Lompat ke isi

SAG

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Pengantar

[sunting]

Aku, Achenk; lelaki kelahiran Jember; 1987, ber-KTP Penajam Paser Utara. Lulus SMA mengadu nasip ke ibu kota, demi mengejar cita-cita; menjadi pemain sepak bola profesional. Mulai belajar menulis, sejak benar-benar merasa gagal mengejar mimpi. Berawal dari hanya sekadar coret-coret di beranda, hingga tak sengaja bergabung di salah satu grup penulis yang ada di facebook. Di situlah banyak ilmu kepenulisan yang aku dapatkan.

Premis

[sunting]

SAG adalah Kisah tentang tiga anak manusia, dengan karakter dan latar belakang berbeda, yang bertekat melakukan perjalanan mencari harta karun

Tokoh

[sunting]
  1. Shaka
  2. Arkan
  3. Ghibran

Tempat

[sunting]

Desa Pasar Wetan dan Hutan Timur

Cerita Pendek

[sunting]

Perbuatan Baik

[sunting]

Shaka, anak laki-laki berusia 10 tahun yang tak pernah mengenal pendidikan  sekolah. Setiap hari dia harus membantu sang ibu ke pasa; berjualan sayuran hasil kebun sendiri yang tak terlalu luas. Sementara sang ayah bekerja sebagai tukang becak, yang tidak pasti penghasilannya. Mungkin, faktor ekonomi lah, yang membuat kedua orang tuanya merasa sekolah tidak lebih penting dari mencari uang.


Suatu hari, di waktu pagi menjelang siang. Shaka yang baru pulang dari pasar, segera pergi ke sungai ujung desa untuk memancing.

“Arkan …? Kamu tidak sekolah lagi?” tanya Shaka yang melihat teman sebayanya sedang berada di pinggir sungai.

“Males aku, soalnya kalok sekolah tidak boleh bawa hape,” jawab anak laki-laki berambut belah samping tersebut, sambari pandangan tetap pada layar gawai. “Ya sudah, aku pura-pura sakit aja sama nenek.”


Memang sejak usia 5 tahun, Arkan harus tinggal bersama kakek-neneknya, karena kedua orang tua menjadi TKI ke luar negeri. Akibatnya, didikkan terlalu manja dan didukung fasilitas yang terpenuhi, membuat dia kecanduan game online, hingga kehilangan semangat belajar.


“Loh, apa itu, ya?” Shaka yang hendak mencari tempat, tiba-tiba melihat sesuatu di tepian sungai.

“Kayaknya botol, Ka,” ucap Arkan yang pandangannya ikut mengarah pada benda tersebut. “Coba kamu ambil, siapa tahu isinya jin, nanti kita bisa dapat 3 permintaan.”


Setelah mendapat saran dari sang sahabat, tanpa pikir panjang, bocah berperut buncit itu pun langsung turun menuju tempat benda tersebut terapung. Ternyata benar, benda itu adalah botol kaca yang berisi gulungan kain putih. Karena penasaran, tepat di atas batu besar, yang ada di antara pepohonan kelapa, Shaka mengeluarkan kain tersebut.


“Kan, ini apa tulisannya?”

“Tidak tahu, Ka, tapi tadi malam aku juga dapat kiriman gambar kayak gitu di hape.”

“Terus?”

“Karena aku tidak bisa baca, ya sudah aku biarkan.”

“Lah, kamu buat apa sekolah, kalok sudah kelas 4 masih tidak bisa membaca?”

“Sebenarnya aku ingin berhenti sekolah, Ka, tapi aku takut nanti hapeku disita sama mama-papa.”


Selema ini meski pandai menggunakan gawai, tetapi Arkan hanya menghafal simbol-simbol pada fitur yang ada.


“Woi, kalian ngapain ada di sini?” tanya Ghibran—teman sekelas Arkan—yang datang dengan berseragam putih-merah sambil membawa tas.

“Kamu pasti bolos gara-gara hari ini ada pelajaran matematika, ya, Bran?” Arkan balik bertanya.

“Iya, nih, aku males banget sama pelajaran itu,” keluh Ghibran sambil melangkah mendekat. “Loh, kamu kok, punya kayak gitu juga, Ka?” lanjutnya saat melihat kain putih yang baru saja Shaka temukan dari botol.

“Memangnya kamu juga punya?” tanya Shaka dan Arkan bersamaan.


Ghibran pun mengeluarkan kain tersebut sambil menceritakan, bahwa dia mendapatkan itu dari lelaki tua tak dikenal, tidak lama setelah memberi uang pada nenek-nenek pengemis. Lalu, dia juga memberi tahu Shaka dan Arkan yang tidak bisa membaca, jika kain tersebut berisi peta harta karun.


