Rindu Pagaralam
Sinopsis
[sunting]Dani, seorang pemuda yang berasal dari salah satu daerah penghasil kopi robusta di Sumatera Selatan, memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi di salah satu kota besar di Pulau Jawa yang kata orang diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Dani tetap harus bisa menerima kenyataan pahit bahwa terkadang keramahan lebih dijunjung tinggi daripada kejujuran. Di sisi lain, dia merasa betah dan nyaman berada di kota rantau.
Cerita Pendek
[sunting]Tari Pagar Pengantin
[sunting]Aku begitu bahagia sekaligus terharu menyaksikan resepsi pernikahan Ayuk[1] Ira bersama suaminya, Kak Rudi. Selepas acara ini, aku harus merelakan kakak perempuan yang amat kucintai itu tinggal bersama dengan keluarga suaminya di Kota Palembang sampai suatu waktu ajal memisahkan mereka berdua. Setelah acara lamaran yang dilaksanakan delapan bulan yang lalu, Kak Bagas sebagai kakak tertuaku sering berpesan kepada Kak Rudi secara berulang-ulang untuk menjaga istrinya sebaik-baiknya.
Salah satu hal yang paling menarik dan ditunggu-tunggu di acara resepsi pernikahan dalam adat istiadatku adalah tarian yang dibawakan oleh mempelai perempuan. Aku begitu kagum dan terpana melihat kakak yang sangat kusayang itu membawakan Tari Pagar Pengantin di pelaminan sebagai penyambutan terhadap tamu yang datang, dan juga sebagai simbol melepas masa lajang bagi seorang gadis. Dia begitu luwes membawakan tarian tersebut dengan didampingi oleh empat orang gadis, dia bagaikan seorang permaisuri dengan para dayang-dayangnya. Jika di resepsi seperti ini, sering aku membayangkan istriku kelak bisa memperagakan tarian tak kalah anggunnya dengan kakak iparnya. Aku akan memintanya untuk latihan terlebih dahulu sebelum tampil menari dengan memukau. Di acara akad nikah, aku akan mengikuti adat dan budaya istriku, sementara di acara resepsi, aku akan memintanya untuk menyesuaikan diri dengan budaya di mana aku berasal. Kalau ternyata dia masih ada darah Sumatera Selatan, itu hanya bonus.
Aku pun juga dibuat kagum dengan penampilan para tamu lelaki yang mengenakan setelan jas lengkap serta rumpak[2] dan tanjak[3], rasanya mereka terlihat semakin tampan dan berwibawa.
Keluarga besar dari pihak Mak dan Ayah tinggal di beberapa daerah di Indonesia, bukan cuma di Sumatera Selatan atau di Jawa Tengah saja. Acara pernikahan menjadi momen yang ditunggu-tunggu untuk berkumpul, sama seperti halnya dengan lebaran. Meskipun keluarga besar Ayah berasal dari Pagaralam, tetapi dalam percakapan sehari-hari, mereka lebih sering memakai bahasa Palembang, bukan bahasa Besemah. Nek Ayah[4] dan Nenek Mak sempat khawatir jika bahasa Besemah perlahan akan punah.
Di samping mengucapkan selamat atas pernikahan kakakku, keluargaku pun mengucapkan selamat pula kepadaku karena diterima kuliah di jurusan ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Kasihan kedua orangtuaku karena harus mengikhlaskan putrinya tinggal bersama keluarga suaminya, dan putra bungsunya untuk menimba ilmu di kota besar. Pekan depan, aku sudah harus berangkat ke Bandung.
Saat sedang menyantap hidangan resepsi di meja makan khusus buat keluarga dari mempelai pria dan mempelai perempuan, aku berjumpa dengan Om Toni yang baru semalam tiba di Palembang. Beliau tinggal di Tangerang dan bekerja sebagai pemimpin redaksi surat kabar lokal.
"Dani, la bujang kau sekarang. Kapan kau nak ke Bandung?[5]" tanyanya sembari menepuk pundakku.
