Rumput Menjelang Ramadhan
Rumput Menjelang Ramadhan
Tung Widut
"Pak, Santu sudah beli baju baru," kata Minarsih kepada ayahnya.
Karyo hanya diam. Bibirnya tak mampu berbicara mendengar kata anaknya.
Tengah hari bolong dia mengambil sabit di dapur. Dia ambil sabit yang berada di dinding dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Dibawa pergi ke sawah di belakang rumahnya. Tak lama rumput menghijau di antara tanaman padi berpindah ke karung yang dibawanya.
Sebelum pulang dia sengaja menyandarkan badannya di pohon Turi. Pohon si tengah sawah itu mampu mengusir dahaga di mulut puasa Karyo. Angin sepoi yang berhembus tak mampu mendinginkan isi kepalanya.
Kedua anaknya selalu merengek meminta baju baru. Sedangkan dia sebagai kuli serabutan tak ada pekerjaan. Hanya seekor kambing yang dia punya. Itu saja beberapa kali di bawa ke pasar hanya ditawar murah. Hanya asal saja. Buat makan sehari-hari hasil kerja istrinya yang bekerja sebagai pembantu di rumah pak Supri.
"Bapakmu ke mana Min?" tanya Jinah.
"Nggak tahu Mak. Tadi bawa sabit," jawab Minarsih.
Rak lama Karyo membuka pintu dapur. Terdengar decit engsel pintu, Jinah menghampiri.
"Kang kemana saja panas-panas begini?" kata Jinah.
"Dari ngarit," jawab Karyo.
"Hoalah kang, panas ngenthang-ngenthang ngene kok ngarit ( panas terik)," kata Jinah dengan nada tinggi.
Karyo hanya diam. Kepalanya makin pusing.
"Kang, kang. Ini sudah pertengahan puasa. Anak-anak belum beli baju, kue lebaran sama sekali belum. Kok malah kambing satu di carikan rumput begitu banyak.Memang anakmu kau bikinkan baju dari rumput? Lebaran kau suguhkan rumput-rumput mu itu di atas meja? Hah," lanjut kemarahan Jinah.
Karyo masih diam. Dia menuju ke kamar mandi. Adzan sudah memanggilnya dari tadi.
"Mau kemana lagi?" tanya Jinah ketus.
Dia sangat heran dengan suaminya kali ini. Tak biasanya dia salat berjamaah. Biasanya di enak kan ngorok dari pada salat.
Karyo memang pusing tujuh keliling. Kepalannya serasa mau pecah. Seakan-akan tak mampu memecahkan masalah. Apalagi kalau bertemu kedua anaknya. Merasa menyesali hidupnya karena tak mampu memenuhi keinginan anaknya seperti anak-anak lain sebagainya. Kondisi ekonomi kali ini benar-benar seret. Biasanya banyak orang yang menggunakan jasanya bekerja di sawah atau mengecat rumah menghadapi hari raya.
Hanya kepada Allah Lah Karyo mencurahkan segala kesedihannya. Meminta sepenuh hati agar diberikan pekerjaan. Dalam angkanya selalu teringat kata istrinya saat mencaci makinya.
"Memang anakmu kau bikinkan baju dari rumput? Lebaran kau suguhkan rumput-rumput mu itu di atas meja? Hah," kata ini yang terngiang di telinganya. Sampai tidur malam dia hanya bergelimpungan di atas lantai kamar. Kamar berlantai batako yang dilapisi plastik lantai.
Selesai sahur Karyo tak langsung tidur. Menunggu jamaah subuh baru tidur sebentar. Kala matahari belum tinggi bergegas ke sawah. Mencari rumput kembali. Kali ini rumput hasil pencarian tak di bawa pulang. Dia bawa ke tepi jalan besar di desanya. Berbekal tulisan jeleknya "dijual" tak ada 1 jam ternyata rumputnya sudah laku.
"Alhamdulillah," ucapnya.
Matanya berkaca-kaca tanda terharu.
"Baru jualan pak?," tanya pembeli.
"Iya mas," jawabnya.
Masih saja dia menjawab, ada seorang lagi yang menghentikan motornya. Bermaksud membeli rumputnya.
"Habis pak. Nanti sore mungkin baru ada lagi," janji Karyo.
Perginya ke dua pembeli rasa lapar dan haus Karyo hilang sudah. Dia langsung kembali merumput. Dalam satu jam sudah mendapat dua ikat. Dijualnya kembali rumput hasil pencariannya. Karyo memercayai semua itu karena kepasrahan kepada Allah. Mulai hari itu Karyo tak melewatkan sholat berjamaah.
Sambil menunggu berbuka keluarga Karyo berkumpul di ruang tamu sekaligus sebagai ruang keluarga.
"Mak, Santi sudah beli baju baru lo," kata Minarsih kepada emaknya.
"Tadi bapak sudah ku bilangi, tapi diam. Eh malah pergi. Jadi kapan Mak beli bajunya" kata Tursi sang adik sambil merengek.
"Sudahlah nanti dibelikan kalau emak sudah gajian.
"Bapak kumpulkan uang dulu. Makanya harus rajin salat biar Allah memberi rejeki," kata Karyo.
Kedua anaknya merasa heran. Tak biasanya bapak dan emaknya mengajaknya rajin beribadah.
Ketika lebaran tiba. Anak dan istri Karyo tersenyum gembira. Tak hanya pakaian yang baru. Di mejanya ruang tamu penuh dengan kue lebaran.