Sabda Mamak

Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

Aku menahan panas dan sumuk demi menyaksikan Mamak memasak. Mamak memasukkan beberapa kayu bakar ke dalam keren , menyiramkan minyak dari jerigen, memantikkan api, mengipasinya hingga membara, baru meletakkan dandang berpantat legam di atasnya. Sesekali Mamak akan memasangkan bambu di muka, kemudian menyemburkan mantra melalui bambu itu untuk menstabilkan kobaran api.

Aku juga mengamati kulit tubuh Mamak yang tetap terang, padahal setiap hari harus berkutat dengan jelaga. Aku sering meyakinkan diri sendiri bahwa Mamak adalah bidadari yang tak bisa pulang karena selendangnya dicuri Bapak saat mandi di kali, seperti kisah yang pernah diceritakan Ibu Guru. Kulitnya secerah susu, selembut ubi rebus, dengan sejumput garis di ujung matanya yang layu. Sangat kontras dengan kulitku, Bapak, dan Adik yang cokelat.

“Kenapa melihat Mamak seperti itu?”

“Sedang membayangkan jika Mamak adalah bidadari,” jawabku asal dan spontan.

Mamak membalikkan badan. “Mengapa?”

“Bukankah Mamak sering mengatakan bahwa Dieng tempat bersemayam para dewa dan dewi? Mungkin Mamak salah satunya?” Mamak menggeleng-gelengkan kepala, seperti saat melihat tingkah lucu Adik. Aku melanjutkan, “Buktinya, Mamak tahu kalau Gugun sedang mengamati Mamak. Padahal dari tadi Mamak menghadap keren. Pasti Mamak punya kekuatan ajaib, kan?”

“Batin seorang ibu tidak pernah keliru, Le . Kamu kan pernah tinggal selama sembilan bulan di perut Mamak, tentu saja Mamak tahu semua tentangmu.”

“Mamak juga tahu masa depan Gugun akan seperti apa?”

“Kenapa bertanya soal masa depan?”

“Gugun bosan hidup seperti ini terus, Mak.”

“Maksudnya?”

“Ya, seperti ini. Setiap hari makan rebusan, kadang harus tahan lapar semalaman. Gugun pengin punya TV, Mak, supaya Gugun tidak perlu diam-diam mengintip lewat jendela rumah Pak Budi.”

“Gugun tidak suka hidup seperti ini?”

“Ya, kalau bisa memilih, tentu saja Gugun ingin hidup yang enak, Mak.”

“Hidup seperti ini tidak enak?”

“Tidur dengan perut lapar, tidak punya sepatu sekolah, harus panas-panasan di ladang demi makanan; semua itu tidak enak, Mak. Cape.”

“Kehidupan yang keras akan membuat kita lebih bersyukur, Le.”

“Maksud Mamak?”

“Kalau kita kaya, mungkin kita akan sombong dan membuat orang lain iri dengan benda-benda yang kita miliki.”

“Tapi kalau kaya, kita juga bisa membantu orang lain yang kesusahan kan, Mak?”

“Ya, ketika masih miskin orang akan berpikir demikian. Setelah kaya, pastilah lupa.”

“Memangnya Mamak tidak ingin kaya?” Mamak berbalik, tangannya kembali sibuk mengatur posisi kayu. Entah untuk menjaga api tetap menyala atau sekadar pura-pura. Aku terus mendesak. Dengan suara lirih, Mamak menjawab, “Kaya dan miskin itu soal pikiran, Le. Mamak senang hidup seperti ini. Mamak punya Bapak yang baik kepada kita, Mamak punya anak lanang yang selalu bisa diandalkan, Mamak punya anak perempuan yang pengertian, Mamak punya tanah yang hasilnya bisa kita makan dan jual.”

“Ah, Mamak. Bukan itu yang Gugun maksud.”

“Banyak orang yang punya harta berlimpah, tapi berpikir bahwa dirinya miskin. Tidak pernah puas, selalu serakah. Sampai melakukan hal-hal buruk, memakan hak orang lain. Tidak berkah.” Kini Mamak kembali menatapku. “Le, kalau kita nrima ing pandum, kita bisa bertahan dan bahagia dalam kondisi apa pun. Apa yang kita miliki, ya disyukuri. Tidak perlu iri dengan yang lain-lain.”