"Insya Allah minggu depan, Om."
"Ngambil jurusan apo?"
"Ekonomi."
"Ooi, Ngapo idak ngambil jurusan pertanian bae? Kagek usaha ayahmu itu katek yang nerusin[6]. Ngapo pula kau itu idak ngambil sastra bae? Nenek Mak kau itu pintar buat pantun Melayu."
"Idak, Om. Buatku, sastra itu hobi bae. Idak pacak mengidupi aku. Aku nak begawe di kantor, Om.[7]"
"Baek-baek ye di perantauan," ujarnya menutup pembicaraan lalu menyapa saudara-saudara yang lain.
Pergi Merantau
[sunting]Aku merantau ke Bandung dengan berbekal restu dan doa dari Mak dan Ayah. Mereka berdua tidak keberatan anak bungsunya pergi merantau, dan mereka punya hati yang sedalam dan seluas samudera karena tidak kecewa saat aku memutuskan untuk tidak mengambil jurusan kuliah yang berkaitan dengan pertanian. Aku sendiri belum memutuskan saat ini apakah nanti aku akan bekerja di kantor sebagai PNS atau karyawan swasta atau karyawan BUMN, namun Ayah sebagai pemilik perkebunan kopi di kaki Gunung Dempo sempat menyarankan agar aku kerja di bank perkreditan rakyat agar bisa meringankan beban petani yang tidak memiliki modal cukup untuk menjalankan usahanya dan menghidupi keluarganya.
Aku dibantu oleh salah seorang pamanku yang sudah lama tinggal di Bandung untuk mencari tempat kost. Kost di daerah Bandung Utara mengingatkanku pada hawa di Pagaralam sehingga aku merasa cukup nyaman di sini. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang kualami sehingga aku terkadang merasa hampa berada di kota rantau. Seringkali saat aku sedang makan di ruang makan kost, ibu kost yang kebetulan sedang berada di tempat ku pamit kepadaku tanpa menunggu aku selesai makan, teman-temanku pun demikian, mereka hanya tersenyum dan berpamitan kepadaku tanpa menunggu aku selesai makan. Di kampungku dulu, sudah menjadi kebiasaan yang tak tertulis di keluarga besarku bahwa jika ada anggota keluarga yang sedang makan, anggota keluarga lain yang hendak pergi semestinya menunggu dulu sampai saudaranya selesai makan. Tidak pernah terlintas di pikiran kami untuk bersikap usil. Melihat perbedaan kebiasaan inilah, rasa rinduku pada keluarga dan kampung halaman semakin tak tertahankan.
Kehidupan kampus dan organisasi
[sunting]Teman-teman kuliahku itu memang mayoritas adalah suku Sunda, namun ada juga teman-temanku terutama yang sekelas dan seangkatan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Ini menjadi tantangan aku dalam bergaul, bagaimana aku dan teman-teman harus bersikap dewasa dalam menyikapi perbedaan. Dalam satu angkatan, mahasiswa dan mahasiswi yang berasal dari Sumatera mungkin sekitar seperempatnya. Aku sendiri merasa bahwa karakterku yang nyenyes[8] bisa mengimbangi teman-temanku yang asli Sunda yang suka ngebodor[9]. Mereka suka berkelakar meskipun ekspresi wajah mereka datar.
Ada satu hal yang cukup unik mengenai karakter mereka. Mereka cukup friendly, tetapi ketika ada tugas kelompok, ada pemilihan ketua umum atau kepala divisi dalam suatu acara, mereka enggan untuk mengemban amanah. Seringkali aku yang mengajukan diri untuk menjadi pemimpin di antara mereka.
Orang-orang di sini memang pada umumnya ramah, tetapi di belakang sering sekali ghibah dengan asyik dan heboh. Aku merasa kurang sreg, mengapa tidak berbicara terang-terangan saja, tentunya dengan tetap memegang etika. Pernah kudapati di pasar tradisional dekat kampus, ibu kost sedang membicarakan mahasiswa dan mahasiswi yang telat membayar uang kost. Padahal beliau selalu menjawab tidak apa-apa ketika anak-anak muda meminta pengertian beliau karena telat bayar uang kost.
