Ritual Wiwit Mbako Panen Kopi

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar[sunting]

Nama pena Asti Mardianto. Penulis pemula yang tergabung dalam Forum Penulis Bacaan Anak (Paberland). Tulisan pertamanya dimuat di Majalah Warta GuruCalakan dari Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Jawa Barat. Pernah juga terpilih sebagai penulis cerita anak Balai Bahasa Jawa Tengah 2022. Sebagai pemula, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan menulis untuk meningkatkan kemampuannya.

Premis[sunting]

Bening berkirim surat elektronik pada sahabatnya di Malaysia. Dia mengungkapkan kegembiraannya saat akan menari di acara Ritual Wiwit Mbako Panen Kopi.  Sebenarnya dia ingin menarikan tarian Topeng Ireng.  Namun, pelatih memintanya untuk menarikan tarian yang lain. Meski kecewa, Bening tetap melaksanakan tugasnya.

Lakon[sunting]

  1. Bening
  2. Ibu
  3. Bapak
  4. Cahya
  5. Bu Erni

Lokasi[sunting]

Sebuah desa di kaki Gunung Sumbing-Sindoro, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah

Cerpen[sunting]

Ritual Wiwit Mbako Panen Kopi

Oleh : Asti Mardianto


Sahabatku Nurmala,

Apa kabar? Semoga kamu sehat-sehat saja.

Aku dengar, di Malaysia sedang musim durian.  Pasti enak ya?  Kalau di desaku, sekarang sedang panen kopi dan tembakau.

Maaf, akhir-akhir ini aku jarang berkirim surat. Latihan setiap hari membuatku kelelahan.

Kamu tahu kan, pelatihku itu sangat disiplin.  Aku sudah pernah menceritakannya padamu.

Oh iya, aku sudah tidak sabar untuk tampil besok.  Ritual kali ini diadakan secara besar-besaran. 

Karena panen cukup berhasil, para petani sangat senang dan ingin membuat pesta yang meriah.

Sudah dulu ya, aku harus istirahat agar besok tidak bangun kesiangan.

Salam rindu,

Bening.

*******

Menuju Balai Desa[sunting]

Nduk, ayo bangun.  Jadi menari tidak?” seru Ibu sembari melongok dari balik tirai.

Bening terduduk kaget. Dengan punggung tangan, dia mengucek matanya yang masih mengantuk. Setengah jam yang lalu ibu sudah membangunkannya, namun dia bergeming.  Setengah berlari, gadis itu keluar dari kamar dan menyambar handuk di palang jemuran.

Dengan segera Bening merapikan bajunya dan langsung memelesat menuju meja makan.  Ibu dan kakaknya sudah menunggu untuk sarapan. Sekilas, dia melirik perempuan muda di hadapannya. 

“Huh, andai saja aku sudah remaja, pasti aku bisa menarikan tarian kreasi baru itu.  Bukannya njathil melulu.”

Bening bosan.  Sudah sering dia menampilkan tarian dengan properti kuda tiruan itu.

“Segera habiskan makananmu,” kata Ibu, “sebentar lagi bapak datang menjemput.”

Bening mengangguk. 

Tak lama, terdengar bunyi klakson. Rupanya Bapak sudah menunggu dengan mobil bak terbuka.  Beberapa orang duduk di belakang sembari menjaga gunungan berisi hasil bumi.

“Kalian sudah siap?” tanya Bapak, “Ayo cepat, balai desa mulai ramai lho,” katanya kemudian.

Bening dan kakaknya segera naik di bak belakang, sementara Ibu berada di kursi depan bersama Bapak.  Mobil melaju dengan hati-hati di jalanan yang mulai menurun. Bening dan keluarganya tinggal di kaki gunung kembar Sumbing-Sindoro di Kabupaten Temanggung.  

Hari ini ada perayaan Ritual Wiwit Mbako Panen Kopi.  Dalam bahasa Jawa, wiwit artinya mulai.  Ritual itu diadakan guna menandai dimulainya panen tembakau yang bersamaan dengan berakhirnya panen kopi.  Jika petani tembakau baru memulai panen perdana, maka petani kopi sudah memasuki akhir masa panen kopi.  Kedua tanaman itu memang merupakan komoditas unggulan pertanian di sana.

Gunungan dan Tumpeng[sunting]

Gunungan hasil bumi

Setibanya di balai desa, para warga sudah berkerumun. Mereka mengenakan pakaian tradisional adat Jawa, lengkap dengan blangkon bagi laki-laki dan sanggul bagi perempuan.

Tiap-tiap dusun membawa sebuah gunungan berisi hasil bumi masing-masing.  Ada lombok, kacang panjang, terong, tomat, mentimun, serta buah-buahan.  Gunungan hasil bumi ini menjadi simbol bagi kemakmuran dan keberkahan.  Nantinya, gunungan ini akan diperebutkan oleh para warga sebagai penutup rangkaian acara.

