Celepuk Rinjani : Abrasi Air Laut

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Ilustrasi Renji dan Celepuk Rinjani: Abrasi Air Laut

Judul Cerita Pendek Anak[sunting]

Renji dan Celepuk Rinjani: Abrasi Air Laut

Tokoh[sunting]

Latar[sunting]

Daerah kampung pesisir di Bekicot, Ampenan-Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Isi Cerita Pendek Anak[sunting]

Suatu hari Renji dan Celepuk Rinjani ikut Amaq ke pantai Bekicot. Kata Amaq, ikan Pancaran di pesisir Bekicot ini enak. Amaq pun pergi bersama nelayan menangkap ikan Pancaran. Renji dan Celepuk Rinjani menunggu di pinggir pantai.

"Duh, cuacanya panas sekali! Celepuk Rinjani, ayo kita duduk di bawah pohon Waru itu!“ Renji menunjuk pohon Waru besar.

"Ayo, aku juga ingin memainkan bunga waru" Celepuk Rinjani terbang lebih dulu menuju pohon Waru. Renji berlari mengejarnya.

Sesampai di pohon Waru, Renji bersandar menikmati angin sepoi. Celepuk Rinjani hinggap ke atas dahan, memainkan bunga Waru.

"Petikkan aku daun Warunya, Celepuk Rinjani. Aku akan mengkritingkan rambutku dengan tangkai daunnya " Pinta Renji. Celepuk Rinjani lalu memberi 6 tangkai daun Waru kepada sahabatnya.

Renji melubangkan tangkai daun dan memasukkan rambutnya. Ia lalu menggulung rambutnya hingga ke pangkal rambut. Gulungan itu ikat dengan mengailkan ujung-ujung tangkainya. Benda itu seperti penggulung rambut alami di kepalanya.

Celepuk Rinjani bingung dengan yang dilakukan sahabatnya.

"Aku akan membuat rambutku jadi keriting. Kau mau bulu di kepalamu ku gulung juga? " Renji menawarkan setangkai Waru ke sahabatnya. Ia terkikik membayangkan rambut Celepuk Rinjani juga keriting.

"Kau ini ada-ada saja! " jawab Celepuk Rinjani ketus.


Beberapa saat kemudian, Celepuk Rinjani mendengar suara tangisan dari arah laut.

"Ada suara tangisan. Kau dengar itu, Renji?"

"Iya, aku mendengarnya. Suara itu datang dari arah laut." Jawab Renji.

"Iya, ayo kita tengok! " ajak Celepuk Rinjani lalu terbang ke pundak sahabatnya.

Mereka berjalan ke depan pantai. Semakin mendekat, suara tangis itu semakin besar. Renji dan Celepuk Rinjani kebingungan, karna tidak  ada orang di sekitarnya.

"Aneh, aku tidak melihat ada manusia yang menangis. Lalu, suara tangis siapa itu?" tanya Renji ke Celepuk Rinjani.

Celepuk Rinjani juga kebingungan.


Air laut mendekat ke kaki Renji.

"Ini suara tangisku. Air laut. Huhuhu" Sebuah suara menjawab dari arah bawah.

"A..a.. air laut?! " Renji kaget. Telinga Celepuk Rinjani juga terangkat karena takut.

"Iya. Tolong aku, manusia. Hu hu hu " Jawab Air Laut.

Renji takut tapi iba.  "Kenapa kamu menangis, Air Laut?"

"Aku sedih. Aku semakin jauh dari teman-teman bermainku. Jawab air laut.

"Kenapa begitu? " Tanya Celepuk Rinjani penasaran.

"Semua berubah sejak es di kutub mencair. Mereka mengalir ke laut hingga aku terdorong ke daratan." Jelas Air laut.


Air Laut bercerita tentang banyak hal yang membuatnya sedih. Katanya, sebelum tubuhnya dekat dengan daratan, Air laut bisa menonton manusia bermain bola di lapangan pantai ini. Sekarang, lapangan itu tersapu oleh dirinya.

"Dulu, aku bisa melihat manusia bermain dengan Kaliomang. Sekarang, kaliomang sudah punah sejak pepohonan pandan tersapu oleh tubuhku. Dulu, aku bisa bebas bermain dengan manusia dan ikan-ikan, sekarang manusia dan ikan menjauhiku karena banyak sampah di tubuhku. Aku sedih. Semakin diriku terdorong dekat ke daratan, ikan semakin pergi jauh. Aku juga kasihan kepada manusia, karena tubuhku membanjiri rumah mereka. Aku khawatir, sebentar lagi kampung ini, kampung Bekicot dan kampung-kampung di area pantai Ampenan akan tenggelam olehku. Hu hu hu". Air Laut menangis tersedu.

Air Laut melanjutkan, "tapi aku juga marah, karena manusia lah yang membuat es mencair"

"Mengapa kau bisa menuduh manusia yang membuat es di kutub mencair?"

"Itulah manusia. Mereka tak sadar bahwa kerusakan lingkungan yang mereka lakukan menyebabkan perubahan iklim. Hutan yang digunduli membuat suhu bumi semakin panas hingga es di kutub mencair. Sampah yang dibuang sembarangan di sungai lalu bermuara di laut membuat tubuhku yang menjadi rumah ikan berubah kotor. Manusia seharusnya berterimakasih dengan menjaga alam bukan merusaknya, karna laut dan hutan memberi sumber makanan yang melimpah!"

Tubuh Air Laut berdebur berkali-kali. Ia sedih, khawatir, dan marah.


Celepuk Rinjani ketakutan menyaksikan Air Laut bergelombang dan berdebur keras. Ia terbang berputar-putar lalu bersembunyi di semak pohon Waru.

" Tenanglah Air Laut. Jawab Renji. "Apa yang harus kami lakukan agar kau tidak sedih dan marah lagi? "

" Manusia harus berubah. Mereka tak boleh  membiarkan gunung es  mencair lagi agar daratan tak tenggelam! " Jawab Air Laut lalu mundur berdesir.



Tak lama kemudian, sebuah Perahu mendekati daratan. Amaq Renji dan Tuaq Syahdan turun, memarkir perahunya.

"Kenapa menangkap ikannya lama sekali, Tuaq Syahdan? “ Tanya Renji.

"Ikan semakin sulit ditemukan, Renji. Keluh Tuaq Syahdan sambil memanggul mesin perahu.

"benar, nak. Kami sampai melaut ke Bangko-Bangko di Sekotong sana. Jauh dari pantai Ampenan" Jawab Amaq sambil memanggul kotak ikan.

"Renji, bantu Amaq bawa pancing ini ke rumah Tuaq Syahdan" Amaq menyerahkan pancing kesayangannya kepada anaknya.

"Enggeh, Amaq" Renji menerima pancing itu dari ayahnya. "Ternyata benar, semakin dekat air laut, ikan semakin jauh" Kata Renji.

"Benar. Itu yang kami rasakan. Tapi, siapa yang memberitahu Renji kalimat itu?" tanya Tuaq Syahdan.

"Temanku. Air laut. " Jawab Renji lalu berjalan lebih dulu meninggalkan ayah dan pamannya.

Amaq dan Tuaq Syahdan saling tatap kebingungan.



catatan Penulis:[sunting]

Asila Jannah merupakan nama pena/ bukan nama asli.