Dalam suatu organisasi kampus, aku mengambil kesimpulan bahwa kita tidak boleh tampil beda, harus senantiasa punya pemikiran dan pendapat mengikuti mayoritas untuk mencari aman jika tidak ingin dimusuhi. Aku sering merasa heran, mengapa jika ada adik tingkat yang kurang maksimal dalam berkontribusi di himpunan mahasiswa, kerap kali mereka ditatap dengan pandangan sinis. Aku masih kuliah tingkat satu, tetapi aku punya keinginan kuat, suatu saat aku menjadi kakak tingkat, akan kutegur adik tingkatku secara baik-baik jika melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak bermaksud menggeneralisasi bahwa rata-rata orang di sini bersifat munafik, banyak juga di lingkungan kampus orang-orang yang suka berbicara terus terang dengan tetap menggunakan etika.
Mak dan Ayah selalu mengingatkanku melalui pesan singkat agar aku sanggu beradaptasi di lingkungan baruku. Beliau berdua pun kerap menasihati aku agar jangan lalai shalat, mengaji. Sering pula mereka mengingatkan agar jangan sampai aku memakan pisang mas, larangan ini sudah seperti larangan memakan buah khuldi saja. Ini merupakan pesan dari almarhumah nenekku, kata-kata beliau sudah dianggap sebagai omongan ratu yang tak patut untuk dibantah.
Aku terlahir sebagai generasi milenial yang tak berani membantah omongan orangtua, dan para sepuh di atas dalam silsilah keluarga. Apalagi kedua orangtuaku yang digolongkan sebagai generasi baby boomer yang mungkin patuhnya berkali lipat daripada generasi milenial. Aku merasakan bahwa aku butuh pelampiasan atas ketidakpuasanku. Aku sering bersikap kritis, bukan hanya kepada teman seangkatan atau bahkan kakak tingkat, seringkali juga kepada dosen. Aku pernah dibuat kecewa dengan dosenku saat aku bertanya mengenai kelebihan dan kekurangan sistem ekonomi sosialis, kapitalis, dan pancasila. Beliau menjawab dengan bahasa yang diplomatis. Jika bukan karena nasihat ibuku yang menyarankan agar aku selalu bersikap jatmika, tidak mungkin aku bisa tahan mendengar jawaban yang begitu normatif.
Aku tetap bertahan untuk kuliah dengan baik karena dijanjikan akan dibelikan motor oleh Ayah jika nilai IPK di semester awal ini mencapai 3,5. Ayahku menyarankan agar aku belajar mengemudikan motor dan juga mobil, buat jaga-jaga saja, siapa tahu perlu di lain waktu Ayahku selalu menanamkan bahwa anak lelaki harus bisa diandalkan di setiap situasi. Aku selalu berusaha sekeras mungkin, dan tak lupa berdoa. Aku memanjatkan harapan bukan hanya agar dibelikan motor saja, tetapi juga sangat berharap bahwa Ayah mendapatkan berkah berlimpah-limpah saat panen tiba.
Kenyataan Pahit
Menginjak semester dua, aku memutuskan untuk aktif di suatu komunitas tertentu yang sesuai dengan kegemaranku karena aku merasa punya waktu luang serta energi positif yang butuh penyaluran. Akhirnya aku bergabung di suatu komunitas sastra di luar kampus setelah mencari informasi di media sosial. Aku tidak ingin menjadi jagoan kandang yang hanya petantang-petenteng di kampus. Tiap selasa sore, aku berdiskusi seputar karya sastra di Gelanggang Generasi Muda yang hanya berjarak dua kilometer dari kampusku. Aku begitu menyenangi iklim diskusi untuk menyalurkan hasratku yang suka berpikir kritis dan menyampaikan pendapat secara terbuka, namun demikian aku bukan termasuk orang yang anti terhadap kritik.