Selain itu, mereka juga membawa nasi tumpeng beserta ayam ingkung.  Nasi itu dihias di atas sebuah tampah yang cukup besar. Berbagai lauk-pauk pendamping tersaji dengan lengkap, seperti sambal goreng ati ampela, kering kentang kacang tanah, perkedel kentang, urap sayur, dan irisan telur dadar.  Meski baru saja menghabiskan sarapannya, Bening terlihat menelan ludah. Hidangan  diatas anyaman bambu itu memang tampak lezat dan sangat menggiurkan.

Jathilan Warok dan Topeng Ireng[sunting]

“Bening, Cahya, ayo cepat kemari!”

Dari balik kerumunan muncul seorang perempuan berkebaya hitam dengan jarik batik dan rambut bersanggul.  Bu Erni, pelatih tari yang cukup terkenal di desa Bening.  Meski tubuhnya tidak ramping, beliau tampak luwes dengan pakaian adat Jawa itu.

“Segera pakai ini lalu berdandan!  Duh, kenapa kalian tidak datang lebih awal? Lihat itu, teman-teman sudah lama menunggu,” Bu Erni nyerocos.

“Maaf Bu, Bening terlambat bangun,” kata Cahya sambil menyikut lengan Bening.

Gadis kecil itu pun menyahut pelan, “Maafkan saya, Bu.”

Yowis, yowis.  Yang penting kalian sudah ada di sini.”

Setelah menyerahkan kostum tari pada mereka, pelatih itu pun memelesat pergi.  Tampak kepalanya menjulur dan menoleh kesana kemari.  Melihat gelagatnya, mungkin ada beberapa anak yang belum datang.

Penari Topeng Ireng

Bening dan kakaknya masuk ke ruang ganti dan langsung mengenakan kostum masing-masing.  Di depan ruangan itu, berjejer anak-anak penari Jathilan dan Topeng Ireng. Sebagian mereka sudah siap tampil, namun ada beberapa yang masih dirias.

Bening memperhatikan para penari Topeng Ireng. Gadis-gadis remaja seusia kakaknya itu kelihatan sangat cantik.  Bening ingin sekali menarikan tarian itu.  Namun sayang, penari Topeng Ireng yang dibutuhkan dalam ritual ini adalah remaja perempuan. 

Bening sangat menyukai kostum mereka, apalagi hiasan kepalanya.  Terlihat bagus dan meriah.  Hiasan kepala itu terbuat dari bulu warna-warni yang menyerupai mahkota suku Indian.  Kostum bawahnya adalah rok rumbai-rumbai seperti suku Dayak.  Alas kakinya berupa sepatu bot yang dilengkapi dengan gelang kelintingan.  Saat digerakkan, bunyinya akan terdengar riuh gemerincing.  Mata Bening menerawang, ia membayangkan dirinya mengenakan kostum tarian itu. 

“Bening, giliranmu!” seru mbak Cahya.

Seruan itu membuyarkan lamunan Bening.  Dia pun segera bangkit dan menghampiri juru rias.  Di saat bersamaan, Bu Erni datang dengan tergopoh-gopoh.  Wajahnya terlihat panik.

“Aduh, gawat.  Wawan tidak bisa datang hari ini.  Kata ibunya, dia sakit.”

Wawan berperan sebagai pemimpin penari warok, yaitu seorang prajurit yang gagah berani. Peran ini sangat penting dalam tari Jathilan.

“Bening, kamu ganti peran jadi warok ya, nduk.  Kamu kan sudah sering njathil,

“Saya, Bu?” Bening terbelalak sembari menunjuk hidungnya sendiri.

“Iya toh, siapa lagi? Dedegmu pas untuk menggantikan Wawan! ” kata Bu Erni mantap.

Penari Jathilan Warok

Seketika raut muka Bening berubah masam.  Selain belum pernah menjadi warok, dia pun tidak menyukai riasannya.  Seorang warok akan dirias dengan wajah berwarna merah, lengkap dengan kumis dan brewok yang lebat supaya terkesan garang.  Sepanjang tarian, mata penari warok akan melotot untuk mendapatkan kesan tersebut. Bening mencoba mengelak dari tugas baru yang diberikan Bu Erni.  Tetapi, perintah pelatih tari itu tidak bisa ditawar lagi.

Dengan gontai, Bening melangkah menuju ruang ganti. Dia menukar kostumnya dengan baju serba hitam yang telah disediakan. Dia juga mengenakan sarung bermotif kotak-kotak yang dililitkan di bagian perutnya.  Sarung ini memiliki variasi warna hitam-putih dan merah-kuning.

“Ada-ada saja, warok kok perempuan,” Bening masih menggerutu. 

Dia semakin sebal dengan riasan wajahnya yang tebal dan terasa gatal.  Meski begitu, dia tetap mematuhi pelatihnya.

