Lompat ke isi

Romeo

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Romeo

Di sebuah perkampungan terpencil, di sebuah rumah bata model Victoria, beribu-ribu meter jaraknya dari Jam Besar yang berdiri di alun-alun pusat kota, hiduplah seekor kucing jantan yang gemar menikmati masa muda dengan bermain bola di pelataran rumah. Sebenarnya dia masih keturunan Persia. Itu terlihat dari bulu-bulunya yang panjang, hidungnya yang pesek, tulang pipi yang menonjol, matanya yang lebar dan bulat. Dikombinasikan dengan tubuh berwarna abu-abu polos, kucing itu terlihat sangat imut serta menggemaskan. Majikannya adalah seorang lelaki tua berusia lima puluh tahun yang hidup sebatang kara. Untuk mengisi masa tuanya, setelah kematian istrinya setahun yang lalu, dia lebih senang menghabiskan waktunya itu dengan berpetualang di hutan. Bagi orang awam, mata pria itu terlihat sudah rapuh, tetapi sebenarnya masih sangat tajam untuk mengamati. Sebelum dia berangkat ke hutan, seperti biasa, dia mematut diri di depan cermin terlebih dahulu, sambil mempelintir kumis tebalnya, dia mengenakan kemeja flanel lusuh lengan panjang yang dilipat selengan, topi hitam yang ditekuk ujungnya, dan sepatu boots yang terbuat dari kulit buaya. Senapan laras panjang tercantel di bahunya, tak ketinggalan juga sebuah pancing panjang sudah berada di genggaman tangan kirinya. Di kampungnya, memburu hewan di hutan bukanlah hal yang dilarang -kecuali memperjualbelikan elang langka, ah itu sangat dikecam oleh warga.

Kucing itu bernama Romeo. Lelaki tua selalu mengelus badannya sebelum dia pergi meninggalkannya, kali ini sambil menyelipkan beberapa patah kata, “Jagalah rumah, Romeo, Akan kubawakan ikan yang besar kau nanti.” Romeo selalu bahagia melihat kepulangan majikannya, itu diungkapkannya dengan berlari ke taman depan begitu dia mendengar langkah kaki-kaki si tua. Bahkan ketika pria itu pulang dengan tidak membawa ikan pun, Romeo tetap bahagia. Tetapi, lama-kelamaan, ada satu hal yang mulai melanda perasaan kucing itu: Kesepian. Sejak dilanda kesepian, dia jadi enggan untuk bermain bola di taman depan; dia berharap majikannya mengerti perasaannya, maka untuk mengungkapkannya dia memilih berdiam diri di dalam rumah sepanjang hari. Seminggu kemudian, si majikan mulai dapat memahami apa yang dirasakan Romeo. Berhari-hari dia pergi ke luar desa untuk mengunjungi sejumlah rumah temannya yang barangkali menjual seekor kucing. Seorang lelaki seumuran dengannya, Jim tua, yang dulu telah menjual Romeo kepadanya, sudah tidak memiliki seeokor kucing lagi. Hasilnya pun sia-sia. Lelaki tua itu pun pulang dengan tangan hampa.