Seiring berjalannya waktu, diskusi pun semakin hangat, dan pada suatu waktu aku mengajukan ide bahwa tidak ada salahnya jika kita mempelajari karya-karya sastra dari Pramoedya Ananta Toer dan juga para sastrawan Lekra[10]. Soal karya mereka yang akan mengguncang keyakinan kita pada Tuhan, itu dikembalikan lagi kepada pribadi masing-masing, pikirku.
Beberapa minggu setelah aku mengusulkan ide, di luar dugaanku, aku diminta bertemu dengan Kang Aryo sebagai ketua komunitas, dan dia memutuskan untuk menonaktifkan aku di kegiatan komunitas selama beberapa waktu karena pemikiranku yang tidak sejalan dengan visi misi komunitas. Sejujurnya aku merasa kesal, ingin rasanya membanting ponsel ataupun memukul samsak tinju. Di sisi lain, aku harus fokus menghadapi Ujian Tengah Semester yang tinggal beberapa hari lagi. Aku yakin keputusannya itu dipengaruhi oleh anggota komunitas yang lain.
Setelah UTS, karena kegiatanku menjadi berkurang, otomatis aku hampir seperti teman-temanku yang lain yang hanya memikirkan kuliah dan tidak begitu aktif di organisasi. Sesekali saja aku menghadiri rapat di himpunan.
Aku pun sesekali mampir ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru, sepatu baru dan menonton di bioskop. Aku sebagai laki-laki cukup berani untuk bepergian sendiri. Jika ada teman yang ingin ikut, aku senang, tidak juga, tidak apa-apa. Setelah menonton bioskop, aku membeli makanan di restoran cepat saji. Ketika sedang menunggu pesanan diantar ke mejaku, aku mendengar ada yang memanggil.
“Kang Dani, kemana saja tidak pernah kumpul?” tanya Kang Irfan.
Di komunitas sastra, sudah lazim kami saling memanggil Akang[11] atau Teteh[12] meskipun usia kami sebaya.
“Kan Akang tau sendiri, saya dinonaktifkan untuk sementara,” jawabku sambil menyadari bahwa pertanyaan itu hanya basa-basi.
“Kebetulan saya ketemu Kang Dani di sini. Ada hal yang saya ceritakan.”
“Ya cerita aja, soal apa memangnya?”
“Ketidakaktifan Kang Dani dijadikan sebagai kesempatan Kang Aris untuk ngegarong uang kas komunitas. Kita kan baru ngadain pentas sastra bulan lalu, sisa anggaran dari pihak sponsor masuk kantong dia.”
Belum sempat aku menanggapi, pelayan restoran menyimpan nampan tepat di depan mejaku.
“Terima kasih, Mbak.”
Si Mbak hanya tersenyum dan berlalu.
“Sebetulnya dari awal Kang Dani gabung komunitas, Kang Aris ngga suka karena kan Akang orangnya kritis, selain itu juga cerewet terutama soal keuangan, Kang Aris takut boroknya kebuka.”
“Ketauannya gimana? Memang sejak kapan dia kayak gitu?”
“Kang Aris kan sudah bergabung kurang lebih dua sampai tiga taun lalu, mungkin waktu itu kita masih SMA. Pada awalnya dia baik-baik aja, tapi karena desakan ekonomi, akhirnya dia melakukan perbuatan itu.”
“Oh iya, Akang ngga pesen, biar saya bayarin, deh.”
“Saya baru makan soalnya. Silakan aja ya makan ngga usah canggung sama saya.”
Aku langsung menyambar makanan di hadapanku. Kang Irfan melanjutkan ceritanya.
“Jadi Kang Aris itu selalu mendekati bendahara yang sedang menjabat, lalu dia meminjam uang kas tanpa pernah dicatat oleh bendahara itu. Kang Aris kan pintar mengambil hati orang dengan sikapnya yang bersahabat dan suka melawak. Sudah ada dua bendahara yang berhasil dikibuli.”