Menari dengan baik[sunting]

Perayaan ritual wiwit mbako panen kopi diadakan di lapangan yang cukup luas, tidak jauh dari balai desa.  Semua peserta, baik penari, pengombyong, maupun warga yang membawa gunungan hasil bumi dan nasi tumpeng akan berkumpul terlebih dahulu di halaman balai desa.  Setelah semua siap, maka gunungan dan tumpeng akan diarak menuju lapangan desa dan ritual pun dimulai.  Panggung besar dengan hiasan rigen-rigen tembakau telah berdiri kokoh seakan menyambut kedatangan para warga.

Alunan gending Jawa mengiringi arak-arakan gunungan dan tumpeng menuju tempat prosesi acara.  Ritual dibuka dengan pertunjukan tarian Jathilan oleh anak-anak kelas lima sekolah dasar. Saatnya Bening beraksi.  Tangannya mulai basah.  Denyut jantungnya bergerak makin cepat.

“Aku harus bisa!” serunya menyemangati diri sendiri.

Dengan membawa kuda kepang dan pecut, Bening bergerak lincah memperagakan seorang prajurit berkuda yang gagah perkasa. Meski perannya berganti warok, dia tidak mengalami kesulitan sama sekali.  Latihan rutin yang dilakukannya setiap hari membuat gerakan tangan dan kakinya sangat luwes.  Kegugupan yang dirasakan Bening di awal pentas tadi hilang bersama riuh tepuk tangan penonton. Dia benar-benar menjadi pusat perhatian para warga.  Saat namanya dielukan, Bening makin mantap dan percaya diri.  Dialah warok cilik perempuan pertama di desa!

Tarian berikutnya yang dipentaskan adalah tari Topeng Ireng.  Tarian ini pun tak kalah menarik.  Penonton seperti tersihir menyaksikan remaja-remaja perempuan itu.  Gerakan mereka yang bersemangat, selaras dengan iringan musik yang rancak.

Puncak acara[sunting]

Tanpa terasa, perayaan ritual telah mencapai acara puncak. Saatnya tetua desa memimpin doa bersama. Di hadapan para warga yang membawa gunungan hasil bumi dan nasi tumpeng, dia memanjatkan doa dengan khusyuk.  Benda-benda itu merupakan wujud ungkapan syukur atas berkah yang melimpah dari lahan pertanian di desa.  Sebelum ritual berakhir, pemotongan tumpeng akan dilakukan dan dilanjutkan dengan kembul bujana atau makan bersama. 

“Nah, ini dia!” Bening melonjak girang.

Ia sudah tidak sabar untuk menikmati ayam ingkung yang sedari pagi dilihatnya. 

Seluruh warga desa berkelompok menurut dusun masing-masing. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan tampah nasi tumpeng di tengahnya. Satu set nasi tumpeng akan dinikmati oleh lima hingga enam orang warga.  Dengan penuh semangat, Bening mulai melahap hidangannya.

Ritual wiwit mbako panen kopi kali ini benar-benar luar biasa. Setelah pulang nanti, Bening akan bersurat lagi kepada sahabatnya.  Dia ingin Nurmala tahu, Indonesia kaya akan budaya.

*******

Sahabatku Nurmala,

Aku sangat senang hari ini. Pentasku berjalan dengan lancar, meski awalnya aku sebal. 

Tahu tidak? Pelatih menyuruhku menarikan warok! Itu kan peran untuk anak laki-laki!

Pemain warok yang sebenarnya tiba-tiba sakit, jadi pelatih memintaku untuk menggantikannya. 

Aku gugup sekali.  Tapi untunglah, tepukan penonton membuatku percaya diri.

Oh iya, aku juga puas melahap ayam ingkung.  Rasanya enak sekali. 

Aku pun mendapat beberapa buah jeruk dan tomat saat berebut gunungan. Pokoknya seru deh!

Kapan-kapan kamu harus ikut menyaksikan ritual ini. Aku tunggu kedatanganmu tahun depan, ya.

Salam kangen,

Bening.

*******

TAMAT

Glosarium[sunting]

Nduk: dari kata genduk, artinya panggilan sayang untuk anak perempuan Jawa.

Njathil: menari Jathilan, disebut juga dengan Kuda Lumping atau Kuda Kepang.

Blangkon: penutup kepala adat Jawa bagi kaum laki-laki.

Ingkung: ayam yang dimasak dengan bumbu yang sangat lengkap ditambah dengan kuah santan kental.

Tampah: perabot rumah tangga yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat yang digunakan untuk menampi (membersihkan) beras.

Yowis: dalam bahasa Jawa artinya ya sudah.

Dedeg: tinggi badan atau postur tubuh.

Pengombyong: pengiring.

Rigen: lembaran anyaman bambu berbentuk segi empat panjang yang digunakan petani untuk menjemur tembakau.