“Wah, berarti kita adalah orang-orang pilihan,” ucap Shaka dengan raut wajah penuh kebanggaan. “Soalnya, mungkin aku juga dapat peta ini, karena rajin membantu orang tua.”

“Terus, kamu dapat itu juga karena apa, Kan?” tanya Ghibran.

Mendengar itu, sejenak Arkan terdiam menatap langit, sambil garuk-garuk kepala, seakan ingin mengingat perbuatan baik apa yang pernah dia lakukan. “Hah … mungkin karena kemarin aku ikut sholat Maghrib berjamaah sama kakek.”

Mencari Harta Karun

[sunting]

Tanpa banyak pertimbangan, Shaka, Arkan, dan Ghibran pun bertekat untuk berangkat mencari harta karun yang ada di peta tersebut.


“Menurut petunjuk yang kubaca sih, letaknya ada di sekitar hutan bawah gunung itu,” jelas Ghibran sambil menunjuk gunung yang hanya terlihat puncaknya dari tempat mereka berada.

“Ya sudah, tapi sebelum kita berangkat, sebaiknya kita siapkan bekal dulu,” usul Shaka sambil mengeluarkan uang 10.000 dari saku celana. “Aku cuma ada uang segini.”

“Ini punyaku.” Arkan mengeluarkan uang 100.000.


Karena tak punya uang untuk dikumpulkan, Ghibran bersedia berangkat yang membeli air mineral dan roti, sesuai kesepakatan. Setelah itu mereka pun memulai perjalanan.


“Kalok dari sini kita coba pakai google map di hapeku saja,” usul Arkan sambil membuka aplikasi tersebut. “Hutan Timur,” lanjutnya menggunakan alat pencarian via suara.


Tak lama kemudian, muncul tampilan peta pada gawai tersebut. Setelah itu terdengar suara arahan. “Terus berjalan sejauh seratus meter, lalu belok kiri.”


“Terus, gimana caranya kita bisa tahu sudah seratus meter apa, belum?” tanya Ghibran, “kan, kita tidak punya meteran?”

“Oh iya, aku ingat, dulu bapak pernah mengukur luas kebun di belakang rumah pakai langkah kaki. Katanya, 1 langkah = 1 meter,” jelas Shaka.

“Ha … berarti kita harus menghitung sampek 100 langkah?” Ghibran mengernyit.

“Tenang, kalian tidak perlu repot-repot kayak gitu, nanti di sini kita akan dikasih tahu sama aplikasi ini,” jelas Arkan.


Sesuai yang dikatakan Arkan, setelah berjalan cukup lama, tiba-tiba gawai tersebut terdengar memberi arahan. Mendapati hal itu, Shaka dan Ghibran yang sama-sama tak punya gawai, seketika takjub.


“Wih, canggih,” ucap Shaka.

“Iya, bisa tahu jalan sesuai tujuan,” timpal Ghibran.


Arkan pun hanya menanggapi dengan senyum bangga.


Setelah berjalan selama berjam-jam tanpa rintangan berarti, akhirnya mereka bertiga mulai memasuki wilayah hutan. Tepat di bawah pohon besar berdaun rimbun, yang dipenuhi lumut, ketiganya memutuskan beristirahat.


“Wah berarti nanti kita tidak perlu repot-repot mencari harta karun itu, tinggal pakek hape kamu saja, Kan,” ucap Shaka yang mulai mencari tempat duduk.

“Tidak bisa, dong, Ka, soalnya letak harta karunnya kan, masih rahasia, jadi aplikasi ini mungkin juga belum tahu,” jelas Arkan, lalu mulai menenggak air mineral. “Di hutan ini ada binatang buasnya, tidak, sih?” lanjutnya mengalihkan pembicaraan.

“Pasti ada, dong, tapi semoga saja sebelum malam kita sudah berhasil menemukan harta karunnya,” ucap Ghibran sambil menurunkan tas dari bahunya

“Oh, mereka keluarnya saat malam saja?” Arkan kembali bertanya.

“Bukan begitu, Ka, kalok malam kan, waktunya hantu keluar,” jelas Ghibran.

“Kalok aku sih, sama hantu tidak, ta ….”

“Sttt, jangan ngomong sembarangan di hutan, Kan!” potong Shaka. “Lebih baik, segera keluarkan makanannya, Bran.”