“Laporan keuangan bagaimana itu? Kan harus jelas uang yang masuk dan yang keluar.”
“Namanya juga komunitas, laporan keuangan dibuat secara serampangan, tidak profesional seperti Yayasan atau LSM. Coba kalo Akang masih aktif, kan pasti cerewet dan kritis soal penggunaan dana di acara pentas sastra.”
“Lalu siapa yang pertama kali menyadari perbuatan jahatnya itu?”
“Ya ada lah beberapa orang yang sudah curiga dari dulu meskipun telat menyadari.”
“Kang Aris gimana sekarang?”
“Kita sepakat menempuh jalur kekeluargaan aja. Kita lagi berusaha cari pekerjaan untuk Kang Aris.“
Keheningan mampir beberapa menit di meja kami.
“Komunitas masih tetep jalan kan?”
“Jalan, diskusi masih sama kayak dulu, cuma ya itu, selesai diskusi, malah ghibahin Kang Aris,” jawabnya sambil menyunggingkan senyum lalu melanjutkan bertanya.
“Kalo saya pribadi, sih, sangat berharap Kang Dani aktif lagi bersama kami.”
“Aku pikir-pikir dulu, ya. Insya Allah saat mulai semester baru, aku kabari lagi.”
Irfan hanya mengangguk dan tersenyum.
Liburan di Pagaralam
Sebelum memasuki semester tiga, ada waktu libur yang cukup panjang sehingga bisa kuajak teman-teman kuliah untuk berkunjung di kampung halamanku.
Selepas salat Jumat lalu makan siang di warung nasi padang langganan, aku beserta Taufik dan Ilham segera menuju ke pool bus dan menempuh perjalanan panjang selama kurang lebih lima belas jam. Pegal dan capek serta rasa bosan selama di perjalanan terpaksa kutahan demi bertemu dengan keluarga. Setelah sampai Palembang, aku dan mereka mampir dulu di rumah Kak Rudi untuk bertemu dan melepas kangen dengan kakakku beserta mertuanya, termasuk si Junior, keponakanku yang baru berusia satu bulan. Aku merasa senang sekali disambut dengan baik oleh besan orangtuaku, dan karena tidak ingin merepotkan mereka, aku dan teman-teman segera berpamitan setelah disediakan sarapan oleh mereka.
Taufik mengeluarkan brownis panggang beserta keripik singkong dari dalam tasnya. “Ini, Bu, ada sedikit oleh-oleh dari kami.”
“Oh, terima kasih, tidak perlu serepot ini. Kalian datang saja, kami senang,” jawab ibu Sulah.
“Kalo begitu kami pamit ya, Bu,” sambungku sembari mencium tangan beliau dan suaminya.
Kak Rudi dan Ayuk Ira segera menghampiriku lalu memeluk aku dengan erat setelah sekian lama tak berjumpa, dengan segera Kak Rudi mengeluarkan kuncil mobil Jeep dari dalam saku celana pendeknya. Aku ambil kunci itu sembari menghapus air mata yang menetes perlahan hingga ke pipi dan dagu. Lalu terdengar tangis si Junior sehingga hanya ibu Sulah dan pak Ibrahim saja yang mengantarkan kami hingga masuk ke dalam mobil. Aku yang mengemudikan mobil, sementara Taufik di sampingku, dan Ilham duduk di jok belakang.
Setelah menempuh delapan jam perjalanan darat, akhirnya tiba juga di kampung halamanku jam empat sore. Kedua orangtuaku bahagia bukan main karena mereka selalu berdua dan merasa kesepian. Setelah mandi dan membereskan barang bawaan, aku segera menuju ke dapur untuk membantu Mak masak, sementara Ilham dan Taufik bercakap-cakap dengan Ayah sembari menyeruput kopi robusta.
