SEMUA SUDAH BERLALU
Tampilan
Biodata Pengarang
[sunting]Widwi Astuti, biasanya menggunakan i nama pena Tung Widut. Lahir pada bulan Mei 1972. Tinggal di Blitar jawa Timur. Mempunyai karya buku 4 novel, 6 puisi dan 43 antologi bersama. Aktif di beberapa komunitas menulis.
Sinopsis
[sunting]Wida dan Ayu bersahabat sejak kecil. Hampir semua cerita kehidupan selalu berbagi. kali ini kepulangan Ayu dari tempat belajarnya karena dia mendengar Ayu putus dengan Sam karena bertunangan dengan lelaki lain. Akhirnya beda menceritakan semuanya di sebuah pantai kenangan. Kenangan antara Wida dengan Sam. Tiba-tiba Dika datang. Siapa Dika?
Lakon
[sunting]Wida
Ayu
Dika
Lokasi
[sunting]Pantai Sine, Desa Kalibatur. Kecamatan Kalidawir. Kabupaten Tulungagung Jawa Timur
Cerita
[sunting]SEMUA SUDAH BERLALU
Widwi Astuti
“Antarkan aku ke rumah mbah! Kalau lagi sendirian hati di dada ini rasanya sesak. Ingat bapakmu terus.” pinta bu Hasna. Sejak meninggalnya pak Haryo bu Hasna memang sering bengong. Seakan dia tidak terima atas meninggalnya suaminya. Suami yang menikahinya selama lima puluh dua tahun. Sejak beliau umur empat belas tahun. Maklumlah keluarga bu Hasna adalah keluarga petani yang berasal dari desa. Menikah muda sudah bukan hal yang mengherankan. Jarak umur yang jauh dengan suaminya pun bukan halangan bagi bu Hasna untuk tetap setia. Bahkan bu Hasna pernah bercerita dengan anak-anaknya. “Aku hidup dengan bapakmu itu semula ya seperti kakak gitu aja. Aku belum mengerti menikah. Masih terlalu kecil. Jadi aku itu tahu laki-laki ya hanya bapakmu itu. Makanya bapak itu sangat berarti buatku. Bapakmu itu orang sabar. Menungguku sampai ibumu ini dewasa.” cerita bu Hasna Tiba-tiba terdengar suara salam dari salam dari halaman rumah. Bu Hasna menjawab sambil menengok dari jendela. Terlihat Ayu membawa bungkusan plastik hitam. “Ini bu de pek-empek oleh-oleh khas Palembang,” “Kapan sampai?” “Baru saja. Langsung ke sini.” Mereka menanyakan keadaan masing-masing. Semuanya sehat. Kedatangan Ayu sebenarnya menyampaikan ikut bela sungkawa atas meninggalnya pak Haryo. Pak haryo meninggal karena penyakit jantung. “Hai Yu......kamu. Apa kabar?” tiba-tiba Wida muncul dengan senyumnya yang lebar. Sudah hampir enam bulan tak tersenyum seperti ini. “Baik. Aku mau bicara sama kamu,” ucap Ayu sambil melirik pada bu Hasnah. Senyum Wida terhenti. Ada suatu perasaan aneh dari perkataan Ayu sahabat kecilnya itu. “OK. Sekalian ikut aku ke bank bayar wisuda. Sebentar kok. Setelah itu kita cuzzzzzz bicara.” kata Wida. Setelah mengantar ibunya Ayu di bonceng ke kampus. Masih berapa menit jalan Ayu sudah tak sabar. “Wid. Aku akan berbicara.” kata Ayu. “Bicara apa,”tanya Wida. “Tentang semua.”lanjut Ayu. “Ya kalau tentang semua ya nanti aja biar nggak kepenggal. Itu cerita harus urut, terus menerus, dan sinyalnya harus bagus. Kalau nggak sistem aplikasinya nggak mau jalan,”jawab Wida. “Huuuuu mulai koplak kamu.” kata Ayu. Kedua sahabat itu memang sangat cocok. Selalu ada saja yang dibicarakan. Hampir setiap pembicaraan bisa membuat mereka terbahak-bahak bahagia.Setelah sepuluh menit arah ke luar kota, sepeda motor dibelokan ke kanan. “Sine lagi nih.....? tanya Ayu. “Biasa pantai kenangan.”jawab Wida. Wida dan Ayu memang sering ke pantai ini dahulu. Mereka sering bermain air, makan ikan bakar kecap, dan es kelapa muda. Itu menu wajib bila ke pantai.Di bawah payung pantai mereka berdua menikmati