“Oh iya, ini ternyata lebih murah daripada di tempat kita, loh,” ucap Ghibran sambil mengeluarkan perbekalan dari tas sekolah. “Makanya aku beli air; 6 botol, roti; 9 bungkus.”

“Memangnya berapaan, Bran?” tanya Arkan sambil mulai memakan roti tersebut.

“Air; 6.000, kalok roti; 5.000,” jelas Gibran sambil ikut menyantap makanan tersebut.

“Wih, murah banget.”

“Padahal tadi aku takut uangnya kurang, eh, ternyata pas.”

Mendengar itu, Shaka yang sedang fokus memperhatikan keadaan sekitar, tiba-tiba terkejut. “Loh, seharusnya kan, masih ada kembaliannya, Bran?”

“Masak, sih?” Ghibran seakan tak percaya.

“Air; 6.000 x 6 = 36.000. Roti; 5.000 x 9 = 45.000. Jadi kalok ditotal belanja kita; 36.000 + 45.000 = 81.000, Bran,” jelas Shaka. “Sedangkan uang kita tadi 100.000 + 10.000 = 110.000. Jadi kembalian yang harus kita terima; 110.000 – 81.000 = 29.000.”


Memang, meski lancar baca-tulis, tetapi Ghibran masih belum bisa cara berhitung yang benar. Berbanding terbalik dengan Arkan yang buta huruf, tetapi pandai berhitung, karena sering dapat pengalaman saat di pasar.


“Hm … pasti kamu korupsi ya, Bran?” tuduh Arkan setelah mendengar penjelasan Shaka.

“Mentang-mentang yang punya uang, seenaknya kamu kalok ngomong!” Ghibran tersinggung. “Silakan periksa saja tasku!”

“Sudah, tidak usah rebut, mungkin Ghibran salah dengar harganya.” Shaka bermaksud menengahi.

Akan tetapi, niat baik Shaka mendapat tanggapan berbeda dari Ghibran. “Enak saja, ini loh, ada tulisan harga di bungkusnya!” Ghibran sambil menunjukkan tulisan tersebut. “Oh iya, aku lupa, kamu kan, tidak bisa membaca,” lanjutnya sambil menyeringai.

Tak bisa dielakkan, cekcok di antara mereka pun terjadi. Sehingga mumbuat suasana terasa tak lagi nyaman. Meski berjalan beriringan, mereka tampak tak saling bicara. ‘Berani seenaknya sama aku, awas kalian!’ batin Ghibran yang merasa disudutkan oleh kedua temannya, sambil terus berjalan di barisan paling belakang.


Setelah cukup lama melintasi jalan setapak berbatu licin, dan di kanan-kiri dipenuhi semak-semak, akhirnya mereka pun sampai pada persimpangan.


“Bran, lihat petunjuk. Kita harus ke mana?” Arkan mengawali pembicaraan, seakan lupa dengan masalah tadi.

“Terus saja,” jawab Ghibran singkat.

Shaka dan Arkan pun melanjutkan langkah sesuai arahan Ghibran. Namun, beberapa saat kemudian, keduanya merasa curiga, karena saat menoleh ke belakang, ternyata Ghibran tidak ada.


“Loh, Ghibran ke mana? Apa jangan-jangan dia bertemu binatang buas?” tanya Shaka yang terlihat khawatir.

“Tidak mungkin. Pasti dia sengaja ninggalin kita.” Arkan sambil memperhatikan sekitar. “Soalnya dari tadi aku perhatikan dia kayak yang masih marah sama kita.”

“Aduh, tanpa dia, kita tidak akan bisa menemukan harta karun itu.” Shaka seakan pesimis.

“Semua ini gara-gara kamu, Ka. Coba tadi tidak membahas soal kembalian!”

“Loh, bukannya kamu yang nuduh dia korupsi, Kan!”


Mereka berdua pun kembali bertengkar, dan karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya memutuskan untuk jalan sendiri-sendiri. Memang, ketika ego menguasai pikiran, akal sehat pun seolah tersingkirkan. Tak ada yang bisa dihasilkan selain perpecahan.

Tersesat

[sunting]

Langit mulai menggelap. Suara-suara binatang malam pun semakin terdengar jelas, disertai gerakan ranting-ranting pohon yang saling beraduan, akibat tiupan angin. Tampak Ghibran terus berjalan mengikuti petunjuk peta, yang dapat dia baca dengan mengandalkan cahaya rembulan, yang menembus rimbunnya pepohonan. Namun, gumpalan mendung datang menutupi rambulan, hingga benar-benar tak terlihat. Sontak hal tersebut membuat bocah bertopi sekolah itu pun panik. Bukan hanya karena tak bisa melihat tulisan pada peta, tetapi dia tidak suka gelap, karena menurut dia hantu suka berkeliaran di tempat gelap.