Keesokan hari, pada petang hari, Pak Morrison tua singgah ke rumahnya, setelah melakukan perjalanan panjang mencari anjingnya yang kabur. Kini anjingnya sudah berada di dekatnya lagi. Lelaki tua itu mengizinkan Morrison masuk ke rumah. Segera setelah selesai mempersiapkan sebuah kamar untuk Pak Morisson di lantai atas, dia mengizinkan tamunya untuk istirahat terlebih dahulu, lalu cepat-cepat dia turun ke bawah, mengambil Romeo, dan membawanya serta ke hadapan anjing Golden Retriever yang diikat pada tiang di samping pintu halaman belakang. Tak ada sesuatu yang paling mengejutkan bagi lelaki itu selain mengetahui bahwa anjing itu tidak menyalak sama sekali. Anjing itu tetap berebahan, dengan dagu menyentuh tanah. Suatu hal yang membuat Romeo berani untuk duduk di sampingnya, dalam jarak aman, dan bukannya malah lari terbirit-birit. Melihat Romeo senang berada di dekatnya, kemudian lelaki tua meninggalkan mereka dan berjalan ke kamarnya di lantai bawah untuk berangkat tidur. Keesokan harinya, ketika Pak Morrison hendak berpamitan pulang, pemilik rumah cepat-cepat melontarkan pertanyaan. Dia bertanya apakah Pak Morrison menjual anjingnya. Mula-mula sang tamu dengan tegas menjawab tidak, tetapi setelah mendengar alasan-alasan yang diutarakan lelaki itu tentang keakraban sesaat Romeo dan si anjing, dan bahwa kucing itu sangat membutuhkan seekor teman lantaran didera kesepian, si pemilik anjing segera mengiyakan dengan antusias karena heran mendengar keakraban mereka, mengingat banyaknya anjing-anjing yang dimilikinya. Maka, setelah terjadi transaksi jual-beli, dia lalu minta diri, mengayunkan kaki bersamaan dengan tongkatnya, meninggalkan rumah sahabatnya, dengan senang hati.

Anjing itu jantan, berwarna keemasan. Warnanya semakin tampak mengilap saat tubuhnya ditempa cahaya matahari—saat Romeo dan anjing itu bermain bola bersama sang majikan di taman rerumputan halaman depan. Suatu ketika bola yang mereka mainkan jatuh di sungai kecil di samping halaman belakang; waktu itu bola yang dilemparkan oleh sang majikan jatuh dekat sungai, lalu, seperti lomba saja, mereka cepat-cepat berlari untuk mengambilnya. Tepat ketika si anjing berlari hendak mengginggit bola itu, tiba-tiba Romeo makin menambah kecepatan larinya, dan secara tak sadar ia berhasil melewati musuhnya dari samping lalu, secara tak sadar pula, menendang bola itu hingga jatuh terbawa air. Laju sungai yang deras membuat bola terus meluncur. Sejak kejadian itu, si anjing jadi marah besar kepada Romeo. Meski si lelaki tua telah membelikan bola baru untuk mereka, si anjing tetap marah pada Romeo. Majikan itu hampir hafal aktivitas hewan peliharaan barunya, setiap hari anjing itu menghabiskan waktu sendirian di kandang belakang, ia tidur, lalu makan, berjalan mondar-mandir melihat sungai, dan mendekam kembali di kandang. Berbeda dengan rekannya, Romeo justru menikmati hari-harinya dengan ceria; setiap pagi, setelah menghabiskan sarapan, ia bermain bola di halaman depan, sambil menjemur diri di bawah matahari. Ia lalu akan masuk rumah kembali tepat ketika matahari naik setinggi tombak. Dalam perjalanannya menuju kandang, kadang-kadang Romeo sempat berhenti ketika tiba di depan sebuah pintu dapur yang berada di sudut. Seandainya seseorang berada di situ dan membuka pintu dapur itu, dia akan melihat keluasan taman belakang yang menghijau, berlatarkan sungai yang bergemericik airnya, juga sebuah jembatan kecil yang dibuat oleh pemilik rumah. Menyadari bahwa tak ada orang yang melakukan hal itu untuknya, maka ia segera meloncat ke meja dapur, lalu secepat kilat ia meloncat lagi ke atas sebuah almari. Ia menengok rekannya melalui kerangka angin-angin yang terpasang di dinding atas. Sebenarnya, jika dia ingin menengok anjing itu, dia bisa melakukannya secara langsung lewat samping kanan rumah, dengan memutar melewati jalan setapak di samping kanan rumah itu, lalu ia harus berhenti saat tiba di depan rerimbunan semak-semak. Tetapi, lantaran takut kepergok oleh si anjing, hal itu benar-benar tak pernah dilakukannya. Suatu ketika si majikan membawa pulang ikan banyak. Namun demikian, lantaran mengetahui anjing itu tetap marah kepadanya, maka dia lebih senang untuk memberikan kepada Romeo, kemudian ikan yang tersisa diberikan untuk si anjing. Di suatu senja yang cerah, saat burung-burung mulai pulang ke sarangnya, Romeo duduk merenung di bawah sebuah pohon yang teduh di taman depan. Ia merenungkan masa depannya mengenai pertemanannya dengan si anjing; apakah ia akan terus-terusan seperti ini, tanpa komunikasi. Ketika ia hendak berjalan pergi ke dalam rumah, dari belakangnya, tiba-tiba muncul seekor ular berbisa yang panjangnya lebih dari satu meter. Mendengar suara gemerisik dari belakang, ia menengok dan, begitu mengetahui kehadiran seekor ular yang hendak memangsanya, berteriaklah kucing itu sekeras-kerasnya, ngeong yang kencang, hingga teriakan itu membuat si anjing yang sedang tidur seketika terbangun. Bingung, kaget, dan tak terbiasa menghadapi peristiwa seperti itu, kucing itu berlari tak keruan arah, ke sana ke mari, ke belakang mengelilingi kolam, lalu ke depan mengelilingi pohon, dan tetap diikuti oleh musuhnya—yang tak lain dan tak bukan merupakan seekor ular hitam mengilap yang semakin gesit mengejarnya.