sajian wajib. Pemandangan jauh di atas laut mendekati benua Australia sangat cerah. Awan tipis menghiasi langit biru. Di bawah langit ada segaris lurus yang memisahkan pantai dengan langit. Warnanya hampir sama. Dari kejauhan terlihat perahu sekecil jari. Hanya terlihat bendera yang dikibarkan. Merah Putih. Ombak laut menggelegar menerjang dinding tebing batu di kejauhan. Sebelah barat hamparan pasir putih. Angin kencang berpacu dengan debur ombak yang menyapa tipis di bibir pantai. Seakan tak mau kalah. Angin berusaha melambaikan dedaunan yang rindang di pantai. Kadang membuatnya jatuh terbang menjauh dari sang pohon. “Wid. Menu wajib yuk.” ajak Ayu “Aku es kelapa muda aja.” pinta Wida. “Ah yang bener. Ala kamu paling-paling habisin duluan.”ejek Ayu. “Kuat berapa kira-kira hari ini? Lama nggak ke sini.Aku tantang kamu,” tantang Wida. “Ok....yang kalah bayarin....bagaimana?” kata Ayu. “Oke.” Maklum sudah hampir setahun tidak berjumpa. Tak bercerita. Seakan bagai gelombang tsunami. Arus ombak menggelegar. Menghantam yang ditemui. Tak pedulikan jerit tangis. Menggulung menghantam. Hancurkan habis tunas daun kering. Mereka bercerita tak henti. Tak sepenggal peristiwa terlewati. Sambil tangannya mengambil secuil ikan bakar. Mulutnya tak henti mengunyah-ngunyah. Sekarang topik pembicaraan sampai pada Sam. “Kamu yakin bicarakan soal Sam?”tanya Wida. “Wid....aku serius. Kelihatan bahagia banget ya lihat orang lain sakit hati. Kamu itu telah menyakiti hatinya. Masih saja kamu bersikap seperti itu,” wajah Ayu kelihatan kesal. Wida langsung menghabiskan es kelapa mudanya dan berdiri membayar. “Kalau bicara soal Sam kejar aku dulu.” tantang Wida. Wida sudah mengambil start terlebih dahulu. Dia sekencang-kencangnya menuju sebuah pohon pinus sebelah timur. Pohon itu lebih rindang dibanding yang lain. Dibawahnya menjadi lebih sejuk. Ayu tidak mau sendiri. Dikejarnya juga sahabatnya itu. Mereka berdua terengah-engah. “Jantungku hampir copot Wid,”kata Ayu. “Sama. Dah lama banget nggak lari-lari,” jawab Wida “Perutku mengkal nih. Baru makan lari-lari. Lanjut Wida sambil memegangi perutnya. Mereka berdua duduk di atas pasir laut sambil meringis kesakitan. Menata nafas sambil menikmati sejuknya hempasan angin sepoi. Angin yang menyibak jilbab dengan belaian lembut. Memberi celah untuk mencium leher jenjang di baliknya. “Wid, aku mau bicara serius,” “Soal Sam?”jawab Wida lesu. “Ya. Seminggu yang lalu, Sam menelponku lama sekali. Dia menceritakan semuanya. Hatinya sakit Wid,”kata Ayu. Wida hanya diam menunduk. “Aku sangat kecewa sama kamu Wid. Teganya kamu mempermainkan perasaan dia. Apa kamu sudah merasa cantik, berpendidikan tinggi, keluarga orang terhormat, gadis yang suci. Apalagi yang kamu banggakan sehingga kamu tega menyakiti hati Sam. Dia orang baik. Punya kesungguhan sama kamu. Harusnya kamu terimakasih sama dia. Malah kamu tinggal tunangan. Sekarang kamu merasa puas karena bisa menyakiti Sam. Gimana sih jalan otak kamu?” Ayu nyerocos dengan nada tinggi. Dia duduk dihadapan Wida. Matanya melotot di dekatkan pada wajah Wida. Dia sangat marah kepada Wida. Sampai ada beberapa kata yang diulangnya. “Ku kira kamu sahabatku dari kecil itu baik hati. Ternyata kamu telah berubah. Kamu menjadi orang jahat tau....?Aku kecewa sama kamu. Sangat kecewa.” suara Ayu menjerit-jerit mengalahkan angin pantai. Wida sengaja diam. Agar Ayu puas mencacinya. Wida sudah kenyang dengan