‘Seandainya tadi aku tidak meninggalkan mereka, pasti aku tidak akan ketakutan seperti ini,’ batin Ghibran yang berdiri mematung sembari memeluk tas.


Sementara Arkan coba menggunakan google map; saran Shaka yang tadi sempat ditepis. Akan tetapi, gawainya tidak dapat berfungsi, karena tak ada sinyal. Meski demikian dia tetap terus berjalan menerjang gelap dengan bantuan penerangan senter yang ada pada gawai tersebut. Namun, keadaan itu seketika berubah, kala dia mengetahui bahwa daya pada gawainya tinggal 10%.


“Duh, mana mungkin dengan sisa daya segini aku bisa terus berjalan,” gumam Arkan yang mulai merasa takut. “Semua ini memang salahku.”


Berbeda dengan kedua temannya, Shaka tampak berhasil memanfaatkan ranting dan dedaunan kering untuk membuat api dengan cara teradisional. Namun, baginya peta yang dia punya tidak lagi berguna. Bersama rasa putus asa, dia ikatkan kain tersebut pada ujung ranting untuk dijadikan obor. Hingga beberapa saat kemudian hujan turun memadamkan obornya. Situasi itu pun membuat Shaka merasakan hal sama yang dirasakan Arkan dan Ghibran.


Akhirnya ketiga boca tersebut pun menyesali kesalahan masing-masing. Selain itu, Shaka sadar, bahwa sebanyak apa pun keahlian yang dia miliki, seakan terasa bagai orang buta, jika tak bisa baca-tulis. Arkan juga menyadari, fasilitas dan materi yang cukup, akan menjadi sia-sia tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan yang cukup pula. Begitu pun dengan Ghibran; ternyata hanya bisa baca-tulis, belum cukup untuk dijadikan bekal mengejar mimpi.

Harta karun sesungguhnya

[sunting]

Sungguh situasi yang sangat menakutkan. Sendiri terjebak hujan deras, di dalam gelapnya hutan dengan berjuta binatang liar, yang kapan saja bisa mengancam keselamatan mereka. Seakan satu-satunya harapan yang bisa mereka lakukan hanyalah berdoa pada Tuhan. Setelah itu, tiba-tiba di hadapan mereka masing-masing muncul lingkaran cahaya putih yang semakin membesar, lalu menarik ketiganya masuk, dan ….


Bagai di dalam mesin waktu, Shaka, Arkan, dan Ghibran dipertemukan kembali di sebuah pantai berpasir putih, dengan air laut yang terlihat biru disertai gulungan ombak. Dari ke jauhan tampak dikelilingi gunung-gunung yang terlihat hijau oleh pepohonan. Sementara tak jauh dari hadapan mereka terdapat sebuah gapura.


Seusai berpelukan dan saling bermaafan, ketiganya pun memberanikan diri memasuki permukiman tersebut. Meski tak terlihat adanya penduduk, tetapi mereka menyaksikan beragam rumah adat Nusantara yang begitu bersih, seakan ada petugas kebersihannya. Lalu, mereka memasuki satu-persatu, dan di dalam mereka disuguhi dengan keindahan berjuta karya dari masing-masing daerah, yaitu; alat musik tradisional, baju adat, ukiran, batik, dan banyak lagi. Tak hanya itu, mereka juga melihat di tengah-tengah permukiman, berdiri berdampingan rumah ibadah dari 5 agama yang diakui di Indonesia.


"Inilah harta karun sesungguhnya yang ada di bumi kita. Sebagai calon pemimpin masa depan, kalian harus bisa menjaga dan melestarikan, agar kelak tidak terlupakan dan dijadikan harta karun bagi bangsa lain.” Mereka mendengar suara menggema bak dari langit.


Kemudian, cling ….


Tiba-tiba ketiganya kembali berada di atas batu besar pinggir sungai ujung Desa Pasar Wetan, tempat sebelum melakukan perjalanan.


“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa kembali,” ucap Arkan penuh rasa sukur.


Lalu, karena merasa lapar, mereka pun bersama-sama memakan sisa bekal yang ada di tas Ghibran, sambil menyaksikan matahari terbenam.


Akhirnya, sejak kejadian itu Arkan dan Ghibran pun jadi giat sekolah.


“Ibu, aku ingin sekolah. aku adalah calon presiden masa depan negeri ini.” Shaka kala menemui sang ibu di kebun belakang rumah.


Tamat ….


PPU, 15 Februari 2023