Keasyikan aku dan Mak memasak terpaksa harus dijeda oleh salat magrib berjamaah. Selepas itu, aku dan Mak kembali ke dapur untuk menyajikan hidangan makan malam. Sengaja kusiapkan ayam goreng dan tempe goreng sebagai antisipasi kalau kedua orang temanku tidak cocok dengan makanan khas sini. Tidak disangka-sangka ternyata mereka sangat menyukai dan menyantap dengan lahapnya ikan seluang goreng, sambal rusip khas Bangka Belitung yang sudah cukup familiar di sini, pindang tulang iga sapi, tempoyak beserta malbi sapi. Hanya butuh waktu setengah jam saja untuk menghabiskan makanan yang tersaji di meja makan.
“Makanan khas Sumsel ternyata enak-enak, ya, Tante, saya cuma tau pempek aja,” ujar Ilham.
“Oh iya, ya, kalian kemaren waktu di rumah Kak Rudi apa sempat makan pempek?” tanya Ayah
“Tidak sempat, Ayah, karena kami sampai di sana pagi. Takut sakit perut karena tidak kuat makan cuka, sementara kan kami harus menempuh perjalanan darat ke sini.”
“Besok siang atau sore ya, Tante buatkan pempek lenggang dan kapal selam.”
“Makasih banyak, Tante,” jawab Taufik.
Keesokan harinya, setelah puas menyesap kopi dan mencomot beberapa potong otak-otak bakar sebagai menu sarapan, aku mengajak Ilham dan Taufik untuk melihat-lihat ke perkebunan kopi robusta milik ayahku di kaki Gunung Dempo yang berjarak sekitar lima kilometer dari rumahku. Tak lupa Ilham selalu mengalungkan kamera DSLR nya untuk mengabadikan kenangan. Ketika sedang berjalan-jalan dan melihat ada rumah Besemah sebagai rumah khas Pagaralam, dia menyempatkan diri dulu untuk mengambil potret dari berbagai sisi. Dia pun memotret dan mengambil video segerombol anak-anak yang sedang bermain dan berlarian di sana. Tanpa terasa, aku dan mereka sudah sampai di perkebunan, lalu aku kenalkan mereka kepada para petani yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri.
Kulihat Ilham dan Taufik merenggangkan kedua tangannya ke samping sebagai simbol bahwa pedasaan membawa suasana yang damai dan menenangkan. Suasana desa memang indah dan membuat nyaman, untuk sementara ini, aku dan mereka sejenak melupakan dulu hirup pikik perkotaan beserta kerumitan di dalamnya. Kota Bandung masih belum sejahat kota Jakarta, pikirku.
Aku dan mereka sebagai laki-laki harus siap menghadapi kerasnya hidup. Perjalanan hidup kami masih panjang jika memang ditakdirkan untuk melihat dunia lebih lama. Aku memang harus berjarak dengan tempat ini agar rindu itu selalu ada dan tak pernah padam.
Catatan kaki
[sunting]- ↑ Panggilan kepada kakak perempuan
- ↑ Semacam sarung yang terbuat dari kain songket yang dililitkan di pinggang serta menjuntai sampai ke lutut. Untuk lelaki yang sudah nikah, rumpak dipakai hingga menutupi lutut, sementara untuk bujangan, di atas lutut
- ↑ Ikat kepala khas Palembang yang terbuat dari songket
- ↑ Nenek Ayah adalah panggilan kepada Kakek, dan biasa disingkat Nek Ayah
- ↑ Dani, sudah menjadi pemuda kamu sekarang. Kapan kamu akan ke Bandung?
- ↑ Nanti usaha ayahmu itu ada yang melanjutkan
- ↑ Tidak, Om. Buatku sastra itu sekadar hobi. Tidak bisa menghidupiku. Aku akan bekerja di kantor, Om.
- ↑ Cerewet dan suka bertanya ini dan itu
- ↑ Melucu dalam bahasa Sunda
- ↑ Lembaga Kebudayaan Rakyat
- ↑ Panggilan kepada kakak laki-laki dalam bahasa Sunda
- ↑ Panggilan kepada kakak perempuan dalam bahasa Sunda