Si anjing tiba-tiba datang dan berlari lewat jalan setapak, lalu ia berhenti mendadak, seperti seekor kuda yang dikendalikan oleh koboi. Mengetahui bahwa ular tersebut tidak menyadari kehadirannya, dengan cepat si anjing berlari ke arah ular dan menerkam hewan melata tersebut tepat di kepalanya. Ia mencabik-cabik kepala ular itu hingga mati. Ketika itulah lelaki tua pulang, sambil menenteng tas kresek hitam yang berisi banyak sekali ikan. Cepat-cepat dia bergegas ke belakang rumah, dan tak lama kemudian, dia sudah kembali lagi dengan menenteng sebuah jerigen kecil berisi minyak tanah. Dia lalu membuka tutupnya, menuangkannya ke tubuh si ular, dan segera menuntup kembali jerigen itu. Tangan kanannya yang kasar meraba saku celana, lalu mengeluarkan sebuah korek api. Dia mengambil satu batang, menggeretnya, dan menjatuhkannnya ke tubuh si ular. Mereka bertiga mundur sambil melihat api berkobar. Sejak kejadian itu, kedua hewan peliharaannya mulai terlihat rukun kembali. Keesokan harinya, juga di hari-hari berikutnya, lelaki tua dan hewan peliharaanya senantiasa terlihat bersemangat—lebih bersemangat—saat bermain bola kembali. Seandainya seseorang berada di situ, di halaman belakang, atau berdiri di jembatan kecil, niscaya, teman-teman, dia akan benar-benar melihat kebahagiaan itu.

Pesan Moral: 1. Tentang Keberuntungan: Kita harus membuang segala bentuk dendam, seperti Romeo; belajarlah untuk mengembuskannya jauh-jauh lewat napasmu sebelum engkau tidur malam. Terkadang keberuntungan menghampiri mereka yang hidup dengan kelapangan, seperti Romeo, ketika sang majikan membawa banyak sekali ikan, dia memilih untuk memberikan mereka kepada Romeo, dan yang tersisa untuk si anjing yang tetap marah.

2. Tentang Persaudaraan: Lantaran beberapa alasan tertentu, atau kesalahan yang tidak termaafkan, mungkin kita jadi sangat membenci saudara dekat kita. Tetapi ketika hidup mereka sedang dalam bahaya, seperti yang telah dialami Romeo, kita harus segera menolong mereka, secepatnya, sebagaimana perilaku anjing tersebut.

Cerpen karya saya: Arif Syahertian.

Facebook: Arif Forsythe Syahertian.