“Memangnya dengan bersyukur, Gugun bisa kenyang? Apakah dengan bersyukur, teman-teman bisa berhenti mengejek Gugun? Gugun cape, Mak, setiap hari dihina karena ke sekolah tanpa sepatu dan baju seragam kekecilan.”

“Itu artinya kamu belum bersyukur.”

“Mamak terlalu lama di dapur, Mamak hanya tahu soal syukur, syukur, syukur! Mamak tidak paham perasaan Gugun!” Tanpa sadar, aku telah meninggikan suara—satu kesalahan fatal dalam aturan keluarga. Kulihat kedua mata Mamak yang kekuningan terbuka lebih lebar.

“Kalau nanti kamu kehilangan Mamak, baru kamu akan belajar arti bersyukur!”

“Astagfirullah, Mak!” Kami berdua sama-sama terkejut dengan kehadiran Bapak dari pintu belakang. Ia segera mencantolkan caping ke dinding bambu, kemudian berjalan mendekati tungku.

“Hati-hati bicaramu. Ucapan Ibu itu makbul!”

Mamak hanya diam, tertunduk menatap tanah.

Mamak memang tak berteriak dan memukulku, tapi nada bicara dan tatapannya berhasil mengoyak perasaanku. Segera, tanpa permisi, aku berlari meninggalkan rumah. Begitu sampai di halaman depan, aku berhenti sejenak. Menoleh ke belakang. Nihil. Tak kulihat Bapak maupun Mamak mengejarku. Mungkinkah Mamak begitu marah sehingga diam saja melihatku pergi? Beberapa saat kutunggu dan tak seorang pun menyusul. Hatiku kian hancur. Aku memutuskan betul-betul pergi, kali ini takkan menoleh lagi.

Sepanjang jalan aku menangis. Bukankah beberapa saat lalu aku masih mengobrol hangat dengan Mamak? Bukankah Mamak baru saja mengatakan bahwa aku adalah anaknya yang selalu bisa diandalkan? Mengapa semuanya berubah begitu cepat? Jangan-jangan Mamak tidak sungguh-sungguh mensyukuri kelahiranku?

Aku terus meratapi duka hingga baru menyadari langit telah menjingga. Aku enggan pulang, kecuali dijemput Mamak dan Bapak. Maka, aku berbelok ke jalan menuju rumah Pakdhe. Pakdhe menyambutku dengan cemas, lantas menyuruhku masuk dan memanggil Pian—anak bungsunya—agar menemaniku. Budhe mengambilkan teh hangat dan pisang rebus. Semalaman aku diam memeluk lutut, tak tertarik pada semua permainan yang Pian tawarkan. Aku terus merenung, bahkan ketika seluruh teplok dipadamkan.

Dalam gelapnya kamar Pian, aku teringat pada Simbah, nenek yang selalu mengasihiku. Jika Simbah masih ada, pasti ia sudah mencariku. Atau mungkin, jika Simbah masih ada, aku tak akan pernah minggat seperti sekarang. Aku jadi ingin bertemu Simbah, pasti sekarang Simbah sudah bahagia. Kata Pak Ustad, manusia bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan di Surga, tanpa perlu panas-panasan di ladang.

Saat mataku memanas mengenang Simbah, tiba-tiba kudengar gemuruh dari Utara. Aku menoleh ke kiri, Pian masih lelap tak terusik. Mungkin aku salah dengar. Namun, perasaanku mulai tak enak. Apakah aku sedang merindukan Mamak? Atau inikah yang dirasakan seorang anak yang berkata lantang kepada orang tuanya? Aku mencoba tidur dan berjanji besok pagi-pagi akan pulang. Gemuruh datang lagi. Pian makin pulas. Andai jalanan tidak gelap, aku ingin pulang sekarang juga, biar pun tak dijemput Mamak dan Bapak. Aku berdiri, membuka jendela kamar Pian. Saat itulah suara ledakan, hingga membikin dinding bambu rumah Pakdhe bergetar.