cacian semacam itu. Hampir semua saudara mencacinya. Paling tidak memandang sinis padanya. “Wid. Wid. Kamu dengar aku kan? Atau kamu sekarang baru sadar, setelah Sam dan tunanganmu itu tak sudi lagi padamu? Kau pikir laki-laki akan tunduk sama kamu. Otak mu di pakai Wid. Jangan sok gitu” cerca Ayu sambil menunjuk-nunjuk wajah Wida. “Ya. Aku yang salah. Semua yang terjadi karena kesalahanku. Harusnya aku tidak jatuh cinta pada Sam. Harusnya aku bisa menolak lamaran keluarga Widarto. Aku yang menyebabkan bapakku meninggal. Aku salah. Semuuuuuuuuuuanya aku yang salah.” kini suara Wida tak kalah keras. Wida menghentikan kata-katanya. Menata kembali emosi yang sudah tak bisa dikendalikan. Diam, menunduk dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Beberapa kali dihelanya nafas panjang. Kemudian dengan halus dia bertutur. “Yu. Seharusnya aku yang lebih sakit. Aku yang mengalami, menjalankan, merasakan, semua itu. Sejak Sam dekat denganku dan menyatakan kesuguhannya, hatiku serasa diiris sembilu. Aku masih ingin menyelesaikan kuliahku dan ingin kerja. Apalagi ibuku tak suka pada Sam. Semua kusimpan. Sampai suatu saat aku menyusul Sam ke kota Batu. Ingin aku mengatakan semua yang terjadi. Semua berbalik. Melihat kepribadian Sam, aku makin jatuh cinta. Mulutku makin tak sanggup menceritakan pertunangan itu. Akhirnya di tempat ini. Tempat kita duduk ini aku menceritakan. Aku sangat berharap Sam akan membawaku pergi ke sebuah istana penuh cinta. Tapi tidak. Justru hatiku hancur berkeping. Sam meninggalkan aku begitu saja.” cerita Wida sambil sesenggukan. Kata-kata Wida terhenti. Diusapnya air mata yang berderai dari tadi. “Pertunanganku dengan Widarto berjalan begitu saja. Aku ingin menyenangkan hati orang tuaku. Semakin hari hatiku semakin sedih. Aku tak bisa mencintai Widarto. Widarto sendiri tidak bisa sayang padaku. Hubungan kami garing.Suatu ketika, aku menolak ajakan Widarto ke Malang karena saat itu aku ujian skripsi. Dia menganggap penolakan dariku. Mendengar itu, bapakku terkena sakit jantung. Seminggu kemudian meninggal. Semua saudara menghujatku, juga orang-orang. Tak ada yang menyapa selain ibu,” suara Wida makin tersengal. Ayu memegang tangan Wida agar merasa lebih tenang. Matanya ikut berkaca-kaca mendengar cerita itu. Cerita yang ternyata membuat hati sahabatnya sedih. Sejak kecil persahabatannya, baru kali ini melihat Wida bersedih sampai menangis sesegukan. “Mengapa kamu selama ini tidak pernah menceritakan hubungan kamu kepada kami?” tiba-tiba terdengar suara itu. Keduanya terkaget dan menoleh. “Dika.” kata Ayu. Tiba-tiba Dika sudah berada didekat mereka berdua. Dika sahabat Sam. “Ya....setelah kamu WA aku langsung ke sini. Tadi malam Sam cerita padaku.” Dika menghela nafas panjang. “Seharusnya kamu sejak dulu cerita sama kita Wid...Siapa tahu kita bisa bantu.” lanjut Dika sahabat Sam. “Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Di benakku hanya ingin wisuda tepat waktu. Di lain sisi aku ingin menjadi anak penurut. Ingin orang tuaku bahagia. Tapi ternyata tak semudah itu.” kembali kata-katanya terhenti. “Biarkan semua terjadi. Kalian tetaplah menjadi sahabatku.” lanjut Wida. Setelah diam lama menata perasaannya, dia dengan tersenyum dia berkata: “Aku terlalu banyak menyakiti hati orang yang menyayangiku. Termasuk Sam. Tolong sampaikan maafku padanya. Aku tahu, dia tak akan mau ketemu aku lagi untuk selama-lamanya.” kata Wida.