“Pian, Gugun! Ayo, tangi  !” Pakdhe berteriak dari depan. Pian segera meloncat dari kasur. Aku mengikuti dari belakang. “Ayo, keluar!” Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi kuikuti saja mereka.

Di luar sangat gelap. Kutatap langit, tak ada bulan dan bintang. Satu per satu tetangga Pakdhe juga keluar, saling bertanya satu sama lain, tanpa ada jawaban pasti. Suara mereka bersahut-sahutan dengan gemuruh dari Utara yang tak kunjung reda. Budhe menggenggam erat tanganku dan Pian. Aku jadi makin cemas. Mungkinkah Mamak sedang mencemaskanku juga?

“Sinila mbledhos ! Sinila mbledhos!”

Dua kata yang diulang-ulang itu sontak membuyarkan gerombolan. Semuanya berlari dan berteriak, berdesakan di jalan sempit dan berlumpur. Budhe spontan menarikku dan Pian sambil menyerukan takbir. Aku pasrah mengikuti Budhe. Sekeliling begitu gelap dan pengap. Kudengar Pian sesekali merintih menginjak sesuatu yang keras, aku diam saja karena sudah biasa berjalan tanpa alas.

Di pertigaan jalan dekat sekolah, sepintas kulihat Bapak dan Mamak berlari ke Barat. Tak begitu jelas sebab mereka muncul di antara kepala puluhan manusia. Aku hendak memastikan, tetapi Budhe mengeratkan genggam dan menarikku ke Selatan. Budhe dan rombongan berhenti di kantor kecamatan atas arahan seorang pria berkumis. Semua orang tampak cemas, beberapa bahkan menangis. Sedangkan pikiranku tertuju pada Bapak, Mamak, dan adik yang tak kunjung terlihat.

Makin terang, makin banyak mobil berdatangan. Kulihat Pakdhe ikut dalam gerombolan pemuda di sekitar mobil pick up. Di sampingku, Pian tidur bersandar di tembok. Dasar bocah gendheng, dalam kondisi seperti ini bisa-bisanya masih sempat mengantuk. Aku berpamitan kepada Budhe untuk ke kakus.

Aku menyelinap di antara rumah warga. Bukan hanya dari Budhe, tetapi juga dari rombongan Pakdhe yang sepertinya sedang berjaga. Aku sedikit beruntung karena tiada yang berjaga di belakang, sehingga memudahkan misi kaburku. Menginjak tahi-tahi ayam yang berserakan, melawan kabut gelap demi bertemu Mamak.

Aku terus berjalan. Makin ke Utara, nuansa sunyi kian mencekam. Meski asri masih mendominasi, Kepucukan seketika berubah menjadi desa mati. Bahkan suara hewan ternak pun nihil sama sekali. Aku terus melaju hingga pertigaan dekat sekolah dan berbelok ke Barat. Menyusuri jalan bebatuan yang pagi ini terasa lebih hangat daripada biasanya.

Langkahku terhenti. Kehangatan di sekujur telapak kaki menyeruak hingga dada. Kedua kakiku lunglai ketika menyaksikan orang-orang celentang di sepanjang jalan dengan mulut menganga. Darah keluar dari hidung, telinga, dan mulut mereka. Kupaksakan kaki agar sudi melewati mereka. Kurasakan kedua mata dan pipiku basah dan hangat, tanpa isak.

Tak jauh dari mayat pertama yang kutemui, aku melihat adik dan Mamak yang saling berpelukan; bersisihan dengan Bapak. Mereka semua kaku, biru, dan membisu. Kulihat wajah Mamak yang selalu ayu, kini berwarna ungu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Aku bahkan tak tahu harus bagaimana. Dadaku sesak, tenggorokanku tercekat. Rupanya Bapak benar, ucapan seorang ibu akan terkabul. Kurasakan pahit di pangkal lidah seiring badanku yang kian melemah. Tubuhku seketika luruh tepat di perut Mamak. Dalam sisa kesadaran, aku melihat mobil yang tadi terparkir di depan kantor kecamatan.

“Maafkan Gugun, Mak...”